Sugeng sonten Mas Didi Kempot yang sangat saya hormati dan kagumi,
Mau memberitahu sampeyan aja bahwa pagi ini saya syok banget membaca berita tentang kepergianmu. Baru kemarin saya menyaksikan video klip Anda “Ojo Mudik” yang berisi himbauanmu untuk tidak mudik di tengah pandemi Covid-19 ini. Belum lama juga saya menambahkan beberapa lagumu di playlist Youtube Music saya. Lalu juga belum hilang dari ingatan saya menonton konser amal Anda di Kompas TV yang menghasilkan 7,5 miliar rupiah hanya dalam 3 jam untuk disumbangkan bagi penanggulangan wabah saat ini.
Sejauh ini Mas Didi, tulisan ini adalah tulisan pertama yang saya buat dengan mata berkaca-kaca, bahkan saya sudah beberapa kali menyeka air mata saya. Ngga tau kenapa, tapi yang jelas Anda adalah selebritis Indonesia pertama yang saya kagumi. Memang saya sudah kenal lagu-lagu lama Anda seperti “Stasiun Balapan” atau “Sewu Kuto” sejak dulu, bahkan itu lagu-lagu favorit saya kalau berkaraoke bersama keluarga. Tapi sejak anak laki-laki saya mengenalkan beberapa lagu Anda lagi yang dia suka seperti “Kalung Emas”, “Layang Kangen”, “Banyu Langit”, “Cidro” dan tentu saja “Pamer Bojo” yang selalu bikin heboh itu, saya menjadi lebih intens mengikuti karya-karya Anda.
Lalu saya menjadi salah satu subscriber channel Youtube Anda, dan lagu serta suara Anda seolah bagian dari hidup saya sehari-hari sekarang. Perjalanan saya di mobil ke manapun selalu diisi suara Anda. Bekerja di kantor juga diiringi suara Anda. Menunggu istri belanja juga diisi suara Anda di earphone saya. Di rumah, buka Youtube ya cuma untuk mencari lagu Anda. Anda memberi keceriaan, hingga pagi sebelum saya tulis surat ini, di mana untuk pertama kalinya berita tentang Anda menghadirkan kesedihan yang mendalam.
Saya belum pernah bertemu Anda. Juga belum sempat nonton konser Anda. Saya baru meniatkan untuk menonton konser Anda secara live, berdua dengan anak laki-laki saya, tapi Anda telah lebih dulu berpulang. Meski demikian, bagi saya Anda sangat istimewa, seperti halnya bagi “Sobat Ambyar” yang lain. Semakin mengikuti karya-karya Anda, semakin banyak alasan saya untuk memandang Anda sebagai sebuah sosok yang berbeda. Anda bukan sekedar selebritis, bukan sekedar artis atau penyanyi biasa. Anda adalah idola, inspirasi, dan pendobrak. Tak heran meski usia Anda berjarak cukup jauh dengan sebagian besar generasi milenial penggemar Anda, Anda bisa begitu dekat dengan mereka.
Saya pernah menonton wawancara Anda yang dipandu oleh Gofar Hilman, penyiar radio Hard Rock FM Jakarta. Itu saat Anda banyak bercerita tentang masa lalu Anda, bagaimana Anda menciptakan lagu-lagu Anda, dan bagaimana sikap Anda ketika banyak penyanyi lain mengambil keuntungan dari lagu-lagu yang Anda ciptakan. Semua cerita Anda itu adalah “Wow” buat saya. Banyak lagi cerita-cerita yang Anda sampaikan di berbagai kesempatan, kepada berbagai presenter, yang semuanya menggambarkan satu hal di mata saya: Anda adalah orang yang apa adanya.
Kostum Anda selalu sederhana. Kaos, kemeja atau batik, itu yang paling sering saya lihat. Paling mewah ya busana Jawa lengkap dengan blangkon-nya. Gaya Anda tidak dibuat-buat, entah itu saat manggung atau saat interview. Anda berbicara sebagaimana Anda berbicara sehari-hari. Logat Jawa Anda sangat kentara, dan itu tidak berusaha Anda tutupi. Boso londone: “genuine”. Seandainya waktu bisa diputar dan kita bisa melihat Anda di masa lalu, saya yakin tidak akan melihat banyak perbedaan dengan apa yang saya lihat dari Anda saat ini. Seorang Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot yang orang-orang sekitar Anda kenal sejak Anda kecil adalah orang yang sama dengan yang dikenal generasi milenial hari ini.
Anda membuktikan bahwa menjadi “apa adanya” tidak akan membuat kita hina. “Apa adanya” Anda justru menjadi pembeda Anda dari seleb-seleb lain yang cuma sibuk bikin sensasi, pamer ini itu, bikin berita plesir kesana kemari, tapi miskin prestasi. Seleb-seleb yang—buat saya—cuma bikin sakit mata kalau buka situs berita. Anda hanya tahu bagaimana berkarya, bikin lagu-lagu yang bertema sederhana dengan bahasa yang sangat gampang dicerna, yang menggambarkan hal-hal realistis dalam hubungan antar umat manusia. “Apa adanya” Anda membuat musik Anda tidak lekang oleh modernisasi jaman.
Anda tidak sibuk mencitrakan diri Anda, meski Anda tahu penggemar Anda jutaan, tidak hanya di dalam tapi juga luar negeri. Anda mungkin tidak kepikiran bikin channel Youtube kalau tidak ada yang memberi masukan dan membuatkannya untuk Anda (itu feeling saya lho Mas). Anda tidak pernah memposisikan diri Anda di atas yang lain. Anda penuh dengan empati dan apresiasi terhadap orang lain. Gaya Anda di panggung juga “begitu-begitu saja”. Tapi itulah hebatnya Anda, Mas Didi. Anda memang tidak perlu membuat yang “aneh-aneh” di panggung atau di luar panggung, karena Anda sudah ditakdirkan membawa perbedaan dalam diri Anda sendiri.
Ketika karya Anda dijadikan bahan mencari keuntungan oleh orang lain, Anda hanya senyum-senyum saja. Tapi Anda terus berkarya dan berkarya. Anda meyakini bahwa keuntungan yang didapat orang lain dengan karya Anda adalah amalan untuk Anda. Suatu sifat yang hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, orang-orang besar. Sebuah karakter yang orang-orang dengan label atau atribut “pejabat”, “orang penting”, “wakil rakyat” bla bla bla sekalipun belum tentu memilikinya. Karakter yang menunjukkan bahwa Anda adalah seorang pemenang.
Anda dibesarkan dengan karya Anda. Anda dididik oleh kehidupan Anda sendiri, yang keras dan penuh pahit getir. Mengamen di jalanan, di bis kota, mengadu nasib dan ngekos di kamar sempit di Jakarta, ditolak label rekaman, dan berbagai cerita pahit lainnya. Itu yang membesarkan Anda, dan menjadikan Anda seperti sekarang. Didi Kempot yang sederhana, apa adanya, penuh empati, merakyat dan bisa dekat dengan siapa saja meskipun ngetop-nya sudah ngga ketulungan.
Dari Anda, saya semakin yakin bahwa menjadi diri sendiri adalah yang utama bagi setiap orang, karena kita tidak akan pernah menjadi sama dengan orang lain, sekeras apapun kita mencobanya. Dan kita memang tidak perlu mencoba menjadi seperti orang lain. Tuhan menciptakan diri kita berbeda dengan yang lain, dan di dalamnya Tuhan menanam benih-benih talenta, berkat, dan kelebihan sejak kita dilahirkan. Tidak perlu mengeluhkan apa yang tidak kita punya, karena pada dasarnya orang lainpun banyak yang tidak memiliki apa yang kita miliki. Menjadi diri sendiri adalah tentang bagaimana kita menghargai dan mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan untuk kita, dalam wujud lahir dan bathin kita.
Anda memberi teladan bagaimana mencintai apa yang kita kerjakan. Anda memberi jiwa di setiap lagu Anda, bukan sekedar rangkaian nada dengan lirik yang hampa. Anda mengangkat hal-hal yang sehari-hari ada dalam kehidupan kita, sehingga tidak sulit bagi siapapun untuk mencernanya. Lirik, nada, dan musik-musik Anda simpel, tidak rumit, dan sekalipun sebagian besar dalam Bahasa Jawa, semua orang bisa memahaminya. Itu karena musik adalah sesuatu yang Anda tekuni dengan cinta, passion, sehingga siapapun yang mendengar lagu Anda serasa sedang mendengarkan sebuah seruan hati, bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tidak aneh bila anak-anak muda sekalipun bisa menangis di konser Anda, dan tidak aneh pula bila karya-karya Anda bisa diterima berbagai kalangan, mulai kaum elite sampai masyarakat kebanyakan, menerjang batas usia, suku, etnis, agama, bahkan batas negara.
Anda memberi contoh bagaimana membangun hidup yang bermanfaat bagi banyak orang. Musik Anda sendiri sudah menjadi sumber hiburan jutaan manusia. Ditambah lagi empati Anda yang luar biasa bagi mereka yang berkekurangan. Anda mengadakan konser amal dari rumah untuk mereka yang terdampak wabah belakangan ini, dengan “menawarkan” suara dan lagu-lagu Anda. Anda bahkan “membiarkan” orang lain memanfaatkan lagu Anda untuk keuntungannya sendiri, tanpa minta ijin atau memberi tahu Anda. Lagu-lagu Anda adalah representasi suara banyak orang, corong untuk berbagai jeritan.
Dari Anda pula saya memiliki optimisme akan generasi muda kita, yang dengan bangga melabelkan diri mereka sebagai “Sadbois” dan “Sadgirls” dalam komunitas besar “Sobat Ambyar”. Mereka adalah perlambang bahwa musik kita, sekalipun dengan genre tradisional kedaerahan, masih mendapat tempat istimewa di hati kalangan muda. Saya selalu takjub melihat setiap video konser Anda, di mana anak-anak muda itu tidak hanya berjoget, melainkan hafal setiap kata di lagu yang Anda nyanyikan. Mereka luar biasa, dan itu karena Anda.
Sekarang, mendengarkan lagu-lagu Anda tak akan terasa sama lagi. Kalau dulu mendengarkan lagu-lagu Anda adalah keceriaan, atau tangisan suara hati, kini mendengarkan lagu-lagu Anda akan terasa seperti merangkai mozaik kenangan. Kenangan yang Anda tinggalkan di setiap lirik lagu Anda, kenangan akan seseorang yang sederhana yang mencintai pekerjaannya, dan membaktikan hidupnya untuk kemaslahatan banyak orang. Ya, sekarang mendengarkan lagu Anda adalah sebuah kilas balik mengenang seorang legenda, seorang “Maestro”, seorang musisi hebat yang setia menjadi dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Sang Pencipta yang sangat mencintaimu lebih memahami apa yang terbaik. CintaNya jauh lebih besar dari cinta para penggemarmu. Bila kemarin orang menangis karena lirik lagu Anda, sekarang orang menangis karena Anda. Terima kasih, Mas Didi. Selamat jalan dan selamat beristirahat dalam kedamaian, The Godfather of Broken Heart.
Ati sing ambyar sak ambyare, 5 Mei 2020
Komplit mas bro???
Matur suwun masbro…
Tulisane sampeyan yo “genuine” Lur… jadi ikut ambyar membacanya…
Merci lur…