MERASAKAN DIA (SEBUAH KESAKSIAN)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.  Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu bagiku bekerja memberi buah.  Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.”
(Filipi 1:21-22)

(Foto dari https://media.beliefnet.com)

Aku percaya bahwa semua keyakinan mengajarkan kita banyak hal yang sama, salah satunya adalah bahwa Tuhan (apapun kita menyebutnya) berkuasa penuh atas hidup kita, seperti soal rejeki, jodoh, umur, dan semua hal lainnya.  Namun, kita melihat bahwa meyakini dengan sepenuh hati kekuasaan Tuhan atas hidup kita, dalam banyak contoh, bukanlah hal mudah.  Ada kesenjangan kebijaksanaan yang sangat besar antara manusia dengan Penciptanya di sini, sehingga keterbatasan pengetahuan kita membuat kita tetap merasa cemas, khawatir, atau takut seiring banyaknya “ketidakpastian” yang kita rasakan dalam kehidupan kita.

Saat duduk di bangku SMP, salah seorang guru pernah berkata kepadaku: “Jon, setiap orang sudah punya ‘jatah’ umurnya masing-masing.  Ketika ‘jatah’ itu habis, maka selesailah kehidupan dunianya”.  Dalam satu hal inipun, aku yakin bahwa secara umum pandangan semua keyakinan atau agama juga sama, yaitu bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh hari demi hari itu pada hakekatnya adalah perjalanan menuju sebuah akhir, sekaligus sebuah awal.  Akhir dari kefanaan di dunia, dan awal dari sebuah keabadian.

Kita melihat hari ulang tahun sebagai rangkaian perjalanan dari titik awal kefanaan, yaitu berapa lama kita “sudah” berjalan sejak kita dilahirkan ke dalam dunia ini.  Itu karena tidak ada satupun manusia yang tahu kapan perjalanan itu akan berakhir, atau seberapa jauh lagi “garis finish” itu.  Ketika ada yang berulang tahun, kita selalu mengatakan “Semoga panjang umur”, yang sebenarnya kita mendoakan agar “garis finish”-nya masih jauh.  Namun, seberapapun masih jauhnya garis akhir itu, kita tetap berjalan mendekatinya, tanpa pernah tahu kapan kita akan tiba di sana, apakah lima menit lagi, satu hari lagi, tiga bulan lagi, sepuluh tahun lagi, atau kapan.  Di situlah Tuhan menggenggam erat dan menguasai rahasiaNya, sebuah rahasia Ilahiah.

Kebetulan aku adalah orang yang memilih untuk melihat bertambahnya usiaku sebagai perjalanan yang semakin mendekatkanku pada keabadianku, dengan peti matiku sebagai “garis start”-nya.  Kalaupun itu kulakukan dengan melihat ke belakang, kepada semua ingatanku akan apa yang terjadi dan kualami di masa-masa lalu sepanjang hidupku, itu lebih merupakan upayaku agar keyakinanku semakin kuat bahwa hingga akhir hidup duniaku kelak (yang aku tak tahu kapan), Tuhan akan tetap setia bersamaku, menjagaku, memeliharaku, dan menopangku.  Puji Tuhan, setidaknya hingga hari ini ketika sudah 47 tahun kutempuh langkah hidupku, aku dapat merasakan semakin tumbuhnya keyakinan akan kesetiaan Tuhan dalam hidupku.

Menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku bisa menjadi sebuah kisah panjang yang tidak berkesudahan, bahkan bisa lebih panjang daripada soal kehidupan itu sendiri.  Mengingat semua kemurahan Tuhan dalam perjalanan hidup ini bahkan bisa menjadi menit-menit hening yang penuh air mata dan rasa haru, karena semakin kuingat, semuanya terasa semakin luar biasa.  Hingga akhirnya aku sadar, bahwa mujizat itu dekat, hanya sejauh doa; keajaiban itu tidak jauh, hanya sejauh seruan hati.

Kesetiaan Tuhan nyata dan teruji dalam hidupku, meskipun dalam banyak hal, perlu waktu bagiku untuk menyadari kesetiaanNya itu. Sering sekali terjadi aku kecewa ketika sesuatu berjalan tak sesuai harapan, tapi Dia dengan caraNya yang luar biasa selalu menyingkap perlahan-lahan semua rahasiaNya.  Ketika tiba waktuNya (bukan waktuku), Dia membukakan tirai itu sehingga aku dapat melihat alasanNya untuk membiarkan sesuatu terjadi padaku, alasanNya membawaku melalui jalan berbatu dan penuh duri, atau mendaki bukit terjal yang tak pernah kukehendaki, atau melalui malam kelam yang penuh kejahatan.  Setelah tirai itu Dia buka, yang kulihat di depanku adalah sebuah terang yang hangat bersahabat, penuh limpahan berkat dan kebaikan.

Ketika kehidupan tidak selalu bersahabat dan menawarkan perjalanan yang sering kali terasa terlalu keras untukku, aku dapat merasakan tanganNya menopang kakiku sehingga aku tidak jatuh.  Ketika aku terlihat begitu lemah di hadapan sebuah badai ganas, aku dapat merasakan pelukanNya yang mendekapku erat dan badai itu hanya berlalu begitu saja.  Ketika jurang terlihat terlalu curam untuk kuturuni, aku dapat merasakan tanganNya menggenggam tangan lemahku sehingga aku tidak tergelincir.  Aku selalu merasakan Dia ada, hadir, bekerja dan melakukan campur tanganNya tanpa henti, dan tidak pernah terlambat.  Dalam banyak hal, Dia melakukan semua itu bahkan sebelum aku meminta.

(Foto dari https://wallpapers.com)

Aku bersyukur bahwa masa laluku membuat semua kebaikanNya itu begitu mudah untuk dilihat.  Ketika masa kecil harus dijalani dengan penuh kekurangan dan keterbatasan, dari satu titik rendah ke titik rendah yang lain, dari satu kesusahan ke kesusahan yang lain, Dia memeliharaku dan semua orang terkasihku, menjaga kami, menganugerahkan kami kesehatan, sehingga kami dikuatkan melalui semuanya. [Aku nyaris tidak bisa merasakan bangku SMA karena keadaan ekonomi keluarga, dan Dia menjawab doa-doa kami bukan dengan memberi keluarga kami uang, melainkan dengan memberiku SMA terbaik di Indonesia—saat itu—tanpa harus membayar alias gratis]

Masa remaja di SMA, Akabri hingga awal karier sebagai Perwira TNI juga bukan masa-masa yang berisi kemudahan-kemudahan.  Aku tidak punya “darah biru” atau “balung rojo”, dan semuanya harus kuusahakan sendiri.  Gaji—yang tidak seberapa—adalah satu-satunya penghasilan.  Membangun keluarga di usia yang masih amat muda juga merupakan bukit terjal lainnya.  Istriku dan aku hanyalah orang-orang biasa yang memperjuangkan segalanya sendiri, dan tak bisa berharap atau mengandalkan siapapun, termasuk keluarga besar kami, karena kami semua bukan berasal dari keluarga berada.  [Suatu hari saat jam istirahat siang di kantor, aku pernah pulang ke mess tempat kami berdua tinggal, dan hanya ada semangkuk mie instan yang bisa dimasak istriku yang saat itu sedang hamil anak pertama kami, karena gajiku sudah habis sebelum bulan berakhir]

Tapi itulah Tuhan, yang dengan kebaikanNya yang tidak pernah habis, setia menemani setiap hari perjuanganku, upaya-upayaku, jerih lelahku sekalipun hari-hari itu penuh air mata.  Ketika aku mulai mempertanyakan kebenaran jalan yang kupilih, Tuhan pada saat yang menurutNya tepat selalu bisa membuka mataku bahwa Dia ada bersamaku, tidak pernah meninggalkanku sendirian, atau berpaling dariku.  Dengan caraNya Dia membimbingku untuk melihat cahaya terang itu pada waktunya, menyingkap rahasia yang selama itu Dia simpan hingga aku melihat sendiri bahwa jalan yang Dia pilihkan tidak salah, bahwa rancanganNya bukanlah rancangan kegagalan, melainkan rancangan masa depan yang berlimpah kebaikan.

Gejolak-gejolak dalam hatiku tetap ada, semata-mata karena keterbatasan hikmatku sebagai manusia biasa.  Ketika kenyataan di hadapanku tidak seperti harapanku, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran jalan Tuhan itu selalu muncul.  Ketika waktuku tidak sama dengan waktuNya, ketika jalan berbatu dan badai kelam itu tetap muncul dalam wujud-wujud barunya, ketika pintu yang sudah terbuka tertutup lagi, aku selalu bertanya dan bertanya kembali: “apakah ini memang jalan yang tepat untukku?”, “mengapa Engkau membawaku ke sini?”, “mengapa tak Engkau ijinkan aku ke sana?” dan seterusnya.

Namun sekali lagi, Tuhan baik.  Sangat baik.  Ketika Dia mengatakan “tidak”, atau “nanti dulu” untuk sebuah doa dan permintaan, Dia akan tunjukkan alasannya, dengan cara dan waktuNya sendiri, dan aku selalu melihat bahwa waktuNya tidak pernah salah, rencanaNya tidak pernah gagal.  Aku berkali-kali dibohongi oleh manusia, diberi harapan-harapan palsu, janji-jani bodong, tapi Dia tidak pernah berbohong atas janji-janjiNya.  Aku tahu bahwa Dia tidak menjanjikan langit yang selalu biru, atau jalanan yang selalu tanpa hambatan.  JanjiNya adalah bahwa dalam langit yang paling kelam atau jalanan paling terjal sekalipun, Dia tidak akan meninggalkanku, selalu ada bersamaku, menyertaiku, menjagaku, memeliharaku, dan membimbingku hingga kuraih kemenanganku.

Empat puluh tujuh tahun perjalanan, tepat tanggal 13 Februari ini, telah semakin lebar membuka mataku akan kasih setiaNya yang tak berkesudahan, akan mujizatNya yang ada di setiap langkahku, akan dekapan hangatNya dalam setiap takutku, akan genggaman tanganNya dalam setiap lemahku, dan kuasa perlindunganNya yang bagaikan benteng pertahanan maha kokoh sehingga kejahatan-kejahatan tidak dapat menyentuhku.  Satu-satunya sahabat setia yang selalu dapat kuandalkan dan kupercaya.  Sumber segala berkat dan kebaikan dalam hidupku, segala karunia yang aku terima dan rasakan.  Penguasa Kehidupan yang kuasaNya tak berbatas, melampaui segala akal dan pengetahuan.  Aku berhutang terlalu banyak padaNya, hutang yang tidak pernah bisa aku bayar, sekalipun aku tahu cintaNya adalah cinta yang tak bersyarat.  Cinta yang tetap Dia berikan bahkan dalam keadaanku yang paling hina sekalipun.

(Foto dari https://www.messagemagazine.com)

Hari ini, aku kembali mengingat itu semua dalam ungkapan syukur, seraya berdoa padaNya agar Dia berkenan memberiku waktu yang lebih panjang di kehidupan sementara ini, sehingga aku punya ruang lebih banyak untuk dapat menyatakan kemuliaanNya di hadapan dunia, menjadi saluran berkatNya untuk lebih banyak orang, dan meninggikan Dia melalui kebaikan-kebaikan dalam setiap ucapan dan perbuatanku.  Itu permintaanku, yang mungkin akan Dia jawab dengan kata “tidak”.  Kalaupun itu yang terjadi, aku yakin bahwa semua adalah yang terbaik bagiku, dan bagi semua yang mengasihiku.  Aku hanya memohon bahwa ketika tiba waktuku untuk kehidupan abadiku, aku sudah layak di hadapan Dia.

Terima kasih Tuhanku, Sahabatku, Penolongku Yang Setia.

Bogor, 13 Februari 2022

NATAL YANG MEMBERI

Photo courtesy of https://www.2ndcongregationalchurchvt.org/

Circa 1985-1990.

Sebuah keluarga kecil menghabiskan satu hari di tanggal 25 Desember sebagaimana mereka menjalani hari-hari lainnya.  Bedanya, tiga anak dalam keluarga tersebut tidak ke sekolah sekalipun itu bukan hari Minggu (saat itu hari sekolah adalah Senin sampai Sabtu).  Sang Ayah tetap pergi ke kebun sejak pagi.  Sang Ibu menyiapkan makanan untuk dibawa ke kebun buat sarapan Sang Ayah.  Ketiga anaknya membersihkan rumah sambil membantu Ibu menyiapkan makanan ke dalam rantang susun, kopi hitam panas ke dalam termos, dan radio transistor untuk dibawa ke kebun.

Rumah kecil keluarga ini berdinding papan, beratap jerami, dan beralaskan tanah, persis seperti lirik sebuah lagu dari kelompok “God Bless”-nya Ahmad Albar.  Hanya ada tiga ruangan di rumah kecil itu: ruang depan untuk makan, belajar anak-anak sekaligus menerima tamu, kamar dengan dipan kayu panjang untuk tidur berlima, dan dapur sekaligus gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian Sang Ayah termasuk untuk menyimpan pupuk.  Tidak ada toilet ataupun kamar mandi.  Mereka mandi di sumur yang digali Sang Ayah sekitar 30 meter dari rumah.

Pada saat libur sekolah, anak-anak selalu ikut membantu orang tua mereka di kebun.  Membersihkan rumput-rumput liar di sekeliling tanaman cabe atau semangka (tergantung musim saat itu), memupuk tanaman di lubang-lubang yang sudah digali Sang Ayah atau Ibu lalu menimbunnya kembali, atau menyiram tanaman dengan air yang disedot oleh pompa dari sungai, berteman sebuah radio transistor bertenaga enam baterai yang sesekali dipindah sesuai lokasi mereka bekerja di kebun.  Itu rutinitas libur mereka, termasuk ketika libur Natal 25 Desember, saat keluarga Kristiani lainnya pergi ke gereja dan setelahnya merayakan Natal bersama keluarga.

Bagi keluarga ini, 25 Desember hanyalah sekedar tanggal merah biasa seperti tanggal merah lainnya di kalender.  Hari ketika anak-anak tidak perlu pergi ke sekolah dan bisa membantu orang tuanya di kebun.  Tidak ada perayaan, tidak ada baju baru, tidak ada kado, tidak ada pohon terang.  Gereja terdekat berjarak cukup jauh untuk ditempuh berlima, ketika alat transportasi yang mereka miliki hanya sebuah sepeda motor tua dan sepeda onthel.  Kadang-kadang ada tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat Natal, dan setiap ditanya mengapa tidak ke gereja atau jalan-jalan, Sang Ayah selalu memiliki jawabannya sendiri.

Bagi keluarga ini, hidup sudah terlalu berat untuk dijalani bahkan dengan standar sekedar “normal”.  Bisa makan tiga kali sehari dan anak-anak bisa tetap bisa sekolah sudah menjadi sebuah pencapaian besar bagi Sang Ayah sebagai kepala keluarga.  So, 25th of December is just another day, another day-off.

========================================

Keluarga di atas adalah keluarga pemilik website ini, penulis tulisan ini.  Keluargaku di Jambi.  Aku adalah anak tertua dari tiga anak di atas, dengan satu adik perempuan dan satu adik laki-laki (adik termudaku sekarang belum lahir saat itu).

Aku—dan kami semua—sangat akrab dengan semua lagu Natal sejak kecil, termasuk saat kami menjalani kehidupan di tengah kebun (lebih tepatnya di tengah hutan karena secara harfiah, rumah kami memang dikelilingi hutan, yang sebagian di antaranya sudah dibuka oleh Ayahku untuk menjadi kebunnya).  Saat itu, lagu Natal hanyalah kumandang yang kami dengar di radio, sambil membayangkan pohon Natal yang dihujani salju ala Eropa.  Lamunan kami yang tipikal ini membawa kami pada bayangan-bayangan lainnya: keluarga yang sedang berkumpul di bawah pohon terang, membuka kado dari orang-orang tercinta, mengenakan topi Sinterklas, lalu menikmati makanan dan minuman istimewa bersama keluarga mereka.  Sekedar lamunan, yang kami tidak tahu kapan akan merasakannya.

24 Desember 2021.

Aku tiba di kantorku di Jakarta sekitar pukul 06.00, berdoa sebentar seperti biasa, lalu menyalakan smart TV mencari lagu-lagu Natal di Youtube.  Aku melamun lagi, tapi bedanya, aku tidak membayangkan pohon terang yang dihujani salju (aku sudah beberapa kali merasakannya di beberapa negara Eropa dan Amerika hehehe…).  Lamunanku jauh ke masa lalu ketika Natal selalu kami isi dengan membantu Ayah dan Ibu di kebun.  Ketika Natal hanyalah sebuah tanggal merah biasa yang membebaskan kami dari sekolah.

Masa lalu itu telah membangun bagiku sebuah perspektif baru tentang Natal.  Aku tahu bahwa hingga saat ini, masih ada ribuan keluarga Kristiani yang melihat Natal sama seperti kami melihat Natal di sekitar tahun 1985 sampai 1990-an itu.  Mereka yang masih berjuang dengan hidupnya, yang bahkan belum tahu apakah mereka bisa makan tiga kali hari ini, atau apakah mereka bisa makan besok, dan seterusnya.  Natal yang mungkin saja jutsru menjadi “derita” bagi mereka karena tidak bisa merayakan, tidak bisa pulang ke kampung halaman karena tidak punya uang, dan pada saat yang sama mereka melihat banyak keluarga bergembira dengan segala kecukupannya.

Aku bersyukur karena dari masa lalu Tuhan mengingatkanku tentang makna Natal yang sesungguhnya.  Tentang sukacita yang dibawa oleh Tuhan ke bumi melalui bayi kecil bernama Yesus Kristus.  Masa lalu telah membangun pemahamanku saat ini bahwa Natal adalah tentang berbagi cinta kasih, berbagi sukacita, dan berbagi damai sejahtera.  Itulah yang dilakukan oleh Tuhan sendiri ketika Dia memberi sukacita, cinta kasih dan damai sejahtera kepada mahluk ciptaanNya melalui seorang anak yang dikirimkanNya ke bumi, agar mereka semua terbebas dari dosa, dan bisa merasakan kerajaan Surga.

Bagiku, Natal adalah tentang memberi, karena Natal itu sendiri adalah wujud pemberian Tuhan berupa keselamatan untuk semua umat manusia dari segala kuasa dosa dan kegelapan.  Natal adalah tentang empati atas penderitaan orang lain, atas kekurangan mereka, atau rasa kehilangan mereka.  Natal bukan tentang kemewahan, kado, pohon terang, baju baru atau jalan-jalan.

Yesus Kristus lahir di sebuah palungan di kandang domba, dan yang menjenguk bayi Yesus pertama kali adalah para gembala.  Kisah itu saja sudah cukup menggambarkan bagaimana Natal sangat lekat dengan kesederhanaan, kebersahajaan, dan ketulusan.  Natal adalah milik semua orang, seperti para gembala yang nota bene masyarakat biasa ikut bersukacita menyambut hadirnya Sang Juru Selamat ke dunia.

Di tengah alunan lagu Natal yang kudengar saat menulis ini, aku mengingat mereka semua yang tengah berduka, yang tengah bersedih, yang sedang berjuang untuk hidupnya, sama seperti yang kami sekeluarga rasakan setiap mendengar lagu Natal di tahun 1985 sampai 1990-an. Aku mengingat semua yang merasa termarjinalkan karena keadaan, terpinggirkan karena status sosial, dan terasing karena kemiskinan.  Percayalah, Natal ini juga hadir untuk kalian semua, maka bersukacitalah.  Ingatlah bahwa kita semua punya alasan yang sama untuk bersukacita, bukan karena kita punya baju baru, mendapat banyak kado atau bisa jalan-jalan, melainkan karena Tuhan memberikan kepada kita semua keselamatan melalui anakNya.

Ketika memaknai Natal sebagai sebuah karunia atau pemberian Tuhan, aku lebih senang untuk menjadikan setiap hariku sebagai hari Natal, ketika hidup kujalani dengan sebuah prinsip bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dia punya, melainkan oleh apa yang dia perbuat atau berikan bagi sekitarnya.  Menjadi berkat bagi banyak orang.  Berbagi sukacita sehingga siapapun ikut merasakan sukacita kita, dan menguatkan mereka yang bersedih.

Photo courtesy of https://forgodandjesus.wordpress.com/

Pada akhirnya, alunan lagu Natal ini mengingatkanku pada kasih Tuhan yang luar biasa dan tidak pernah habis dalam hidupku.  Aku merenungkan kembali ketika Dia menghadirkan bagiku seorang pria dan seorang wanita hebat dalam wujud Ayah dan Ibuku, adik-adik yang baik, istri dan anak-anak yang setia, dan banyak orang baik yang ada di sekelilingku.  Juga ketika Dia membukakan banyak pintu bagi kehidupanku yang semakin baik dari waktu ke waktu, dan ketika Dia dengan caraNya yang luar biasa membawa kami keluar dari berbagai kesulitan.  Sukacita Natalku adalah karena perjalanan yang kurangkai bersama Tuhan yang tanganNya selalu menuntunku agar aku tidak terjatuh dan merasa terlindungi, serta kasihNya yang setia menjawab semua pergumulanku.  Sebuah sukacita karena aku tahu Tuhan tidak pernah gagal dan tidak pernah terlambat membuktikan cintaNya kepada semua orang.

Selamat Natal, Ayah dan Ibu terkasih.

Selamat Natal, adik-adikku tersayang.

Selamat Natal, istri dan anak-anakku tercinta.

Selamat Natal, semuanya.

UNTUK YANG TERKASIH…

IMG_20150822_105303

Kekasihku,

Di hari istimewamu ini, maafkan aku karena tak berada di dekatmu.  Maafkan aku karena tak dapat mengucapkan selamat ulang tahun tepat di depanmu.  Tapi ketahuilah sebuah fakta sederhana, bahwa tanpa sepatah kata sekalipun, Tuhan tahu betapa aku mencintaimu—tak hanya sekedar mengingat ulang tahunmu.  Dalam setiap doaku ada namamu; dan dalam setiap harapan terbaikku, kamu selalu “the top of the list”.

Sayangku,

Aku bersyukur bahwa Tuhan telah setia memeliharamu 38 tahun ini, dan kini aku tahu bahwa Tuhan melakukan semua itu untukku.  Tuhan hanya ingin melengkapi hidupku yang penuh kekurangan dan kelemahan; itu sebabnya Dia mempertemukanku denganmu.  Kamu adalah seseorang dengan misi yang Tuhan embankan di pundakmu: menyempurnakanku.  Menyadari semua ini, aku patut bersyukur bahwa kamu bersedia mengemban misi yang berat itu…hingga saat ini.

Tentu saja misimu berat, bahkan teramat berat.  Aku adalah manusia dengan berjuta kelemahan, serta penuh keterbatasan.  Ketika seseorang harus melengkapi kekuranganku, dan menutup kelemahanku, maka ia harus seseorang yang luar biasa.  Ia harus luar biasa, karena ada jutaan lubang yang harus ia tutup, dan segudang kekurangan yang harus ia lengkapi.

Wanita hebatku,

Tujuh belas tahun lebih kamu telah membuktikan, bahwa amanat Tuhan itu mampu kamu jalani.  Aku sadar bahwa caraku mencintaimu adalah sesuatu yang berbeda yang sangat sulit kamu pahami, tapi kamu bertahan dalam segala kesulitan itu.  Akupun paham bahwa sangat sulit bagi siapapun untuk memahami caraku memandang hidup, tapi kamu tak pernah berhenti belajar untuk mengerti itu.  Di mataku, kamu adalah seorang pejuang.

Aku hanya dapat berterima kasih: kepada Tuhan, kepadamu, dan kepada kehidupan yang telah mengantarku padamu. Kepada Tuhan kuucapkan syukurku atas pemeliharaannya dalam hidupmu sehingga aku dapat berjumpa denganmu.  Kepadamu aku sampaikan rasa hormatku atas segala kesetiaanmu menemaniku menjalani hari-hari bersama anak-anak kita, dan yang jauh lebih berat adalah atas kekuatanmu untuk mengerti aku.  Kepada kehidupan, aku bersyukur bahwa pintu untukku bertemu denganmu telah dibukakan, dan selalu ada pintu-pintu yang terbuka untuk setiap persoalan yang aku dan kamu hadapi dalam perjalanan kita.

Istriku, sahabatku, wanita terkasihku,

Kamu lebih dari sekedar anugerah buatku.  Kamu adalah sebuah kehormatan, dan aku bangga menjadi orang terdekatmu.  Selamat ulang tahun, Tuhan mengasihimu.

Marseille, 20 September 2015, 16.15

Sebuah Oase Kecil, dan Pengingat Yang Besar

Bripda Taufik yang saya hormati,

Kita bisa berbagi cerita yang nyaris sama, dan sungguh salut atas keyakinan anda akan kebesaran serta keadilan Tuhan, juga cinta anda untuk keluarga anda. Doa terbaik saya untuk kesuksesan hidup dan karier anda, dan salam hormat saya untuk Bapak Triyanto yang luar biasa, yang mengingatkan saya pada Ayah saya…

Salam bangga,

J.K.Ginting

http://regional.kompas.com/read/2015/01/15/06450061/Kisah.Bripda.Taufik.Wujudkan.Mimpi.Jadi.Polisi.meski.Tinggal.di.Bekas.Kandang.Sapi

INSPIRASI GAYATRI

2340368fan-page780x390
www.kompas.com

Tidak sering saya menulis dua tulisan dalam selisih yang cuma hitungan hari. Tapi hari ini, terus terang saya terlalu terharu karena sebuah berita yang saya baca di sebuah media online, dan tidak tahan untuk tidak menulis apa yang saya rasakan. Berita itu adalah tentang seorang wanita muda bernama Gayatri Wailissa (17 tahun), yang meninggal dunia di RS Abdi Waluyo Jakarta Kamis (23/10/2014) malam. Dalam usia belianya, ia adalah seorang polyglot yang menguasai 14 bahasa. Barangkali bakat-bakat sejenis banyak kita lihat di sekitar kita, namun bagi saya Gayatri adalah seorang yang berbeda.

Gayatri ternyata jauh lebih dewasa dibandingkan usia biologisnya. Dia seorang yang begitu mampu mengelola persoalan dengan sebuah pendekatan yang cemerlang: “berpikir dan berbuat di luar kotak”. Filosofi itu umum di masa sekarang (meskipun tak banyak juga yang memahaminya), sayapun memiliki filosofi yang sama. Yang membuat itu tidak umum adalah bahwa filosofi hebat itu dipahami betul oleh seorang yang masih belia. Di usia itu, remaja kita umumnya masih sangat klasik dalam berpikir, dan masih pragmatis dalam memecahkan masalah.

Tidak banyak anak muda yang mau mempelajari bahasa asing, apalagi secara otodidak. Tidak banyak orang yang mampu mengelola perasaan kecewanya dengan terus berusaha dan berjuang.   Tidak banyak orang yang mampu bertahan dari perasaan “ditolak”, “tidak dianggap”, atau “diabaikan”.   Tidak banyak juga orang yang telah dipercaya menjadi duta bangsa mampu menerima kenyataan bahwa prestasinya kalah populer di media dibandingkan dengan sebuah kontes “ratu-ratuan”, “idol-idolan”, atau pernikahan bermilyar-milyar rupiah seorang selebriti (yang tidak jelas apa yang telah diperbuatnya untuk bangsa ini).

Itulah yang mempesona saya dari seorang Gayatri. Ia adalah salah satu dari yang “tidak banyak” itu. Hebatnya lagi, mentalitas itu ia miliki dalam usia muda, saat berjuta remaja lainnya lebih memilih untuk membiarkan diri mereka terjebak dalam euforia sekularisme dan kesalahan memilih panutan. Gayatri menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan buku guna memahami tata bahasa, mendengarkan lagu untuk mempelajari pelafalan, dan membuka kamus untuk menambah khasanah kosa kata. Dia tidak terjebak dalam kepasrahan karena kesederhanaan orang tuanya yang tidak mampu memasukkannya ke kursus-kursus bahasa. Dia tidak mau terperangkap dalam kekecewaan karena Gubernur Maluku menolak permohonan bea siswanya. Dia juga tidak larut dalam kesedihan berlebih saat mendapati kenyataan bahwa “seorang duta bangsa tidak penting untuk pemerintah kita”.

Saya betul-betul kagum pada anak muda ini, dan paham sekali apa yang ia rasakan. Memang sakit rasanya, bila potensi dan prestasi kita tidak mendapat penghargaan yang sepadan. Tidak mudah untuk berjuang dan bertahan di sebuah komunitas yang serba kuantitatif, komunitas yang menghargai seseorang hanya karena kekayaannya, kekuasaannya, parasnya, atau golongannya. Komunitas yang angkuh, yang hanya berkata “Who the hell are you?” atau “Memangnya kamu siapa?” kepada mereka yang berprestasi tapi tidak kaya, tidak berkuasa atau punya koneksi ke penguasa, tidak rupawan, atau tidak berasal dari golongan tertentu. Komunitas yang dikuasai para preman yang hanya tahu “meminta jatah”, dan para pencoleng yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Mungkin banyak Gayatri lainnya di negeri ini. Yang jelas, dari orang-orang seperti ini kita patut belajar, bahwa banyak jalan menuju cita-cita dan menembus batasan. Belajar dan menguasai 14 bahasa asing dengan otodidak bukan sesuatu yang main-main, dan dengan itulah Gayatri telah menunjukkan cara hidup yang dipenuhi ungkapan syukur, bukan keluhan-keluhan. Baginya, masalah hidup akan tetap ada, dan tidak ada satu keluhanpun yang akan membuat masalah selesai atau makin mudah. “Sisi-sisi kotak” itu akan tetap di sana, dan tak ada gunanya kita menabrakkan diri kita ke sisi-sisi kotak itu. Keluarlah dari dalamnya, dan jadikan dirimu merdeka. Tempatkan dirimu di luar kotak itu, dan buat setiap langkahmu lebih ringan dan leluasa.

Selamat beristirahat dalam damai, Gayatri…

NASEHAT SEORANG AYAH

ImageAnakku terkasih,

Hari ini, tepat 15 tahun sudah Tuhan menyertai dan memeliharamu. Masih teringat di benakku saat hujan deras dan angin besar menyambut keluarnya engkau dari rahim ibumu, meski saat itu aku masih dalam perjalanan untuk melihatmu. Kini engkau telah beranjak remaja, dan menjadi pria tertampan yang pernah kulihat dalam hidupku.

Anakku,

Kelak kau akan menghadapi dunia yang jauh lebih kejam daripada yang kuhadapi sekarang. Persiapkan dirimu, karena itu satu-satunya jalan untuk berhadapan dengan ribuan ketidakpastian di hari depan. Tapi engkau tak perlu takut, karena takut hanya dikenal oleh para pecundang. Ingat bagaimana Tuhan memimpinmu sejauh ini dengan jutaan berkatNya yang laksana sungai mengalir tanpa henti.

Utamakan kebaikan dan kejujuran dalam hidupmu, karena hanya itu yang dapat membuat Tuhan berkenan kepadamu. Berbuat baiklah kepada semua orang, dan jujurlah pada dirimu sendiri.  Kelak dalam segala masalahmu, itulah garda pelindungmu yang akan membawamu menjadi pemenang saat musuh-musuh menyerangmu.

Jangan pernah menilai siapapun dari keelokan parasnya, karena itu bisa menipumu. Pun juga dengan dirimu.  Sadari bahwa keindahan yang terutama adalah keindahan hati, yaitu hati yang menghasilkan cinta kasih pada sesama, ketulusan perbuatan, tutur kata yang penuh ungkapan syukur, dan penyerahan diri yang total kepada kekuasaan Sang Pencipta.  Hanya hati yang seperti itu yang akan memberimu kedamaian.

Bersikaplah positif dalam segala hal, karena semua terjadi atas kehendak Tuhan, untuk sebuah maksud dan alasan yang engkau hanya bisa temukan setelah engkau menjalaninya.  Pahami bahwa apa yang terbaik menurutNya belum tentu apa yang engkau inginkan; tapi yakinlah, bahwa apa yang Tuhan tetapkan untukmu tidak pernah salah.

Belajar dan bekerja keraslah. Tak ada dalam hidup ini hal yang mustahil untuk kau gapai, selama engkau percaya.  Belajarlah dari segala hal yang kau baca, kau lihat, kau dengar, dan kau alami.  Hanya mereka yang sudah mati saja yang tak lagi belajar. Kerja kerasmu bukan untuk kemuliaan dan keagungan diri, karena semua itu semu.  Bekerja keraslah untuk sebanyak mungkin manfaat bagi sekelilingmu, karena pada akhirnya itulah yang memberimu manfaat serta imbalan yang tak pernah habis bagimu sendiri.

Kehidupan itu adil, karena diciptakan oleh Dia Yang Maha Adil. Jadi, jangan pernah mengasihani dirimu sendiri karena seorang pemenang tak pernah melakukan itu.  Hidup itu bukan persoalan kuat atau pintar, melainkan persoalan ketahanan.  Tak ada satupun orang hebat yang kau kenal di muka bumi ini yang tak pernah gagal.  Mereka menjadi hebat karena tahan menghadapi terjangan badai, kembali bangkit setelah terjatuh, dan pantang mundur seberapapun kuatnya dunia menghantam mereka.

Yakinlah pada kekuatanmu sendiri. Engkau adalah manusia penuh karunia, kelak akan kau sadari itu. Dunia boleh saja memberikanmu beribu pilihan, tapi keputusan ada di tanganmu. Saat engkau harus memutuskan, jernihkan pikiranmu dan bersihkan hatimu. Bila harus meminta nasehat, dengarkanlah hanya nasehat yang bijak, dan abaikan semua nasehat yang sesat. Bila manusia (bahkan ayah ibumu sekalipun) tak mampu memberimu nasehat bijak, mintalah pada Tuhan dalam doa-doa yang kau ucapkan dengan hatimu, bukan sekedar mulutmu.

Itulah sebabnya, tetaplah dekat pada Tuhanmu. Takutlah hanya kepada Dia, karena itu akan membawamu pada berjuta kebijaksanaan yang akan melindungimu dari kerasnya dunia. Saat engkau beroleh nikmat, ucapkan syukur serta minta Dia untuk menjauhkanmu dari kesombongan.  Saat cobaan datang padamu, minta padaNya untuk menopangmu hingga engkau tetap kuat dan tidak jatuh. Percayalah, apapun yang kau minta padaNya akan Dia jawab dengan caraNya sendiri yang ajaib.

Perjaka tampanku,

Aku merasa sangat terhormat atas kepercayaan Tuhan menitipkanmu dan adikmu padaku, meski aku hanya manusia biasa yang penuh kekurangan dan kelemahan. Tapi ketahuilah, bahwa aku bisa menasehatkan semuanya itu karena aku telah membuktikan kebenarannya dalam hidupku.  Ketahui pula, bahwa dalam segala kekurangan dan kelemahanku, aku mencintai kalian melebihi cintaku pada diriku sendiri.

Selamat ulang tahun, anakku.

[Bandung, 10 Februari 2014]