Isu utama dalam hal pertahanan negara kita beberapa tahun terakhir ini adalah “kesiapan alutsista”. Baik alutsista darat, laut, maupun udara menghadapi persoalan yang sama dalam hal kesiapan. Beberapa faktor disebut-sebut mempengaruhi rendahnya kesiapan alutsista ini, seperti usia alutsista yang dianggap sudah tua, kesulitan memperoleh suku cadang (apakah karena dampak politik seperti embargo, ketersediaan di pasaran, dan sebagainya), dan terbatasnya anggaran negara untuk memelihara alutsista tersebut. Namun, tahukah anda apa sebenarnya “kesiapan alutsista” itu? Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menggambarkan secara garis besar tentang filosofi di balik terminologi “kesiapan”, dan di aspek apa kita dapat berbenah serta mencari strategi yang tepat untuk memperbaiki tingkat kesiapan itu.
1. Definisi “Kesiapan”
Secara harfiah, “kesiapan” dalam Bahasa Indonesia semestinya diterjemahkan sebagai “readiness” dalam Bahasa Inggris. Namun dalam konteks pembahasan isu pertahanan seperti disebutkan di atas, lebih tepat bila “kesiapan” ini dibahasakan sebagai “availability”. “Availability” sendiri sebenarnya bisa kita terjemahkan sebagai “ketersediaan” dalam Bahasa Indonesia, namun kata tersebut sangat tidak umum digunakan dalam pembahasan atau diskusi mengenai alutsista.
NATO ARMP-7[1] mendefinisikan “availability” sebagai “kemampuan suatu item yang dinyatakan siap untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi dalam kondisi-kondisi tertentu setiap saat atau pada suatu rentang waktu tertentu, dengan asumsi bahwa semua sumber daya pendukungnya terpenuhi” (the ability of an item to be in a state to perform a required function under given conditions at a given instant of time or over a given time interval, assuming that the required external resources are provided).
Penulis mencoba membandingkan definisi ini dengan apa yang tercantum dalam US DoD Military Dictionary and Associated Terms (JP 1-02)[2] tentang “materiel readiness” (kesiapan materiil) yang diuraikan sebagai “ketersediaan materiil yang dibutuhkan oleh suatu organisasi militer untuk mendukung kegiatan atau kontinjensinya di masa perang, penanggulangan bencana (banjir, gempa bumi, dan sebagainya) atau keadaan darurat lainnya” (The availability of materiel required by a military organization to support its wartime activities or contingencies, disaster relief (flood, earthquake, etc.), or other emergencies). Atas dasar perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa “availability” dan “readiness” memiliki kaitan yang erat, namun demi kewajaran bahasa, penulis akan menggunakan “availability” untuk membahasakan “kesiapan”.
2. Macam Kesiapan Alutsista
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa availability berkaitan dengan “waktu” atau “periode”. Artinya, secara individu kesiapan suatu alutsista dinilai atau diwujudkan dalam/untuk suatu rentang waktu tertentu. Tidak ada alutsista yang selalu siap sejak ia “dilahirkan” hingga ia “dipensiunkan”. Hal ini terkait dengan dua aspek penting yang mempengaruhi availability itu sendiri, yaitu reliability (kehandalan) dan maintainability (keterpeliharaan).
Dari perspektif waktu/periode, secara teknis ada empat macam kesiapan alutsista yang dapat diuraikan di sini, yakni:
a. Kesiapan melekat (inherent availability);
b. Kesiapan operasional (operational availability);
c. Kesiapan terjadwal (scheduled availability); dan
d. Kesiapan tidak terjadwal (unscheduled availability).
2.1. Kesiapan Melekat (Inherent Availability)
Inherent availability adalah sebuah parameter kinerja suatu alutsista yang bergantung pada faktor Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR). MTBF dapat diartikan sebagai interval waktu rata-rata dari suatu kondisi tidak siap ke kondisi tidak siap berikutnya pada sebuah alutsista. Kondisi tidak siap dapat terjadi baik karena adanya kegagalan pada sistem maupun karena alutsista tersebut sudah memasuki masa pemeliharaan. Di sisi lain, MTTR dapat diartikan sebagai waktu rata-rata untuk menyelesaikan sebuah tindakan perbaikan atau korektif pada saat alutsista dalam kondisi tidak siap digunakan. Secara matematis, inherent availability dapat dirumuskan sebagai berikut:
Inherent availability tidak memperhitungkan waktu tunda (delay time) karena harus menunggu dukungan suku cadang atau peralatan, dan transportasi peralatan/dukungan lainnya (diasumsikan semua sudah tersedia). Dari formula di atas, dapat dilihat bahwa inherent availability dapat ditingkatkan dengan cara memperpanjang MTBF dan memperpendek MTTR. MTTR dapat diperpendek dengan cara menjamin ketersediaan suku cadang, tools, dan personel yang berkualifikasi tepat. Sedangkan MTBF dapat diperpanjang dengan penggunaan suku cadang yang handal/berkualitas serta pelaksanaan tindakan-tindakan preventif. Kesiapan melekat ini adalah parameter kesiapan yang paling ideal, yang bergantung pada kualitas manajemen logistik dan keselarasannya dengan dengan pengoperasian alutsista tersebut.
2.2. Kesiapan Operasional (Operational Availability)
Kesiapan operasional berbeda dengan kesiapan melekat, karena memasukkan waktu tunda (delay time), kegiatan perbaikan korektif, dan tindakan-tindakan preventif. Jenis kesiapan ini dipandang paling realistis untuk digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kesiapan tempur, mengingat pada prakteknya, kerugian-kerugian (waktu, suku cadang, peralatan, dan resiko lainnya) sangat sulit untuk dicegah. Kesiapan operasional memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut: Mean Time Between Maintenance Actions (MTBMA), Mean Maintenance Time (MMT), dan Mean Logistic Delay Time (MLDT). Secara logika, MTBMA semestinya sama dengan MTBF, dan MMT sama dengan MTTR. Secara teknis tidak demikian, karena MTBMA dan MMT memperhitungkan baik tindakan preventif maupun korektif, sementara MTBF dan MTTR hanya memperhitungkan kegiatan korektif saja. Secara matematis, rumusan operational availability adalah sebagai berikut:
Operational availability berbanding terbalik dengan rasio antara kumulasi kegiatan pemeliharaan korektif dan preventif serta semua penundaan yang mungkin terjadi (menunggu suku cadang, terbang uji/test flight, dan sebagainya) terhadap waktu aktif total alutsista tersebut beroperasi. Semakin kecil rasio tersebut, maka kesiapan operasional semakin tinggi. Kesiapan operasional ini dapat digunakan untuk mengkaji aspek-aspek mana yang perlu disempurnakan (misalnya waktu pengiriman suku cadang, waktu pengerjaan pemeliharaan, dan lain-lain).
2.3. Kesiapan Terjadwal (Scheduled Availability)
Scheduled availability merupakan rumusan kesiapan dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Jenis kesiapan ini didasarkan pada kumulasi waktu alutsista siap melaksanakan misi, baik secara penuh (Full Mission Capable/FMC) maupun parsial (Partly Mission Capable/PMC), dan kumulasi waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeliharaan terjadwal (Not Mission Capable due to scheduled maintenance/NMCscheduled). Kesiapan terjadwal dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
Dalam AS, hanya pemeliharaan terjadwal yang “direncanakan”, sedangkan pemeliharaan tak terjadwal tidak diperhitungkan. Selain pemeliharaan terjadwal, yang juga diperhitungkan adalah tindakan pemeliharaan preventif (saat kondisi alutsista siap).
2.4. Kesiapan Tidak Terjadwal (Unscheduled Availability)
Kesiapan tidak terjadwal merupakan besaran waktu yang memperhitungkan kesiapan alutsista pada saat tidak ada kegiatan pemeliharaan terjadwal. Dalam penghitungan kesiapan di sini, yang diperhitungkan hanyalah tindakan perbaikan korektif.
Logika sederhananya adalah bahwa kegiatan pemeliharaan tidak terjadwal harus ditekan seminimum mungkin, sehingga bila nilai AU tidak mencapai 100%, harus dikaji serta diinvestigasi mengapa NMCunscheduled bisa “muncul”.
3. Garis Besar Strategi
Dari keempat macam kesiapan di atas, ada benang merah bahwa kesiapan alutsista dipengaruhi oleh dua faktor utama:
a. kumulasi waktu alutsista dalam kondisi tidak siap;
b. kecepatan dalam memulihkan alutsista ke dalam kondisi siap.
Alutsista bisa berada dalam kondisi tidak siap karena memasuki/melaksanakan pemeliharaan terjadwal atau karena mengalami kegagalan sistem yang tidak terduga sebelumnya. Untuk ini diperlukan tindakan korektif sehingga alutsista dapat segera dipulihkan ke dalam kondisi siap. Di sisi lain, tindakan-tindakan preventif juga diperlukan sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem dapat diminimalisir. Namun demikian, baik tindakan korektif maupun preventif tidak dapat berjalan optimal bila tidak didukung oleh manajemen/tata kelola alutsista yang baik. Dalam tata kelola ini, ada beberapa area yang memerlukan perhatian khusus dari organisasi militer agar kesiapan alutsistanya tetap tinggi:
a. Perencanaan;
b. Dukungan; dan
c. Budaya kerja.
3.1. Perencanaan
Dalam setiap perencanaan, selalu ada sasaran-sasaran kualitatif yang ditetapkan. Sasaran-sasaran inilah yang kelak akan menjadi barometer pencapaian kinerja yang ternyatakan secara kuantitatif. Dalam manajemen alutsista, sasaran utama adalah terwujudnya sebuah kesiapan tempur (combat readiness) untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman atau kontinjensi. Selanjutnya, secara kuantitatif indikator pencapaian combat readiness itu dinyatakan dalam weapon system availability (kesiapan alutsista). Itulah sebabnya, penting untuk merumuskan indikator yang “SMART”:
a. Specific: apa yang sebenarnya kita ukur? (kesiapan alutsista, dalam hal ini AO);
b. Measurable: indikator harus dapat dikuantitatifkan, misalnya variabel AO dalam “jam” atau “hari”;
c. Attainable: indikator ini harus dapat dicapai dengan kemampuan yang kita miliki, misalnya AO antara 100% s.d. 105%;
d. Realistic: indikator harus mempertimbangkan pencapaian-pencapaian sebelumnya (lesson learnt), misalnya AO tahun 2012 adalah 95%, sehingga ditetapkan AO tahun 2013 103% (naik 8%).
e. Timely: indikator harus dapat diwujudkan pada waktu tertentu, misalnya AO 100% harus diwujudkan selambat-lambatnya tanggal 1 April 2013.
Indikator kinerja (performance indicator) inilah “hulu” bagi proses perencanaan selanjutnya, misalnya: penentuan kebutuhan (materiil, personel, sarana prasarana, dan anggaran), penentuan penyedia kebutuhan, penetapan waktu penerimaan (delivery time), dan sebagainya.
3.2. Dukungan
Perencanaan yang baik tidak akan berguna bila tidak terimplementasi dengan baik. Dalam kegiatan-kegiatan korektif (maupun preventif) misalnya, selalu diperlukan dukungan-dukungan berupa suku cadang, tools, kit, personel yang berkualifikasi, dan lain-lain. Persoalannya adalah: tersediakah semuanya di unit pengguna saat itu? Seperti diuraikan dalam rumusan-rumusan matematis di atas, availability akan memiliki angka yang tinggi bila variabel-variabel seperti MTTR, MMT, dan MLDT memiliki angka yang kecil. Artinya, semua kebutuhan harus tersedia on the spot saat mereka dibutuhkan. Variabel-variabel tersebut akan kecil (mendekati nol) bila pelaksana tidak perlu lagi menunggu pengiriman suku cadang atau tools, tidak perlu mencari personel yang qualified, dan sebagainya.
Banyak organisasi yang merasa “puas” setelah mereka berhasil merumuskan kebutuhan kuantitatifnya, dan mendapatkan penyedia potensial untuk memenuhinya. Namun sering terjadi, penundaan-penundaan dalam serah terima (delivery) tidak diperhitungkan sehingga pelaksana tetap harus menunggu apa yang mereka butuhkan di lapangan. Tentu saja ini akan menghasilkan “waktu tunda” (delay time), yang bila semakin besar akan menghasilkan variabel-variabel MTTR, MRT, dan MLDT dalam angka yang besar pula. Thus, nilai A (apakah itu AI atau AO) akan berpotensi menjadi rendah. Sekali lagi, pada saat membuat perencanaan, semua kemungkinan delay ini harus diperhitungkan sehingga kinerja dapat dicapai secara realistis dan tepat waktu.
3.3. Budaya Kerja
Telah kita pahami pula bahwa parameter availability (A) sangat dipengaruhi oleh frekuensi atau kumulasi waktu “kegagalan” (failure). Semakin tinggi frekuensi kegagalan, maka nila A akan cenderung turun. Inilah yang dicegah dengan adanya tindakan-tindakan preventif seperti pre-flight dan post-flight checks pada pesawat, inspeksi periodik, pemeliharaan tingkat ringan (yang tidak merubah status kesiapan alutsista), dan lain-lain.
Di luar semua itu, perlu adanya suatu budaya kerja yang positif di segala lini. Kebijakan yang tepat dari pemimpin organisasi, ketaatan pelaksana lapangan terhadap prosedur, disiplin, dan komunikasi yang terbuka adalah beberapa contoh budaya kerja organisasi yang positif. Profesor James Reason (University of Manchester) dalam sebuah paper mengenai “Organizational Accident” menegaskan bahwa “sebagian besar pelanggaran melibatkan keputusan-keputusan yang diambil secara sadar untuk menyimpang dari ketentuan/prosedur standar yang berlaku”.[3] Kebijakan adalah pintu, yang bila tepat akan menutup terjadinya pelanggaran; sebaliknya, bila tidak tepat akan memberi jalan bagi terjadinya pelanggaran.
Budaya kerja yang taat asas dan taat aturan akan menekan terjadinya pelanggaran, dan akan berdampak secara positif terhadap upaya minimalisasi kegagalan pada alutsista. Apakah ini hanya tanggung jawab pelaksana lapangan? Tentu saja tidak. Para perencana juga harus menjadikan taat asas dan taat aturan sebagai budaya kerja mereka, begitu juga para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyediaan kebutuhan alutsista (personel maupun materiil). Ketaatan ini bermula dari tataran kebijakan (decision making process) hingga implementasi di tingkat pelaksana (end-user) seperti operasional alutsista yang tepat guna dan sesuai prosedur, pemeliharaan yang sesuai standar, dan sebagainya. Dari sinilah nilai “failure” akan kecil, dan A akan meningkat.