INTERMEZZO: WHAT UNIQUELY COMES BETWEEN LINCOLN AND KENNEDY

Abraham Lincoln masuk Kongres AS tahun 1846.
John F. Kennedy masuk Kongres AS tahun 1946.

Abraham Lincoln terpilih menjadi Presiden AS tahun 1860.
John F. Kennedy terpilih menjadi Presiden AS tahun 1960.

Keduanya sangat peduli hak-hak sipil.
Kedua istri mereka kehilangan anak saat di Gedung Putih.

Kedua presiden ditembak hari Jumat.
Kedua presiden ditembak di kepala.

Mmmmm… What’s next?

Sekretaris Lincoln bernama Kennedy.
Sekretaris Kennedy bernama Lincoln.

Keduanya dibunuh oleh orang dari daerah selatan.
Keduanya digantikan oleh orang selatan dengan nama Johnson.

Andrew Johnson, pengganti Lincoln, lahir tahun 1808.
Lyndon Johnson, pengganti Kennedy, lahir tahun 1908.

John Wilkes Booth, yang membunuh Lincoln, lahir tahun 1839.
Lee Harvey Oswald, yang membunuh Kennedy, lahir tahun 1939.

Kedua pembunuh terkenal dengan tiga namanya.
Nama keduanya terdiri dari 15 huruf.

Then what???

Lincoln ditembak di teater bernama ‘Ford’.
Kennedy tertembak di mobil ‘Lincoln’ dibuat oleh ‘Ford’.

Lincoln tertembak di teater dan pembunuhnya bersembunyi di gudang.
Kennedy tertembak dari sebuah gudang dan pembunuhnya bersembunyi di teater.

Booth dan Oswald terbunuh sebelum diadili.

And you know what…?

Seminggu sebelum Lincoln tertembak, dia berada di Monroe, Maryland.
Seminggu sebelum Kennedy tertembak, dia bersama Marilyn Monroe.

That’s life anyway….

HUMAN ERROR ATAU HUMAN FACTOR?

Human error.   Dua kata itu adalah kata-kata yang cukup sering kita dengar dalam dunia penerbangan.   Frasa ini juga menjadi frasa yang cukup menakutkan bagi insan penerbangan, karena human error sering dituding menjadi penyebab sejumlah kecelakaan pesawat yang tak jarang berakibat hilangnya nyawa satu atau bahkan banyak orang sekaligus.   Namun apakah kita tahu, apakah human error itu ?

Pada saat sebuah kecelakaan (accident) pesawat dinyatakan terjadi karena human error, pemikiran kita akan langsung tertuju pada awak pesawat tersebut: pilot atau awak pesawat yang lain saat itu.   Sementara orang yang berpikir sedikit lebih luas akan memasukkan pula elemen-elemen seperti : pertugas meteorologi, pengatur lalu lintas udara (air traffic controller) dan lain-lain.   Pada dasarnya, kedua pemikiran itu sama sempitnya, sama kontra-produktifnya dan sama salahnya dengan pelaku human error itu sendiri.   Lantas, bagaimana?

 

Safety dalam Teknologi Penerbangan

Dalam teknologi modern, khususnya teknologi penerbangan, masalah safety menjadi sangat krusial dan vital.   Setidaknya ada dua alasan untuk ini:

  1. penerbangan—“menaklukkan” udara dan beraktivitas di dalamnya—bukanlah kodrat alami manusia yang ditakdirkan untuk hidup dan berkembang di daratan.
  2. teknologi untuk terbang—seperti juga teknologi yang lain—adalah semata-mata buatan manusia, yang memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan, seperti manusia itu sendiri.

Dua alasan pokok itu membuat manusia harus lebih peduli terhadap masalah safety, baik dalam pekerjaan-pekerjaan di darat (pre flight dan post flight check atau pemeliharaan pesawat) maupun saat terbang itu sendiri.   Falsafah “the sky is vast but there’s no room for error” adalah sebuah aksioma penerbangan yang berlaku terus selama penerbangan itu ada.   Semakin berkembang dan maju sebuah teknologi, semakin penting pula untuk concern terhadap masalah keselamatan terbang dan kerja, dan itu dapat dilakukan hanya dengan pemahaman yang baik tentang human error.

Amat bijak bila kita tidak terlalu jauh dulu menyebut human error.   Mungkin lebih tepat bila kita sebut human factor (faktor manusia) yang terlibat dalam hampir setiap kecelakaan penerbangan.   Faktanya memang demikian.   Barulah, 80% diantaranya adalah human error.   Ada bedanya, kan?   Faktor manusia ini memang tidak perlu diragukan karena bagaimanapun teknologi penerbangan dan perangkat pendukungnya (pesawat, ground power unit, radio, runway dan sebagainya) adalah ciptaan manusia.   Seluruh manual dan petunjuk operasi pesawat dan perangkat pendukungnya juga buatan manusia.  Kegiatan inspeksi, pemeliharaan dan penyiapan pesawat serta perangkat pendukung itu juga dilakukan manusia.   Saat pesawat terbang, yang menerbangkannya juga manusia.

 

Elemen-elemen Dasar Human Factor

Faktor manusia tadi terbagi dalam dua kelompok besar yang selalu terlibat dalam setiap accident:

1.   Unsafe Conditions.   Kondisi-kondisi yang termasuk dalam kelompok unsafe conditions antara lain:

  • Organizational failures.   Kegagalan ini dihasilkan dari kebijakan-kebijakan (policy) dan tindakan yang diambil organisasi atau manajemen.   Organisasi atau sebuah manajemen selalu memiliki pemimpin atau manajer.   Kebijakan seorang manajer atau pemimpin selalu berpengaruh signifikan dalam pembinaan safety dalam sebuah organisasi.
  • Local factor, yang meliputi kondisi lingkungan kerja, kekurangan perlengkapan kerja atau minimnya prosedur yang digunakan.   Faktor lokal ini dapat berupa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan (error-producing factors) seperti tools atau perlengkapan yang berkualitas rendah, mudah rusak dan sebagainya atau faktor yang dapat menyebabkan pelanggaran (violation-producing factors) seperti peraturan setempat yang mungkin dianggap terlalu hati-hati (over cautious).
  •  Inadequate defences, yang dapat mencegah terjadinya kesalahan manusia maupun kesalahan teknis.   Defence ini dapat berupa publikasi (manual/petunjuk teknis maupun operasi), budaya disiplin, supervisi kerja dan profesionalisme.

2.   Unsafe Actions.   Unsafe actions banyak digolongkan para ahli sebagai active failures yang dilakukan oleh para “operator” penerbangan (tidak hanya pilot, tapi bisa juga teknisi, operator ATC, petugas bagasi dan sebagainya).   Faktor lingkungan (unsafe conditions) jelas berperan penting terhadap unsafe actions ini, namun demikian ada faktor internal dalam diri manusia itu sendiri yang juga dapat memberi kontribusi terhadap kegagalan aktif ini, antara lain:

  • Memory lapse.   Kealpaan mengingat sesuatu ini dapat terjadi bila seseorang insan penerbangan melakukan sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya, sehingga hal-hal yang sudah direncanakan justru terlewatkan.
  • Action slips.   Biasanya terjadi pada pekerjaan yang amat rutin dan terlalu familiar bagi seorang awak pesawat (prosedur start yang sudah “di luar kepala” atau melakukan hal-hal rutin lainnya).   Yang juga masuk dalam kategori ini adalah rasa percaya diri yang berlebihan (over confident).   Ingat kecelakaan jatuhnya pesawat pembom B-52 USAF pada bulan Juni 1994 akibat sang pilot yang terbiasa bermanuver “gila”.
  • Expertise.   Bila sebuah pekerjaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak qualified, dengan pengetahuan dan keterampilan yang minim, akibatnya bisa fatal.   Itulah pentingnya menempatkan “the right man on the right place” dalam dunia (bisnis) penerbangan.

Faktor-faktor di atas adalah penggolongan umum terhadap sedemikian banyak icon yang terlibat dalam sebuah kecelakaan penerbangan.   Kita dapat melihat, dalam setiap kelompok itu, faktor manusia selalu ada.

 

Apa Yang Dapat Kita Lakukan?

Jalan keluar dari persoalan human factor ini adalah pembinaan sumber daya manusia yang baik.   “Baik” berarti terarah dan berimbang.   Dalam tataran yang lebih praktis, hal-hal ini wajib dilakukan oleh siapapun yang ingin terlibat dalam dunia penerbangan :

  • Ciptakan manajemen yang baik.   Mulai dari struktur terkecil (dalam sebuah pesawat yang sedang terbang), penerbangan selalu membentuk sebuah manajemen.   Dalam sebuah pesawat angkut misalnya, ada Captain Pilot sebagai flight leader.   Lalu ada Copilot sebagai pembantu utamanya.   Ada flight engineer yang bertanggungjawab atas sistem teknis dalam pesawat.   Bila tidak ada manajemen yang baik, misalnya seorang pilot yang tidak memberi kepercayaan pada engineer-nya sehingga mencampuri kewenangan si engineer, akibatnya bisa fatal.   Begitu pula bila seorang engineer tidak memberi saran apapun pada pilot saat ada masalah teknis dalam penerbangan.   Di darat, manajemen perusahaan (institusi) juga berpengaruh signifikan.   Bila ada keterbukaan antara personel lapangan dengan para manajer, para awak pesawat dapat terbang dengan tenang dan penuh konsentrasi.   Sebaliknya, bila bawahan mendapat terlalu banyak tekanan (menyelesaikan pekerjaan dengan dead time yang pendek), atau pembatasan-pembatasan yang berlebihan (tidak diijinkan cuti, dsb) maka dampaknya bisa terbawa saat bawahan tersebut harus terbang atau melakukan pekerjaan di pesawat.   Ingat, tidak ada tempat sekecil apapun untuk sebuah kesalahan dalam dunia penerbangan!   Manajemen yang baik harus menjalankan mekanisme persuasif dan perintah secara seimbang.
  • Peka terhadap lingkungan anda.   Sudah berlaku umum bahwa lingkungan kerja yang baik, rapi dan nyaman akan membuat siapapun di dalamnya bekerja dengan tenang.   Prestasi kerjapun bisa dijamin akan baik dalam lingkungan kerja yang seperti ini.   Kenyamanan bekerja dapat diciptakan dengan berbagai cara, antara lain:
  1. Semaksimal mungkin penuhi kebutuhan bawahan, tentu saja dengan melihat aspek kepentingan organisasi secara menyeluruh (kekuatan finansial, orientasi ke depan dan sebagainya).   Upayakan mereka memiliki kelengkapan kerja yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas.   Begitu pula hak-hak seperti tunjangan kesehatan, keahlian sampai pada tunjangan hari raya (THR) dan gaji.   Pemenuhan hak seperti ini setidaknya membantu mereka meminimalisir persoalan mereka, khususnya dalam hal keuangan.
  2. Jangan membuat regulasi-regulasi yang terlalu mengekang hak-hak bawahan.   Kadang-kadang seorang pemimpin memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap tingkat disiplin bawahan, sehingga dikeluarkanlah regulasi-regulasi yang memberi terlalu banyak batasan kepada bawahan yang mengakibatkan bawahan cenderung memendam persoalan-persoalan pribadi mereka.   Membiarkan hal seperti ini adalah sama dengan menyimpan sebuah bom waktu yang suatu hari akan meledak.
  • Bentuk “pertahanan” yang fleksibel.   Memang tidak baik mengekang bawahan dengan regulasi yang terlalu mengikat, namun juga tidak baik membiarkan bawahan melakukan kemauan mereka sendiri-sendiri.   Harus ada konsekuensi yang tegas dan keras terhadap setiap pelanggaran.   Bila sebagai pemimpin anda telah merasa memenuhi segala hak mereka, anda berhak menuntut prestasi kerja maksimal dari mereka.   Begitu pula anda berhak menuntut mereka menjalankan kewajiban sebagai bawahan (masuk kerja dan pulang tepat waktu dan lain-lain).    Ini adalah bentuk hubungan 2 arah yang senergis dalam sebuah organisasi.   Dalam hal pekerjaan, anda harus percaya pada para inspector yang anda miliki.   Mereka memang dilatih untuk menilai kualitas kerja para mekanik di lapangan.

 

Good Management = No organizational accident

Sepanjang unsafe conditions dapat kita hilangkan, saat itu pula kita telah menghilangkan kemungkinan munculnya unsafe actions.   Ini terjadi karena manajemen yang baik dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan moril dan materiil setiap individu di dalamnya, sehingga mereka akan memiliki motivasi untuk memberikan yang terbaik bagi institusi tempatnya bekerja.

Kiranya benarlah apa yang disampaikan oleh Jerome C. Lederer, direktur pertama Safety Bureau of Civil Aeronautics Board USA bahwa “an accident, no matter how minor, is a failure of the organization”.   Menyikapi masalah human factor, berarti kita berbicara dan bertindak terhadap manusia di sekeliling kita.   Untuk itu, perlu sebuah manajemen yang baik, rapih dan terarah untuk dapat “memanusiakan manusia” sehingga tujuan yang ingin kita capai berupa keberhasilan misi penerbangan—dan misi kedirgantaraan secara lebih luas—dapat kita wujudkan dengan selamat.

Dalam dunia penerbangan, masalah human factor tidak semata-mata tentang individu-individu manusia, tapi lebih kepada sistem di mana “human” itu berada.   Selamat terbang!

REFORMASI BIROKRASI TNI: IMPLEMENTASI DAN KENDALA MENUJU PERUBAHAN

Pendahuluan

1.         Sebagai salah satu institusi pemerintah, dinamika organisasi TNI sejalan dengan dinamika lembaga pemerintah RI lainnya. Salah satu dinamika nasional yang turut berpengaruh pada organisasi TNI adalah gerakan reformasi nasional sebagai dampak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Dinamika ini telah membawa TNI untuk melaksanakan program reformasi yang sama dalam rangka memposisikan diri secara tepat dan mengoptimalkan perannya dalam tatanan kehidupan nasional. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan di lingkungan TNI meliputi aspek doktrin, struktur dan kultur yang sejalan dengan kebijakan reformasi birokrasi nasional guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.  Aspek doktrin meliputi penyempurnaan peranti lunak dan mekanisme kerja sebagai pengejewantahan berbagai peraturan dan perundangan-undangan baik doktrin, buku petunjuk dan prosedur tetap yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas. Aspek struktural meliputi berbagai pembenahan di bidang struktur organisasi, disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi secara nasional, agar tercipta tata laksana yang efektif dan efisien. Sedangkan aspek kultural diarahkan pada perubahan mindset prajurit dan kepatuhan terhadap hukum dan HAM serta disiplin prajurit dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

2.         Seiring dengan Reformasi Birokrasi Nasional, Reformasi Birokrasi TNI juga dilaksanakan secara konseptual, gradual dan konstitusional dengan berpegang pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi.  Mabes TNI telah melengkapi berbagai dokumen yang diperlukan untuk diusulkan secara terpadu kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan dan RB), selanjutnya bersama Tim RB TNI berkoordinasi dengan Tim Kempan dan RB serta Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara terus menerus untuk penyelarasan job grading (kelas jabatan personel TNI) per satuan kerja (satker) secara riil sesuai dengan DPP Gaji. Program Reformasi Birokrasi TNI dilaksanakan dengan mengacu pada 9 (sembilan) program Reformasi Birokrasi Nasional.

3.         Beberapa dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI adalah sebagai berikut:

a.         Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

b.         Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI.

c.         Permenpan nomor Per/15/M.Pan/7/2008 tanggal 10 Juli 2008 tentang Buku Panduan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.

d.         Permenpan nomor Per/4/M.pan/4/2009 tanggal 7 April 2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

e.         Surat Panglima TNI nomor B/3038-03/02/66/Sru tanggal 17 September 2009 tentang Laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI.

f.          Keputusan Panglima TNI nomor Kep/692/IX/2011 tentang Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI.

 

 

Program dan Kegiatan Reformasi Birokrasi TNI

4.         Pada bulan September 2009 ketiga angkatan secara terpadu melalui Mabes TNI telah mengirimkan laporan pelaksanaan Reformasi Birokrasi kepada Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang diperlukan.  Tim Reformasi Birokrasi Nasional menindaklanjuti laporan tersebut dan berkoordinasi dengan Tim Reformasi Birokrasi TNI untuk melaksanakan proses pematangan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI, dengan kegiatan sebagai berikut:

 

a.         Mensosialisasikan Program Reformasi Birokrasi TNI ke Satuan Jajaran TNI.            Pelaksanaan sosialisasi reformasi birokrasi TNI dilaksanakan secara berjenjang oleh Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI yang dibentuk pada tingkat Mabes TNI, Mabes Angkatan, dan Komando Utama (Kotama). Kegiatan sosialisasi dilaksanakan secara intensif sejak bulan September sampai dengan bulan Desember 2009 kepada satuan jajaran TNI. Adanya keinginan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi TNI mengakibatkan dinamisasi yang sangat tinggi untuk mendapatkan kesesuaian konsep antara TNI dengan Kempan & RB maupun BKN.   Dari dinamisasi tersebut maka sosialisasi ke satuan jajaran TNI yang sudah dilaksanakan perlu lebih diintesifkan kembali agar perkembangan yang ada dapat diketahui dan dipahami hingga satuan yang paling bawah.

 

b.         Menyelaraskan Job Grading. Setelah mempelajari laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di lingkungan TNI dan dokumen-dokumen pendukungnya, Kempan & RB serta BKN selanjutnya memberikan arahan dan koreksi tentang sistem pembobotan jabatan atau grading.  Untuk penyelarasan grading jabatan personel TNI maka dilaksanakan rapat koordinasi dan konsultasi secara terus menerus untuk memperoleh kesepahaman tentang penggunaan Factor Evaluation System (FES) yang digunakan oleh Kempan & RB serta BKN maupun Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI. Selanjutnya guna pemutakhiran data maka Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI mengirimkan  data riil DPP Gaji Personel TNI dalam bentuk soft copy sesuai dengan permintaan Tim Kempan & RB dan BKN sebagai bahan persyaratan administrasi.

 

c.         Asistensi Kempan & RB dan BKN Dengan Satuan Jajaran TNI. Tim Reformasi Birokrasi dalam kegiatannya memerlukan pendalaman secara riil di lapangan dengan melaksanakan kegiatan ke satuan jajaran TNI. Tim RB TNI dalam kegiatan tersebut telah mendampingi Tim Kempan & RB dan BKN untuk mengunjungi Satuan Komunikasi dan Elektronika (Satkomlek) TNI pada tanggal 12 Mei 2009.  Hasil kunjungan tersebut ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi antara Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI dengan Kempan & RB dan BKN tentang penyempurnaan grading jabatan personel per satker sesuai dengan DPP Gaji dan hasilnya telah dikirimkan ke Tim Kempan & RB Nasional dan BKN.

d.         Asistensi Tim Independen RB dari Universitas Indonesia. Pentahapan kegiatan reformasi birokrasi mensyaratkan adanya asistensi dalam bentuk pendalaman secara riil di lapangan oleh tim independen RB.   Tim ini nantinya akan memberikan penilaian secara obyektif terkait pelaksanaan RB di jajaran TNI sebagai bahan pertimbangan Kempan & RB serta BKN dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan RB di jajaran TNI. Tim independen pada minggu pertama bulan Juni 2010 secara acak telah melaksanakan asistensi ke jajaran TNI.

 

5.         Pokok-pokok Kebijakan Panglima TNI Dalam Rangka Reformasi Birokrasi TNI. Sebagai pedoman dalam melaksanakan reformasi birokrasi di lingkungan TNI, Panglima TNI telah mengeluarkan kebijakan sebagai berikut:

a.         Pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI dilaksanakan secara konseptual, gradual,  konstitusional dan berkelanjutan yang meliputi aspek doktrin, struktur, kultur dan mindset.

b.         TNI mengutamakan soliditas, loyalitas dan esprit de corps dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI.

c.         Quick wins TNI yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan reformasi Birokrasi TNI adalah PPRC, PRCPB TNI, pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta Minimum Essential Force (MEF).

d.         TNI tidak mengarah kepada tunjangan kinerja murni atau remunerasi tetapi tunjangan kinerja khusus.

e.         Tunjangan kinerja TNI bukan tujuan melainkan proses berlanjut untuk mewujudkan postur TNI yang mampu melaksanakan tugas pokok secara profesional, efektif dan efisien.

 

6.         Program Reformasi Birokrasi TNI.   Program dan kegiatan reformasi birokrasi di lingkungan TNI menyesuaikan dengan program dan kegiatan Reformasi Birokrasi Nasional, yang dapat dijabarkan secara tabular sebagai berikut:

NO PROGRAM KEGIATAN KELUARAN
1 MANAJEMEN PERUBAHAN
  1. Pembentukan Tim   Manajemen Perubahan
Terbentuknya Tim Manajemen Perubahan
  1. Penyusunan strategi manajemen perubahan
Dokumen strategi manajemen perubahan
  1. Sosialisasi dan internalisasi manajemen
Terselenggaranya sosialisasi dan internalisasi manajemen perubahan
2 PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Penataan peraturan perundang-undangan (Turdang) yang diterbitkan oleh TNI Angkatan Udara
  1. Teridentifikasi Turdang yang diterbitkan.
  2. Tersedia peta Turdang yang harmonis/valid.
  3. Terlaksananya regulasi / deregulasi Turdang.
3 PENATAAN DAN PENGUATAN

ORGANISASI

1.   Restrukturisasi Tersedianya peta tugas dan fungsi unit kerja
2.   Penguatan unit kerja Terbentuknya unit kerja yang menangani fungsi organisasi, tata laksana, kepegawaian dan Diklat.
4 PENATAAN TATA LAKSANA
  1. Penyusunan Tata

Laksana (SOP)

Dokumen POP/DSPP dan Prosedur Mekanisme Kerja/Buku Petunjuk sesuai bidang
  1. Pembangunan fungsi    kepemerintahan   secara    online    sesuai   tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
Tersedianya e-gov  sesuai Tupoksi TNI  Angkatan Udara.
5 PENATAAN

SISTEM

MANAJEMEN

SDM

APARATUR

  1. Penataan sistem rekruitmen
Terbangunnya sistem rekruitmen yang terbuka, transparan, akuntabel dan berbasis kompetensi.
  1. Analisis jabatan
Tersedianya uraian jabatan.
  1. Evaluasi jabatan
Tersedianya peringkat jabatan.
  1. Penyusunan standar kompetensi jabatan
Tersedianya standar kompetensi jabatan.
  1. Assesment individu berdasarkan kompetensi
Tersedianya peta profil kompetensi individu.
  1. Penerapan sistem penilaian kinerja individu
Tersedianya indikator kinerja yang terukur.
7.   Membangun/ memperkuat database personel Tersedianya data personel yang mutakhir dan akurat.
NO PROGRAM KEGIATAN KELUARAN
6 PENGUATAN PENGAWASAN
  1. Pengawasan Internal.
Terjadinya peningkatan ketaatan, efisiensi, dan efektifitas pelaksanaan tupoksi.
  1. Pengawasan pemerintah     Aparat Pengawasan    Internal Pemerintah  (APIP).
APIP yang lebih berperan dalam penguatan sistem pengendalian internal, quality assurance dan konsultasi.
7 PENGUATAN AKUNTABILITAS KINERJA
  1. Penguatan akuntabilitas
Terjadinya peningkatan kualitas laporan akuntabilitas kinerja.
  1. Pengembangan sistem

manajemen    kinerja organisasi

Terbangunnya sistem yang mampu mendorong tercapainya kinerja organisasi yang terukur.
3.   Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU) Tersusunnya IKU
8 PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
  1. Penerapan standar

pelayanan

Terlaksananya penggunaan standar pelayanan publik.
  1. Partisipasi masyarakat

dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
9 MONITORING, EVALUASI DAN LAPORAN
  1. Monitoring
Tersedianya laporan monitoring
  1. Evaluasi
Tersedianya laporan evaluasi
  1. Evaluasi menyeluruh

pada Semester Kedua  Tahun 2014

Tersedianya laporan evaluasi lima tahunan  (Evaluasi Roadmap RB TNI)

 

 

7.         Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI. Mengacu pada Keputusan Panglima TNI nomor Kep/692/IX/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI, maka organisasi pelaksana Reformasi Birokrasi di lingkungan TNI maupun Angkatan disusun sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kendala Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI

8.         Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI dievaluasi dan dinilai secara terus menerus baik oleh internal TNI sendiri maupun oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Pencapaian kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi ini membawa beberapa konsekuensi administratif, antara lain diberikannya tunjangan kinerja bagi lembaga-lembaga pemerintah. Dalam kaitan dengan Reformasi Birokrasi TNI, tunjangan kinerja telah ditegaskan oleh Panglima TNI sebagai salah satu poin dalam Pokok-pokok Kebijakan terkait Reformasi Birokrasi TNI (bukan tunjangan kinerja murni/remunerasi, melainkan tunjangan kinerja khusus). Penulis perlu menekankan di sini latar belakang kebijakan ini, yang pada dasarnya merupakan salah satu kendala pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI.

9.         Beberapa kendala pokok yang dijumpai TNI dalam pelaksanaan komitmen reformasi birokrasi ini antara lain:

a.         Secara filosofis, tugas pokok TNI bermuara pada terjaminnya keutuhan wilayah dan tegaknya kedaulatan NKRI yang pada gilirannya juga menjamin tetap berlangsungnya segenap tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bebas dan aman dari segala bentuk ancaman dari luar. Filosofi ini mengandung arti “pelayanan publik” dalam skala yang sangat luas, yang dalam konteks reformasi birokrasi nasional hanya merupakan salah satu dari sembilan program yang ditetapkan (program ke-8). Perbedaan pemahaman yang fundamental ini membuat penilaian pencapaian program reformasi birokrasi ke-8 di lingkungan TNI menjadi sulit untuk diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

b.         Karakteristik khas organisasi TNI yang berdampak pada mekanisme dan prosedur pelaksanaan tugas yang berbeda dengan lembaga pemerintah lainnya. Adanya hirarki kepangkatan dan senioritas—yang merupakan institutional nature di organisasi militer manapun—membawa dampak pada perbedaan tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan perwira TNI. Ini tentu saja berbeda dengan lembaga-lembaga pemerintah/sipil lainnya, yang murni menempatkan kualifikasi serta kompetensi individu sebagai dasar utama penentuan jabatan. Karakteristik ini bukan berarti TNI tidak bisa melaksanakan pola meritokrasi murni, namun penerapannya tidak se-fleksibel di lembaga lain mengingat adanya kultur senioritas yang secara etis akan tetap dijunjung tinggi oleh perwira TNI manapun sebagai bagian dari kehormatan dan kebanggaan korps.

c.         Penerapan FES sebagaimana telah penulis singgung di pasal 4.b tidak bisa sepenuhnya diterapkan di lingkungan TNI. Sebagai contoh mekanisme absensi fingerprint yang di beberapa instansi pemerintah sudah diterapkan. Satuan jajaran TNI tidak bisa sepenuhnya melaksanakan ini mengingat pola tugasnya yang berbeda. Bagaimana melakukan absensi prajurit yang tersebar di pos-pos perbatasan misalnya, atau prajurit yang tidak dapat mengikuti apel pagi/siang karena harus berangkat bertugas ke luar daerah, berlayar atau terlibat misi penerbangan? Mekanisme penugasan yang sangat dinamis seperti ini tidak memungkinkan penerapan FES (yang serba kuantitatif), dan mengharuskan seorang Komandan/Kepala Satuan Kerja (Dan/Kasatker) membuat assesment­-nya sendiri—yang meskipun dibuat seobyektif mungkin namun tetap akan mengandung subyektifitas dalam skala tertentu.

d.         Materiil yang dikelola TNI, dalam hal ini alutsista, merupakan materiil sensitif yang bila dikaitkan dengan asas transparansi akan menimbulkan banyak ganjalan. Pengumuman lelang pengadaan alutista—sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaaan Barang dan Jasa—misalnya, dapat berkonsekuensi pada “terbongkarnya” kebijakan pertahanan negara dalam hal pengembangan kekuatan militer. Apalagi bila ini dilakukan dengan metode e-procurement, yang memungkinkan publik manapun mengakses rencana pengembangan kekuatan pertahanan RI. Sekalipun TNI sangat mendukung asas transparansi dan akuntabilitas, namun kemungkinan-kemungkinan yang dapat melemahkan tingkat kerahasiaan negara seperti ini akan tetap menjadi concern untuk TNI.

Penutup

10.       Mengingat adanya beberapa kendala mendasar maupun teknis dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI ini, pihak-pihak terkait seyogyanya melakukan upaya-upaya lanjutan guna mencapai sinergi. Yang jelas, standar pencapaian reformasi birokrasi di lingkungan TNI harus dibuat berbeda dengan instansi pemerintah lainnya, dan peniliannya dilakukan secara khusus. Di sisi lain, Kementerian Pertahanan dan TNI harus proaktif untuk mengakomodir isu-isu teknis di lapangan dan menyampaikannya kepada semua pemangku kepentingan terkait sehingga karakteristik khas pelaksanaan tugas TNI tetap tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Bisa jadi ini akan berdampak pada dirubahnya beberapa piranti lunak tersebut sehingga dapat menampung perbedaan mekanisme pelaksaanaan tugas TNI di berbagai strata, namun bila memang itu yang terbaik, pemerintah harus menindaklanjutinya.

11.       Demikian penjelasan dan pandangan penulis tentang pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi TNI. Pandangan dan masukan yang penulis berikan merupakan pendapat pribadi penulis, dan semata-mata bertujuan agar TNI dapat meningkatkan profesionalismenya sebagai alat pertahanan negara, dengan tetap tunduk pada kebijakan pemerintah serta setia berpegang pada amanat rakyat demi tetap tegaknya kedaulatan NKRI yang kita cintai ini. Semoga bermanfaat.

KESIAPAN ALUTSISTA TNI AU: KOMPLEKSITAS DAN ALTERNATIF SOLUSI

Pendahuluan

1.         Polemik seputar rencana akuisisi alutsista TNI (main battle tank/MBT, kapal selam dan UAV) belakangan ini menyadarkan seluruh bangsa bahwa ada sebuah masalah mendasar terkait anggaran pertahanan RI, baik dalam besaran maupun tata kelolanya. Namun bila kita menelisik lebih jauh, polemik ini sebenarnya hanya salah satu fenomena “gunung es” yang terlihat di permukaan. Ada persoalan lebih mendasar mengenai anggaran pertahanan selama ini, yakni bagaimana anggaran tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan kekuatan TNI (termasuk TNI AU).

2.         Keterbatasan besar anggaran semestinya justru memacu kita untuk dapat menyusun sebuah konsep pembangunan kekuatan yang matang dan presisi, yang berawal dari perencanaan. Salah satu isu menonjol yang ditengarai menjadi penyebab belum tercapainya sasaran kesiapan tempur TNI—termasuk TNI AU—saat ini adalah persoalan pemanfaatan anggaran. Anggaran pemeliharaan kesiapan alutsista sebagai aspek penting pembangunan kekuatan memerlukan pendekatan yang tepat dalam pengelolaannya.

 

Kerangka Berpikir Mengenai Anggaran

3.         Ada beberapa teori dan literatur mengenai penggunaan dana—yang dalam skala besar kita sebut anggaran—yang dapat menjadi pijakan berpikir dalam memanfaatkan anggaran bagi kepentingan pertahanan (termasuk TNI AU), antara lain:

a.         Teori “Product Life-Cycle. Teori dari Raymond Vernon ini adalah pengembangan konsep tentang “International Product Life Cycle” (IPLC) tahun 1966 yang menguraikan tiga tahapan dalam siklus perdagangan internasional: new product, maturing product dan standardised product yang mengacu pada kondisi sebuah produk sejak awal diproduksi, menjadi matang dan selanjutnya siap dijual setelah mengalami standarisasi. Konsep IPLC juga menguraikan bagaimana orientasi produsen akan berubah seiring dengan tingkat kematangan produk dan akseptabilitasnya di pasaran.[1]

b.         Teori Konsumsi. Teori yang diperkenalkan oleh Franco Modiglani sekitar tahun 1950 ini menjelaskan bagaimana sebuah individu dapat menentukan pilihan-pilihan yang cerdas dalam hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada individu tersebut. Dengan melakukan “building up” dan “running down” terhadap aset, individu atau organisasi dapat mengatur pola konsumsi mereka seiring dengan tantangan dan perkembangan jaman yang mereka hadapi secara mandiri dan sesuai dengan sumber daya atau dana yang mereka miliki. Teori ini membawa implikasi pemahaman bahwa cadangan (devisa) suatu negara bergantung pada laju pertumbuhan pendapatan nasional, dan cadangan inilah yang akan memberi negara suatu fleksibilitas dalam menentukan pola konsumsinya.[2]

c.         Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems. Graham Clark, Paul Piperias dan Richard Traill dalam tulisannya yang berjudul “Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems” menguraikan tentang mekanisme penerapan Life Cycle Cost Analysis (LCCA) melalui identifikasi dan penilaian persyaratan teknis dalam proses akuisisi sistem-sistem utama (pesawat, kapal dan sebagainya) serta pada proses upgrading selama masa pengoperasian sistem tersebut. Sebagai bentuk implementasi LCCA, perubahan dalam pendekatan manajemen logistik diperlukan untuk menyediakan cost database[3], yang dalam banyak manajemen pertahanan menjadi isu serius. Isu serius tersebut adalah lemahnya penghitungan life-cycle cost, yang hanya dipahami sebagai harga akuisisi ditambah generalisasi biaya operasional dan pemeliharaan.

d.         Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing. Manjunath Sannappa dalam tulisan ini menguraikan keuntungan dari target cost sourcing: tata kelola yang baik, keuntungan dari produk, keuntungan dari peluncuran produk, ketahanan saham, efisiensi waktu pemasaran, serta pengelolaan dan pengurangan biaya produksi.[4] Bila dilihat secara cermat dari perspektif konsumen, terdapat peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dari kecenderungan industri mengurangi biaya produksi, yakni bahwa harga produk yang dipasarkan akan makin murah. Komoditi pertahanan yang dulu bersifat military off-the-shelf (MOTS) kini bergerak kepada sifat commercial off-the-shelf (COTS). Lingkup pasar produk militer jauh lebih luas, harga semakin bersaing, dan selebihnya adalah kecermatan konsumen untuk menentukan apa yang terbaik sesuai daya belinya.

4.         Dari beberapa referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang urgensi pemanfaatan anggaran akan menghasilkan suatu outcome yang sesuai dengan harapan kita, sekalipun kita dihadapkan pada berbagai keterbatasan.

Spektrum Konflik

5.         Perkembangan lingkungan strategis mengisyaratkan pentingnya pelibatan kekuatan militer di sepanjang spektrum konflik. Perubahan orientasi perang sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) mengharuskan kekuatan militer untuk tetap mampu beradaptasi dan memiliki daya tanggap yang tinggi sebagai alat pertahanan negara.[5] Inilah yang pada gilirannya menciptakan berbagai penyesuaian dalam doktrin perang di banyak negara. Perkembangan lingkungan strategis juga membuat bentuk konflik mengalami pergeseran yang perlahan namun pasti, mulai dari konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) di masa damai hingga perang besar yang memerlukan mobilitas nasional suatu negara. Pergeseran serta rentang spektrum konflik mulai dari masa damai hingga masa perang dapat digambarkan secara garis besar sebagai berikut:[6]

Gambar 1. Spektrum Konflik

6.         Dari pola di atas, dapat dilihat bahwa konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) saat ini sangat mungkin untuk berevolusi menjadi perang skala besar pada masa mendatang, yang umumnya dipicu oleh makin besarnya kepentingan pengembangan ekonomi suatu negara untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidupnya (state survivability). Ini merupakan indikasi nyata bahwa sifat konflik sangat evolutif dan harus dapat diantisipasi dengan tingkat kesiapan TNI AU melalui perencanaan yang tepat.

Mekanisme Perencanaan dan Pemeliharaan Kesiapan Alutsista

7.         Gambaran secara garis besar mekanisme yang berjalan saat ini adalah sebagai berikut:

a.         Perencanaan Kesiapan. Perencanaan kesiapan dilakukan dengan basis tahun anggaran (fiscal/budget year). Mekanisme perencanaan kesiapan alutsista tersebut secara garis besar dilakukan antara lain dengan cara:[7]

1)        Penentuan kebutuhan rutin per tahun anggaran oleh satuan pengguna. Pada setiap akhir tahun anggaran yang berjalan, satuan-satuan yang mengoperasikan dan memelihara alutsista (skadron udara, skadron teknik, dan satuan pemeliharaan) mengajukan kebutuhannya untuk tahun yang akan datang, baik berupa macam kebutuhan maupun jumlahnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diajukan secara berjenjang melalui komando utama (Kotama) masing-masing (Koopsau, Kodikau, Koharmatau). Kotama kemudian meneruskan usulan kebutuhan ini kepada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di Mabesau untuk dijadikan sebagai acuan kebutuhan anggaran belanja.

2)        Penyusunan rencana kebutuhan untuk belanja barang maupun belanja modal (perbaikan serta pengadaan suku cadang, komponen, bits and pieces) oleh Mabesau. Sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah berlaku (Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Pertahanan, Peraturan Panglima TNI dan Peraturan Kasau yang terkait), kebutuhan dari satuan bawah tersebut diajukan dalam bentuk yang bertahap, mulai dari Rencana Usul Pesanan (Ren UP), Usul Pesanan (UP) hingga menjadi kontrak dengan melibatkan pihak ketiga (mitra). Pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

b.         Pemeliharaan Kesiapan. Pemeliharaan kesiapan dilaksanakan juga dengan basis tahun anggaran. Selain bergantung pada kesiapan kuantitas dan kualitas personel pemelihara alutsista/pesawat serta kesiapan serta kelengkapan fasilitas pemeliharaan, faktor lain yang tak kalah penting adalah ketersediaan suku cadang. Mengacu uraian pada subpasal a di atas, suku cadang yang telah diadakan melalui program pengadaan, perbaikan dan ditambah stock yang masih tersedia merupakan salah satu elemen krusial untuk menjamin terpeliharanya kesiapan alutsista. Namun pada kenyataannya, mekanisme perencanaan kesiapan selama ini (khususnya dalam hal penyediaan suku cadang) masih membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang[8] sehingga berbagai jenis pesawat masih belum dapat dioperasikan karena menunggu suku cadang (aircraft waiting parts/AWP).

8.         Dari rangkaian mekanisme yang berjalan selama ini, terbukti secara faktual bahwa tingkat kesiapan alutsista TNI AU di T.A. 2011 tidak terdongkrak, sekalipun terdapat penambahan alokasi anggaran untuk kesiapan alutsista dibanding T.A. 2010. Lalu di mana persoalannya?

Capability Based Defence vs Threat Based Defence

9.         Di tingkat nasional, Peraturan Presiden RI Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakum Hanneg) 2010-2014 secara tersurat mengaskan bahwa kekuatan pertahanan RI dibangun dengan berbasis “ancaman”. Ini adalah perubahan fundamental dari Jakum Hanneg sebelumnya (Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan dibangun dengan berbasis “kemampuan”. Dalam pandangan kami pendekatan ini tidak tepat untuk sebuah negara dengan alokasi anggaran pertahanan yang tidak mencapai 1% dari GDP (artinya, Jakum Hanneg sebelumnya justru lebih tepat). Memang belum ada literatur yang secara tegas menggambarkan perbedaan dari pendekatan capability-based defence (CBD) dengan threat-based defence (TBD), namun dari beberapa kajian tentang kedua pendekatan ini, kami mencoba merangkum beberapa perbedaan mendasar dari keduanya secara tabular sebagai berikut:

NO ASPEK PENDEKATAN(SIFAT)
CAPABILITY BASED THREAT BASED
1. Acuan Kebutuhan kemampuan(Bergantung pada kebutuhan sendiri) Kemungkinan ancaman(Bergantung pada lingkungan eksternal)
2. Orientasi Kemampuan yang sudah dimiliki(Hanya memerlukan pengembangan yang relevan) Kemampuan yang belum dimiliki(Memerlukan pemenuhan dalam jumlah dan skala tertentu)
3. Tata kelola Capability Life Cycle Management/CLCM(Ekonomis/cost-effective) Threat assessment(Harus menyesuaikan ancaman terus menerus)
4. Kebutuhan anggaran Jumlah anggaran yang tersedia(Adaptif) Jumlah anggaran yang dibutuhkan(Cenderung memberatkan)
5. Fleksibilitas penggunaan anggaran Sesuai kemampuan yang ada(Fleksibel/lentur) Harus memenuhi nominal tertentu(Banyak batasan/constraints)
6. Pengembangan Dapat dilakukan terus menerus pada aset yang sudah ada(Penggunaan sistem senjata dapat bertahan dalam jangka waktu panjang) Restrukturisasi kekuatan terus menerus(Pembiayaan mahal dan jangka waktu penggunaan sistem senjata lebih pendek)

Tabel 1. Perbandingan Pendekatan Capability Based Defence

dengan Threat Based Defence

10.      Dari gambaran tabel di atas, dapat dilihat bahwa CBD jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan TBD. Di tengah kondisi keuangan negara yang belum sepenuhnya pulih dari krisis, dan dengan serangkaian program pembangunan nasional yang memerlukan prioritas, adalah tidak bijak menempatkan “ancaman” sebagai basis dari pengembangan kekuatan pertahanan. Penggunaan TBD akan memaksa negara untuk terus beradaptasi dengan dinamika ancaman yang sangat cepat, sehingga pengembangan kekuatan pertahanan tampak “sporadis”. Di sisi lain, CBD justru memungkinkan program pengembangan kekuatan yang berkesinambungan dan sejalan dengan kemampuan keuangan negara.

Penentuan Prioritas Anggaran Alutsista TNI AU

11.       Mengerucut ke lingkup TNI AU, prioritas penggunaan anggaran kesiapan alutsista selama ini diarahkan pada pemenuhan AWP. Ini terkait dengan filosofi kebijakan pemerintah yang menginginkan adanya “penambahan aset” sehingga sumber dananya masuk dalam kategori “belanja modal”, yang secara normatif nilainya jauh lebih besar dari “belanja barang”. Filosofi ini sudah tepat, karena dalam pendekatan ekonomi, aset adalah “hak atau akses lainnya saat ini atas suatu sumber ekonomi yang ada dengan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan/manfaat ekonomis kepada seseorang/lembaga” (a present right, or other access, to an existing economic resource with the ability to generate economic benefits to the entity).[9] Dalam hal ini, aset TNI AU adalah “alutsista yang mampu mendukung pelaksanaan tugas-tugas TNI AU”, yang berarti alutsista yang serviceable. Di sisi lain, alutsista yang dalam keadaan unserviceable (US) adalah cost driver bagi TNI AU.

12.       Meskipun filosofi tersebut telah terjabarkan dalam sistem penganggaran untuk TNI AU, namun besarannya masih belum mampu menjawab tuntutan yang diberikan (terwujudnya “penambahan aset”, dalam hal ini peningkatan jumlah alutsista yang serviceable). Dari besaran anggaran pertahanan tahun 2011 yang total hanya 0,81% dari PDB, lebih dari 40%-nya digunakan untuk belanja pegawai[10] sehingga total maksimal belanja alutsista hanya 60%. Nilai ini masih harus dibagi ke tiga angkatan sehingga secara normatif sulit untuk mempertinggi tingkat kesiapan alutsista. Mengacu sambutan Panglima TNI pada Rapim Kemhan Tahun 2012, anggaran TNI AU tahun 2011 total berjumlah Rp. 7.927.112.000.000,- ditambah USD 2,602,900,000.00 yang terurai sebagai berikut:[11]

a.         Anggaran Belanja Pegawai                      : Rp.   1.723.995.173.000,-

b.         Anggaran Belanja Barang dan Jasa       : Rp.   1.360.196.074.000,-

c.         Anggaran Belanja Modal                           :

1)         APBN                                                 : Rp.   4.349.668.753.000,-

2)         APBN-P                                             : Rp.      493.252.000.000,-

d.         Anggaran Kredit Ekspor                             : USD        2,602,900,000.00

13.       Pada prakteknya, kebutuhan terbesar TNI AU dalam bidang kesiapan alutsista adalah pemenuhan AWP yang didukung dari Anggaran Belanja Modal. Sementara untuk pemeliharaan kesiapan alutsista yang operasional (rematerialisasi alutsista) didukung dari Anggaran Belanja Barang dan Jasa. Secara filosofis dalam kerangka penggunaan anggaran ini memang tepat, namun secara faktual belum berhasil meningkatkan kesiapan alutsista, karena baik pemenuhan AWP maupun rematerialisasi alutsista belum menghasilkan output yang sesuai target.

Permasalahan Mendasar Yang Dihadapi

14.       Premis pertama, anggaran pertahanan RI (termasuk TNI AU) memang tidak realistis untuk mewujudkan tingkat kesiapan tempur yang sepadan dengan luas wilayah yurisdiksi yang harus dijaga serta persepsi ancaman yang dihadapi. Premis kedua, tidak ada satu negarapun yang menyatakan anggaran pertahanannya tidak terbatas, namun banyak di antara mereka yang memiliki tingkat kesiapan alutsista yang tinggi. Dari kedua premis tersebut dapat diambil suatu benang merah bahwa persoalan ada pada bagaimana anggaran pertahanan tersebut dikelola/dimanfaatkan untuk menghasilkan “keuntungan” yang sebesar-besarnya (dalam hal ini tingkat kesiapan tempur yang setinggi mungkin).

15.       Uraian mengenai pengalokasian anggaran (barang/jasa dan modal) di atas mengindikasikan adanya kontradiksi antara prinsip penggunaan anggaran secara administratif dengan kondisi faktual yang menjadi persoalan alutsista TNI AU. Penentuan prioritas yang diarahkan pada pemenuhan AWP menyebabkan jumlah kebutuhan menjadi sangat besar, dan belum mampu dijangkau dengan anggaran yang tersedia untuk belanja modal dari Bappenas. Sementara itu, untuk mempertahankan kesiapan yang sebenarnya berbiaya relatif lebih kecil dibandingkan memenuhi AWP juga tidak dapat dicapai dengan memanfaatkan anggaran belanja barang/jasa dari Kemenku.

16.       Bila fenomena di atas dikembalikan pada konsep LCCA, maka sustainment (keberlanjutan) seharusnya diarahkan pada upaya mempertahankan kesiapan alutsista yang sedang beroperasi (prinsip dasar dari sustainability cost). Dari perspektif kesiapan alutsista, maka urutan prioritas penggunaan anggaran alutsista idealnya adalah sebagai berikut:

a.         Pemenuhan komponen/suku cadang kritis, yang ditentukan dari rencana pemeliharaan (staggering) alutsista yang disusun oleh satuan pengguna;

b.         Pemenuhan fast moving item alutsista, yang ditentukan dari kecenderungan kegagalan (trend of failure) serta tingkat kehandalan (reliability level) komponen/suku cadang;

c.         Pemenuhan minimum stock level, yang ditentukan dari identifikasi komponen/suku cadang kritis terdekat (Catatan: ini dapat diabaikan bila fast moving item diyakini mampu memenuhi/meniadakan resiko kegagalan/tidak beroperasinya alutsista); dan

d.         Pemenuhan AWP, yang ditentukan oleh usulan kebutuhan untuk menghidupkan alutsista yang “US” karena ketiadaan suku cadang.

17.       Dari uraian pada pasal 16, dapat dikatakan bahwa persoalan pertama ada pada ketidaktepatan penentuan prioritas. Sustainment seharusnya menjadi prioritas pertama sehingga TNI AU terhindar dari resiko menurunnya tingkat kesiapan (kalaupun seandainya alutsista yang masih “US” belum dapat dihidupkan, setidaknya alutsista yang sedang beroperasi tidak menjadi “US” karena ketiadaan suku cadang kritisnya). Di sisi lain pemenuhan AWP semestinya justru menjadi prioritas terakhir dalam pemanfaatan anggaran alutsista TNI AU.[12] Namun bila ditelusuri lebih jauh, memang sulit bagi TNI AU untuk merubah alokasi penggunaan anggaran alutsista (dalam hal ini pos belanja modal digunakan untuk sustainment sementara pos belanja barang/jasa untuk pemenuhan AWP), karena ini akan menyalahi kaidah administratif keuangan negara dalam hal “penambahan aset”.

18.       Selain benturan dalam hal administratif finansial/moneter, beberapa faktor baik internal maupun eksternal juga berkontribusi terhadap “kegagalan” TNI AU dalam meningkatkan kesiapan alutsista yang dikaitkan dengan pemanfaatan anggaran. Beberapa faktor ini di antaranya:

a.         Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang memberi ruang sangat luas bagi “Penyedia Barang/Jasa” (yang sering disebut “mitra kerja”) untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pada gilirannya sangat memungkinkan terjadinya pembengkakan biaya/harga. Meskipun semangat pemerintah untuk menghidupkan roda ekonomi makro negara dalam Perpres ini patut diapresiasi, namun pada faktanya ruang bagi “mitra kerja” yang sangat luas ini jutru menjadi ajang mark-up yang membebani keuangan negara.

b.         Masih terkait dengan “mitra kerja”, pada perkembangannya fenomena mark-up justru menjadi semakin sistematis dengan adanya “mafia alutsista” atau “makelar senjata”.[13] Mafia ini memiliki jaringan amat luas hingga ke parlemen (DPR), yang cenderung “memaksakan” TNI untuk mengembangkan kekuatannya dengan mekanisme “mitra kerja” dan menghindari skema G to G yang hanya melibatkan pemerintah RI dengan negara penyedia secara langsung. Mafia ini berusaha mendorong pemerintah untuk bersedia menerima “barang bekas” dari negara lain dengan harapan mendapatkan “pekerjaan” tertentu bagi keuntungan mereka (suatu hal yang tidak mungkin diperoleh dari pengadaan baru karena terdapat “warranty” selama beberapa tahun ke depan). Karena kuatnya jaringan mafia ini, TNI AU sering kali harus tunduk kepada kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemhan) setelah negosiasi atau rapat koordinasi dengan DPR dilakukan, meskipun sebenarnya internal TNI AU sendiri tidak sependapat dengan materi yang dikoordinasikan.

c.         Mata rantai birokrasi pengadaan yang masih terlalu panjang menyebabkan tidak semua suku cadang/komponen yang dikontrakkan dapat diterima tepat waktu. Hal ini terutama terjadi untuk materi kontrak berbasis Kredit Ekspor (KE) yang dapat mencapai 16-18 bulan untuk pemenuhannya. Menjadi hal yang tidak aneh bila kebutuhan suku cadang untuk satu tahun anggaran tertentu tidak dapat dipenuhi tahun itu juga, sehingga kesiapan alutsista terus menurun. Fenomena ini juga merupakan salah satu bentuk kendala sebagai benturan antara pendekatan “administration-oriented” dengan “mission-oriented”.

d.         Pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri (Indhan Dagri) yang belum optimal karena berbagai kendala yang kompleks sifatnya. Di satu sisi, semangat revitalisasi Indhan Dagri merupakan keharusan untuk menciptakan kemandirian bangsa. Namun di sisi lain, belum kuatnya fondasi finansial industri tersebut mengakibatkan beberapa kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan pertahanan RI (termasuk TNI AU). Sebagai contoh dalam mekanisme pembayaran kontrak. Pembayaran yang tidak bisa dilakukan 100% di muka (sesuai ketentuan pengadaan barang/jasa) mengharuskan industri untuk menutup biaya produksi dengan sumber finansialnya sendiri hingga materi kontrak diterima pengguna. Bila industri yang bersangkutan memiliki masalah dalam hal keuangan (bahkan untuk membayar gaji karyawannya saja harus menunda hingga beberapa bulan), maka kualitas barang yang dihasilkan akan berada dalam resiko besar[14].

e.         Tidak kuatnya fondasi Indhan Dagri dalam hal finansial juga berdampak pada “ketidakberanian” mereka untuk menerima kontrak langsung dalam hal pengadaan barang/jasa dengan TNI AU, dan lebih berkonsentrasi pada perolehan keuntungan bagi kepentingan cash-flow perusahaan. Modusnya, mereka memasang harga tinggi dalam price list yang mereka ajukan kepada TNI AU. Dengan kondisi anggaran yang terbatas, tentu saja pembina item terkait akan mencari opsi lain dengan harga yang lebih kompetitif untuk memaksimalkan jumlah barang yang dapat dibeli. Pada gilirannya, mitra kerja lain yang ditunjuk oleh TNI AU tersebut akan mencari dan memperoleh barang dimaksud dari industri tersebut dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga yang ditawarkan industri ini kepada TNI AU (Indhan Dagri lebih suka “bermain” sebagai sub-kontraktor).

Upaya Yang Dapat Dilakukan

19.       Dari beberapa permasalahan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

a.         Penentuan prioritas penggunaan anggaran yang mengedepankan langkah-langkah sustainment bagi alutsista TNI AU yang sedang beroperasi. Tentunya hal ini harus selaras dengan mekanisme penganggaran negara, khususnya dalam hal pendekatan filosofi “aset”. Bila besaran total anggaran TNI AU belum dapat ditingkatkan secara signifikan (khususnya untuk belanja barang dan jasa), maka upaya untuk memanfaatkan anggaran belanja modal bagi kepentingan sustainment kemungkinan dapat diupayakan sebagai solusi. Bila sustainment sudah dapat dijamin, maka sisa anggaran (bila ada) dapat dimanfaatkan untuk AWP.

b.         Revisi Perpres 54/2010 dengan memberi ruang yang lebih proporsional pada “mitra kerja” serta memberi batasan yang realistis terhadap penambahan biaya sebagai kompensasi dari penggunaan jasa mitra tersebut. Revisi Perpres ini juga perlu mencakup rangkaian birokrasi yang harus lebih sederhana sehingga barang (suku cadang) yang dikotrakkan dapat tiba dengan tepat waktu di satuan pengguna (end-user) serta menghasilkan peningkatan kesiapan yang diharapkan.

c.         Perlunya membangkitkan kembali skema G to G untuk menjamin kualitas alutsista maupun pendukungnya. Mekanisme ini (misalnya yang terjabarkan melalui pola Foreign Military Sales/FMS) memiliki beberapa keuntungan seperti: kondisi dan kualitas yang disesuaikan dengan standar negara penjual, birokrasi yang lebih sederhana karena langsung dilakukan antar-pemerintah, dan harga yang bebas dari penggelembungan.

d.         TNI AU melalui Kemhan dan Komite Kebijakan Indutri Pertahanan (KKIP) dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan kemampuan sumber daya Indhan Dagri, misalnya dengan menambah injeksi dana serta penguatan modal sebelum industri-industri tersebut menerima kontrak pekerjaan dari TNI/TNI AU. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan industri dalam menyediakan produk terbaik bagi kepentingan pertahanan Indonesia, termasuk alutsista TNI AU.

Kesimpulan

20.       Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah:

a.         Persoalan kesiapan alutsista TNI AU dalam hal anggaran tidak murni terletak pada besarannya, namun lebih kepada pola dan pendekatan dalam pemanfaatannya.

b.         Selain persoalan pemanfaatan anggaran, beberapa faktor lain juga berkontribusi dalam kesiapan alutsista TNI AU yang masih rendah saat ini: peraturan perundang-undangan, adanya “mafia alutsista”, rantai birokrasi serta belum cukup kuatnya industri pertahanan dalam negeri.

c.         Terdapat beberapa upaya yang mungkin dilakukan guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut: penentuan prioritas penggunaan anggaran yang tepat, revisi Perpres 54/2010, skema G to G, dan penguatan fondasi finansial industri pertahanan dalam negeri.

 

Penutup

21.       Demikian naskah sederhana ini kami susun. Semua pendapat dalam naskah ini adalah opini subyektif kami semata dengan mengacu pada berbagai sumber yang kami miliki dan dapat kami akses. Kami hanya berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangsih kecil bagi kebaikan dan kemajuan TNI AU di masa yang akan datang.

Jakarta,        Februari 2012

Pabandyaorgpros Paban II/Jemen

Jon Keneddy Ginting, MMgtStud, qtc

Mayor Tek NRP 521762


[1]   International Product Life Cycle, diunduh darihttp://www.provenmodels.com/583tanggal 19 Maret 2011.

[2]  Angus Deaton, 2005, Franco Modigliani and Life Cycle Theory of Consumption, Roma.

[3]  Graham Clark, Paul Piperias and Richard Traill, Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence System, Melbourne.

[4]  Manjunath Sannappa, 2008, Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing, Dallas.

[5]  M. van Creveld, 1991, The Transformation of War, New York

[6]  Royal Australian Air Force, 1998, The Air Power Manual, Canberra

[7]  Kadisaeroau, 2011, Paparan Kadisaeroau tentang Peranan DIsaeroau dalam Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Kunjungan Pasis Seskoau A-48, Jakarta

[8]  Ibid

[9]  IFRS for SMEs. 1st Floor, 30 Cannon Street, London EC4M 6XH, United Kingdom: IASB (International Accounting Standards Board). 2009. pp. 14. ISBN 978-0-409048-13-1.

[10]  Kementerian Pertahanan RI, 2012, Refleksi Kebijakan Menhan RI Tahun 2011, Jakarta.

[11]  Mabes TNI, 2012, Refleksi Panglima TNI Pada Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan Tahun 2012, Jakarta.

[12]  Pemenuhan AWP juga belum dapat menjamin serviceability alutsista karena seiring dengan perkembangan teknologi alutsista yang cenderung fully-computerized dan fully-electronic, maka tidak beroperasinya alutsista/pesawat dalam jangka waktu lama karena menunggu suku cadang akan mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan teknis lainnya terkait sistem komputer dan elektrik saat alutsista tersebut memasuki fase test.

[14]   Sebagai contoh adalah produksi helikopter NAS-332 Super Puma NSP-20/H-3215 tahun 2010, yang beberapa suku cadangnya tidak baru (zero hour) sesuai kontrak. Ternyata ini disebabkan oleh kemampuan PT.DI yang hanya dapat membeli suku cadang “OHC” dengan dana yang mereka miliki saat itu.

DOKTRIN TNI AU SWA BHUWANA PAKSA

TENTARA NASIONAL INDONESIA                                                 Lampiran Keputusan Kasau

MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA                                             Nomor   Kep / 571 / X / 2012

Tanggal    24  Oktober  2012

 

 

 

DOKTRIN TNI ANGKATAN UDARA

SWA BHUWANA PAKSA

 

 

BAB I

 

LATAR BELAKANG

 

 

1.      Amanat Undang-Undang.

a.      Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI merupakan salah satu institusi nasional yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menghadapi berbagai ancaman terhadap kepentingan nasional (national interests). Tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan merumuskan Tugas Pokok TNI yaitu menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, melindungi segenap bangsa dan ikut serta dalam upaya pemeliharaan perdamaian dunia sesuai dengan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).   Tugas Pokok TNI ini merupakan penjabaran dari tugas negara atau tugas pemerintah yang diamanatkan di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.

b.      Sebagai bagian dari TNI, Angkatan Udara melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara, serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.  TNI Angkatan Udara telah membuktikan peran dan fungsinya secara aktif dalam menghadapi segala bentuk ancaman, gangguan dan hambatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta keselamatan bangsa.

2.      Pergeseran Paradigma.

 

a.     Sejalan dengan pergeseran berbagai paradigma di lingkup nasional dan internasional, terutama pergeseran paradigma ancaman dan keamanan, akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, TNI telah merumuskan paradigma barunya melalui redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran TNI dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini dilakukan agar dapat menjawab tantangan dan tuntutan tugas-tugas TNI ke depan yang semakin kompleks.  Selain itu TNI juga telah merumuskan visinya yaitu TNI yang solid, profesional, tangguh, modern, berwawasan kebangsaan, mencintai dan dicintai rakyat. Berdasarkan visi tersebut TNI akan mampu menjamin tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

b.      Salah satu tuntutan paradigma baru TNI dalam rangka pencapaian visi TNI tersebut adalah merevisi Doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (CADEK) menjadi Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma (TRIDEK).  Di lingkup TNI Angkatan Udara, disusun Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa yang bertujuan untuk mewujudkan kesatuan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam rangka pembinaan kemampuan dan penggunaan kekuatan, agar dapat menjamin keberhasilan tugas TNI Angkatan Udara, baik pada Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

 

3.      Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Penyusunan Doktrin.  Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa berbeda dari doktrin-doktrin Angkatan Udara negara lain karena adanya nilai-nilai yang terkandung dari paradigma nasional dan kondisi geografi, demografi, sumber daya nasional, kondisi sosial yang dimiliki bangsa Indonesia serta budaya dan tradisi militer TNI sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penyusunan doktrin ini.   Kalaupun terdapat hal-hal yang sama yang tertuang di dalam doktrin, hal tersebut disebabkan oleh adanya persepsi yang sama terhadap tantangan di bidang keamanan (security challenges) yang dapat menjadi ancaman terhadap kepentingan nasional, ajaran-ajaran yang pernah ada dalam doktrin-doktrin di kalangan militer secara umum (universal) dan nilai-nilai yang terkandung dari paradigma internasional yang terkait dengan tugas TNI Angkatan Udara.

4.      Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Paradigma Nasional dan Internasional.   Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang merupakan Paradigma Nasional dan Semangat Sumpah Pemuda (Bhinneka Tunggal Ika) serta Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (Merdeka atau Mati) perlu dijabarkan dalam menyusun doktrin, baik Doktrin Keamanan Nasional, Doktrin Pertahanan Negara (Doktrin Strategi Raya atau Strategi Nasional bagi bangsa Indonesia), Doktrin TNI (Doktrin Strategi Militer), dan Doktrin Angkatan.  Selain itu, nilai-nilai universal yang terkandung dalam beberapa paradigma internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI juga perlu dijabarkan ke dalam Doktrin TNI Angkatan Udara, karena terkait dengan pelaksanaan tugas TNI Angkatan Udara.

 

5.      Hakikat dan Kedudukan.   Hakikat Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana  Paksa berisi prinsip-prinsip yang paling fundamental dan implementatif untuk dijadikan pedoman dalam rangka melaksanakan tugas TNI Angkatan Udara.   Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana  Paksa merupakan doktrin yang bersifat konseptual strategis yang berkedudukan di bawah Doktrin Tri Dharma Eka Karma dan merupakan sumber bagi perumusan buku-buku petunjuk tataran di bawahnya.


 

BAB II

 

LANDASAN HISTORIS TNI ANGKATAN UDARA DAN LANDASAN DOKTRIN

6.      Umum.   Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatannya.   Bagi bangsa Indonesia perang adalah jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh untuk mempertahankan ideologi dan dasar negara Pancasila, kemerdekaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta keutuhan bangsa.   Pada awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,  TNI Angkatan Udara  lahir dari wujud dan tekad bangsa Indonesia untuk berjuang dan berdaulat.  Jati diri, nilai-nilai juang yang tercermin dalam lambang TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa dan harus menjadi pedoman bagi kepentingan pelaksanaan tugas negara.

7.      Sejarah Perjuangan TNI Angkatan Udara.

a.      Dengan semangat juang, keikhlasan, sifat pantang menyerah, dan hanya  ditunjang oleh alutsista terbatas berupa pesawat terbang peninggalan penjajah saat itu, TNI Angkatan Udara telah mampu menjadi tulang punggung negara untuk berperan secara aktif dan berhasil mempertahankan  kemerdekaan dan kedaulatan  negara yang berdampak politis dan psikologis secara internasional. Keberhasilan  perjuangan tersebut menjadi tonggak sekaligus menjadi jati diri TNI Angkatan Udara sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional dalam pembangunan untuk mewujudkan kejayaan Indonesia. Dengan mewarisi ketauladanan para pendahulu, menghayati nilai-nilai perjuangan bangsa dan peran kekuatan udara, generasi penerus memikul tugas suci untuk mewujudkan TNI Angkatan Udara yang senantiasa mampu berperan sebagai Sayap Tanah Air.

b.       Sejak kelahirannya pada tanggal 9 April 1946, Tentara Republik Indonesia Angkatan Oedara (TRI AO) yang kemudian berganti nama menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), yang selanjutnya menjadi TNI Angkatan Udara, keterlibatan TNI Angkatan Udara dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan sudah dibuktikan dalam operasi operasi militer maupun non militer, sejarah penggunaan kekuatan udara inilah yang menjadi pegangan bagaimana kekuatan udara diberdayakan bersama sama kekuatan lainnya.    Adapun contoh-contoh operasi tersebut adalah sebagai berikut:

1)        Setelah penerbangan pertama pada tanggal 27 Oktober 1945 dengan pesawat Cureng oleh penerbang A. Adisutjipto di Pangkalan Udara Maguwo, maka operasi operasi udara militer semakin digiatkan, aksi militer Belanda yang dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 telah menyerang berbagai Pangkalan Udara RI, namun sebagai pembalasan pada tanggal 29 Juli 1947 serangan dilancarkan dengan melakukan pemboman terhadap kedudukan Belanda secara serentak di kota Ambarawa, Salatiga dan Semarang dengan menggunakan pesawat peninggalan Jepang yaitu pesawat Cureng dan Pesawat Cukiu.  Sebagai pembalasan, pada tanggal 29 Juli 1947 Belanda melakukan serangan terhadap pesawat Dakota VT-CLA milik India dengan misi kemanusiaan.  Pada penyerangan itu pesawat Dakota VT-CLA jatuh di Yogyakarta, crew beserta penumpang lainnya gugur. Keberhasilan serangan pemboman tersebut diketahui oleh dunia luar melalui media radio. Peristiwa tersebut menunjukkan masih adanya kekuatan dari Tentara Keamanan Rakyat sebagai resistensi/perlawanan sebuah negara merdeka Republik Indonesia.

2)      Pada tanggal 17 Oktober 1947 TNI dengan menggunakan Dakota RI-002 mengangkut pasukan sebanyak 14 orang diterjunkan di Kotawaringin Kalimantan dalam rangka membantu perjuangan rakyat di sana.  Peralatan yang dibawa adalah peralatan perhubungan (PHB) dan peralatan khusus lainnya, dan dalam tugas itu berhasil membuka pemancar induk sebagai sarana komunikasi dan membuka serta mempersiapkan daerah pendaratan untuk penerjunan sebagai rencana operasi udara selanjutnya.   Peristiwa operasi penerjunan ini merupakan operasi lintas udara pertama dengan menerjunkan personel berserta perlengkapannya, yang bersifat khusus karena dilakukan oleh tim yang kecil untuk melakukan operasi khusus.

3)      Pada masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950) telah terjadi pemberontakan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.  TNI pada saat itu berkonsolidasi membentuk organisasi Tentara Indonesia Serikat yang dibagi menjadi 12 terrirorium yang bertujuan menghadapi ancaman militer berupa  pemberontakan bersenjata seperti pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Westerling, pemberontakan Andi Aziz, dan pemberontakan Republik Maluku Selatan. Pada saat mematahkan perlawanan Andi Aziz, pasukan ekspedisi ini terdiri atas tiga brigade mobil yang berasal dari Divisi I Jawa Timur Divisi II Jawa Tengah, dan Divisi IV Jawa Barat.  Gerak operasi darat tiga brigade mobil ini didukung oleh perlindungan udara dari Angkatan Udara RIS di bawah Kapten Udara Wiriadinata yang menggelar sebuah pesawat Dakota T-645 dan dua pesawat pembom B-25 Mitchell M-640 dan M-485.   Operasi darat yang dibantu oleh penembakan udara oleh pesawat B-25 Mitchell merupakan tahapan awal dari pengembangan operasi gabungan yang melibatkan kekuatan matra darat dan udara. Pada saat menumpas pemberontakan RMS,  dilaksanakan operasi pendaratan pantai untuk melakukan pengepungan atas Ambon pada tanggal 28 September 1950. Operasi pendaratan utama ini dilakukan dengan kekuatan 3000 orang yang mengandalkan bantuan tembakan dari udara dengan menggunakan pesawat Harvard dan pembom B-25 Mitchell sebagai perlindungan udara dan menetralisir kekuatan musuh di pantai.  Operasi Militer Gabungan terus dikembangkan oleh militer Indonesia dalam periode 1950-1959 untuk menghadapi pemberontakan DI/TII Jawa Barat, DI/TII Aceh, DI/TII Sulawesi Selatan, dan PRRI/Permesta. Konsep operasi udara yang berkembang adalah melaksanakan perlindungan udara, serangan udara langsung, dropping logistik, penyebaran pamflet, search and rescue, penerjunan pasukan, dan pemboman dengan menggunakan pesawat latih Harvard, IL-28, B-25 Mitchel, helikopter Mi-4, C-47 Dakota, helikopter H-202, dan P-51 Mustang.   Dari rangkaian peristiwa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa operasi gabungan matra merupakan faktor yang menentukan bagi keberhasilan suatu operasi militer maupun kampanye militer seluruhnya.

4)      Dalam rangka perebutan pembebasan Irian Barat tahun 1962, telah dicanangkan Tri Komando Rakyat, operasi dalam rangka perebutan dengan membentuk kesatuan-kesatuan tempur yang ditempatkan di sekitar Indonesia bagian timur.  Pengerahan kekuatan udara dalam operasi ini adalah pengerahan terbesar yang pernah dilaksanakan Angkatan Udara.  Pentahapan operasi militer merupakan inovasi baru militer Indonesia untuk mengembangkan suatu serangan ofensif yang cenderung mengandalkan strategi perang konvensional. Strategi besar Pembebasan Irian Barat juga ditopang oleh operasi laut dan udara yang juga direncanakan digelar dalam beberapa tahapan besar.   Konsep Operasi Angkatan Udara Mandala yang dirancang oleh Kolonel Udara Sri Muljono Herlambang mempersiapkan tiga Kesatuan Tempur (KT) Senopati, Bima Sakti, dan Baladewa untuk menggelar Operasi Angkatan Laut Mandala di fase inflitrasi. KT Senopati bertugas untuk melakukan pengintaian dan pemotretan udara ke wilayah musuh dengan menggunakan pesawat TI-28 dan B-25. KT Senopati juga bertugas untuk melakukan operasi penerjunan serta menghancurkan kapal-kapal selam musuh. Sedangkan pada KT Bima Sakti, kekuatan udara yang terlibat adalah  pesawat B-25, B-26, F-51 Mustang, C-47 Dakota,  C-130B Hercules, amfibi UF-1,Albatros, Helikopter Mi-4, pesawat intai TU-16, dan pesawat Otter. Operasi yang dikembangkan adalah operasi udara yang kompleks, dengan kegiatan yang dilaksanakan seperti operasi penerjunan personel di daerah pedalaman Irian Barat tanpa adanya pengawalan udara yang memadai, dan dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam. Operasi penerjunan dapat dilaksanakan dengan baik.   Demikian juga peperangan udara, dengan beberapa kali terjadi tembak menembak antara pesawat Angkatan Udara dengan pesawat Neptune Belanda pada level operasi gabungan, khususnya operasi pertahanan udara di mana unsur-unsur kesenjataan penangkis serangan udara yang dimiliki oleh ketiga angkatan dijadikan satu dalam satu komando.   Beberapa kegagalan operasi operasi udara terjadi karena kurangnya koordinasi, di antaranya kurang siapnya operasi SAR  terhadap pesawat C-47 Dakota T-440 yang tertembak jatuh  oleh pesawat Neptune Belanda di daerah Sorong, sehingga walaupun crew berhasil mendaratkan pesawat dengan baik di laut dan berada di perahu karet, akibat operasi SAR terlambat datang para crew tersebut ditawan oleh kapal laut Belanda.  Pelajaran berharga dari peristiwa tersebut adalah perlunya komando dan pengendalian yang kuat serta tegas, koordinasi pada level operasi gabungan, kesiapan operasi SAR, keterpaduan konsep operasi yang dilakukan kekuatan laut dan udara, dan kesiapsiagaan satuan tempur dalam menyelenggarakan operasi baik secara mandiri maupun gabungan.

8.      Nilai-Nilai Juang TNI Angkatan Udara.   Perjuangan para pendahulu yang diteruskan secara berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, telah membentuk TNI Angkatan Udara yang senantiasa siaga dan mampu melaksanakan  peran dan fungsinya sebagai  penegak kedaulatan negara di dan melalui udara.   Upaya pembinaan kemampuan dan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Udara, diselenggarakan berdasarkan analisis menyeluruh terhadap kondisi lingkungan strategis.   Perpaduan landasan perjuangan dengan analisis kontekstual yang tajam akan selalu menjastifikasi kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara untuk tetap dapat menjawab setiap panggilan tugas secara cepat dan tepat.    Warisan tekad dan semangat para pendahulu menjadi ilham penghayatan nilai-nilai perjuangan bangsa, mendorong generasi penerus TNI Angkatan Udara untuk memainkan peran dan fungsinya dalam menjalankan tugas negara yang sekaligus menjadi bukti diri sebagai ’Sayap Tanah Air Indonesia’ seperti makna yang disiratkan pada semboyan Swa Bhuwana Paksa.   Sedangkan nilai-nilai intrinsik TNI Angkatan Udara adalah pengawal dan pelindung NKRI, yang dijiwai oleh nilai-nilai semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

9.      Lambang TNI Angkatan Udara.Nilai-nilai juang TNI Angkatan Udara yang dimanifestasikan dalam bentuk lambang TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksamemiliki kandungan makna sebagai sayap tanah air Indonesia.   Lambang tersebut sekaligus menyatakan bahwa TNIAngkatan Udara merupakan payung yang melindungi seluruh wilayah kedaulatan Indonesia dan mengangkat harkat martabat bangsa serta bertekad membangunnya untuk menjadi Indonesia yang jaya di udara.   TNI Angkatan Udara sebagai bagian integral TNI, ikut bertanggung jawab terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan selalu siap siaga untuk mempertahankan serta mengamankan tanah air Indonesia dari setiap ancaman yang datang dari dan melalui udara terhadap rakyat, bangsa, dan negara.  Dalam melaksanakan  tugasnya, TNI Angkatan Udara selalu memegang teguh Pancasila, UUD 1945, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI dan dengan semangat tidak mengenal menyerah serta akan tetap setia dan konsisten untuk melindungi NKRI dan akan mendukung kebijakan politik negara untuk mewujudkan masyarakat adil dan  makmur.  Konsistensi sikap dan tekad demikian telah dipatrikan pada lambang TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa.  Lambang yang terdiri atas enam bagian memiliki arti sangat dalam sebagai perwujudan dari jiwa dan semangat setiap insan TNI Angkatan Udara.   Tiap bagian lambang TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa memiliki makna sebagai berikut:

a.      Burung Garuda mengembangkan sayap selebar-lebarnya dengan posisi kepala mengarah ke timur (sesuai peta pada perisai) dan tiap sayap terdiri atas delapan helai bulu, melambangkan kewaspadaan dan kesiagaan TNI Angkatan Udara dalam menjaga dan mengamankan NKRI yang kemerdekaannya diproklamasikan pada bulan ke delapan (Agustus).   Posisi kepala burung garuda mengarah ke timur mempunyai arti dan makna filosofis, mengingat dalam nilai-nilai kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia bahwa timur  menunjukkan  daerah  hidup  atau lahir, waktu  awal saat sang  surya  menampakkan  wajahnya.    Hal ini melambangkan bahwa TNI Angkatan Udara selalu dihadapkan kepada tantangan kemajuan teknologi kedirgantaraan yang berkembang pesat, sehingga harus selalu siap sedia menyongsong perkembangan teknologi tersebut.

b.      Pita bertuliskan Swa Bhuwana Paksa sebagai semboyan TNI Angkatan Udara berasal dari bahasa Sanskerta dan melambangkan TNI Angkatan Udara sebagai “Sayap Tanah Air”. Pemaknaan lambang disimpulkan dari setiap kata yang mengandung arti sebagai berikut:

1)      Swa berarti sendiri.

2)      Bhuwana asal kata dari Bhawana yang berarti tempat tinggal atau tanah air.

3)      Paksa asal kata dari Pakca yang berarti sayap.

4)      Swa Bhuwana Paksa berarti Sayap Tanah Air Indonesia.

c.      Lima buah anak panah digenggam erat oleh cakar garuda melambangkan dasar negara Pancasila yang mendapat perlindungan sebaik-baiknya dari TNI Angkatan Udara sebagai indikasi memegang teguh Pancasila.

d.      Perisai yang berisikan peta kepulauan Indonesia dengan garuda berdiri di atasnya melambangkan TNI Angkatan Udara yang kuat dan kokoh dalam melindungi NKRI.

e.      Lidah nyala api berjumlah empat di kanan dan lima di kiri perisai melambangkan angka keramat tahun 45 yang bermakna TNI Angkatan Udara memiliki semangat yang berkobar dan tekad tidak mengenal menyerah dalam mempertahankan kemerdekaan negara sejak diproklamasikan pada tahun 1945.

f.       Dua untaian manggar (bunga kelapa) masing-masing terdiri atas tujuh belas kuntum yang disusun melingkari garuda dan perisai melambangkan peran TNI Angkatan Udara bagi upaya peningkatan kesejahteraan dalam rangka mengisi kemerdekaan mencapai tujuan nasional.

10.    Landasan Doktrin.  Bagi bangsa Indonesia perang adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan karena tidak sesuai dengan martabat manusia dan merupakan langkah yang paling akhir untuk dilaksanakan. Penyelesaian pertikaian atau pertentangan yang mungkin timbul antara Indonesia dan bangsa lain akan selalu diusahakan melalui cara-cara damai. Perang hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa guna mempertahankan kemerdekaan bangsa, kedaulatan negara serta kepentingan nasional.   Bentuk pertahanan negara melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya, sarana dan prasarana nasional serta seluruh wilayah negara menjadi satu kesatuan sistem pertahanan yang bersifat semesta.   Prinsip-prinsip inilah yang melandasi Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa baik secara filosofis, konseptual maupun operasional.

a.      Landasan Filosofis.

1)      Landasan Idiil.  Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup bangsa merupakan landasan nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengejawantahan nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai keselarasan, keseimbangan, keserasian, persatuan dan kesatuan,  kekeluargaan  serta  kebersamaan  baik  sebagai  pola pikir,  pola  sikap, maupun pola tindak bagi setiap warga negara dalam Sistem Pertahanan Negara. Oleh karena itu nilai-nilai dasar dan pengejawantahan Pancasila menjadi landasan idiil bagi Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa.

2)      Landasan Konstitusional. Dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 tertuang pokok-pokok pikiran tentang penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. UUD 1945 memuat aturan-aturan pokok yang diperlukan bagi penyelenggara negara, khususnya untuk menjamin eksistensi bangsa dan negara Indonesia dengan segala kepentingannya serta upaya penyelenggaraan pertahanan negara melalui dan dari udara, di darat dan di laut. Pasal 10 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden RI adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.  Oleh karena itu UUD 1945 menjadi landasan bagi Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa.

b.      Landasan Konseptual.

1)      Landasan Visional.   Wawasan  Nusantara  sebagai wawasan geopolitik  bangsa telah mendasari setiap upaya warga negara untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI, yaitu wilayah negara baik permukaan beserta isinya maupun udara di atasnya yang merupakan satu kesatuan wadah dan sarana perjuangan hidup bangsa secara bulat dan utuh. Maknanya bahwa ancaman terhadap sebagian wilayah Indonesia merupakan ancaman terhadap kedaulatan nasional secara keseluruhan yang harus dihadapi dengan mengerahkan segenap daya dan kemampuan.   Implementasi pengerahan daya dan kemampuan di udara diwujudkan melalui wawasan dirgantara nasional sebagai aeropolitik bangsa yang memiliki sifat konvergensi dalam geopolitik, sehingga menjadikan wilayah udara kedaulatan dan wilayah kepentingan sebagai wadah atau ruang untuk dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional yang meliputi politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu maka Wawasan Nusantara menjadi landasan visional bagi Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa.

2)      Landasan Konsepsional. Ketahanan Nasional sebagai pandangan geostrategis termasuk di dalamnya aerostrategis, menggambarkan kondisi bangsa yang berisikan keuletan, ketangguhan, dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala bentuk, ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan baik langsung maupun tidak langsung yang membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan nasional menuju kejayaan bangsa.  Bangsa Indonesia menyadari bahwa berbagai aspek kehidupan bangsa tidak mungkin diselenggarakan secara parsial ataupun terpisah-pisah, tetapi harus merupakan upaya terpadu agar menghasilkan sinergi kemampuan berupa peningkatan ketahanan  setiap  aspek kehidupan bangsa.    Oleh karena itu maka Ketahanan Nasional menjadi landasan konsepsional bagi Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa.

 

c.      Landasan Operasional.

1)      Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4169).   Dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara telah diatur masalah pertahanan negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman, dalam hal ini bertindak sebagai komponen utama adalah Tentara Nasional Indonesia dengan dibantu oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.

2)      Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4439).   Dalam Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, disebutkan bahwa salah satu tugas Kepala Staf TNI Angkatan Udara adalah membantu Panglima Tentara Nasional Indonesia dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur, doktrin, strategi dan operasi militer sesuai dengan tugas pokok TNI, yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

3)      Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/474/VII/2012. Dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/474/VII/2012 tanggal 25 Juli 2012 tentang Naskah Sementara Doktrin TNI ”Tri Dharma Eka Karma” disebutkan bahwa Doktrin TNI merupakan doktrin induk yang berada pada tataran strategis dan menjadi acuan bagi doktrin angkatan maupun buku-buku petunjuk pada tataran di bawahnya.   Doktrin TNI bertujuan untuk mewujudkan kesamaan persepsi, keseragaman sikap dan keselarasan tindakan dalam pembinaan serta penggunaan kekuatan guna menjamin keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas operasi gabungan TNI, baik dalam rangka OMP maupun OMSP.


 

BAB Ill

 

IDENTITAS, PERAN, FUNGSI, DAN TUGAS TNI ANGKATAN UDARA

 

11.    Umum. Identitas TNI Angkatan Udara ditentukan oleh para prajuritnya dalam melaksanakan tugasnya harus berpegang pada kode kehormatan prajurit TNI dengan maksud agar supaya sadar akan kedudukan, kehormatan dan martabat prajurit TNI. Dalam pertahanan negara TNI Angkatan Udara berperan sebagai alat pertahanan negara matra udara di wilayah yurisdiksi nasional.  Untuk itu, peran, fungsi dan tugas TNI Angkatan Udara diwujudkan sesuai amanat Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yaitu dalam rangka upaya pertahanan, keamanan, penegakan hukum serta pemberdayaan wilayah pertahanan.

12.    Identitas TNI Angkatan Udara.   Identitas prajurit TNI Angkatan Udara memiliki watak atau karakter yang berbeda dengan prajurit negara-negara lainnya, karena prajurit TNI Angkatan Udara ditentukan oleh faktor manusia yang dipengaruhi dan bercirikan tentang jati diri, dan kode etik.

a.       Jati Diri.Perwujudan sikap dan pola tindak berlandaskan semangat juang pantang menyerah disertai keikhlasan yang ditunjang oleh kualitas disiplin dan profesionalisme tinggi sebagai insan TNI Angkatan Udara, pada akhirnya menjadi jati diri TNI Angkatan Udara hingga kini.    Jati diri  TNI Angkatan Udara harus melekat pada setiap individu insan Swa Bhuwana Paksa untuk selalu berbuat dan mengembangkan  kemampuannya  baik  sekarang  maupun  masa  mendatang sebagai:

1)      Tentara Rakyat.  TNIAngkatan Udara lahir dan berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan  penjajah untuk merebut kemerdekaan  pada perang  kemerdekaan tahun 1945-1949. Dalam proses perjalanan sejarah sejak kelahirannya  pada  tanggal  9 April 1946,  TNI  Angkatan  Udara  sebagai  kekuatan  inti Tentara Nasional Indonesia selalu berjuang bersama rakyat guna menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta menjamin keselamatan bangsa.  Sebagai tentara yang lahir dari rakyat, TNI Angkatan Udara akan terus berperan secara aktif melaksanakan tugas negara hanya berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat.

2)      Tentara Pejuang.  Dalam melaksanakan tugasnya, TNI Angkatan Udara berjuang untuk menegakkan dan mempertahankan NKRI.  Secara moral, berjuang yang memiliki makna tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan setiap tantangan tugas yang dilaksanakan.  Sebagai tentara pejuang senantiasa rela berkorban, mengabdi  tanpa pamrih demi mencapai kepentingan dan tujuan nasional.  Kiprah TNI Angkatan Udara pada masa revolusi, seperti dalam misi penerobosan blokade Belanda, baik penerbangan klandestin ke luar negeri maupun keberadaan Indonesian Airways di Burma (Myanmar) dalam masa perjuangan, telah pula melaksanakan penerbangan ke India, Thailand, Malaysia, Philipina, Burma, dan Singapura guna menghimpun dana untuk berbagai tugas revolusi, telah menorehkan prestasi pejuang. Di samping mengoperasikan pesawat terbang untuk kepentingan militer dan non-militer, TNI Angkatan Udara juga mempelopori terjalinnya hubungan antar daerah dan antar negara melalui jaringan komunikasi radio yang diselenggarakan oleh Perhubungan (PHB) AURI.  Sifat kepeloporan dalam perjuangan bangsa akan terus ditumbuhkembangkan oleh TNI Angkatan Udara sejalan dengan dinamika kontekstual strategis.

3)      Tentara Nasional. TNI Angkatan Udara tumbuh dan berkembang sebagai tentara kebangsaan Indonesia yang dituntut harus mampu berperan sebagai alat pertahanan negara matra udara. Status tentara kebangsaan yang melekat dipundaknya telah mewajibkan TNI Angkatan Udara  bertugas  dan  mengabdi  demi  kepentingan  negara di atas  kepentingan daerah, suku, ras dan golongan serta agama.  TNI Angkatan Udara harus memberikan kesetiaanya hanya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, serta bersungguh-sungguh akan membangun dan mengembangkan kekuatan udara nasional sehingga setara dengan kekuatan udara negara lainnya di kawasan.

4)      Tentara Profesional.  TNI Angkatan Udara merupakan tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak dan mampu melaksanakan tugas secara terukur serta memenuhi nilai-nilai  akuntabilitas.  Untuk  mencapai  tingkat  profesional, maka prajurit TNI Angkatan Udara harus dididik dan dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara, sehingga diharapkan mahir bertempur untuk mempertahankan negara dan bangsa.  Dalam kehidupan bernegara, TNI Angkatan Udara tidak terlibat dalam politik praktis dan  hanya  mengikuti  kebijakan  politik  negara  dengan  mengutamakan  prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi.

b.      Kode Etik TNI Angkatan Udara.    Dalam melaksanakan tugasnya prajurit TNI Angkatan Udara berpedoman terhadap Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan Delapan Wajib TNI.

1)      Sumpah Prajurit.  Sumpah Prajurit memberi tekad kebathinan kepada setiap prajurit TNI dalam melaksanakan kewajiban yang dipercayakan oleh bangsa dan negara kepadanya.Sikap dan ketaatan prajurit adalah sikap dan ketaatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, hukum dan disiplin tentara yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, maka Sumpah Prajurit sangat mengikat terhadap insan prajurit TNI baik dari segi spiritual, moral, norma ataupun hukum.

 

Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.

 

Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan.

 

Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia.

 

Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.

2)      Sapta Marga.  Sapta Marga sebagai salah satu pedoman dan kode kehormatan prajurit TNI, membimbing moral, mental dan disiplin prajurit TNI sekaligus pengejawantahan Pancasila ke dalam jiwa prajurit TNI. Dengan adanya Sapta Marga akan lebih menyadarkan kedudukan, kehormatan dan martabat prajurit TNI, baik sebagai prajurit pejuang maupun sebagai prajurit profesional di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Bersendikan Pancasila.

 

Kami Patriot Indonesia Pendukung serta Pembela Ideologi Negara yang Bertanggung Jawab dan Tidak Mengenal Menyerah.

 

Kami Kesatria Indonesia yang Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Membela Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan.

 

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.

 

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia Memegang Teguh Disiplin, Patuh dan Taat Kepada Pimpinan serta Menjunjung Tinggi Sikap dan Kehormatan Prajurit.

 

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia Mengutamakan Keperwiraan Didalam Melaksanakan Tugas serta Senantiasa Siap Sedia Berbakti Kepada Negara dan Bangsa.

 

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia Setia dan Menepati Janji serta Sumpah Prajurit.

 

3)      Delapan Wajib TNI.   Dalam Delapan Wajib TNI, ditunjukkan bahwa TNI dalam melaksanakan tugasnya akan selalu menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia.

 

Bersikap Ramah Tamah Terhadap Rakyat.

Bersikap Sopan Santun Terhadap Rakyat.

Menjungjung Tinggi Kehormatan Wanita.

Menjaga Kehormatan Diri Dimuka Umum.

Senantiasa Menjadi Contoh Dalam Sikap dan Kesederhanaannya.

Tidak Sekali-kali Merugikan Rakyat.

Tidak Sekali-kali Menakuti dan Menyakiti Hati Rakyat.

Menjadi Contoh dan Memelopori Usaha-usaha Untuk Mengatasi Kesulitan Rakyat Sekelilingnya.

 

13.    Peran TNI Angkatan Udara.  Dalam penyelenggaraan pertahanan negara, TNI Angkatan Udara berperan sebagai alat pertahanan negara matra udara di wilayah yurisdiksi nasional. Dalam menghadapi ancaman militer, TNI Angkatan Udara berperan sebagai komponen utama yang didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, sedangkan dalam menghadapi ancaman non-militer, TNI Angkatan Udara berperan sebagai penegak hukum dan keamanan di udara, pemberdayaan wilayah pertahanan udara, serta unsur pendukung bagi lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan.

14.    Fungsi  TNI Angkatan Udara.    Sebagai inti kekuatan udara nasional, peran dan tugas TNI Angkatan Udara melekat sebagai alat pertahanan negara di udara.   TNI Angkatan Udara memandang wilayah pertahanan udara merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga fungsi yang dikembangkan merupakan satu kebijakan yang mengatur fungsi pembinaan dan penggunaan kekuatan.   TNI Angkatan Udara mengembangkan dua fungsi utama yang tidak dapat dipisahkan, yakni:

a.      Fungsi Pembinaan.

1)      Pembinaan Kekuatan.  Pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara ditujukan pada objek organisasi, personel, materiil fasilitas dan jasa, sistem dan metode, serta anggaran dalam rangka melaksanakan tugas TNI Angkatan Udara yang meliputi pertahanan, penegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yuridiksi nasional, serta pemberdayaan wilayah pertahanan matra udara.   Objek tersebut dibina dan diberdayakan melalui kebijakan dan strategi militer sesuai dengan politik negara guna mewujudkan postur TNI Angkatan Udara yang tangguh dan andal. Pembinaan kekuatan tersebut   dilaksanakan dengan menganut sistem fungsi staf.

2)      Pembinaan Kemampuan.   Postur TNI Angkatan Udara yang dihasilkan dari proses pembinaan kekuatan tersebut akan dibina secara bertahap dan berkesinambungan, agar memiliki kemampuan pertempuran udara, pengendalian udara dan dukungan udara serta kemampuan pemanfaatan informasi. Pembinaan kemampuan dilakukan secara proporsional untuk mewujudkan suatu kemampuan operasional berbasis profesionalitas yang dapat diandalkan guna mencapai keberhasilan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

b.      Fungsi Penggunaan Kekuatan.

1)      Penangkal.  TNI Angkatan Udara merupakan salah satu kekuatan nyata TNI yang mempunyai aspek psikologis untuk diperhitungkan oleh musuh, sehingga mengurungkan niat musuh sekaligus mencegah niat musuh yang akan mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

 

2)      Penindak.   TNI Angkatan Udara merupakan salah satu kekuatan nyata TNI yang mampu dan dapat digunakan untuk menghancurkan kekuatan yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.

3)      Pemulih.  TNI Angkatan Udara merupakan kekuatan nyata TNI yang dapat digunakan bersama-sama dengan instansi pemerintah lainnya membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara akibat perang, pemberontakan, konflik komunal, huru-hara, terorisme dan bencana alam.   Dalam konteks internasional, TNI Angkatan Udara bersama unsur TNI lainnya berperan aktif dalam upaya menciptakan dan memelihara perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.

15.    Tugas TNI Angkatan Udara.

a.      Dalam menjamin kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI, TNI Angkatan Udara bertugas:

1)      Melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan.

2)      Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

3)      Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara.

4)      Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.

 

b.      Pelaksanaan tugas di atas diwujudkan dalam kegiatan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP) meliputi:

 

1)      Operasi Militer untuk Perang, yang terdiri atas Kampanye Militer dan Operasi Udara dengan kegiatan meliputi:

a)      Operasi Pertahanan Udara, meliputi kegiatan Operasi Hanud Aktif dan Operasi Hanud Pasif.

b)      Operasi Serangan Udara Strategis, meliputi kegiatan Operasi Pengamatan dan Pengintaian Udara Strategis, Operasi Penyerangan Udara Strategis dan Operasi Perlindungan Udara.

c)      Operasi Lawan Udara Ofensif, meliputi kegiatan Operasi Penyerangan terhadap kekuatan udara musuh di permukaan.

d)      Operasi Dukungan Udara, meliputi kegiatan Operasi Penyekatan Udara, Operasi Serangan Udara Langsung, Operasi Pengungsian Medis Udara, Operasi Angkutan Udara, Operasi Patroli Udara, Operasi Pengintaian Udara, Operasi Pengisian Bahan Bakar di Udara, Operasi Perlindungan Udara, Operasi SAR Tempur, Operasi Pengamanan Alutsista, Operasi Bantuan Tembakan Udara, Operasi Perebutan dan Pengoperasian Pangkalan Udara (P3-U) dan Operasi Khusus.

e)      Operasi Informasi, meliputi kegiatan Operasi Lawan Informasi Ofensif dan Operasi Lawan Informasi Defensif.

2)       Operasi Militer Selain Perang (OMSP).  TNI AU melaksanakan Kampanye Udara berupa Operasi Pertahanan Udara, Operasi Dukungan Udara dan Operasi Informasi dalam rangka:

a)      Mengatasi gerakan separatis bersenjata.

b)      Mengatasi pemberontakan bersenjata.

c)       Mengatasi aksi terorisme.

d)      Mengamankan wilayah perbatasan.

e)      Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.

f)       Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.

g)      Mendukung mengamankan Presiden dan Wakil Presiden RI beserta keluarganya.

h)      Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini dalam rangka sistem pertahanan semesta.

i)        Membantu tugas pemerintahan di daerah.

j)        Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.

k)       Mendukung mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan asing yang sedang berada di Indonesia.

l)        Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan.

m)     Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue).

n)      Membantu pemerintah untuk pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.


 

BAB IV

 

POKOK-POKOK KEKUATAN UDARA

 

16.    Umum.   Tuntutan memenangkan perang pada penyusunan strategi perang telah berkembang sejak Perang Dunia I dan salah satu perkembangan yang terjadi adalah bergesernya strategi militer ketika kekuatan udara mulai dikenal dan digunakan dalam peperangan. Kekuatan udara terealisasikan atau terwujud dari perkembangan Iptek kedirgantaraan, yang secara bertahap telah diakui sebagai perkembangan sistem persenjataan militer yang pada gilirannya telah  memungkinkan pemanfaatan media udara secara luas untuk berbagai kepentingan.  Kepentingan penggunaan kekuatan udara dari suatu negara akan berbeda dengan negara lainnya, tergantung kepada kepentingan nasional negara yang bersangkutan.   NKRI berpandangan bahwa kekuatan udara merupakan salah satu kekuatan negara dalam merekayasa dan menggunakan wahana dirgantara untuk kepentingan nasional.    Kekuatan udara  tersebut dikembangkan sesuai  dengan cita-cita bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa agar setara dengan bangsa lain di dunia, sehingga kekuatan udara yang dikembangkan bertumpu kepada komponen, kemampuan, peran, karakteristik serta komando dan kendali kekuatan udara.

17.    Komponen Kekuatan Udara.   Kekuatan udara dibangun dan dikembangkan sesuai kebutuhan penggunaannya bagi suatu negara.  Pengembangan kekuatan udara mengandung arti pengembangan komponen-komponen yang terpadu satu dengan lainnya.   Sinergitas hasil pengembangan beberapa komponen kekuatan udara akan menciptakan kemampuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.   Secara universal, komponen kekuatan udara dapat dikelompokkan menjadi armada penerbangan militer, armada penerbangan sipil, lembaga pendidikan kedirgantaraan, industri dan jasa kedirgantaraan. Dalam sistem  pertahanan negara Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen yaitu:

 

a.      Komponen Utama.   Komponen utama kekuatan udara nasional diwujudkan dalam postur (organisasi, kekuatan, kemampuan, dan penggelaran) TNI Angkatan Udara yang sekaligus menjadi inti kekuatan dalam mempertahankan, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta melindungi seluruh bangsa dari ancaman di dan melalui udara.

b.      Komponen Cadangan.  Komponen cadangan kekuatan udara nasional merupakan integrasi seluruh sumber daya nasional matra udara yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.

c.      Komponen Pendukung.  Komponen pendukung kekuatan udara nasional adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

18.    Kemampuan Kekuatan Udara.   Penggunaan kekuatan udara dalam upaya pertahanan negara, dilaksanakan melalui berbagai bentuk operasi udara, baik yang bersifat matra tunggal ataupun sebagai bagian dari suatu operasi gabungan.   Pada dasarnya kemampuan kekuatan udara dapat dikelompokkan menjadi:

a.      Kemampuan Pengendalian Udara (Control of the Air).   Inti dari kemampuan  kekuatan udara adalah pengendalian udara. Pengendalian udara merupakan kemampuan untuk menggunakan dimensi ketiga (udara) guna mengendalikan  keamanan permukaan maupun  di bawahnya tanpa terancam atau diserang, sehingga musuh tidak dapat menggunakan kekuatan udaranya secara efektif.  Pengendalian udara menjadi syarat keberhasilan operasi-operasi militer baik ofensif maupun defensif, karena tanpa pengendalian udara, kedaulatan suatu negara akan terancam bahaya, sebab infrastruktur dan garis komunikasi  akan rawan terhadap serangan udara musuh  sehingga negara tidak dapat menyelenggarakan kampanye militer.  Pengendalian udara  diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu:

1)      Keadaan Udara yang Menguntungkan (Favourable Air Situation).    Keadaan ini diindikasikan dengan tingkat kekuatan udara musuh yang diperkirakan tidak cukup mampu menghadapi kekuatan udara kita, baik dioperasikan secara mandiri maupun gabungan dengan kekuatan darat dan laut.

2)      Keunggulan Udara (Air Superiority).   Keadaan ini digambarkan dari derajat dominasi kekuatan udara kita  pada suatu pertempuran udara terhadap  kekuatan udara musuh,  sehingga kekuatan udara musuh bukan sebagai ancaman serius di atas suatu wilayah dan dalam jangka waktu tertentu.

3)      Supremasi Udara (Air Supremacy).  Keadaan ini ditandai dengan kondisi kekuatan udara musuh yang sama sekali bukan merupakan suatu ancaman bagi kekuatan udara kita maupun terhadap kedaulatan nasional atau terhadap operasi darat, laut, dan udara yang sedang dilaksanakan.

b.      Kemampuan Serangan Udara (Air Strike).  Kemampuan penggunaan kekuatan udara secara signifikan merupakan kunci keberhasilan dalam setiap operasi militer.  Penyerangan udara dikembangkan berdasarkan kemampuan penindakan dan penghancuran untuk melancarkan serangan dari udara terhadap sasaran, baik statis maupun dinamis yang ada di udara, laut, dan darat.

c.      Kemampuan Dukungan Udara (Air Support). Kemampuan dukungan udara merupakan kemampuan untuk mendukung pelaksanaan  operasi kekuatan darat, laut dan udara yang sedang/akan melaksanakan operasi dalam rangka keberhasilan pelaksanaan tugas operasi kawan.   Kemampuan dukungan udara ditujukan untuk menciptakan keberlangsungan perang yang sedang dilaksanakan. Kemampuan dukungan udara diwujudkan melalui penyelenggaraan satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan secara paralel maupun sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bersifat serial.

d.      Kemampuan Eksploitasi Informasi. Pemanfaatan dan pendayagunaan informasi dimaksudkan untuk mendapatkan dan mendayagunakan informasi melalui ruang (wahana) dirgantara dalam rangka mendapatkan keunggulan informasi agar tercipta  penguasaan udara.

19.    Peran Kekuatan Udara.  Peran kekuatan udara pada hakekatnya merupakan aplikasi kemampuan kekuatan udara sebagai suatu kekuatan militer yang menguraikan tentang penggunaan kekuatan udara sebagai alat yang dimanifestasikan pada kemampuan Angkatan Udara dalam menyelenggarakan penegakan kedaulatan negara dan hukum di udara, mengelola krisis internasional, dan memelihara perdamaian serta sebagai alat penyelenggara dukungan sosial.

 

a.      Alat Penyelenggara Perang.

1)      Pengelolaan.  Kekuatan  udara   berperan   sebagai   sumber  daya/Alutsista udara yang ada untuk menghadapi ancaman perang dengan mempertimbangkan taktik dan strategi serta teknologi yang dimiliki musuh untuk memperoleh cara bertindak yang efektif dan efisien sehingga dapat memenangkan perang.

2)      Pengamatan. Kekuatan udara berperan sebagai alat untuk melakukan pengamatan dan pemantauan terhadap kekuatan dan kegiatan musuh yang dapat digunakan untuk perencanaan intelijen serta pelaksanaan operasi/perang.

3)      Penghancuran.  Kekuatan udara berperan sebagai alat untuk  memusatkan daya tembak guna menghasilkan daya hancur yang besar dalam rangka memenangkan perang.

4)      Pemaksaan. Kekuatan udara berperan untuk menerobos jauh ke dalam wilayah musuh setiap saat dan menyerang berbagai sasaran, sehingga dapat memaksa musuh untuk menghentikan perang.

5)      Dislokasi. Kekuatan udara berperan untuk mendislokasi kekuatan musuh yang bertujuan dapat menimbulkan penundaan/ kelambatan dan kekacauan serta memecahkan kohesi satuan musuh.

6)      Pengalihan. Kekuatan udara berperan untuk dapat mengalihkan sasaran serangan musuh yang bertujuan untuk memecah konsentrasi musuh.

7)      Penundaan. Kekuatan udara berperan untuk melakukan penundaan penyerangan pihak musuh sehingga memungkinkan kekuatan kawan melakukan serangan lebih efektif.   Sedangkan dalam situasi ofensif, penundaan memungkinkan kekuatan kawan mencegah musuh meloloskan diri.

8)      Penurunan Moril.  Kekuatan udara dalam melakukan serangan udara berperan untuk melemahkan moril musuh dan sebaliknya meningkatkan moril pasukan kawan.

b.      Alat Penyelenggara Penegakan Kedaulatan Negara dan Hukum di Udara.   Kekuatan udara berperan sebagai alat penindak utama pada setiap ancaman udara yang mengancam kedaulatan negara di udara, juga berperan sebagai alat penegak hukum di udara yang berakibat langsung kepada tingkat keamanan udara bagi setiap penerbangan dan pengguna sarana udara.

c.      Alat Penyelenggara Pencegah Krisis Nasional, Regional, dan Internasional.

1)      Peringatan. Kekuatan udara berperan untuk memberikan peringatan pada saat yang tepat tentang agresi yang mungkin akan dilakukan oleh musuh.

2)      Isyarat.  Kekuatan udara berperan untuk  mengirimkan isyarat politik yang jelas melalui berbagai tindakan, termasuk peningkatan kesiapan secara terbuka, pelatihan, atau penerbangan.

3)      Dukungan.   Kekuatan udara berperan untuk memberikan dukungan moril dan fisik kepada kawan, sehingga memperkuat semangat pada saat moril menurun.

4)      Pertolongan.  Kekuatan udara berperan untuk melakukan operasi pertolongan dalam situasi krisis.

5)      Peningkatan Stabilitas.  Kekuatan udara berperan untuk menambah kekuatan lain di wilayah yang terancam huru-hara atau konflik regional, sehingga stabilitas keamanan dapat ditingkatkan.

6)      Penangkalan. Kekuatan udara berperan sebagai kekuatan  penangkalan  melalui penggelaran alutsista udara.

d.      Alat Penyelenggara Pemelihara Perdamaian.

1)      Meningkatkan Hubungan Internasional. Kekuatan udara berperan untuk meningkatkan hubungan internasional melalui kerja sama pertahanan.

2)      Memberikan Dampak Penangkalan.Kekuatan udara berperan untuk memberikan dampak penangkalan terhadap musuh potensial.

3)      Kehadiran.  Kekuatan udara berperan untuk dapat selalu hadir di daerah-daerah yang tidak dapat dicapai oleh kekuatan lain dalam waktu yang relatif singkat.

e.      Alat Penyelenggara Dukungan Sosial.

 

1)      Bencana Alam.  Kekuatan udara dapat digunakan untuk kegiatan sosial dalam menanggulangi kerusakan akibat dari bencana alam yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.

2)      Akibat Perang dan Konflik.  Kekuatan udara diperankan untuk dukungan sosial dengan berperan serta dalam menanggulangi dan merehabilitasi akibat dari perang dan konflik.

20.    Karakteristik Kekuatan Udara. Karakteristik kekuatan udara pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi kedirgantaraan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.  Kekuatan udara mempunyai karakteristik berupa keunggulan dan keterbatasan yang saling terkait.

a.      Keunggulan.  Karakteristik kekuatan udara memiliki beberapa keunggulan yaitu:

1)      Ketinggian. Kekuatan udara dapat memanfaatkan media udara secara vertikal, sehingga dapat mengawasi sasaran secara luas baik di daratan maupun di lautan.

2)      Kecepatan.  Kekuatan udara dapat bergerak dengan kecepatan jauh lebih tinggi dibandingkan kekuatan darat atau laut, sehingga memberikan keunggulan dari aspek jarak dan waktu.

3)      Daya Jangkau.  Kekuatan udara dapat menjangkau ke segala penjuru  di semua titik dipermukaan bumi dan terhadap sasaran bergerak di darat, laut dan udara sesuai dengan kemampuan teknologi yang dimilikinya.

4)      Fleksibilitas.  Kekuatan udara dapat digunakan untuk  tugas-tugas dengan fungsi yang berbeda dan dapat disiapkan dalam waktu relatif singkat.

5)      Daya Terobos.  Kekuatan udara dapat masuk lebih jauh ke dalam wilayah pertahanan musuh, sehingga memungkinkan mampu menghancurkan kekuatan musuh di wilayahnya.

6)      Daya Tanggap.  Kekuatan udara dapat disiapkan dalam waktu yang cepat dan tepat pada waktunya baik dari pangkalan induk maupun pangkalan operasi serta melaksanakan tugas yang ditentukan sebelum kekuatan lain dapat beroperasi.

7)      Pemusatan Kekuatan.  Kekuatan udara dapat dipusatkan dengan cepat untuk menghancurkan suatu sasaran secara berlanjut dari lokasi penggelaran yang ditentukan dengan peran dan persenjataan yang berbeda.

8)      Daya Penghancur. Kekuatan udara dapat melakukan serangan udara terhadap sasaran terpilih dengan tingkat ketepatan yang tinggi dan dengan daya hancur tinggi.

9)      Presisi.  Kekuatan udara dapat ditujukan pada sasaran-sasaran terpilih dengan tingkat ketepatan yang tinggi dan daya ledak yang terukur, sehingga menghindarkan timbulnya korban besar dan kerusakan yang tidak diharapkan.

10)   Mobilitas.   Kekuatan udara dapat digelar dengan cepat untuk diproyeksikan pada sasaran tertentu dengan dukungan logistik dan personel secara berlanjut, sehingga menimbulkan dampak kehadiran dan kesiapsiagaan menghadapi berbagai kemungkinan ancaman.

11)   Daya Kejut.   Kekuatan udara dapat menyerang sasaran secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian fisik maupun menurunkan moril musuh sangat besar.

b.      Keterbatasan.   Karakteristik kekuatan udara memiliki keterbatasan yaitu:

1)      Ketergantungan pada pangkalan udara.  Kekuatan udara pada umumnya tidak dapat beroperasi secara terus menerus di udara, namun memerlukan pangkalan udara untuk dapat dipersiapkan kembali terhadap tugas berikutnya.    Kebutuhan akan pangkalan udara merupakan hal mutlak yang tidak dapat dihindarkan.

2)      Daya angkut.  Kekuatan udara memiliki kemampuan daya angkut yang terbatas bila dibandingkan dengan wahana lain, baik untuk membawa persenjataan maupun personel atau barang, sehingga penggunaannya harus berdasarkan suatu perencanaan dengan sasaran yang telah diperhitungkan.

3)      Pembiayaan mahal.   Kekuatan udara merupakan kekuatan yang didukung dengan alutsista berteknologi tinggi sehingga membutuhkan dukungan biaya yang sangat mahal, baik untuk pengadaan, penyiapan, pengorganisasian maupun pemeliharaannya.

4)      Sensitif terhadap cuaca.  Kekuatan udara memiliki sensitivitas tinggi terhadap kondisi cuaca dan akan berpengaruh langsung pada saat pesawat tinggal landas, mendarat, bernavigasi, pelaksanaan penerjunan, dan penembakan sasaran secara visual.

5)      Kerawanan.  Kekuatan udara dikategorikan sebagai sasaran bernilai strategis sehingga sangat rawan terhadap serangan musuh dari darat, laut dan udara, sehingga memerlukan sistem pengamanan.

 

6)      Ketergantungan teknologi.  Kekuatan udara sangat tergantung pada kemajuan teknologi yang akan berpengaruh langsung pada kemampuannya.

 

7)      Kerapuhan.  Material kekuatan udara dikategorikan material yang sangat rapuh terhadap kondisi cuaca dan serangan musuh.

21.    Komando dan Kendali (Kodal).  Komando dan kendaliadalah proses dan sarana bagi pelaksanaan wewenang dan arahan komandan yang ditunjuk atas kekuatan yang diberikan kepadanya untuk melaksanakan misi. Komando dan Kendaliyang efektif merupakan persyaratan yang paling mendasar untuk penggunaan kekuatan udara secara efisien.   Semua kekuatan militer harus mempunyai struktur kodal untuk menjamin bahwa kekuatan yang tersedia digunakan menurut arahan dan wewenang yang tepat dengan cara yang paling efisien untuk mencapai hasil yang diinginkan.

a.      Prinsip Dasar Komando dan Kendali.   Pengalaman menujukkan bahwa  kesatuan komando sangat penting untuk penggunaan kekuatan udara secara efektif.   Kekhasan kekuatan udara yaitu kecepatan, daya jangkau dan fleksibilitas memungkinkan kekuatan udara digunakan untuk mencapai beberapa sasaran baik dalam tugas (tasks) yang sama maupun berbeda. Hal seperti ini apabila penggunaannya tidak direncanakan secara matang akan mengakibatkan terpecahnya kekuatan dan menimbulkan pemborosan.  Guna menghindari hal seperti tersebut di atas, maka perlu adanya kesatuan tindak dengan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut :

1)      Kesatuan komando dan kendali.

2)      Sentralisasi pada tingkat kebijakan.

3)      Desentralisasi pada pelaksanaan di lapangan.

 

b.      Kesatuan Komando dan Kendali.   Kesatuan Kodal akan menjamin integritas usaha dan penggunaan kekuatan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan.   Kesatuan Kodal juga memungkinkan dilaksanakannya perubahan-perubahan rencana maupun pelaksanaan serta pengaturan kembali kekuatan-kekuatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi operasi.  Konsentrasi kekuatan udara harus benar-benar dapat diarahkan ke daerah kritis dalam waktu singkat dan tepat.  Kesatuan Kodal sangat esensial apabila kekuatan udara dipergunakan pada operasi gabungan guna menghindari:

1)      Terpecahnya kekuatan menjadi kekuatan-kekuatan kecil yang akan mengurangi daya gempur, karena kekuatannya tidak terkonsentrasi.

2)      Penggunaan kekuatan gabungan yang tidak teratur dan tidak terkoordinasi.

c.      Sentralisasi pada Tingkat Kebijakan.  Kesatuan usaha akan mencapai hasil yang maksimal bila kewenangan kebijakan/pengambilan keputusan Kodal berada di pucuk pimpinan tertinggi, yaitu panglima atau komandan.   Sentralisasi kebijakan masih tetap harus mempertimbangkan faktor efisiensi guna menentukan strata yang paling tepat dalam mengambil keputusan.  Hal-hal yang perlu ditangani meliputi:

1)      Tanggung jawab operasional.

2)      Penentuan tujuan dan sasaran operasional yang ingin dicapai.

3)      Sistem pengendalian yang tersedia guna mendukung penyelesaian tugas pokok serta pengendalian aset kekuatan udara yang ada.

4)      Pendayagunaan fungsi sumber daya udara/kekuatan udara.

d.      Desentralisasi Pelaksanaan. Dalam rentang kendali yang sangat luas, tidak mungkin dapat ditangani sendiri oleh seorang panglima/komandan. Untuk itulah pentingnya desentralisasi dengan cara melimpahkan wewenang tertentu dalam pelaksanaan tugas (tasks) maupun misi (missions). Desentralisasi memungkinkan komandan bawahan dapat secara luwes mengembangkan pikiran atau inisiatifnya atas dasar kebijakan pemimpin yang telah ditetapkan. Dalam organisasi pada eselon pimpinan perlu dilengkapi dengan perangkat kontrol agar pelaksanaan desentralisasi tidak menyimpang dari tujuan dan sasaran.  Penyimpangan bisa dihindari apabila tujuan dan sasaran operasi telah benar-benar dipahami oleh para pelaksana pada setiap tingkat di jajaran.

22.    Strata Komando.  Implementasi dari suatu strategi militer melibatkan pertimbangan, proses, faktor, waktu dan sifat yang bervariasi pada setiap strata komando.  Struktur komando militer terdiri atas tiga strata yaitu komando strategi, operasional dan taktis.

a.      Komando Strategis.  Komando strategis mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah, menyangkut tingkat dan aplikasi kekuatan militer untuk mencapai tujuan nasional dalam melaksanakan kebijakan politik, ekonomi, sosial, pertahanan, dan hukum.

b.      Komando Operasional. Komando operasional bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan kampanye militer.  Dalam hal pengerahan kekuatan, komando operasional menangani penggelaran logistik dan keamanan pasukan dalam mengimplementasikan strategi militer.   Pertimbangan pada komando operasional juga melibatkan hubungan dengan pejabat sipil, media, dukungan dan infrastruktur serta keuangan. Panglima Komando Operasi Militer menentukan misi, daerah operasi, kekuatan dan dukungan yang tersedia, aturan pelibatan serta batasan lainnya untuk komando operasional. Komando operasional merencanakan dan mengendalikan operasi secara serentak atau bertahap yang dirancang untuk menghadapi musuh, dalam situasi dan kekuatan yang dikehendaki sehingga menghasilkan keberhasilan taktis.

c.      Komando Taktis.  Komando taktis secara langsung menangani aplikasi pemusatan kekuatan dalam rangka mencapai tujuan operasi serta memaksimalkan aplikasi kekuatan persenjataan, dan memerlukan pengendalian kekuatan secara seksama pada waktu sebenarnya, sehingga setiap pergerakan dapat dikoordinasikan diantara unsur-unsur kekuatan yang terlibat. Keberhasilan operasi sangat tergantung pada, kepemimpinan, moral, kerja sama tim dan pendadakan.


 

BAB  V

HAKIKAT ANCAMAN

 

 

23.    Umum.   Kecenderungan globalisasi ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan informasi sangat mempengaruhi sifat dan bentuk ancaman.  Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan non-fisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri dalam bentuk ancaman militer dan ancaman non-militer.  Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, sedangkan dalam menghadapi ancaman non-militer disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman dilaksanakan bersama unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

24.       Hakikat Ancaman (The Nature of Threat). Hakikat Ancaman adalah segala sesuatu yang mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa Indonesia yang merupakan kepentingan keamanan nasional, baik dari segi sumber ancaman (ancaman dari dalam negeri, luar negeri dan azimutal), dari segi macam ancaman (ancaman militer atau non-militer), maupun dari segi aktor ancaman (ancaman suatu negara atau bukan negara). Sumber ancaman (the source of threat) terhadap “Keamanan Nasional”menjadi semakin luas, bukan hanya meliputi ancaman dari luar (external threat) atau ancaman dari dalam (internal threat), akan tetapi juga ancaman azimutal yang bersifat global dari segala arah dan berbagai aspek, tanpa bisa dikategorikan sebagai ancaman yang datang dari luar atau dari dalam.   Di samping persoalan-persoalan ancaman keamanan konvensional, muncul pula masalah-masalah ancaman keamanan baru yang langsung mempengaruhi keamanan nasional, seperti perpindahan penduduk, kejahatan lintas negara (trans-national organized crime atau TNOC)seperti pencucian uang (money laundry), perdagangan orang (human trafficking), penyelundupan migran,produksi dan perdagangan gelap senjata api, pembalakan liar, perdagangan obat bius (drugs trafficking), penyakit/epidemi yang belum ada obatnya, kejahatan komputer, hingga terorisme internasional dan nasional. Hakikat ancaman saat ini mencakup spektrum ancaman yang cukup luas, dari yang berintensitas rendah dalam bentuk kejahatan kriminal, sabotase, teror dan subversi sampai yang berintensitas tinggi dalam bentuk pemberontakan bersenjata, perang terbatas dan perang terbuka, baik dengan senjata konvensional maupun dengan senjata pemusnah massal.

25.    Macam Ancaman.

a.      Ancaman Militer Tradisional.  Ancaman militer tradisional merupakan ancaman yang sumbernya berasal dari kekuatan militer negara lain, yaitu berupa pengerahan kekuatan militer secara konvensional oleh satu atau beberapa negara yang ditujukan untuk menyerang NKRI.   Ancaman ini dapat berupa tindakan-tindakan seperti:

1)      Agresi, berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dalam bentuk atau cara-cara antara lain:

a)    Invasi berupa serangan oleh kekuatan bersenjata negara lain terhadap wilayah NKRI.

b)    Bombardemen berupa penggunaan senjata dan lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah NKRI.

c)     Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara NKRI oleh angkatan bersenjata negara lain.

d)    Serangan unsur militer negara lain terhadap unsur satuan darat, laut dan udara.

e)    Keberadaan atau tindakan unsur kekuatan bersenjata asing dalam wilayah NKRI yang bertentangan dengan ketentuan atau perjanjian yang telah disepakati.

f)     Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain untuk melakukan agresi atau invansi terhadap NKRI.

g)    Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah NKRI atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas.

2)      Sengketa perbatasan, baik wilayah perbatasan darat, wilayah laut ZEE, wilayah yurisdiksi udara nasional, dan pelanggaran wilayah.

3)      Sabotase, dari pihak tertentu untuk merusak instalasi penting dan objek vital nasional.

4)      Spionase, yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia militer.

b.      Ancaman Militer Non-Tradisional.  Ancaman militer non-tradisional merupakan ancaman yang sumbernya tidak hanya berasal dari kekuatan militer negara lain, dapat pula berupa separatisme bersenjata, radikalisme bersenjata, konflik komunal bersenjata, terorisme bersenjata, pembajakan, perompakan bersenjata, penyelundupan senjata dan amunisi, pemberontakan bersenjata, kejahatan terorganisir lintas negara yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara dengan memanfaatkan kondisi dalam negeri yang tidak kondusif, atau juga dari faktor fenomena alam. Berdasarkan analisa kecenderungan lingkungan strategis yang terjadi, ancaman militer non-tradisional ke depan dapat berupa aksi separatisme, pemberontakan, aksi radikalisme, aksi terorisme, sabotase, spionase, pembajakan, perompakan, penyelundupan dan perdagangan senjata, amunisi dan bahan peledak.

c.      Ancaman Non-Militer (Nir-Militer). Ancaman non-militer dalam konteks pertahanan negara pada hakikatnya adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor non-militer yang dinilai mempunyai kemampuan membahayakan atau berimplikasi mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.   Ancaman non-militer dapat berasal dari luar negeri atau dapat pula bersumber dari dalam negeri.   Ancaman non-militer digolongkan dalam ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, informasi dan teknologi.  Ancaman non-militer ke depan dapat berupa aksi separatis ideologi dan politik, konflik komunal, kerusuhan sosial skala besar dan berlarut (revolusi sosial), demo anarkis (pembangkangan massal), bencana, wabah penyakit, pencurian ikan (illegal fishing), pencurian kayu (illegal logging), penambangan gelap (illegal mining), penyelundupan, perdagangan manusia, pengungsi luar negeri, kejahatan komputer (cybercrime), kemiskinan, kebodohan, krisis pangan, krisis energi, narkoba, korupsi dan pencucian uang.

         

26.    Bentuk Perang.   Perang dapat terjadi dalam bentuk:

 

a.      Perang Simetris.  Perang simetris dapat dipandang sebagai pertikaian antara dua pihak yang bersifat konvensional dengan melibatkan kekuatan militer yang seimbang dalam pertempuran-pertempuran yang hebat dan sengit dalam perang kekuatan-lawan-kekuatan (force against force).  Contoh: Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang Teluk, dan perang sejenisnya.

 

b.      Perang Asimetris.  Perang asimetris adalah ancaman perang yang dilakukan oleh aktor negara atau aktor bukan negara yang dalam aksinya, nmenggunakan cara-cara dan senjata yang tidak biasa seperti senjata nuklir, biologi dan kimia, rudal balistik jarak jauh serta bentuk-bentuk serangan cyber.   Perang yang dilancarkan untuk menghadapi musuh yang kekuatannya jauh lebih besar dan tidak sebanding, sehingga peperangan dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim apabila dibandingkan dengan perilaku perang simetris. Contoh: Perang Gerilya pada masa kemerdekaan RI, Perang Vietnam, Perang Afghanistan, dan perang yang dilakukan kelompok teroris Al-Qaeda terhadap Amerika.

c.      Perang Proxy (Proxy War). Perang proxy adalah perang yang dilakukan antara negara-negara dengan memanfaatkan aktor negara atau non-negara untuk melawan atas nama mereka, serta memanfaatkan negara lain sebagai arena perang.  Setidaknya satu dari mereka menggunakan pihak ketiga untuk melawan atas namanya.  Jenis dukungan yang diberikan oleh negara-negara yang terlibat dalam perang proxy akan bervariasi namun dukungan keuangan dan logistik biasanya selalu disediakan.  Contoh: Perang Vietnam dan Perang Korea.

 

27.    Sasaran Ancaman.   Sasaran ancaman terhadap kepentingan nasional meliputi sasaran ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.  Ancaman terhadap kedaulatan negara yang tidak dapat diatasi akan berdampak kepada keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, demikian juga sebaliknya.

a.      Sasaran Ancaman Terhadap Kedaulatan Negara.   Sasaran ancaman terhadap Kedaulatan NKRI ditinjau dari aspek militer, dapat berupa penguasaan atau pendudukan sebagian wilayah darat, laut dan udara atau klaim wilayah/pulau-pulau terluar Indonesia yang dilakukan oleh negara lain, yang dapat dikategorikan sebagai konflik antar negara (inter-state conflict).

b.      Sasaran Ancaman Terhadap Keutuhan Wilayah RI.  Sasaran ancaman terhadap keutuhan wilayah RI ditinjau dari aspek non-militer, terpisahnya sebagian wilayah RI untuk merdeka dan terpisah dari NKRI, yang dapat dikategorikan sebagai konflik dalam negara (intra-state conflict).

c.      Sasaran Ancaman Terhadap Keselamatan Bangsa.  Sasaran ancaman terhadap keselamatan bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah keselamatan jiwa dan raga setiap warga negara Indonesia, baik yang ada di dalam ataupun di luar negeri, sebagai akibat tindakan fisik ataupun non fisik dari aktor negara dan atau aktor non negara.

28.    Penggolongan Ancaman.

a.      Ancaman Berdasarkan dari Sumbernya.  Dilihat dari sumbernya, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia dapat berasal dari dalam negeri dan luar negeri atau lintas negara.

b.      Ancaman Berdasarkan dari Macamnya.  Dilihat dari jenisnya, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia dapat berupa ancaman militer tradisional, ancaman militer non-tradisional, dan ancaman non-militer.

c.      Ancaman Berdasarkan dari Aktornya. Dilihat dari aktornya, ancaman yang akan dihadapi bangsa Indonesia dapat berasal dari aktor negara (states actor) dan aktor non-negara (non-states actor), serta aktor non-negara yang didukung oleh negara (states support non-states actor).

 

29.    Skenario Prediksi Ancaman.   Skenario prediksi ancaman dari luaryang merupakan ancaman militer, diperkirakan berdasarkan analisis perkembangan lingkungan strategis terhadap tinjauan keamanan global, regional dan nasional.  Sedangkan skenario prediksi ancaman dari dalamyang merupakan ancaman non-militer, diperkirakan berdasarkan analisis tinjauan situasi keamanan nasional/dalam negeri terhadap ancaman non-militer.


 

BAB Vl

 

PEMBINAAN KEKUATAN DAN KEMAMPUAN TNI ANGKATAN UDARA

 

30.    Umum.   Pembinaan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara yang maksimal akan melahirkan kekuatan dan kemampuan dalam mengatasi setiap ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.  Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Udara diperlukan untuk mendapatkan daya tangkal dan mendukung upaya diplomasi agar memperoleh posisi tawar yang memadai pada setiap penyelesaian suatu konflik antar negara.   Dalam rangka mengamankan wilayah perbatasan darat, laut, dan udara diperlukan adanya pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara yang profesional, modern dan kuat.  Pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara ditujukan untuk mewujudkan postur TNI Angkatan Udara yang meliputi struktur kekuatan, kemampuan dan gelar sehingga mampu melaksanakan tugas OMP dan OMSP.

 

31.    Pertimbangan.  Berbagai hal yang menjadi pertimbangan dalam melaksanakan pembinaan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara adalah sebagai berikut:

a.      Urgensi. Penyelenggaraan pembinaan harus mempertimbangkan urgensi pencapaian suatu tingkat kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara yang diinginkan melalui proses sesuai dengan daur pembinaan secara tepat dan benar, baik pada masa damai maupun secara khusus menghadapi ancaman nyata.

b.      Resiko.   Penyelenggaraan pembinaan harus mempertimbangkan faktor resiko yang diperhitungkan terhadap pencapaian hasilnya.

c.      Profesionalitas.  Penyelenggaraan pembinaan harus standar untuk mewujudkan performance dengan  mempertimbangkan tingkat profesionalitas yang diharapkan.

d.      Teknis.   Penyelenggaraan pembinaan harus mempertimbangkan faktor teknis dikaitkan dengan tingkat kepadatan materiil dan bobot teknologi.

e.      Legalitas.  Penyelenggaraan pembinaan harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum dan prosedur yang baku, baik hukum nasional, hukum internasional yang telah diratifikasi, maupun kebiasaan-kebiasaan umum yang berlaku secara universal dan lokal.

f.       Keamanan dan Keselamatan. Penyelenggaraan pembinaan harus mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan sekaligus mencegah timbulnya kerugian, baik materiil maupun personel.

32.    Pokok-Pokok Pembinaan.  Penyelenggaraan pembinaan TNI Angkatan Udara dilakukan dalam satu siklus pembinaan secara berkelanjutan, meliputi semua aspek yang berpengaruh terhadap pencapaian tugas TNI Angkatan Udara.   Di setiap eselon, pembinaan tersebut dilakukan secara terpadu, terencana dalam penentuan tujuan, pentahapan sasaran, penerapan sistem dan metode yang baku untuk setiap jenjang.   Pembinaan TNI Angkatan Udara ditujukan untuk mewujudkan Postur TNI Angkatan Udara guna melaksanakan tugas OMP dan OMSP.  Penyelenggaraan pembinaan TNI Angkatan Udara merupakan tanggung jawab Kepala Staf Angkatan Udara dalam penyelenggaraan pembinaan khas matra udara.

 

33.    Kekuatan TNI Angkatan Udara.   Kekuatan TNI Angkatan Udara merupakan totalitas sinergi kekuatan yang meliputi  organisasi, personel, materiil, fasilitas dan jasa, sistem dan metode, serta anggaran yang didayagunakan dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.

34.    Pembinaan Kekuatan TNI Angkatan Udara.  Pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara sangat diperlukan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan kesiapan operasional yang mampu mengikuti perkembangan sistem senjata modern agar selalu siap untuk menghadapi kemungkinan datangnya ancaman dengan tujuan, sasaran, asas, dan objek sebagai berikut:

a.      Tujuan Pembinaan Kekuatan.   Pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara ditujukan untuk memenuhi kualitas dan kuantitas kekuatan TNI Angkatan Udara yang tepat serta berdaya guna secara maksimal, sehingga mampu melaksanakan tugasnya.

 

b.      Sasaran Pembinaan Kekuatan.   Sasaran pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara adalah sebagai berikut:

1)      Tercapainya tingkat kesiapan kekuatan alutsista yang optimal.

2)      Tercapainya tingkat kesiapan operasional yang tinggi untuk dapat diproyeksikan guna melaksanakan berbagai operasi udara secara tepat waktu.

3)      Tercapainya pola penggelaran kekuatan udara yang bersifat fleksibel berdasarkan persyaratan operasional, sehingga mampu mengantisipasi ancaman yang dipersepsikan.

4)      Tercapainya tingkat keterpaduan sistem kesenjataan udara yang solid dan memadai untuk melaksanakan tugas-tugas OMP dan OMSP.

5)      Tercapainya tingkat efektifitas organisasi, sistem dan metode, kepemimpinan,dan manajemen sertaanggaran dalam mendorong dan menggerakkan elemen-elemen kekuatan udara pada pencapaian hasil pembinaan secara optimal dan aman.

6)      Terwujudnya kesiapsiagaan satuan, kelancaran proses pembinaan kemampuan dan terpeliharanya moril serta kesejahteraan personel melalui pembinaan pangkalan yang meliputi bangunan perkantoran, perumahan, fasilitas pendidikan, medan latihan dan sarana prasarana lainnya yang diperlukan untuk memudahkan kegiatan pembinaan satuan maupun memperlancar dalam pelaksanaan tugas.

c.      Asas Pembinaan Kekuatan. Penyelenggaraan pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara mengacu kepada asas pembinaan secara universal serta disesuaikan dengan lingkungan sistem pertahanan nasional, yakni:

1)      Asas Manfaat.  Pembinaan yang dilaksanakan harus berdaya guna atau berfaedah bagi penciptaan kondisi kekuatan nyata TNI Angkatan Udara yang memiliki keunggulan dalam penggunaannya.

2)      Asas Keterpaduan.   Pembinaan yang dilaksanakan harus secara ter-integrasi dan saling terkait antar subsistem kekuatan TNI sehingga tercipta persamaan persepsi dalam penggunaan kekuatan nantinya.

3)      Asas Jangka Panjang.  Pembinaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan perencanaan jangka panjang dan strategis sehingga terjadi efisiensi penggunaan sumber daya selain tanggap terhadap perubahan yang terjadi pada masa yang akan datang.

4)      Asas Pencapaian Sasaran.  Pembinaan yang dilaksanakan harus meng-hasilkan suatu kondisi nyata pertahanan secara tepat dan terukur sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

5)      Asas Realistis. Pembinaan yang dilaksanakan harus menyesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang tersedia dengan memperhatikan kemampuan dukungan dari pemerintah ke depan.

6)      Asas Responsif. Pembinaan yang dilaksanakan harus selalu tanggap dan menyesuaikan diri dengan  perubahan lingkungan dan kebijakan makro tentang pertahanan negara.

7)      Asas Objektif. Pembinaan yang dilaksanakan harus selalu berorientasi kepada pencapaian sasaran penggunaan kekuatan untuk melaksanakan operasi pertahanan dan keamanan.

8)      Asas Efisiensi Anggaran.   Pembinaan yang dilaksanakan harus mampu men-dayakan potensi sumber daya yang tersedia secara minimal untuk pencapaian hasil yang ditentukan serta semaksimal mungkin mampu mengeliminasi kemungkinan pemborosan, manipulasi dan korupsi dalam pelaksanaannya.

d.      Objek Pembinaan Kekuatan. Objek pembinaan kekuatan TNI Angkatan Udara pada intinya adalah organisasi, personel, kepemimpinan dan manajemen,  materiil dan jasa, sistem dan metode serta anggaran, dengan berpedoman sebagai berikut:

1)      Organisasi. Organisasi TNI AU dikembangkan ke arah organisasi yang efisien pada kondisi damai dan efektif dalam kondisi krisis dan perang.

2)      Personel. Pembinaan personel pada hakikatnya mencakup aspek pembinaan tenaga manusia (Binteman) dan aspek pembinaan personel individu (Binpers) TNI Angkatan Udara, dilakukan di satuan-satuan kerja dan di lembaga-lembaga pendidikan, sebagai berikut:

a)      Pembinaan Tenaga Manusia.   Pembinaan tenaga manusia adalah kegiatan pembinaan terhadap tenaga manusia sebagai sumber daya utama yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dengan tujuan untuk menentukan kebutuhan tenaga manusia yang berkualitas (beriman, bertaqwa, bermoral, bermental, intelektual dan fisik yang baik) dan kuantitatif serta pengembangan dalam pemanfaatannya melalui suatu pengkajian pendayagunaan.

b)      Pembinaan Fungsi Personel.Pembinaan fungsi personel adalah pembinaan terhadap personel secara individu dengan tujuan untuk menyiapkan personel yang sanggup dan mampu secara optimal mengemban setiap tugas yang dihadapi, penyelenggaraannya dimulai sejak diterima sebagai prajurit sampai dengan berakhirnya masa dinas yang bersangkutan dalam organisasi, yang terdiri atas penyediaan, pendidikan, penggunaan, perawatan, dan pemisahan.

c)      Pembinaan Mental.  Nilai kejiwaan harus tercermin didalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak prajurit, berlandaskan moral yang baik, semangat dan motivasi pelaksanaan tugas, serta diarahkan untuk membentuk insan prajurit yang bertumpu pada jati diri TNI.

d)      Pembinaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah prasyarat dalam pengembangan intelektual personel, agar memiliki ketajaman persepsi, kejelian analisis dan keluasan wawasan.   Pembinaan intelektual dikembangkan selaras dengan perkembangan pendidikan nasional serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut sesuai dengan siklus peningkatan kemampuan.

e)      Pembinaan Jasmani.  Pembinaan jasmani merupakan upaya mendasar yang sejajar dengan pembinaan kejiwaan dan pengetahuan, untuk membentuk prajurit agar memiliki kualitas dan kesamaptaan jasmani serta kesehatan yang setiap saat siap melaksanakan tugas.

f)       Pembinaan Kepemimpinan TNI Angkatan Udara. Pembinaan kepemimpinan TNI Angkatan Udara diarahkan kepada penyesuaian kultur TNI Angkatan Udara terhadap peran TNI yang dapat mewujudkan pemimpin yang beriman, bertaqwa, bermoral, berkarakter dan tangguh dalam pengabdiannya serta bertanggung jawab dan berani menanggung jawab.  Wujud penyesuaian kultur TNI Angkatan Udara adalah peningkatan moral dan etika dengan maksud agar Pancasila, UUD 1945, Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, dan Sebelas Asas Kepemimpinan TNI menjadi pedoman sikap dan perilaku prajurit  dalam  pergaulan di lingkungannya sendiri maupun di masyarakat luas.   Peningkatan moral dan etika yang terhormat bagi prajurit harus diterapkan  dalam sikap dan perilaku prajurit dimanapun berada dan bertugas yang merupakan citra positif jati diri TNI Angkatan Udara.  Citra positif jati diri TNI Angkatan Udara ini harus mencerminkan  sebagai bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat, demi membela kepentingan negara, dalam peran sebagai alat pertahanan NKRI.   Peningkatan moral dan etika prajurit juga harus dapat meningkatkan kesadaran hukum dan penegakan hak asasi manusia, agar kiprah dan keberadaannya senantiasa diterima dan dicintai masyarakat.   Sikap prajurit TNI Angkatan Udara dalam menghadapi perkembangan situasi yang sangat dinamis dan sarat dengan perubahan ini, dituntut untuk selalu menyadari dan memahami nilai, karakter dan jati diri TNI/TNI Angkatan Udara dalam tugas pengabdiannya.   Penyadaran ini ditujukan agar senantiasa dapat berpegang teguh pada prinsip, berpijak pada posisi yang benar, dan tidak terombang ambing dalam berbagai kepentingan golongan atau aliran, agar TNI Angkatan Udara tetap menjadi kekuatan yang solid, kompak dan terhormat dalam menentukan sikap dan tindakan dengan dilandasi kesetiaan yang tinggi kepada bangsa dan negara.   Sikap Prajurit TNI Angkatan Udara dalam menghadapi ancaman, dituntut untuk senantiasa berpedoman pada hakikat TNI/TNI Angkatan Udara sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional.

3)      Materiil, Fasilitas dan Jasa.   Materiil, fasilitas dan jasa perlu dikembangkan agar memiliki keandalan layak pakai secara teknis dan mampu mendukung pelaksanaan tugas. Kegiatan pembinaan dilaksanakan melalui upaya perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemeliharaan, perbaikan dan penghapusan dalam rangka melengkapi kebutuhan TNI Angkatan Udara.

4)      Sistem dan Metode:

 

a)      Pembinaan Sistem.   Mekanisme kegiatan yang diatur oleh dasar atau pedoman, petunjuk  dan prosedur yang berlaku untuk menyelenggarakan dan membina fungsi-fungsi di TNI Angkatan Udara.

b)      Pembinaan Metode.  Teknis pengaturan dalam mekanisme kegiatan yang diberlakukan untuk menyelenggarakan dan membina fungsi-fungsi di TNI Angkatan Udara.

c)      Pembinaan Manajemen.  Pembinaan Manajemen TNI Angkatan Udara diarahkan kepada pengelolaan pertahanan negara matra udara meliputi perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan dalam membina, membangun, menggunakan kemampuan dan kekuatan alutsista  yang  dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang rawan terhadap bencana alam.   Pembinaan manajemen TNI Angkatan Udara harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, Hak Asasi Manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, internasional dan kebiasaan internasional.

5)      Anggaran.Pembinaan anggaran TNI Angkatan Udara diarahkan guna menjamin terlaksananya seluruh kegiatan pembinaan TNI Angkatan Udara yang dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas serta efisiensi, yang pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaannya dilakukan oleh Sistem Pengawasan Internal (SPI) dan Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) Republik Indonesia.

 

35.    Kemampuan TNI Angkatan Udara.   Kemampuan TNI Angkatan Udara dalam upaya pertahanan negara dilaksanakan melalui berbagai bentuk operasi, baik yang bersifat mandiri maupun sebagai bagian dari suatu operasi gabungan yang akan memberikan efek kejut, daya hancur yang tinggi dalam mencapai keberhasilan atau  menentukan kemenangan di semua aspek dan dimensi perang.  Untuk dapat mempunyai efek kejut dan daya hancur yang tinggi, maka kekuatan TNI Angkatan Udara harus optimal, berkemampuan profesional dan selalu siap serta mampu untuk dihadapkan kepada segala bentuk ancaman terhadap negara dan bangsa yang bakal dihadapi. Kemampuan TNI Angkatan Udara yang meliputi kemampuan-kemampuan dalam bidang intelijen, pertahanan, keamanan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan dukungan harus dapat diproyeksikan dalam berbagai bentuk operasi yang sudah ditentukan dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.

36.    Pembinaan Kemampuan TNI Angkatan Udara. Perubahan dan perkembangan lingkungan strategis dan kemajuan Iptek di bidang persenjataan, sangat mempengaruhi teknik dan strategi perang pada saat ini.  Hal tersebut mendorong TNI Angkatan Udara untuk selalu meningkatkan kemampuannya agar dapat mengimbangi dan menghadapi setiap ancaman yang bakal terjadi khususnya yang datang melalui media udara.  Upaya untuk meningkatkan kemampuan yang diwujudkan dalam bentuk pembinaan kemampuan TNI Angkatan Udara diarahkan agar mampu melaksanakan tugas TNI Angkatan Udara di bidang intelijen, pertahanan, keamanan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan dukungan guna mendukung kegiatan TNI Angkatan Udara.

a.      Tujuan Pembinaan Kemampuan.  Tujuan pembinaan kemampuan TNI Angkatan Udara ditujukan untuk mencapai tingkat kemampuan yang profesional agar dapat mendukung pelaksanaan tugas TNI Angkatan Udara.

b.      Sasaran Pembinaan Kemampuan.  Sasaran pembinaan kemampuan  TNI Angkatan Udara sebagai berikut:

1)      Terwujudnya keterpaduan penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara.

2)      Terwujudnya kemampuan TNI Angkatan Udara yang dapat mendukung tugas pokok TNI dalam rangka OMP dan OMSP.

3)      Tercapainya tingkat profesionalisme prajurit yang meliputi kemampuan, keahlian, dedikasi/loyalitas, moril dan sifat-sifat keperwiraan untuk mampu melaksanakan tugas yang diemban.

4)      Tercapainya tingkat pemilikan dan penguasaan teknologi terkini yang mengutamakan  produksi dari  industri dalam negeri, dengan memperhatikan berbagai aspek yang berhubungan dengan kelangsungan operasional dibandingkan jika menggunakan produksi dari luar negeri.

c.      Asas Pembinaan Kemampuan.  Penyelenggaraan pembinaan kemampuan Angkatan Udara mengacu pada asas pembinaan secara universal dan disesuaikan dengan pola pembinaan TNI yang melingkupi:

1)      Asas  Tujuan.   Pembinaan seluruh sumber daya diarahkan pada pencapaian tujuan secara tepat dan dapat memilih serta mendahulukan hal-hal yang penting dengan memperhatikan karakteristik kekuatan udara.

2)      Asas Kenyal. Pembinaan kemampuan dilaksanakan untuk mampu menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang relatif cepat berubah.

3)      Asas Desentralisasi. Pengelolaan sumber daya diselenggarakan melalui proses perencanaan dan pengendalian terpusat dengan pelaksanaan yang didesentralisasikan.

4)      Asas Keterpaduan. Pembinaan kemampuan dilaksanakan berdasarkan keterpaduan antara pembinaan fungsi yang satu dengan fungsi lainnya.

 

5)      Asas Kemandirian.  Pembinaan kemampuan diarahkan pada pemberdayaan sumber daya dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri.

 

6)      Asas Penguasaan Profesi. Penguasaan profesi yang dilandasi oleh airmanship, tanggung jawab dan disiplin tinggi merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembinaan.

d.      Objek Pembinaan Kemampuan.   Objek pembinaan kemampuan TNI Angkatan Udara sebagai berikut:

1)      Kemampuan Intelijen.  Pembinaan kemampuan intelijen disiapkan untuk dapat berfungsi sebagai alat deteksi dini/penginderaan dini, serta dapat melaksanakan operasi intelijen udara dalam upaya pencegahan dini pada penyelenggaraan OMP dan OMSP.

2)      Kemampuan Pertahanan.  Pembinaan kemampuan pertahanan  disiapkan untuk melaksanakan penyerangan udara, pengendalian udara, dukungan udara, dan eksploitasi informasi sebagai tugas TNI Angkatan Udara dalam  penyelenggaraan  OMP  guna menangkal,  menindak  dan  mengatasi ancaman dari luar negeri yang datang dari dan atau melalui udara terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara serta  keselamatan bangsa.

3)      Kemampuan Keamanan.  Pembinaan kemampuan keamanan  disiapkan untuk dapat melaksanakan dukungan udara, pertahanan udara dan eksploitasi informasi sebagai tugas TNI Angkatan Udara dalam penyelenggaraan OMSP guna menghadapi dan menanggulangi ancaman dalam negeri yang datang dari dan atau melalui udara terhadap integritaswilayah negara serta  keselamatan bangsa.

4)      Kemampuan Pemberdayaan Wilayah. Pembinaan kemampuan TNI Angkatan Udara untuk membina dan memberdayakan unsur kedirgantaraan nasional sebagai cadangan udara maupun dukungan udara yang dapat mendukung pelaksanaan tugas-tugas TNI Angkatan Udara pada masa damai maupun perang.

5)      Kemampuan Dukungan.  Pembinaan kemampuan yang disiapkan untuk dapat mendukung kemampuan intelijen, kemampuan pertahanan, kemampuan dukungan hukum dan kemampuan keamanan, pemberdayaan wilayah pertahanan udara, membantu Pemda dan Polri, perwujudan perdamaian dunia dan dukungan kemanusiaan dalam rangka pencapaian keberhasilan tugas TNI Angkatan Udara.

37.       Penyusunan Kekuatan TNI Angkatan Udara.  Persepsi ancaman dapat dinilai dari kekuatan militer dan intensi negara tertentu dalam menjaga kepentingan negaranya yang dipengaruhi oleh dinamika keamanan regional maupun global.  Dari persepsi tersebut disusun strategi militer yang mencakup konsep struktur dan penggunaan kekuatan, guna menjawab pertanyaan dimana kekuatan militer akan digunakan dan kepada siapa kekuatan tersebut dihadapkan.   Berdasarkan hal tersebut ditentukan dan dihitung besarnya kekuatan TNI Angkatan Udara yang dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan negara.  Dengan demikian apabila terjadi peningkatan ancaman, tidak serta merta harus selalu diikuti dengan peningkatan kebutuhan kapabilitas kekuatan udara selaras dengan besarnya kenaikan angka ancaman yang terjadi, sehingga dimungkinkan adanya kelebihan kapabilitas kekuatan udara yang tidak digunakan saat itu.   Kelebihan kapabilitas tersebut menimbulkan konsekuensi untuk harus tetap dipelihara kesiapannya agar sewaktu-waktu dapat digunakan secara optimal sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam mengatasi ancaman.   Kekuatan TNI AU yang diinginkan, disusun melalui strategi penyiapan secara terencana, berjenjang, berlanjut dan terintegrasi, meliputi alat utama sistem senjata (alutsista) yaitu pesawat terbang (pesbang) berawak dan tanpa awak, radar dan peluru kendali (rudal), yang didukung oleh pangkalan udara (lanud), Teknologi Informasi (TI), komunikasi dan peperangan elektronika (komnika), pemeliharaan (har), personel, intelijen, sensor, serta metoda.

 


 

BAB VIl

 

PENGGUNAAN KEKUATAN TNI ANGKATAN UDARA

 

38.    Umum. Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara dalam OMP dan OMSP dilaksanakan atas perintah Panglima TNI dengan memperhatikan pertimbangan, asas, prinsip, strategi dan pengerahan penggunaan kekuatan  sesuai dengan ketentuan TNI. Kewenangan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara berada pada Panglima TNI, selanjutnya tanggung jawab pengoperasian kekuatan  berada pada Panglima Komando Utama Operasi (Pangkotama Ops) TNI AU.   Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara menganut pemahaman kesatuan komando yang memandang wilayah operasi dan/atau mandala perang sebagai satu kesatuan yang utuh.

39.    Pertimbangan.   Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor pertimbangan sebagai berikut:

a.      Ancaman.   Penggunaan kekuatan harus disesuaikan dengan eskalasi ancaman, baik ancaman militer maupun non-militer yang dapat mengancam  kedaulatan, keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan bangsa dan negara. Sedangkan pelaksanan penggunaan kekuatan udara sesuai dengan mekanisme, prosedur dan undang-undang yang berlaku.

b.      Politik Negara.  Penggunaan kekuatan harus didasari oleh keputusan politik negara, ketentuan-ketentuan hukum nasional dan internasional serta kebiasaan-kebiasaan internasional yang telah disepakati.

c.      Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter. Penggunaan kekuatan harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum, hak asasi manusia, dan hukum humaniter.

d.      Lingkungan Hidup.   Penggunaan kekuatan harus sedapat mungkin menghindari kerusakan lingkungan hidup. 

40.    Asas.   Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara dalam OMP maupun OMSP berpedoman pada asas-asas perang udara agar dapat dilaksanakan secara tepat, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengendalian kegiatan operasi udara.    Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a.      Asas Tujuan.   Penyelenggaraan perang mengutamakan  rumusan tentang  tujuan yang akan dicapai.  Berdasarkan  tujuan  yang  akan  dicapai, disusunlah prioritas tindakan dan sasaran antara.  Pencapaian sasaran antara secara keseluruhan harus menunjang pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.

b.      Asas Penyerangan.  Tindakan penyerangan memungkinkan  pemegang komando dan kendali memilih dan menentukan waktu, tempat, jenis sistem senjata yang digunakan serta menentukan prioritas sasaran.  Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara secara  besar-besaran  dilaksanakan  melalui  tindakan  penyerangan  untuk  mencapai tujuan.   Kemampuan mobilitas kekuatan Angkatan Udara dan penguasaan elektromagnetik serta informasi memungkinkan untuk digunakan sebagai penindak awal di tempat kejadian ataupun untuk mendukung satuan kawan.

c.      Asas Pendadakan. Tindakan pendadakan dapat memberikan keuntungan baik militer maupun psikologis.   Melalui pendadakan, kekuatan TNI Angkatan Udara sesuai dengan karakteristiknya mampu melakukan serangan pada waktu dan tempat yang tidak diduga sebelumnya oleh musuh, sehingga dapat menimbulkan kegoncangan atau kehancuran yang besar.

d.      Asas Pengamanan.  Tindakan pengamanan harus dapat menjamin keamanan dan kerahasiaan operasi, meningkatkan keleluasaan bergerak, melindungi satuan sendiri serta menghindari kerugian personel, materiil, dan jatuhnya informasi ke tangan musuh.

e.      Asas Pemusatan Serangan. Tindakan pemusatan serangan diarahkan pada centre of gravity musuh yang dapat membatalkan niat musuh untuk melanjutkan perang.

f.       Asas Ekonomis. Penggunaan kekuatan secara tepat memungkinkan dilaksanakannya serangan terpusat pada saat kritis atas sasaran-sasaran terpilih tanpa menghambur-hamburkan sumber daya.

g.      Asas Kesatuan Komando.  Kesatuan  komando akan lebih mengefektifkan penggunaan kekuatan dalam menghimpun berbagai misi operasi udara sebagai gempuran yang menentukan untuk menyerang musuh, di bawah satu tanggung jawab komando.

h.      Asas Kesederhanaan.  Struktur komando, strategi, perencanaan, taktik, prosedur, dan perintah-perintah operasi udara harus jelas dan sederhana agar mempermudah pelaksanaannya.

i.       Asas Kekenyalan.  Penggunaan kekuatan harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang relatif cepat berubah.

j.       Asas Kohesi.   Penggunaan kekuatan harus didasarkan pada rasa kebersamaan yang tercipta melalui latihan-latihan yang sangat menentukan efektivitas satuan dalam pertempuran.

k.      Asas Kesatuan Usaha.  Penggunaan kekuatan oleh satuan, baik yang terlibat langsung atau tidak langsung telah megetahui segenap tindakkan yang diperlukan dan diberlakukan, ikut berpartisipasi aktif dalam satu jaring operasi.

l.       Asas Pemanfaatan Informasi.   Memonitor setiap perkembangan dan situasi serta kondisi yang aktual dan melaporkan informasi secara dini, mempercepat adaptasi terhadap setiap perubahan, serta senantiasa membina dan mengembangkan kesadaran masyarakat untuk melakukan respon dan lapor cepat.

m.     Asas Manfaat. Dalam penyelenggaraan perang udara dilaksanakan dengan mengerahkan segenap potensi nasional aspek udara dengan mengutamakan manfaat yang dapat diraih.

n.      Asas Keunggulan Moril. Keunggulan moril merupakan faktor penentu    keberhasilan tugas, dilandasi oleh motivasi yang kuat, semangat juang pantang menyerah, hubungan atasan dan bawahan yang kohesif, latihan yang keras, dukungan yang memadai dan prosedur operasional yang jelas.  Semangat pantang menyerah   dimaksudkan untuk tetap melakukan perlawanan terhadap kekuatan bersenjata musuh sampai memperoleh kemenangan.

41.    Prinsip.   Dalam penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara diperlukan  suatu  strategi   yang tepat dan terukur, sehingga mampu menjamin keberhasilan kampanye udara yang diselenggarakan. Untuk menjamin keberhasilan tersebut, penggunaan kekuatan harus senantiasa berpedoman kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a.      Sentralisasi Komando dan Desentralisasi Pelaksanaan.  Penggunaan kekuatan merupakan gabungan dari berbagai kemampuan yang potensinya dapat diwujudkan secara penuh dan terpadu.   Pelaksanaan komando harus dilakukan secara sentral pada panglima/komandan dan pelaksanaannya harus didesentralisasikan pada satuan pelaksana operasi (komando dari panglima, sedangkan pelaksanaan/eksekusi oleh pelaksana operasi).

b.      Keunggulan Udara.  Keunggulan udara merupakan persyaratan bagi keberhasilan pelaksanaan operasi darat, laut dan udara yang perlu direbut terlebih dahulu.

c.      Tindakan Strategis dan Taktis.   Penggunaan kekuatan dalam tindakan strategis ditujukan untuk menimbulkan pengaruh yang bersifat vital bagi negara guna memenangkan perang.  Sedangkan penggunaan kekuatan dalam tindakan taktis ditujukan untuk menimbulkan pengaruh langsung di medan pertempuran.

d.      Serang Potensi Perang Musuh.   Penyerangan terhadap potensi musuh meliputi semua tindakan  yang dapat menurunkan  kemampuan perang  musuh serta  merebut waktu dan ruang geraknya, sehingga musuh tidak dapat menggunakan kekuatannya secara efektif.   Tindakan ini dilakukan dengan serangan-serangan yang terkoordinasi terhadap potensi perang musuh, baik yang telah dilibatkan dalam pertempuran maupun yang masih dalam tahap  penyiapan.    Penerapan  tindakan ini harus  mempertimbang-kan  keunggulan dan kekuatan musuh, mengetahui dengan jelas tujuan musuh, serta kebutuhan dan keterbatasan pasukan kawan yang beroperasi di darat atau laut.   Penyerangan potensi perang musuh dilakukan dalam bentuk:

1)      Serang musuh di kedalaman.   Tindakan-tindakan strategis dan taktis yang terintegrasi dapat memberikan dampak ganda terhadap kemampuan musuh untuk meneruskan perang. Keberhasilan penyerangan strategis yang diarahkan di pusat ke dalaman kekuatan musuh, pada umumnya memberikan dampak psikologis langsung kepada musuh atau sekutunya.   Dampak ini mempengaruhi tindakan taktis, paling sedikit akan menunda aktivitas pasukan  musuh yang berada di garis depan dan menghambat kesiapan kekuatan cadangan untuk memasuki medan tempur.   Serangan di kedalaman harus mencakup semua sasaran jaringan gerak musuh beserta struktur komando dan pengendaliannya yang keseluruhannya digunakan untuk mengendalikan pasukan.

2)      Penilaian situasi operasi secara terus menerus.  Penggunaan kekuatan secara proporsional untuk penyerangan sumber-sumber kemampuan dan pasukan yang digelar musuh akan menentukan situasi operasi. Keberhasilan atau kegagalan operasi dapat memberikan pengaruh pada keseluruhan pelaksanaan perang.  Semua perencanaan harus dikoordinasikan, sehingga memiliki kekenyalan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan perang. Oleh karena itu penilaian situasi secara terus-menerus mutlak diperlukan.

e.      Pertimbangkan Manfaat Penyerangan dan Pertahanan.  Kekuatan penyerangan mendapatkan beberapa keuntungan berupa inisiatif dalam menentukan waktu, tempat, kekuatan serta taktik penyerangan, sedangkan kekuatan yang bertahan harus menyiapkan diri terhadap segala kemungkinan. Karakteristik kekuatan udara memberikan peluang yang lebih besar untuk menyerang, namun keuntungan dan kerugian menyerang dan bertahan harus dipertimbangkan. Dalam tindakan penyerangan dan pertahanan perlu mempertimbangkan:

1)      Perebutan inisiatif.   Kekuatan udara dapat dengan cepat melakukan serangan hebat dan menghancurkan, serta dapat mengalihkan perhatian dan menahan tindakan ofensif musuh, bahkan dapat mengubah tindakan musuh dari menyerang menjadi bertahan.   Panglima/komandan dapat mengubah tindakan musuh dengan melakukan penyerangan yang akan memaksa musuh menjadi lebih bersifat reaktif dari pada berinisiatif.

2)      Pertahanan untuk melindungi inisiatif.  Kegiatan pertahanan harus dirancang terutama guna melindungi kemampuan panglima/komandan untuk mempertahankan inisiatif.   Panglima/komandan harus  mengambil semua tindakan yang memungkinkan untuk melakukan serangan balas dan  memegang kembali inisiatif menyerang apabila kawan telah berhasil memperoleh keuntungan awal. Pertimbangan kebutuhan untuk menyerang dan bertahan mempengaruhi cara panglima/komandan menyusun struktur kekuatan maupun tindakan-tindakan untuk mengatasi perlawanan musuh.

3)      Penyusunan kekuatan yang kenyal.  Untuk melaksanakan serangan balas, panglima/komandan harus memberikan perhatian yang sepadan terhadap kemampuan menyerang dan bertahan.   Kemampuan bertahan yang memadai akan melindungi kekuatan sendiri dan memberikan rasa aman terhadap tindakan penyerangan yang akan dilakukan.   Panglima/komandan harus dapat memadukan kemampuan menyerang dengan kemampuan bertahan dengan tepat.   Kemampuan menyeluruh kekuatan udara akan lebih mantap bila kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam operasi udara mempunyai kekenyalan dalam melaksanakan tindakan penyerangan atau pertahanan.

4)      Pemaksaan kepada musuh untuk bertindak reaktif.   Apabila panglima atau komandan telah mengambil inisiatif, harus tetap dipertahankan dengan melakukan tindakan-tindakan penyerangan yang terencana, sehingga musuh tetap bertindak reaktif.

f.       Manfaatkan Dampak Psikologi Kekuatan Udara. Serangan udara dapat menimbulkan tanggapan dan reaksi yang emosional, baik dari angkatan bersenjata maupun seluruh rakyat  negara  yang  diserang  atau  para  sekutunya. Serangan  mendadak dapat membatalkan rencana serta menciptakan kepanikan atau menghilangkan daya kohesi kekuatan musuh.   Dapat pula mengubah perimbangan kekuatan yang memaksa musuh untuk melepaskan tujuannya dan bahkan mungkin menawarkan perdamaian.

42.    Strategi Penggunaan Kekuatan.  Strategi  penggunaan  kekuatan  TNI  Angkatan Udara  berupa rencana  umum penggunaan  kekuatan, baik pada masa perang, krisis atau kontinjensi, operasi yang direncanakan (deliberate plan) dan masa damai untuk melaksanakan tugas TNI matra udara, menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah udara yurisdiksi nasional, serta pemberdayaan wilayah pertahanan udara dan alutsista.   Strategi penggunaan kekuatan terdiri atas strategi penggelaran dan strategi pelibatan kekuatan sebagai berikut:

a.      Strategi Penggelaran Kekuatan.  Konsentrasi kedudukan kekuatan TNI Angkatan Udara baik komposisi maupun dislokasi selalu berada di pangkalan induk, selanjutnya akan digelar ke pangkalan-pangkalan operasi yang telah disiapkan dengan menganut bare base concept sesuai dengan sistem pertahanan udara.  Penentuan pangkalan operasi dan/atau aju dirancang sedemikian rupa dengan memperhatikan arah, sifat dan bentuk ancaman serta kondisi geografi Indonesia.

b.      Strategi Pelibatan Kekuatan.  Untuk efisiensi dan efektifitas penggunaan kekuatan untuk meraih keberhasilan operasidengan berpedoman pada asas, prinsip penggunaan kekuatan dan perkiraan intelijen serta kemungkinan ancaman, maka pelibatan kekuatan Angkatan Udara menganut strategi sebagai berikut:

1)      Strategi penangkalan udara. Strategi ini dimaksudkan sebagai upaya menangkal atau  membatalkan  niat  musuh  untuk  melakukan  permusuhan  terhadap bangsa dan negara Republik Indonesia dengan cara memiliki dan menampilkan kemampuan yang tepat dan handal serta tekad yang kuat untuk menggunakannya dengan alutsista modern.

 

2)      Strategi pengendalian udara.   Strategi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk merebut keunggulan udara, dengan alutsista pesawat terbang berawak dan tanpa awak, radar serta peluru kendali, sehingga tetap mampu menjaga keamanan, melaksanakan penegakan hukum di wilayah udara yurisdiksi nasional, dan pencegahan serta penghancuran kekuatan penyerang udara musuh.

3)      Strategi penyerangan udara.   Strategi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melumpuhkan kekuatan musuh dan untuk meruntuhkan kemauan berperang musuh dengan cara menghancurkan sasaran terpilih/bernilai strategis menggunakan alutsista pemukul.

4)      Strategi dukungan udara.   Strategi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu kekuatan udara, darat, dan laut kawan dalam rangka meningkatkan daya gempur dan mobilitas pelaksanaan operasi dengan cara memberikan dukungan udara dan menggunakan alutsista tertentu.

43.       Jangkauan Operasi dan Arah Operasi.  Penyerangan simetris maupun asimetris yang efektif merupakan dua sisi pedang yang saling melindungi, demikian pula halnya dengan operasi darat, laut, udara maupun operasi khusus juga merupakan tameng untuk saling melindungi.  Hal tersebut meluas sampai pada aspek logistik yang menjadi dasar pijakan bagi daya jangkau, kekuatan, kekenyalan dan perlindungan.  Penempatan logistik berpengaruh langsung pada jangkauan operasi dan dukungan logistik untuk mendukung keberlanjutan operasi tempur serta mempengaruhi jangkauan operasi.

a.         Jangkauan Operasi.  Jangkauan operasi adalah jarak yang mampu untuk dicapai/ditempuh oleh suatu kekuatan militer untuk hadir dan melaksanakan operasi.  Jangkauan operasi berhubungan dengan geografi maupun pembagian komponen. Hal tersebut dapat berupa penempatan kekuatan utama, cadangan, pangkalan aju beserta dukungan logistiknya. Jangkauan operasi dapat dilaksanakan dalam bentuk peningkatan jangkauan sistem senjata, melaksanakan pengisian bahan bakar di udara, kemampuan meningkatkan daya angkut sistem angkutan yang mungkin dan mengefektifkan jalur komunikasi (line of communication).

b.         Arah Operasi.  Arah operasi berhubungan dengan orientasi operasi yang digunakan dalam waktu dan tempat tertentu, dihadapkan pada kekuatan musuh. Arah operasi menghubungkan pangkalan (homebase) dengan sasarannya.  Pada perang modern, arah operasi meliputi tiga aspek dimensi, yaitu dimensi ruang, waktu dan kekuatan. Komando Gabungan (Kogab) menggunakan ketiga dimensi tersebut untuk memfokuskan kekuatan tempurnya guna menyelesaikan tugas yang diberikan.  Dimensi yang terintegrasi tersebut diarahkan menuju satu tujuan, yaitu untuk menghancurkan pusat kekuatan (centre of gravity) musuh.

44.      Pelaksanaan Penggunaan Kekuatan.  Pelaksanaan penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara ditujukan agar mampu melaksanakan operasi militer baik secara mandiri maupun gabungan yang diselenggarakan oleh Tentara Nasional Indonesia. Penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara dalam operasi militer dilaksanakan untuk menghalau ancaman terhadap kepentingan nasional dengan mengerahkan kekuatan  udara  sesuai  dengan  sasaran,  waktu,  tempat,  dan  dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan terperinci.  Penggunaan kekuatan tempur TNI Angkatan Udara diwujudkan dalam kegiatan OMP dan OMSP sebagai berikut:

a.      Penggunaan kekuatan tempur TNI Angkatan Udara diwujudkan dalam kegiatan OMP meliputi:

  

1)    Operasi Pertahanan Udara.  Operasi pertahanan udara bertujuan untuk melindungi pasukan dan objek vital kawan, menghancurkan kekuatan musuh yang mengancam pasukan dan obyek vital kawan, dan mengurangi efektifitas ancaman musuh.

2)    Operasi Serangan Udara Strategis. Operasi serangan udara strategis dilaksanakan untuk mengamati, mengidentifikasi, menyerang dan menghancurkan sasaran-sasaran bernilai strategis yang merupakan centre of gravity guna menetralisasi kemampuan dan motivasi perang musuh dalam rangka perang.

3)    Operasi Lawan Udara Ofensif. Operasi lawan udara ofensif dilaksanakan untuk menghancurkan ataupun menetralisasi kekuatan udara musuh di permukaan dalam rangka perang guna mendapatkan keunggulan udara di mandala operasi, sehingga operasi darat, laut, dan udara kawan dapat terlaksana tanpa ada gangguan dan ancaman dari kekuatan udara musuh.

4)    Operasi Dukungan Udara.   Operasi dukungan udara baik yang bersifat taktis maupun strategis, dilaksanakan untuk mendukung kekuatan darat, laut, udara, dan instansi lain yang sedang atau akan melaksanakan operasi  dalam  rangka  mencapai  keberhasilan  pelaksanaan  tugasnya.  Operasi dukungan udara juga ditujukan untuk menciptakan keberlangsungan (sustainability) perang yang sedang dilaksanakan.

5)    Operasi Informasi.  Operasi informasi merupakan salah satu macam operasi yang penyelenggaraannya memadukan berbagai kemampuan intelijen, teknologi informasi, komunikasi dan elektronika, psikologi, infolahta dan penerangan.  Untuk mendapat hasil yang optimal, harus berpedoman pada pokok-pokok operasi informasi yang meliputi tujuan, sasaran, asas, batasan dan fungsi serta bentuk-bentuk operasi.

b.      Penggunaan kekuatan tempur TNI Angkatan Udara diwujudkan dalam kegiatan OMSP meliputi:

  

1)    Operasi Pertahanan Udara. Operasi pertahanan udara bertujuan untuk menegakan hukum dan menjaga keamanan wilayah udara yuridiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

2)    Operasi Dukungan Udara.   Operasi dukungan udara baik yang bersifat taktis maupun strategis, dilaksanakan untuk mendukung penugasan OMSP yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan Udara secara berdiri sendiri dan penugasan OMSP yang dilaksanakan oleh TNI, TNI Angkatan Udara dan Angkatan lain serta bersama-sama dengan institusi/lembaga lain.

 

3)    Operasi Informasi.  Operasi informasi merupakan salah satu macam operasi yang penyelenggaraannya memadukan berbagai kemampuan intelijen, teknologi informasi, komunikasi dan elektronika, psikologi, infolahta dan penerangan.  Untuk mendapat hasil yang optimal, harus berpedoman pada pokok-pokok operasi informasi yang meliputi tujuan, sasaran, asas, batasan dan fungsi serta bentuk-bentuk operasi.


 

BAB VIIl

 

TATARAN KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB

 SERTA KOMANDO DAN PENGENDALIAN

45.    Umum.   Tataran kewenangan yang diatur dalam Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa ini mengatur kewenangan Kepala Staf Angkatan Udara, eselon staf pembantu pimpinan, dan para panglima/komandan kotama dalam rangka pelaksanaan pembinaan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara secara terarah, teratur, terkoordinasi, dan terkendali.

46.    Tataran Kewenangan dan Tanggung Jawab Dalam Pembinaan Kekuatan dan Kemampuan TNI Angkatan Udara.   Kewenangan dan tanggung jawab dalam pembinaan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara tatarannya diatur sebagai berikut:

a.      Eselon Pimpinan.  Kepala Staf TNI Angkatan Udara mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam pembinaan kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Udara.

b.      Eselon Staf Pembantu Pimpinan.   Eselon staf pembantu pimpinan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam rangka pembinaan kekuatan melalui fungsi-fungsi TNI Angkatan Udara sebagai berikut:

1)      Pembinaan fungsi intelijen.  Pembinaan fungsi intelijen dilaksanakan secara terus menerus dan berlanjut dalam bentuk usaha kegiatan, tindakan, dan pekerjaan guna mencari dan mengumpulkan bahan keterangan (info) serta menyajikan produk intelijen secara cepat, tepat, dan akurat guna mendukung keberhasilan berbagai tugas TNI Angkatan Udara.   Pembinaan fungsi intelijen meliputi intelijen udara,  pengamanan tubuh TNI Angkatan Udara, persandian, dan administrasi intelijen.

2)      Pembinaan fungsi operasi.  Pembinaan fungsi operasi dilaksanakan dalam bentuk usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencapai kesiapan operasional yang tinggi dari satuan-satuan Angkatan Udara.   Pembinaan fungsi operasi meliputi operasi dan latihan, kemampuan khusus, pasukan khas, dukungan operasi, hukum, Pernika, keselamatan terbang dan kerja, kelaikan udara, navigasi udara, pencarian dan pertolongan, pemberdayaan wilayah pertahanan udara dan potensi dirgantara serta operasi polisional Angkatan Udara.

3)      Pembinaan fungsi personel.   Pembinaan fungsi personel dilaksanakan dalam bentuk usaha, kegiatan, dan tindakan untuk menghasilkan personel yang profesional, bermoral, bermotivasi dan berdedikasi serta memiliki jiwa kejuangan dan kesiapan fisik yang tinggi agar dapat melaksanakan tugas-tugas TNI Angkatan Udara.   Pembinaan fungsi personel meliputi administrasi, pendidikan, perawatan, dan kesehatan personel.

4)      Pembinaan fungsi logistik.  Pembinaan fungsi logistik dilaksanakan dalam bentuk usaha, kegiatan dan tindakan untuk mewujudkan tersedianya materiil,  fasilitas  dan jasa  yang siap  dan  mampu mendukung  kebutuhan dan kesiapan satuan operasional TNI Angkatan Udara. Pembinaan fungsi logistik meliputi pengadaan, pembekalan, pemeliharaan, fasilitas dan konstruksi, komunikasi dan elektronika, dukungan kesehatan serta angkutan.

5)      Pembinaan fungsi manajemen.   Pembinaan fungsi manajemen dilaksanakan dalam bentuk usaha, kegiatan dan tindakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi TNI Angkatan Udara secara tertib, efektif dan efisien.   Pembinaan fungsi manajemen meliputi administrasi umum, perencanaan strategis, program dan anggaran, keuangan, organisasi, peranti lunak, informasi dan pengolahan data serta penelitian dan pengembangan.

6)      Pembinaan fungsi pengawasan dan pemeriksaan. Pembinaan fungsi pengawasan dan pemeriksaan dilaksanakan dalam bentuk usaha, kegiatan dan tindakan untuk terciptanya tertib administrasi dan taat asas dalam penyelenggaraan fungsi TNI Angkatan Udara.

c.      Eselon Pelaksana (Kotama).  Kewenangan dan tanggung jawab pembinaan kekuatan dan kemampuan secara terbatas, dilaksanakan oleh para panglima/komandan  kotama TNI Angkatan Udara.

47.    Tataran Kewenangan Komando dan Pengendalian.  Tataran kewenangan komando dan pengendalian dilaksanakan pada OMP dan OMSP:

           

a.      Pada Operasi Militer Perang.

1)      Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI.  Berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI Angkatan Udara melalui Panglima TNI untuk menghadapi ancaman bersenjata setelah mendapat persetujuan DPR RI.

2)      Panglima TNI.  Berwenang menetapkan atau membentuk Komando Operasi baik yang bersifat permanen maupun semi permanen, mengerahkan kekuatan TNI Angkatan Udara baik untuk operasi gabungan maupun operasi mandiri dalam rangka operasi militer atau kampanye militer, memegang komando dan pengendalian operasi yang bersifat strategis.

3)      Panglima Komando Operasi.  Memegang komando dan pengendalian operasi terhadap satuan TNI Angkatan Udara yang berada di bawah komandonya dan dapat mendelegasikan kewenangan komando dan pengendalian taktis kepada Komandan satuan bawah, dan berkoordinasi dengan Koops TNI.

b.      Pada Operasi Militer Selain Perang.  Komando dan pengendalian unsur kekuatan TNI Angkatan Udara yang dilibatkan dalam OMSP disesuaikan dengan perintah penugasan dari Panglima TNI.

 


 

BAB IX

 

PENUTUP

 

 

48.    Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa merupakan doktrin dasar dalam pembinaan kekuatan dan  kemampuan, penggunaan kekuatan TNI Angkatan Udara dan pemberdayaan wilayah pertahanan udara yang bersifat konseptual dan strategis.

 

49.    Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana Paksa harus dipahami dan dihayati oleh semua insan TNI Angkatan Udara secara utuh.  Doktrin tersebut harus dijabarkan pada tingkat operasional dan taktis serta menjadi rujukan bagi penjabaran semua buku petunjuk tataran di bawahnya.

Kepala Staf Angkatan Udara

Imam Sufaat, S.IP

Marsekal TNI

FOREIGN MILITARY SALES (3)

Biaya Dalam FMS

 

1.         Dalam melaksanakan kebijakan luar negerinya, khususnya mekanisme FMS, filosofi dasar dari perspektif Pemerintah AS adalah: “By policy, US Government can’t make money. By rule, US Government can’t lose money.”   Ini menjadi norma dasar pembiayaan FMS dalam prosesnya, dan menjadi asas fundamental yang mendasari perhitungan biaya yang kelak harus dibayarkan oleh negara pembeli.  Secara ringkas, filosofi ini dikenal dengan konsep “no-loss” (secara legislatif) dan kebijakan “no-gain” (secara administratif).

 

2.         Setiap LOA dalam konteksnya sebagai “kontrak” antara Pemerintah AS dengan pemerintah negara pembeli, selalu mencantumkan besaran biaya yang dikenakan untuk tiap case FMS (dalam hal ini tiap kontrak).  Nilai nominal yang tercantum meliputi: estimated cost (perkiraan besarnya biaya kontrak); initial deposit (pembayaran awal—semacam uang muka/down-payment); unit cost dan total cost tiap item; packing, crating and handling; administrative charge; dan transportation cost.  Selain itu, dalam LOA juga diuraikan jadwal pembayaran perkiraan (estimated payment schedule) yang berbasis “quarter” (per tiga bulan).

 

Aliran Dana FMS

 

3.         Pemerintah negara pembeli melakukan pembayaran berdasarkan nilai initial deposit dan payment schedule yang tercantum dalam LOA.  Bila program atau case tersebut berada di bawah pembiayaan Pemerintah AS, maka pembayaran akan dilakukan Pemerintah AS sendiri melalui Foreign Military Financing (FMF) Program.  Selain itu, Pemerintah AS juga bisa memberikan kredit (pinjaman lunak/soft loan atau dana hibah) untuk membiayai case FMS (dengan perjanjian tersendiri).  Dalam mekanismenya, Pemerintah AS terlebih dahulu akan memberikan surat tagihan (FMS Billing Statement) mengacu pada format DD Form 645, dan pemerintah pembeli mempunyai waktu 60 hari untuk menyelesaikan kewajiban membayar sesuai tagihan tersebut.

 

4.         Pembayaran oleh pemerintah negara pembeli dapat dilakukan melalui dua jalur:

 

a.         langsung ke dana perwalian (Trust Fund), yang dapat dilakukan dengan wire transfer atau check setiap tiga bulan sesuai payment schedule.  Dana yang dikirim pemerintah pembeli ke Trust Fund disimpan dalam sebuah akun atas nama negara yang bersangkutan.  Sifat dari akun dalam Trust Fund ini adalah zero-interest (tidak berbunga), namun relatif lebih aman karena dijamin oleh Pemerintah AS dari gejolak apapun yang terjadi dalam dunia moneter nasional maupun internasional.

 

b.         melalui Interest Bearing Accounts (IBA)[1], baik di Federal Reserve Bank New York (FRB NY) atau bank komersial lainnya.  Pembukaan akun di FRB NY harus melalui persetujuan antara Dephan/Kemhan negara pembeli, bank sentral negara pembeli, DSCA, dan FRB NY sendiri.  Sedangkan untuk membuka akun di bank komersial, harus ada dua persetujuan terpisah antara pemerintah negara pembeli dengan bank yang bersangkutan, serta antara pemerintah negara pembeli dengan DSCA.  Akun dalam IBA mendapatkan bunga, namun tentu saja rentan terhadap gejolak finansial/moneter yang dapat terjadi sewaktu-waktu.[2]  Dana yang dikirim melalui IBA akan ditarik setiap bulan oleh Defense Financial and Accounting Service-Indianapolis Center (DFAS-IN)[3] untuk dimasukkan dalam akun FMS negara bersangkutan di Trust Fund.

 

5.         Di internal DOD, dana yang telah dibayarkan tersebut akan berimplikasi pada implementasi case FMS yang bersangkutan, dengan diajukannya Obligation Authority (OA) dan Expenditure Authority (EA) dari IA kepada DFAS-IN.  OA adalah kewenangan finansial bagi IA untuk mengimplementasikan FMS dalam batas/marjin yang sesuai dengan dan tidak melebihi dana yang telah dibayarkan. Yang dimaksud ‘obligation’ di sini mengacu pada upaya pemesanan yang diajukan (baik kepada pabrikan atau internal DOD-bila barang bersumber dari stok), jasa yang diberikan dan sebagainya.

 

6.         Kewenangan IA yang lain adalah EA, yang merupakan karakterisitik unik dalam akuntansi FMS.  ‘Expenditure’ sebagaimana harfiahnya mengacu pada ‘pembayaran’ atau ‘pengeluaran’, baik berupa reimbursement kepada IA (bila barang dipenuhi dari stok DOD) maupun berupa direct cite kepada kontraktor/pabrikan (bila barang dipenuhi dengan procurement).  Oleh karenanya, EA baru dapat diimplementasikan bila dana dari negara pembeli telah dimasukkan dalam akun di Trust Fund.

 

Secara grafis aliran dana dalam pembiayaan FMS adalah sebagai berikut:

 

 

Elemen-elemen Harga Dalam FMS

 

7.         Salah satu hal menarik dari FMS adalah mengenai “biaya” atau “harga” yang harus dibayar oleh negara pembeli.  Pada dasarnya, biaya FMS terdiri atas dua bagian besar yaitu:

 

a.         Base Price.   Harga dasar adalah harga produk yang ditawarkan dalam LOA, baik itu berupa barang, jasa, maupun pelatihan.  Untuk pelatihan, DOD menetapkan lima kategori (rate) mulai dari A untuk negara-negara non-NATO sampai dengan E untuk IMET.[4]  Untuk jasa personel (engineering services, technical services dan sebagainya) ditetapkan standar biaya seperti yang dikeluarkan Pemerintah AS untuk membiayai personel tersebut sesuai tugas, kualifikasi, jarak perjalanan serta standar akomodasinya.[5]  Untuk secondary items atau non-major inventory yang diambil dari stok DOD, harga yang ditetapkan adalah harga beli barang tersebut (saat dibeli oleh DOD) ditambah biaya pemeliharaan selama item tersebut menjadi inventaris DOD.

 

b.         Authorized Charges.   “Authorized charges” adalah biaya-biaya di luar harga dasar produk, namun berdampak langsung pada pemenuhan produk yang dikontrakkan dalam LOA.  Biaya-biaya ini ada yang dimasukkan dalam harga produk (item-price incorporated), ada pula yang berada di ruang tersendiri (standalone) dalam LOA.  Rinciannya adalah sebagai berikut:

 

1)         Incorporated to item price:

 

a)         Nonrecurring cost (NC).  Ini berlaku untuk major defense equipment, yaitu produk-produk yang biaya R&D-nya mencapai lebih dari atau sama dengan USD 50 juta, atau yang total biaya produksinya mencapai lebih dari atau sama dengan USD 200 juta. Besaran NC diatur dalam  DODD 2140.2 dan Security Assistance Management Manual (SAMM) appendix 1. Negara pembeli dapat menegosiasikan pengurangan NC (waiver) dengan Pemerintah AS.

 

b)         Contract Administration Services (CAS).   Biaya ini meliputi seluruh pengeluaran untuk memenuhi kontrak secara khusus, yang meliputi: quality assurance and inspection (0.65% dari nilai kontrak), contract administration/management (0.65%), contract audits (0.2%), dan overseas CAS (0.2%).  Ketentuan yang mengatur ini adalah SAMM Chapter 9 dan FMR Chapter 7.

 

2)         Standalone.  Biaya yang berdiri sendiri dalam LOA meliputi:

 

a)         Administrative charges.   Biaya administratif ini dalam case FMS yang umum adalah sebesar 3.8% dari nilai kontrak (berlaku sejak 2006).  Khusus untuk case yang benilai kurang dari atau sama dengan USD 400,000, ditetapkan biaya administratif sebesar USD 15,000.[6]

 

b)         Packing, Crating and Handling (PC&H) costs.   Biaya PC&H adalah biaya untuk tenaga manusia (labor), materiil maupun jasa dalam penyaluran produk dari gudang penyimpanan, penyiapan untuk pengapalan (shipment), dan pemrosesan dokumen. Besaran yang dikenakan adalah 3.5% untuk USD 50,000 pertama dari harga satuan ditambah 1% dari kelebihan harga satuan tersebut. Harap dicatat bahwa biaya PC&H hanya berlaku untuk produk yang dipenuhi dari stok DOD, dan tidak berlaku untuk pemenuhan produk dari procurement (SAMM Chapter 9 dan FMR Chapter 7).

 

c)         Transportation costs.   Biaya transportasi dikenakan untuk jasa pengiriman di bawah Defense Transportation System (DTS) baik menggunakan moda transportasi (mobil, pesawat atau kapal) milik DOD  maupun non-DOD.   Biaya ini tidak diberlakukan bila barang langsung diambil pembeli dari tempat asalnya (pabrikan, atau gudang DOD).  Selain itu, biaya ini berlaku untuk USD 10,000 pertama dari harga satuan, dan ¼ dari persentase yang diberlakukan untuk kelebihan harga satuan tersebut.  Persentase biaya ini sendiri bergantung ke mana produk tersebut akan dikirim sesuai permintaan pembeli dalam LOA Delivery Term Code/DTC (apakah hanya sampai pelabuhan keluar di wilayah AS, atau sampai ke pelabuhan masuk di wilayah pembeli, atau hingga ke tempat penyimpanan pembeli).

 

Tagihan Pembayaran (FMS Billing)

 

8.         Sesuai dengan apa yang tertera dalam LOA, negara pembeli wajib membayarkan initial deposit untuk menutup semua pengeluaran sejak tanggal case FMS diimplementasikan sampai dengan batas waktu pembayaran per tiga bulan (quarterly payment) pertama.  Pembayaran per tiga bulan ini didahului dengan surat tagihan (billing statement) dari DFAS-IN, umumnya dua bulan sebelum batas waktu pembayaran (payment due date).  Setelah dibayarkan, dana tersebut akan digunakan untuk membiayai pengeluaran tiga bulan berikutnya.  Tabulasi tagihan dan pembayaran dapat digambarkan sebagai berikut:

 

 

 

Periode/Kuartal Sebelumnya

Proyeksi Tanggal Pengiriman Tagihan

Batas Waktu Pembayaran ke DFAS-IN

Proyeksi Kuartal Penggunaan Dana

Januari-Maret

April-Juni

Juli-September

Oktober-Desember

15 April

15 Juli

15 Oktober

15 Januari

15 Juni

15 September

15 Desember

15 Maret

Juli-September

Oktober-Desember

Januari-Maret

April-Juni

 

9.         Penentuan kuartal pembayaran paling awal dalam payment schedule diambil berdasarkan batas masa berlaku LOA (LOA expiration date).  Sebagai contoh: bila masa berlaku LOA habis di antara tanggal 11 September s.d. 10 Desember, maka initial deposit akan digunakan untuk menutup biaya FMS sejak tanggal ditandatanganinya/disetujuinya LOA hingga 31 Maret.  Karena itu, pembayaran per kuartal pertama akan ditagihkan paling lambat tanggal 15 Januari, dan pembayarannya harus dilakukan paling lambat tanggal 15 Maret untuk menutup biaya FMS periode April-Juni.  Demikian seterusnya hingga seluruh materiil kontrak terpenuhi, dan case tersebut ditutup.

 

Tinjauan FMS Dari Perspektif Indonesia

 

10.       Setelah uraian mengenai latar belakang, proses serta mekanisme pembayaran FMS di atas, saatnya untuk meninjau FMS dari perspektif Indonesia secara komprehensif.  Hal ini perlu dilakukan mengingat saat ini (dan mungkin hingga beberapa dekade ke depan) keterlibatan Indonesia dalam FMS masih cukup besar (dan AS selalu menyatakan bahwa “Indonesia adalah mitra strategis AS di Asia”), namun Pemerintah RI di sisi lain masih harus berhadapan dengan keterbatasan anggaran pertahanan sehingga pemanfaatan anggaran secara bijak (tepat sasaran, menghasilkan nilai tambah dan berdaya guna) harus terus menerus dilakukan.

 

11.       Tinjauan terhadap FMS dapat dilakukan dari beberapa aspek fundamental, antara lain:

 

a.         Politik.  Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, FMS merupakan bagian dari program kerjasama internasional AS di bidang pertahanan, dan subsistem dari portofolio kebijakan luar negeri AS. Norma hakiki dari kebijakan luar negeri negara manapun selalu bermuara pada “kepentingan nasional”, termasuk apa yang dilakukan AS melalui FMS.  Artinya, apapun ide, konsep serta filosofi yuridis formal Pemerintah AS, FMS tetap merupakan salah satu upaya Pemerintah AS mewujudkan kepentingan nasional negaranya.  Ini bukan sesuatu yang salah karena siapapun akan melakukan hal yang sama.  Pemerintah RI yang harus cermat membaca hal ini.  There’s no such thing as a free lunchIndonesia juga memiliki kepentingan nasionalnya sendiri melalui kebijakan luar negerinya, dan inilah yang harus bisa diperjuangkan semaksimal mungkin dalam setiap kontrak FMS.

 

b.         Ekonomi.   Dari perspektif ekonomi, ada beberapa tinjauan yang dapat dilakukan:

 

1)         FMS bukan impelementasi bisnis murni antara ‘penjual’ dengan ‘pembeli’.  Dalam bisnis murni, selama pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menerima sejumlah barang yang sepadan dengan nilai uang itu dari penjual, maka pembeli bebas melakukan apa saja dengan barang tersebut karena pembeli merupakan pemilik barang. Tidak demikian dengan FMS (seperti diuraikan di bagian 1 tentang legislasi dan kebijakan AS dalam FMS).  Pembeli tetap terikat dengan sejumlah ketentuan yang membatasinya dalam menggunakan setiap item yang dibeli melalui FMS, termasuk memberikan ijin kepada otoritas AS dalam melakukan end use monitoring.[7]

 

2)         Secara kualitas, produk FMS dapat dijamin “kelas satu”.  Ini mengingat semua produk FMS harus melalui standar yang sama dengan apabila produk tersebut dijual kepada US DOD sendiri.  Artinya, dapat dikatakan bahwa tidak ada istilah “membeli kucing dalam karung” pada proses FMS,[8] dan sepintas terlihat bahwa segalanya memenuhi asas “value for money”. Namun demikian, seperti diulas pada poin 1), ada satu hal yang tidak dapat diperoleh dengan uang yang dibayarkan dalam FMS, yaitu freedom of use (kebebasan dalam penggunaan).  Siapapun layak untuk mempertanyakan ini: sepadankah semuanya dengan sekian ratus ribu atau juta USD yang telah dikeluarkan?

 

3)         Selain FMS, ada bentuk akuisisi yang lain dalam kerangka ”G-to-G” dengan AS, yaitu Direct Commercial Sales (DCS).  Dalam hal ini, Pemerintah RI langsung berkontrak dengan industri AS, dan Pemerintah AS hanya terlibat dalam penerbitan export license (EL) kepada industri yang bersangkutan.  Dari sisi waktu pemenuhan materiil kontrak, DCS umumnya lebih cepat.  Namun demikian, terdapat opsi berikutnya berupa mekanisme hybrid antara FMS dan DCS, yang tentu saja harus didahului dengan perhitungan soal waktu dan nilai ekonomis (mana yang dipesan melalui FMS, mana yang melalui DCS).[9]

 

c.         Pertahanan.   Dari aspek pertahanan, beberapa trade-off studies juga layak diangkat:

 

1)         Dari perspektif pembangunan kekuatan, khususnya untuk non-major items atau non-major defense equipment (non-MDE), FMS menawarkan solusi yang cukup menjanjikan.  Untuk item-item ini, rentang waktu realisasi kontrak (LOA) relatif pendek dan Indonesia dapat menerima barang yang dipesan secara cepat, karena Pemerintah AS dapat langsung merespon dari stok DOD (tentu saja selama pembayaran telah dilaksanakan). Namun untuk MDE, Indonesia harus memperhitungkan dengan cermat soal lead time ini, hingga tetap selaras dengan rencana strategis pembangunan kekuatan pertahanan.[10]  Untuk MDE, sangat kecil kemungkinan Pemerintah AS akan merealisasikan FMS dari stok DOD, melainkan akan mengkontrakkan materiil tersebut kepada pabrikan sehingga delivery time akan lebih lama.

 

2)         Masih dari perspektif pembangunan kekuatan, mekanisme ‘grant’ atau hibah juga harus disikapi Pemerintah RI secara arif.  Hibah selalu berfilosofi “as is where is” atau apa adanya.  Yang pasti, produk hibah adalah materiil-materiil yang sudah tidak digunakan lagi oleh DOD (excess defense articles atau EDA).  Pertanyaan yang layak dikemukakan adalah: mengapa mereka tidak digunakan lagi?  Ada beberapa kemungkinan antara lain:

 

a)         teknologi materiil tersebut sudah dinilai outdated, dan sudah tergantikan dengan produk baru yang lebih modern;

 

b)         materiil tersebut dipandang tidak ekonomis untuk dipelihara dan dioperasikan;

 

c)         materiil tersebut dipandang tidak mampu menjawab kebutuhan tempur/pertahanan baik di tingkat strategis maupun taktis.

 

Pada saat materiil-materiil ini dinon-aktifkan dari DOD, apakah kondisinya masih seperti kondisi terakhir mereka (yang masih operasional tetap bisa dioperasikan, peralatan pendukungnya masih lengkap, dan sebagainya)?  Pada saat menuju disposal site, apakah kondisi fisiknya masih standar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan beberapa bahan untuk mengkalkulasi biaya yang kelak harus dikeluarkan Indonesia untuk membangun kembali materiil tersebut hingga kondisi siap pakai.  Kita juga tidak perlu naif terhadap kemungkinan bahwa ada sebagian kelengkapan dari materiil tersebut yang diambil dan digunakan oleh AS untuk kepentingan yang lain (disimpan sebagai stok atau dipasang di alutsista lainnya), sehingga kita harus membeli baru item tersebut untuk melengkapi sesuai standar.

 

3)         Dari perspektif doktrin pertahanan, Indonesia juga harus menjamin adanya kesamaan persepsi dengan Pemerintah AS (DOD) tentang beberapa kata kunci seperti “pertahanan nasional” (national defense), “bela diri” (self-defense), “penyerangan” (offensive), “angkatan bersenjata” (armed force) dan “HAM” (human rights). Itu adalah beberapa kata kunci yang dapat menjadi penghalang (barrier) bagi Indonesia untuk menggunakan produk-produk AS dalam upaya mempertahankan kedaulatannya sendiri.  Kedaulatan yurisdiksi bukan semata-mata persoalan menghadapi musuh eksternal, karena kedaulatan dan keutuhan yurisdiksi negara juga bisa tergerogoti oleh internal negara yang bersangkutan.  Separatisme bersenjata misalnya, bukankah itu upaya untuk menggerus kedaulatan dan menghilangkan sebagian wilayah yurisdiksi NKRI?  Bila itu terjadi, bolehkah TNI menggunakan kapal, pesawat tempur, atau senapan buatan AS?[11]  By rule, the answer is NO.  Contoh lain, bila ada penyusupan udara oleh pesawat militer asing yang merupakan produk AS (seperti kasus Bawean tahun 2003), bisakah TNI menyergap dan menyerang pesawat tersebut dengan pesawat tempur yang juga produk AS?  Sepakatkah AS dengan RI bahwa itu adalah pelanggaran kedaulatan dan RI hanya melakukan “self-defense”?   Bila tidak, lalu untuk apa sekian ratus juta USD kita keluarkan bila kedaulatan kita tetap terancam dan tidak bisa kita tegakkan?  Lebih jauh lagi, berguna atau cukup efektifkah produk-produk AS itu untuk mengaplikasikan doktrin pertahanan Indonesia (termasuk Operasi Militer Selain Perang/OMSP) secara riil?

 

Penutup

 

12.       Kesimpulan.   Dari uraian dalam tiga bagian mengenai FMS ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:

 

a.         FMS adalah bagian dari sebuah konsep besar kebijakan luar negeri AS, yang berimplikasi pada muatan-muatan politis di samping norma-norma ekonomi (untung-rugi) di dalamnya.  Hal ini sangat jelas terlihat dari berbagai legislasi dan platform kebijakan Pemerintah AS terkait kerjasama (pertahanan) internasional, termasuk FMS.

 

b.         FMS meliputi serangkaian proses yang dimulai dari identifikasi kebutuhan (preliminary) hingga implementasi.  Negara pembeli dan penjual (AS) memiliki batas-batas tanggung jawab/kewajiban serta hak yang tegas yang dituangkan dalam LOA.

 

c.         FMS bukan solusi untuk semua persoalan pengadaan alutsista atau suku cadang Indonesia (one size fits all), melainkan hanya salah satu opsi yang dalam hal tertentu memiliki keuntungan (terutama dalam hal kualitas produk), namun untuk hal yang lain wajib diperhitungkan dengan cermat implikasinya terhadap kelangsungan pertahanan Indonesia (lead time dan keselarasan dengan doktrin).

 

13.       Apapun kerangkanya, kerjasama internasional dalam bidang pertahanan memiliki banyak nilai positif bagi Indonesia.  Selain memenuhi berbagai kekurangan yang dimiliki Indonesia (alutsista, pembinaan SDM, pengembangan doktrin), kerjasama internasional adalah sarana memperkokoh diplomasi Indonesia di forum dunia.  Namun demikian, filosofi ini hendaknya tidak merupakan pembenaran untuk mengabaikan berbagai potensi dasar yang dimiliki Indonesia guna mewujudkan kemandirian.  Bagaimanapun, berdiri di atas kaki sendiri serta bebas dari ketergantungan kepada negara lain tetap merupakan norma terbaik.  Oleh karenanya, kebijakan nasional dalam hal revitalisasi industri dalam negeri diharapkan dapat dijabarkan secara lebih luas dan multidimensional, dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.  Industri nasional merupakan aset bangsa, dan negara bertanggungjawab dalam memeliharanya. Selain injeksi dana segar untuk menjamin cash flow industri-industri tersebut, perlu campur tangan yang lebih jauh dari Pemerintah RI untuk menata industri agar lebih mampu bersaing dengan professional conduct yang tinggi. Juga, Pemerintah RI diharapkan dapat menjadi “garda depan” dalam menjual kemampuan industri-industri ini kepada dunia, yang berarti harus ada portofolio khusus baik dari Kementerian (Luar Negeri, Pertahanan, Perdagangan dan BUMN) serta lembaga negara lainnya dalam memasarkan kemampuan bangsa ini. Lebih jauh lagi, komitmen penggunaan produk (pertahanan) dalam negeri juga perlu berimplikasi yuridis formal serta mengikat, sehingga tidak terkesan “setengah hati”.


[1]  Tidak berlaku untuk Program FMF.

[2]   Inilah sebabnya, dari 13 ribu lebih case FMS yang ada saat ini, hanya 35 case yang pembayarannya melalui IBA.  Selebihnya dilakukan langsung ke Trust Fund.

[3]  Dalam FMS, DFAS-IN adalah badan yang berwenang dalam setiap transaksi finansial, termasuk dalam penerbitan Billing Statement kepada pembeli (setiap tiga bulan).

[4]   Kebijakan ini berimplikasi pada berbedanya biaya pelatihan dalam kerangka FMS untuk tiap negara, sekalipun paket pelatihan yang diberikan sama.

[5]  Inilah sebabnya perbantuan personel AS dalam rangka FMS pembiayaannya ditagihkan kepada negara pembeli.  Pembiayaan ini mengacu pada Financial Management Regulation (FMR) Chapter 7.

[6]  Ini dikenal sebagai Small Case Management Line.

[7]  End Use Monitoring (EUM) Program adalah kegiatan-kegiatan verifikatif oleh Pemerintah AS dalam menjamin bahwa seluruh produk AS yang telah berada di tangan pembeli digunakan sesuai dengan legislasi dan kebijakan Pemerintah AS (termasuk tidak digunakan untuk kegiatan ofensif, tidak diduplikasi tanpa ijin AS, dan tidak dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa ijin AS).

[8]  Kalaupun terdapat kelainan/malafungsi/cacat, pembeli dapat mengajukan klaim garansi berupa Supply Discrepancy Report (SDR) dalam rentang satu tahun sejak barang diserahkan.

[9]  Contoh praktis adalah akuisisi Boeing 737 AEW&C “Wedgetail” oleh Australia. Pesawatnya dibeli dengan FMS, sementara kelengkapan AEW&C-nya diakuisisi dengan DCS.

[10]  Pemerintah RI dapat belajar dari case FMS pada akuisisi JSF F-35 Lightning II oleh Australia, yang mengalami keterlambatan dalam delivery saat Australia sudah terlanjur mempensiunkan F-111, yang berimbas pembelian F/A-18E/F Super Hornet sebagai ‘bridging capability’ yang penuh polemik.

[11]  Pemerintah RI dapat belajar pada larangan Pemerintah Inggris dalam penggunaan pesawat Hawk 109/209 dalam Darurat Militer di NAD tahun 2003.

FOREIGN MILITARY SALES (2)

Military Sales

1.         Secara umum, AECA mengijinkan dua metode pembelian barang, pelatihan, dan jasa dalam bidang pertahanan dari AS kepada negara-negara lain maupun organisasi internasional.  Metode pertama adalah kontrak antar-pemerintah melalui FMS, dan yang kedua adalah pembelian langsung kepada industri AS melalui DCS.  Pada proses FMS, Pemerintah RI “berkontrak” dengan Pemerintah AS melalui FMS Letter of Offer and Acceptance (LOA) Case.  FMS dapat direalisasikan oleh Pemerintah AS selaku penyedia melalui stok yang mereka miliki (aset DOD), pembelian oleh Pemerintah AS dari industri AS, maupun melalui mekanisme kredit.  Untuk DCS, keterlibatan Pemerintah AS (dalam hal ini DOS) adalah dalam penerbitan ijin ekspor (export license) kepada industri AS.

2.         Selain itu, Section 30 dan Section 38 AECA juga mengatur mekanisme penjualan materiil pertahanan (government-furnished equipment/GFE atau government-furnished material/GFM) kepada industri/kontraktor AS dalam kerangka DCS.  Kondisi berlaku bila: materiil tersebut akan digabungkan/diinstalasi pada produk (end item) alat pertahanan untuk negara (organisasi internasional) pembeli; materiil tersebut akan digunakan untuk memenuhi kontrak dengan angkatan bersenjata AS; materiil tersebut hanya tersedia di sumber internal Pemerintah AS (aset DOD) dan tidak tersedia di pasaran hingga tenggat waktu penyerahan produk (end item) kepada pembeli.

Letter of Request (LOR)

3.         Pemerintah AS sendiri menyatakan bahwa FMS sebagai sebagai salah satu program SA yang diatur dalam AECA merupakan sarana penting dalam kebijakan luar negeri mereka.  Sebelum masuk pada uraian tentang proses FMS itu sendiri, perlu dipahami bahwa infrastruktur dalam Pemerintah AS (US Government/USG) yang mendukung pelaksanaan FMS bukan merupakan sebuah entitas tersendiri, melainkan pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada dalam DOD.  FMS sendiri merupakan sebuah proses yang kompleks, dan untuk produk yang bersifat “major system” (pesawat, kapal, rudal, atau peralatan intelijen/penginderaan) bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.

4.         Proses FMS diawali dengan fase “Preliminary”, yaitu saat negara calon pembeli (customer) melakukan analisis pengembangan kekuatan pertahanannya (baik dengan berbasis “kemampuan” atau berbasis “ancaman”). Calon pembeli berhak untuk memutuskan produk apa yang akan dibeli, serta dari mana sumbernya.   Bila negara calon pembeli akan mengakuisisi produk dari AS, pemerintahnya dapat melakukan konsultasi awal dengan perwakilan Pemerintah AS di Kedutaan Besar AS di negara tersebut.   Perwakilan ini secara umum berada di bawah Atase Pertahanan AS, yang disebut Security Cooperation Office (SCO).  Di Kedubes AS untuk Indonesia, SCO dikenal dengan Office of Defense Cooperation (ODC).[1]

5.         Bila negara calon pembeli—setelah berkonsultasi dengan SCO—menyatakan minat untuk membeli produk AS, maka negara tersebut dapat mengajukan Letter of Request (LOR) kepada Pemerintah AS.   LOR tidak harus berupa lembaran surat, namun dapat juga berupa ­e-mail, diskusi lisan (oral discussion) atau Request for Proposal (RFP), selama SCO dapat menjamin validitas dan akuntabilitas bentuk-bentuk komunikasi tersebut sebagai referensi di waktu-waktu selanjutnya.   LOR memuat beberapa informasi mendasar antara lain:

a.         Maksud dan tujuan LOR;

b.         Jenis produk yang diinginkan;

c.         Jumlah produk yang diinginkan;

d.         Waktu penyerahan produk yang diharapkan;

e.         Garansi;

f.          Pilihan sumber produk di AS (pabrikan tertentu);

g.         Dukungan terhadap produk (spare parts, pelatihan, bantuan teknis dan sebagainya);

h.         Pendanaan yang tersedia beserta sumbernya;

i.          Kemungkinan negosiasi dan penurunan harga;

j.          dan lain-lain.

(Informasi yang perlu dicantumkan dalam LOR bergantung pada kompleksitas produk yang akan dibeli dari Pemerintah AS[2].   Namun demikian, pada umumnya Pemerintah AS mengharapkan informasi yang komprehensif dalam LOR sebagai bagian dari Total Package Approach (TPA) sebagai standar AS dalam menawarkan produknya.)

Letter of Offer and Acceptance (LOA)

6.         Setelah menerima LOR dari pemerintah negara pembeli, Pemerintah AS—bergantung pada tujuan yang dinyatakan dalam LOR—dapat menerbitkan:

a.         Price and Availability (P&A).   P&A merupakan informasi garis besar (rough order of magnitude/ROM) yang berisi perkiraan harga tiap item yang diperlukan sebagai jawaban terhadap LOR.  Pemangku kepentingan terkait di lingkup Pemerintah AS harus menyediakan data P&A ini dalam waktu 45 hari setelah menerima LOR.  Harga tiap item yang disebutkan dalam P&A merupakan data historis berdasarkan pada database yang dimiliki Pemerintah AS, jadi bukan merupakan harga terakhir yang diperoleh dari pabrikan.  Itulah sebabnya, ini bukan harga penawaran resmi Pemerintah AS terhadap pembeli, dan tidak dapat digunakan untuk keperluan penganggaran, melainkan hanya valid untuk keperluan perencanaan.

b.         Letter of Offer and Acceptance (LOA).   Bentuk jawaban yang lain dari Pemerintah AS terhadap LOR dapat berupa LOA, yang merupakan dokumen resmi penawaran dari Pemerintah AS.   Tenggat waktu penerbitan LOA bervariasi untuk tiap negara (umumnya antara 75 s.d. 120 hari, namun untuk Indonesia 145 hari setelah LOR diterima).  Meski merupakan dokumen resmi penawaran, harga yang dicantumkan dalam LOA tetap harga estimasi, dan dapat berubah sewaktu-waktu.   LOA inilah sejatinya “dokumen kontrak” antara penjual dan pembeli (dalam hal ini Pemerintah AS dengan pemerintah negara pembeli).

c.         Negative Responses to LOR.   Bila Pemerintah AS melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu menilai LOR tidak cukup memadai untuk disetujui, mereka akan melakukan komunikasi dengan perwakilan pemerintah calon pembeli untuk menyampaikan bahwa LOR tidak diterima.

(Catatan: LOA tidak harus didahului dengan P&A. Bila negara pembeli sudah yakin untuk membeli produk tertentu dari Pemerintah AS, mereka dapat langsung meminta LOA dalam LOR-nya (LOR for LOA)).

Congressional Notification and Review

7.         Bila Pemerintah AS melalui Implementing Agency (IA)[3] memperkirakan bahwa sebuah LOR akan menghasilkan LOA yang melampaui nilai dollar tertentu seperti yang dicantumkan dalam Section 36(b) AECA, maka IA harus memberikan data kepada DSCA sebagai notifikasi untuk meminta persetujuan dari Kongres AS.  Notifikasi kepada DSCA ini harus terkirim dalam waktu 10 hari sejak LOR diterima.  Batasan nilai finansial yang berlaku untuk notifikasi ini adalah sebagai berikut:

a.         Untuk negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel dan Republik Korea:

1)         nilai total LOA sebesar USD 100 juta;

2)         nilai total LOA sebesar USD 25 juta untuk Major Defense Equipment (MDE)[4];

3)         nilai total LOA sebesar USD 300 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.

b.         Untuk negara-negara lain:

1)         nilai total LOA sebesar USD 50 juta;

2)         nilai total LOA sebesar USD 14 juta untuk Major Defense Equipment (MDE);

3)         nilai total LOA sebesar USD 200 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.

8.         Selanjutnya, setelah Kongres AS menerima notifikasi dari DSCA, mereka akan melaksanakan kajian/review terhadap materi yang disampaikan, yang pada intinya akan menghasilkan keputusan apakah LOA dapat diterbitkan atau tidak.  Tentu saja, review ini hanya bisa dilakukan saat Kongres berada pada masa sidang (tidak sedang dalam masa reses).  Tenggat waktu review oleh Kongres terhitung sejak notifikasi resmi dari DSCA diterima adalah sebagai berikut:

a.         Untuk NATO, negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel, dan Republik Korea: 15 hari;

b.         Untuk negara-negara lain: 30 hari yang didahului dengan 20 hari notifikasi informal.

Implementasi dan Eksekusi FMS

9.         Dalam LOA, Pemerintah AS akan mencantumkan beberapa informasi yang meliputi: nilai total LOA (nilai kontrak), initial deposit,[5] bentuk pengiriman/penyerahan produk, rincian harga tiap item, jadwal pembayaran (payment schedule), serta masa berlaku LOA.  LOA ini, bila disetujui oleh negara pembeli, harus ditandatangani oleh pembeli sebelum masa berlakunya habis.  Di luar masa berlaku tersebut, besar kemungkinan terdapat perubahan-perubahan baik pada harga produk, notifikasi Kongres yang diperlukan, waktu penyerahan produk dan sebagainya.  Begitu disetujui (ditandatangani) pembeli, maka secara resmi LOA tersebut menjadi FMS Case.

10.       Eksekusi FMS dimulai sejak pemenuhan produk yang dicantumkan dalam LOA diproses oleh IA dan penyedia (bisa pabrikan maupun badan-badan DOD yang lain bila produk yang diminta dipenuhi dari stok DOD).   Bagian ini merupakan babak terpanjang dalam siklus FMS.  Untuk major system, pelaksanaannya bahkan bisa bertahun-tahun.

FMS Case Closure

11.       Saat pemenuhan materiil kontrak dalam LOA mendekati penyelesaian, IA (dalam hal ini Case Manager) melakukan apa yang disebut case reconciliation, yang mencakup konfirmasi terhadap hal-hal seperti: akuntabilitas langkah finansial (pembayaran) dan logistik (penyerahan produk), akurasi dan kelengkapan data, pemenuhan jadwal (pembayaran dan penyerahan produk), ketepatan waktu pelaporan dan lain-lain.  Rekonsiliasi ini sebenarnya bukan mekanisme sesaat sebelum case closure saja, melainkan harus dilakukan oleh case manager setidaknya setahun sekali.  Hal ini akan memudahkan proses penyelesaian case FMS.

12.       Sebuah case FMS dapat diajukan untuk ditutup bila memenuhi kriteria Supply and Services Complete (SSC), yang diindikasikan dengan beberapa parameter berikut:

a.         seluruh produk telah diserahkan;

b.         seluruh jasa telah dipenuhi;

c.         seluruh Supply Discrepancy Report (SDR)[6] telah ditindaklanjuti;

d.         periode garansi (warranty) sudah habis;

e.         data pada IA dan pembeli telah tersinkronisasi;

f.          seluruh catatan (notes) dalam LOA telah dipenuhi;

g.         semua persyaratan dalam LOA telah terpenuhi.

13.       FMS case closure sendiri terdiri atas dua metode: Accelerated Case Closure Procedures (ACCP), dan Non-ACCP.  Non-ACCP diterapkan untuk negara-negara yang memilih untuk tidak melaksanakan ACCP.   Dalam non-ACCP, FMS case ditutup hanya bila seluruh kewajiban telah dipenuhi, tagihan-tagihan telah dikirim, dan audit (bila diperlukan) telah dilaksanakan.   Umumnya perkiraan waktu penutupan case FMS dengan non-ACCP adalah 36 bulan sejak pemenuhan materiil kontrak terpanjang.  Untuk major system, bahkan bisa lebih lama terhitung sejak  sebuah case dinyatakan SSC.  Karena lamanya waktu penutupan case dengan non-ACCP ini, sebagian besar negara memilih menggunakan ACCP.

14.       ACCP sendiri dilakukan dalam 24 bulan sejak sebuah case dinyatakan SSC.  Dalam ACCP, case dapat ditutup meskipun masih terdapat beberapa kewajiban yang belum terpenuhi (unliquidated obligation/ULO).  Case manager akan menghitung besaran kumulatif ULO tersebut dan menambahkannya menjadi nilai total dalam case FMS yang bersangkutan.  Nilai inilah yang kelak akan ditagihkan kepada negara pembeli dalam sebuah Case Closure Suspense Account (CCSA) baik di Trust Fund atau di Federal Reserve Bank of New York atau di bank komersial yang dipilih pembeli untuk melakukan transaksi pembayaran.  Dalam konteks ini, sebuah case dinyatakan Interim Closed.

Bagaimana mekanisme pembiayaan dalam FMS, dan apa implikasi proses FMS dari perspektif Indonesia?   Cukup baikkah metode ini untuk menjadi pilihan solusi bagi masalah-masalah pengadaan alutsista/suku cadang kita?


[1]  Di negara lain, nomenklatur SCO bisa berbeda-beda, bergantung pada titik berat format kerjasama yang ingin dibangun Pemerintah AS dengan negara tersebut.

[2]  Pada umumnya, besaran nilai anggaran dan kelas produk akan memberi pengaruh pada banyaknya informasi yang disampaikan dalam LOR. Semakin besar nilai yang (akan) dianggarkan oleh negara pembeli, serta makin tinggi kelas produknya (pesawat tempur, kapal perang, rudal, dll), maka informasi yang disediakan dalam LOR akan semakin lengkap.

[3]  IA adalah badan-badan di lingkup US DOD yang bertanggungjawab untuk menerbitkan dan mengimplementasikan LOA atas nama Pemerintah AS. Badan-badan tersebut bisa Military Departments (MILDEPs): Department of Army, Department of Navy, dan Department of Air Force, DSCA atau badan-badan lain yang dinilai berkompeten merealisasikan LOA (FMS).

[4]  MDE meliputi semua produk pertahanan yang bernilai penting/strategis dengan biaya R&D minimal USD 50 juta atau biaya produksi total mencapai minimal USD 200 juta.

[5]  Initial deposit digunakan oleh Pemerintah AS untuk membiayai semua pengeluaran sejak LOA disetujui pembeli (diimplementasikan) s.d. pembayaran terjadwal pertama sesuai payment schedule dalam LOA.

[6]  SDR adalah dokumen yang diajukan oleh negara pembeli bila dalam penyerahan produk ditemukan kerusakan atau kelainan (tidak berfungsi, tidak sesuai dengan yang diminta dalam LOA, atau rusak/cacat secara fisik).  SDR dikirimkan paling lambat satu tahun terhitung sejak produk dikirimkan/meninggalkan lokasi pemenuhan produk (pabrikan atau gudang DOD bila diambil dari stok).

FOREIGN MILITARY SALES (1)

Pendahuluan

1.         Berkembangnya beberapa diskusi mengenai rencana akuisisi alutsista TNI memberikan ruang positif bagi pentingnya pemahaman mengenai sistem dan mekanisme pengadaan (procurement) itu sendiri. Satu hal yang telah dipahami secara umum adalah bahwa pengadaan itu dapat direalisasikan secara langsung antara konsumen dengan penyedia (dalam hal ini Pemerintah RI c.q. Kementerian Pertahanan/Kemhan dengan kontraktor/rekanan) atau antara Pemerintah dengan Pemerintah (Pemerintah RI dengan Pemerintah negara penyedia).  Opsi kedua ini kita kenal dengan istilah “Government-to-Government” atau “G-to-G”.

2.         Tiap pemerintah negara lain yang menawarkan produknya kepada Pemerintah RI (dalam hal ini untuk alutsista) memiliki mekanisme masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.  Mengingat salah satu “pemasok” terbesar alutsista TNI adalah Amerika Serikat (AS), maka mekanisme “G-to-G” dengan AS-yang salah satunya adalah Foreign Military Sales (FMS)-merupakan salah satu topik bahasan “favorit”.  Tulisan ini bermaksud memberi gambaran tentang kerjasama dengan pemerintah AS ini, khususnya tentang FMS dan keuntungan serta kerugiannya dari perspektif Indonesia. Bagian pertama ini berisi tentang latar belakang aturan dan kebijakan yang mendasarinya, dan bagian kedua akan membahas tentang mekanisme FMS itu sendiri.

Security Cooperation (SC)

3.         Dalam konteks pertahanan, kerjasama RI-AS ini adalah bagian dari portofolio kerjasama global yang dijalin oleh AS dengan berbagai negara di dunia, khususnya pasca era Perang Dingin. Istilah “Security Cooperation” mulai diperkenalkan secara resmi tahun 1997 oleh Departemen Pertahanan AS (US Department of Defense/DOD) melalui Defense Reform Initiave (DRI).  Saat itu dibentuk sebuah badan bernama Defense Security Assistance Agency (DSAA) dengan dua payung hukum utama: Foreign Asisstance Act (FAA) dan Arms Export and Control Act (AECA). Untuk dapat mengakomodir lingkup kerjasama pertahanan keamanan yang lebih besar, DSAA dirubah menjadi Defense Security Cooperation Agency (DSCA) pada 1 Oktober 1998.

4.         Definisi resmi “Security Cooperation” (SC) sendiri tertuang dalam DOD Policy and Responsibilities Relating to Security Cooperation (24 Oktober 2008) sebagai berikut:

Activities undertaken by Department of Defense to encourage and enable international partners to work with the United States to achieve strategic objectives. It includes all DOD interactions with foreign defense and security establishments, including all DOD-administered security assistance programs, that: build defense and security relationships that promote specific US security interests, including all international armaments cooperation activities and security cooperation activities; develop allied and friendly military capabilities for self-defense and multinational operations; and provide US forces with peacetime and contingency access to a host nation.”

5.         Meski bersifat ‘defense-related’, SC berada dalam kendali dan pengawasan Departemen Luar Negeri AS (US Department of State/DOS) sebagai bagian dari hubungan internasional AS.    SC memayungi dua program utama yaitu:

a.       Security Assistance Programs, yang meliputi 12 program utama mengacu pada DOD 5105.38-M, Security Assistance Management Manual/SAMM sebagai berikut:

1)            Foreign Military Sales (FMS);

2)            Foreign Military Construction Services (FMCS);

3)            Foreign Military Financing Program (FMFP);

4)            Leases;

5)            Military Assitance Program (MAP);

6)            International Military Education and Training (IMET);

7)            Drawdowns;

8)            Economic Support Fund (ESF);

9)            Peacekeeping Operations (PKO);

10)         International Narcotics Control and Law Enforcement (INCLE);

11)         Nonproliferation, Antiterrorism, Demining, and Related Programs (NADR);

12)         Direct Commercial Sales (DCS);

Selain keduabelas program tersebut, masih ada beberapa program SA lainnya yaitu Excess Defense Articles (EDA) dan Third Country Transfer.

b.       Security Cooperation Programs, yang meliputi kategori berikut:

1)         Security assistance administered by DOD (as SC);

2)         Global train and equip;

3)         International armaments cooperation;

4)         Humanitarian assistance;

5)         Training and education;

6)         Combined exercise;

7)         Military-to-military contracts.

Untuk program pertama (Security assistance administered by DOD (as SC)), cakupannya adalah delapan program dalam Security Assistance Programs yaitu: FMS, FMCS, FMFP, leases, MAP, IMET, drawdowns, dan EDA.  Secara grafis, interface-nya dapat digambarkan sebagai berikut:

Tulisan ini tidak mengupas secara detail setiap program tersebut, melainkan hanya akan membahas lebih jauh tentang FMS, dan beberapa program yang terkait dengan FMS seperti EDA dan DCS, serta IMET.

Legislasi dan Kebijakan Pemerintah AS dalam SC

6.         SC, dengan Security Assistance (SA) sebagai salah satu komponen pokoknya, berada dalam payung hukum perundang-undangan AS.  Legislasi pokok yang mendasari pelaksanaan SA adalah Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) beserta amandemennya, dan Arms Export and Control Act (AECA) beserta amandemennya.  Selain itu, enam program dalam SA harus melalui pengesahan dan persetujuan Kongres AS: IMET, FMFP, ESF, PKO, INCLE dan NADR.

7.         Selain ketentuan-ketentuan hukum tersebut, Pemerintah AS menetapkan beberapa kebijakan yang terkait dengan SC. Pada intinya, kebijakan-kebijakan tersebut mengharuskan Pemerintah AS untuk mempertimbangkan beberapa aspek dalam memutuskan untuk membangun sebuah kerjasama keamanan/pertahanan dengan negara lain. Aspek-aspek tersebut antara lain:

a.         Tujuan Penjualan Alutsista.   Alutsista produksi AS hanya dapat dijual kepada negara lain untuk tujuan:

1)         Keamanan internal (negara pembeli);

2)         Pertahanan diri (legitimate self-defense);

3)         Mencegah dan menghalangi setiap usaha pengembangan senjata pemusnah masal dan peralatan pendukungnya;

4)         Memungkinkan negara pembeli untuk berpartisipasi dalam komunitas bersama dan regional yang sejalan dengan Piagam PBB;

5)         Mendukung aktifitas pembangunan ekonomi dan sosial oleh militer (angkatan bersenjata) di negara-negara berkembang.

b.         Kebijakan Luar Negeri AS.   Penjualan alutsista harus selaras dengan kebijakan luar negeri AS, yang dalam The DOS and USAID Strategic Plans for Fiscal Year 2007-2012 mencakup lima tujuan strategis:

1)         Mewujudkan perdamaian dan keamanan;

2)         Memerintah secara adil dan demokratis;

3)         Investasi sumber daya manusia;

4)         Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran;

5)         Menyediakan bantuan kemanusiaan.

c.         Dampak Terhadap Kesiapan AS Sendiri.  Proses FMS yang berdampak pada penurunan kesiapan tempur AS harus diupayakan seminimum mungkin.

d.         Pembatasan Senjata Konvensional.   Kongres mendorong Presiden AS bersama produsen senjata untuk terus membahas pembatasan aliran senjata konvensional ke negara-negara berkembang. Total nilai agregat yang menjadi threshold adalah nilai yang digunakan pada penetapan Section 1 AECA tahun 1976 yaitu USD 15,8 milliar.

e.         Pelarangan Keterlibatan dalam Kegiatan Tempur.   Personel AS yang ditugaskan dalam proses FMS dengan negara lain tidak diijinkan untuk terlibat dalam kegiatan tempur (combat acitivities).

f.          Hak Untuk Menerima Bantuan Hibah.   Peralatan tempur/alutsista (termasuk pelatihannya) hanya dapat dihibahkan kepada negara yang menyetujui untuk: tidak mengijinkan penggunaan alutsista tersebut oleh personel di luar institusi pemerintah negara penerima tanpa seijin Presiden AS; tidak memindahtangankan kepada pihak ketiga dengan tujuan apapun tanpa seijin Presiden AS; tidak menggunakan alutsista tersebut di luar keperluan yang telah ditetapkan tanpa seijin Presiden AS; memberikan perlindungan keamanan kepada alutsista tersebut seperti yang dilakukan Pemerintah AS; mengijinkan pengamatan yang berkelanjutan terhadap penggunaan alutsista tersebut oleh Pemerintah AS; mengembalikan kepada Pemerintah AS semua peralatan tersebut bila sudah tidak digunakan lagi.

g.         Hak Untuk Melaksanakan Jual Beli.   Sama halnya dengan hibah, alutsista hanya dapat diperjualbelikan bila: Presiden menyimpulkan bahwa proses tersebut memperkuat keamanan AS dan meningkatkan perdamaian dunia; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak memindahtangankan alutsista tersebut kepada pihak lain kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak mengggunakan atau mengijinkan penggunaan alutsista tersebut (atau pelatihan yang terkait) di luar tujuan yang telah ditetapkan kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk memberikan tingkat perlindungan keamanan yang sama dengan yang diberikan Pemerintah AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut dinilai laik untuk membeli produk alutsista maupun jasa dari AS.

Ketetapan Presiden AS (US Presidential Determination) pada ketentuan di atas diatur dalam Section 503 FAA dan Section 3 AECA.

8.         Selain aspek-aspek tersebut, terdapat beberapa batasan yang melarang Pemerintah AS untuk melakukan kerjasama pertahanan dengan negara (atau organisasi internasional) yang antara lain:

a.         berulang kali mendukung kegiatan terorisme internasional (Section 620(a) FAA);

b.         berhaluan komunis (Section 620(f) FAA);

c.         terlibat dalam perdagangan narkotika (Section 490(a) FAA);

d.         melarang atau membatasi, baik langsung ataupun tidak, pemberian bantuan kemanusiaan oleh AS (Section 620I FAA);

e.         membebankan pajak pada barang atau jasa yang diimpor dengan dana bantuan dari AS (Section 7013, P.L.112-74);

f.          merekrut atau menggunakan anak di bawah umur sebagai kekuatan perang, paramiliter, milisi atau sipil bersenjata (Section 404(a), P.L.110-457);

g.         tidak bersedia mempublikasikan secara tahunan anggaran pendapatan dan belanjanya (Section 7030(b), P.L.112-74);

h.         secara konsisten terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (Section 502B FAA).

Selain itu, terdapat beberapa batasan lain yang terkait penggunaan tenaga nuklir di luar sertifikasi International Atomic Energy Agency (IAEA), kekerasan terhadap individu di AS dan sebagianya.