Minggu terakhir bulan Juni lalu, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melihat langsung bakal alutsista baru TNI AU, helikopter EC-725 Cougar dalam proses perakitannya (assembly) di fasilitas milik Airbus Helicopters, Marignane, Perancis. Helikopter ini adalah pesanan pemerintah RI (Kementerian Pertahanan) yang akan dioperasikan oleh TNI AU. RI memesan sebanyak enam pesawat berdasarkan Kontrak Jual Beli antara Kemhan RI dengan PT. Dirgantara Indonesia (PT.DI) nomor Trak/142/PLN/III/2012/AU tanggal 6 Maret 2012. Dalam kontrak ini, PT.DI lalu menunjuk Airbus Helicopters Perancis sebagai sub-kontraktor untuk menyediakan enam helikopter tersebut.
Airbus Helicopters sendiri telah beberapa kali berganti nama, mulai dari Sud Aviation (SA), Aerospatiale (AS), Eurocopter (EC), dan setelah diakuisisi oleh Airbus menjadi Airbus Helicopters (AH). TNI AU hingga saat ini telah mengoperasikan helikopter yang diproduksi di setiap era masing-masing nama tersebut, yang dapat dilihat dari designasinya: SA-330 Puma (Sud Aviation), AS-332 Super Puma (Aerospatiale), dan EC-120B Colibri (Eurocopter). Selain persoalan kehandalan (reliability), kerjasama yang telah terjalin lama dengan PT.DI juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam menggunakan produk pabrikan helikopter terbesar di Eropa tersebut (harapannya, potensi nasional di PT.DI dapat terus terpelihara).
Pembelian enam helikopter EC-725 ini terbagi dalam tiga tahap (batch), yang dalam tiap batch Kemhan/TNI AU akan menerima dua pesawat. Saya merupakan bagian dari tim pemeriksa pemasangan sistem pesawat pada dua pesawat batch I, yang berkode IPT-001 dan IPT-002. Pesawat pertama (IPT-001) sudah memasuki tahap industrial test flight, yang berarti secara sistem pesawat tersebut sudah lengkap dan diterbang-ujikan oleh pabrik. Sementara pesawat IPT-002 masih dalam proses perakitan di final assembly line, dengan beberapa bagian belum terpasang. Tugas utama saya beserta tim yang dipimpin oleh Kolonel Kal Juliantono dari Mabesau ini adalah memeriksa kesesuaian komponen yang dipasang dengan apa yang tertera dalam kontrak.
Saya akui tugas ini tidak mudah, dan saya tidak dalam misi “jalan-jalan”. Di tim yang terdiri atas lima personel Kemhan/TNI AU dan dua personel PT.DI ini, saya adalah satu-satunya yang memiliki latar belakang sebagai praktisi helikopter. Secara praktis, boleh dikatakan saya memahami prinsip kerja helikopter (yang telah menjadi “mainan” saya di TNI AU sekitar 15 tahun hingga hari ini). Itulah sebabnya sedari awal saya sadar bahwa saya bakal bekerja keras agar tugas tim ini dapat dilaksanakan dengan baik.
Tim berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta hari Minggu 22 Juni 2014 pukul 19.00 WIB melalui Singapura. Setelah melalui penerbangan yang panjang ditambah dua kali transit yang juga panjang (masing-masing sekitar lima jam di Singapura dan Amsterdam, Belanda), akhirnya tim tiba di Aeroport de Marseille Provence hari Senin 23 Juni 2014 sekitar pukul 16.00 waktu setempat (21.00 WIB). Setelah check-in di hotel tak jauh dari bandara, hari itu dihabiskan dengan menikmati kota Aix-En-Provence (sekitar 15 km dari Marignane), yang seperti halnya Marignane merupakan kawasan satelit dari kota metropolitan Marseille. Meski jauh lebih kecil dari Marseille, Aix-En-Provence (atau lebih dikenal dengan “Aix”) menawarkan keindahan khas Perancis dengan bangunan-bangunan bergaya Roman Gothic dan restoran-restoran semi-kafe (disebut “brasserie” dalam bahasa Perancis), serta patung-patung dengan air mancur dari abad ke-17 atau 18. Kebetulan saat ini sedang musim panas, dan matahari baru terbenam sekitar pukul 21.30 waktu setempat.
Esok harinya, tim mulai berkunjung ke fasilitas AH. Hari pertama kunjungan itu diisi dengan beberapa paparan/presentasi tentang perkembangan kontrak yang telah berjalan, khususnya dua pesawat pertama dalam batch I (IPT-001 dan 002). Beberapa hal masih belum memuaskan saya, dan saya meminta kepada pihak PT.DI untuk mengkomunikasikan kembali beberapa hal tersebut dengan AH. Misalnya tentang penyediaan publikasi teknik (manual-manual pemeliharaan dan pengoperasian pesawat) yang hanya satu set. Saya membayangkan hal itu akan menyulitkan para pilot dan teknisi yang kelak akan mengoperasikan pesawat itu di beberapa spot sekaligus, yang artinya di tiap spot mereka harus punya publikasi teknik yang lengkap. Dengan persetujuan forum (termasuk pihak AH), hal itu dituangkan dalam catatan dalam Minutes of Meeting (MoM) yang ditandatangani oleh semua yang hadir di situ. Setelah lunch break, kami diajak untuk melihat fasilitas pabrik dalam perakitan helikopter NH90 (assembly line) dan “Les Florides” yang merupakan pusat operasi logistik AH.
Hari berikutnya, kunjungan diawali dengan peninjauan ke EC-225 Final Assembly Line, di mana pesawat kedua (IPT-002) tengah menjalani perakitan. Tugas teknis saya pun diawali di pesawat itu. Berbekal check list yang saya ambil dari lampiran kontrak, saya mengawali pemeriksaan dari kokpit, lalu ke kabin, naik ke engine deck, ke belakang (tail section), lalu “merayap” di bawah badan pesawat. Saya sadar, untuk inilah saya berada di sini, dan saya tidak akan bermain-main dengan tanggung jawab saya. Saya menghabiskan sekitar satu jam di situ, didampingi teknisi AH yang saya minta untuk mencoba beberapa sistem yang telah terpasang. Setelah memberikan beberapa catatan kepada pihak AH, saya mengakhiri pemeriksaan dengan overall conclusion: satisfactory. Dari situ, kami beranjak ke pesawat IPT-001 di flight line (fasilitas pengoperasian pesawat yang sudah lengkap/ready for flight).
Meski sudah lengkap dan memiliki catatan terbang uji oleh pabrikan, saya tetap meminta pemeriksaan menyeluruh meski pesawat tidak harus diputar. Saya tetap meminta teknisi mencoba semua sistem navigasi, komunikasi, hydraulic, electric, combat support, dan indikasi-indikasi. Sama halnya dengan IPT-002, saya “menggerayangi” pesawat itu mulai dari kokpit, kabin, bagian atas, belakang, dan merayap lagi di bawah. Sekali lagi, saya harus memastikan bahwa saat pesawat ini diterbangkan oleh awak TNI AU, ia harus memiliki daya getar yang kita harapkan, dan menjadi bagian dari pengembangan kekuatan yang kita cita-citakan. Saya cukup puas dengan apa yang saya lihat, meski pesawat belum 100% selesai (masih memerlukan pengecatan sesuai motif yang kita inginkan).
Setelah itu, kami kembali ke meeting room untuk mendiskusikan dan merumuskan beberapa catatan atau temuan yang kami dapatkan selama pemeriksaan. Setelah semua menyetujui, tiap orang baik dari Kemhan/TNI AU, PT.DI maupun AH membubuhkan tanda tangannya. Itulah akhir rangkaian kegiatan selama dua hari yang cukup padat dan melelahkan (khususnya buat saya hehehe…) dan kamipun sepakat untuk mengakhiri kunjungan dengan menerima undangan makan malam resmi dari AH di sebuah restoran China di Aix. Esok harinya (Kamis 26 Juni 2014) kami bergeser ke Paris dengan menempuh sekitar satu setengah jam penerbangan dari Marseille. Saya sudah pernah ke Paris sebelumnya, sehingga tidak terlalu “heboh” untuk melihat Menara Eiffel atau Arc de Triomphe di Avenue des Champs Elysees. Saat yang lain pergi ke kedua ikon Paris itu, saya memilih untuk menghabiskan satu hari terakhir di ikon Paris yang lain: Museum du Louvre, yang merupakan plot setting buku dan film “The Da Vinci Code” karya penulis novel favorit saya Dan Brown.
Di sana, di antara ribuan karya hebat ratusan orang besar dari berbagai abad, menanti sebuah lukisan masterpiece dari seorang legenda dunia bernama Leonardo Da Vinci: Monna Lisa (“Le Joconde” dalam bahasa Perancis). Tak percuma saya harus “berjuang” di tengah kerumunan pengunjung untuk mendapat tempat tepat di depan tatapan mata yang terkenal itu, di sebuah museum megah yang bercerita banyak kepada saya tentang sejarah peradaban manusia…