Tepatkah “Merayakan” Natal?

cross-shadow-on-manger-jesus-16016320-698-507
www.fanpop.com

Minggu lalu saya berdialog kecil dengan putri saya Mita:

Mita     : “Papa, kapan kita pasang pohon Natal-nya?”

Saya   : “Iya nanti kita pasang, Nak. Tapi yang penting, adek tahu bahwa pohon Natal itu cuma aksesoris. Yesus ngga minta kita ber-Natal dengan pohon-pohonan, atau dengan makanan ini itu, atau baju baru. Hati adek yang harus ber-Natal.”

Mita     : “Maksudnya, Pa?”

Saya   : “Maksudnya, hati adek yang harus siap menyambut Natal. Natal itu kan mengingat kelahiran Yesus ke dunia, nah, berarti hati adek harus selalu terbuka untuk Yesus. Karena Yesus membawa kasih dan damai sejahtera, maka kita juga harus begitu. Yesus kan lahirnya malah di kandang domba yang sederhana, hidupnya juga ngga bermewah-mewah. Matinya di kayu salib. Makanya, lucu kan kalau kita Natalan malah dengan berfoya-foya, menghias ini itu? Emangnya adek mau menyambut manusia atau menyambut Tuhan? Hehehe…”

Mita     : “Ooooo… Trus, pohon Natal-nya kita pasang ngga?”

Saya   : “Kalau mau pasang ya ngga papa, ngga pasang juga ngga masalah.”

————————————————————————

Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani di seluruh dunia “merayakan” Natal. Adalah sebuah pemandangan yang jamak bahwa pada hari itu (plus tanggal 24 malam), gereja-gereja penuh sesak, rumah-rumah berbenah dengan pohon Natal (atau pohon terang), ibu-ibu sibuk memesan dan menata kue, dan anak-anak sibuk berdandan dengan baju barunya. Bagi banyak orang di era modern ini, Natal adalah momen perayaan, selebrasi, dan bahkan “show-off” hehehe…

Bagi saya pribadi, Natal adalah sebuah isyarat atau perlambang batiniah ketimbang lahiriah. Natal bukan persoalan pohon terang, makanan enak, baju baru, kado, dan sebagainya.   Belum ada juga bukti otentik dan ilmiah tentang kepastian tanggal lahir Yesus di kalender Masehi.   Namun apapun itu, adalah sebuah fakta sejarah bahwa Yesus Kristus telah terlahir ke dunia (setidaknya dua agama besar mengakui itu: Islam yang mengenal Yesus sebagai Nabi Isa AS, dan agama Kristen itu sendiri). Jadi, terlepas dari kesahihan ilmiahnya, Natal dalam perspektif kelahiran Yesus Kristus adalah fakta nyata.

Saya lebih suka untuk mengatakan bahwa Hari Natal (sebagaimana hari-hari besar agama lainnya) semestinya kita “maknai”, bukan “rayakan”. Tanggal berapapun Natal itu, itulah saat setiap mereka yang percaya memaknai dalam hatinya betapa Tuhan Sang Pencipta Kehidupan begitu mencintai kita dengan menghadirkan kasih melalui seorang bayi mungil di Bethlehem bernama Yesus Kristus. Tuhan yang begitu penyayang mau merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia: lahir dengan sederhana, menjalani kehidupan yang keras, dan mati dengan bilur-bilur luka. Itu adalah bentuk pengorbanan yang tak akan mampu ditiru oleh siapapun, dan sebuah manifestasi cinta yang hakiki.

Sejarah yang tercatat tentang kelahiran Kristus sendiri jauh dari kesan mewah atau berada. Yusuf dan Maria (ayah dan ibu Yesus) harus berjalan jauh sebelum tiba di Bethlehem karena sudah waktunya bagi Maria untuk melahirkan anak dalam kandungannya. Tak ada yang mau memberi tempat bagi kedua orang asing ini sebelum akhirnya mereka mendapatkan sebuah kandang domba, dan di situlah Maria melahirkan bayinya. Yang pertama menjenguk bayi Yesus pun adalah para gembala, perlambang begitu dekatnya Tuhan dengan mereka yang kecil dan dianggap hina. Beberapa hari setelahnya, Tuhan mendatangi Yusuf melalui mimpi bahwa ia harus segera membawa bayi Yesus keluar dari sana karena Raja Herodes telah memerintahkan untuk membunuh semua bayi di bawah dua tahun di Bethlehem. Yesus selanjutnya besar sebagai seorang warga Nazareth, hingga Dia dikenal sebagai “Yesus Orang Nazareth”.

Pengingatan umat Kristiani tentang Natal mengalami metamorfosis yang sarat dengan campuran budaya lokal, khususnya di Eropa sejak abad ke-3 atau ke-4 Masehi. Dari situlah muncul penggunaan pohon cemara yang dihiasi dengan berbagai ornamen dan lampu-lampu sehingga sebagian orang menyebutnya “pohon terang”. Dari sana pula muncul tradisi pemberian kado-kado Natal, serta “pemberian Tuhan” lewat figur Santa Klaus atau Sinterklas (awalnya bernama Santa Nikolas). Saking lamanya tradisi itu berjalan, hari ini Natal identik dengan semua kebendaan itu, dan celakanya, substansi pesan Natal itu sendiri terkikis dalam benak umat Kristen.

Bagi saya, substansi Natal ada dua: pertama adalah KASIH, kedua adalah PERUBAHAN. Tuhan menunjukkan kasihNya sehingga Dia mengirimkan anakNya yang tunggal ke dunia untuk menjadi sama dengan manusia, dan mengangkat dosa-dosa manusia melalui kematianNya di kayu salib. Tuhan juga hadir dalam wujud Yesus Kristus (sesuai filosofi Trinitas Ketuhanan dalam keyakinan Kristen) untuk menghadirkan perubahan ke dunia yang sudah penuh dengan pemahaman yang salah, kesesatan jalan hidup, serta penyimpangan-penyimpangan akidah. Itulah pijakan terpenting—menurut saya—kala kita memperingati Natal Kristus. Bukan semata-mata kehadiran ragawiNya ke dunia yang kita peringati (terlepas apakah benar Kristus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak), melainkan kelahiran pesan-pesan moral bagi dunia yang sudah penuh cemar.

So, hendaklah kita ber-Natal setiap hari, dalam arti membawa semangat kasih dan gairah untuk membuat perubahan yang positif dari waktu ke waktu. Tanggal 25 Desember hanyalah sebuah tanggal pengingat, bahwa Tuhan begitu peduli pada dunia kita, pada hidup kita, dan apapun yang terjadi pada umat ciptaanNya. Yesus lahir dan hidup selama lebih kurang 33 tahun bukan dalam kemewahan, dan bukan pula melalui jalan hidup yang mudah.   Jadi aneh rasanya bahwa Natal justru “dirayakan” dengan aneka aksesoris mewah, gemerlap lampu dan tumpukan kado.

Natal bagi saya adalah saat paling tepat untuk mengingat kembali penyertaan Tuhan dalam rentang waktu yang telah berlalu, yang tak habis-habis bagai air sungai yang setia mengalir. Saya tahu, banyak orang yang di hari itu justru sedang merasakan derita karena bencana alam, kelaparan, kehilangan orang-orang terkasih, dan hidup dalam kekurangan. Natal ini, seperti sebelum-sebelumnya, saya hanya bisa memanjatkan doa yang paling tulus dari lubuk hati saya untuk mereka, seraya berharap mereka tetap setia dalam keyakinan bahwa Tuhan tidak sedang meninggalkan mereka. Natal ini, saya mengirimkan doa terbaik saya untuk semua yang saya kasihi, dan semua orang yang sedang menjerit meminta Tuhan menjawab pergumulan mereka.

Kalaupun pada Natal ini anda belum dapat “merayakannya”, tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kalaupun hari Natal anda tanpa pohon terang, tanpa makanan enak, tanpa kado, atau tanpa orang-orang tersayang di dekat anda, Natal itu tetap ada dan tetap nyata. Selama anda percaya dan membuka hati anda selebar-lebarnya untuk kedatangan Tuhan dengan kasih, semangat serta keselamatan yang dibawaNya, maka anda justru telah ber-Natal dengan jauh lebih baik ketimbang mereka yang hanya “memahami” Natal dengan pernak-pernik kebendaan semata.

Percayalah bahwa Tuhan itu setia, dan Natal itulah buktinya. Selamat memaknai Natal, saudara-saudaraku terkasih…

2 Replies to “Tepatkah “Merayakan” Natal?”

  1. Terima kasih atas tulisan Bapak. Tulisan Bapak mengenai Natal sangat bermanfaat dan patut diteladani. Saya dan keluarga mau meneladaninya.

    Natal yang diperingati dan dirayakan sepanjang tahun sampai Maranatha, menrut saya, juga mempunyai substansi selamat (keselamatan). Tanpa kedatangannya 2000 tahun lalu, maka tdk ada jalan keselamatan bagi umatNya yang percaya padaNya. Selain Kasih dan perubahan, ada keselamatan bagi yang melakukan kasih dan bagi yang berubah. Selamat Natal 25 Des 2014. Sukses selalu menyertai Bapak dan keluarga.

    1. Terima kasih masukannya Pak, saya setuju sekali. Natal adalah untuk semua orang tanpa memandang kelas, status sosial atau apapun, selama ia percaya. Mari menyambut Tuhan dalam hati & hidup kita setiap saat: menyebar kasih, membawa perubahan, & menuju keselamatan. Mari ber-Natal, tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga semua di sekitar kita. Tuhan menyertai Bapak sekeluarga.

Leave a Reply to Jon Keneddy Ginting Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *