“Waktu” adalah sebuah kata atau terminologi yang amat sangat umum dan akrab di telinga setiap orang. Kita berbicara “waktu” ketika kita bercerita tentang sebuah event atau peristiwa, rentang periode; mungkin soal bertahun-tahun, berbulan-bulan, berjam-jam atau bahkan hanya soal beberapa detik. Meskipun “waktu” sudah seperti sesuatu di alam bawah sadar manusia, “waktu” sudah menarik banyak ilmuwan untuk mendefinisikannya lebih jauh dari sudut pandang sains. Yang paling terkenal tentu saja Albert Einstein, dengan Teori Relativitas-nya.
Saya tidak akan berbicara soal waktu secara ilmiah, karena saya merasa tidak cukup cerdas untuk sampai ke sana. Saya mau melihat waktu dari sudut pandang kehidupan saya sendiri. Sebuah kehidupan yang tampak biasa dan bukan apa-apa, tapi bagi saya luar biasa dan penuh dengan cerita kebaikan Tuhan.
[Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang kebaikan Tuhan, namun tulisan kali ini sedikit berbeda dalam hal sudut padang]

Tahun 1975-1980
Ada sebuah kawasan di kota Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, bernama Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara. Salah satu kampung yang ada di kelurahan itu bernama Kampung Barutikung, yang terletak di tepi sungai Boom Lama. Semarang Utara, secara umum seperti halnya wilayah-wilayah di kawasan pelabuhan, terkenal sebagai kawasan yang “keras”. Setiap kelurahan yang ada di kecamatan Semarang Utara punya kampung “ikon” yang terkenal dengan tingkat kekerasan sosial dan kriminalitasnya. Nah, untuk wilayah Kelurahan Bandarharjo, Kampung Barutikung adalah kampung “ikon” itu.
Saya lahir di kampung ini, tanggal 13 Februari. Saat itu kondisi ekonomi keluarga boleh dikatakan bagus, karena Ayah bekerja di sebuah perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dengan penghasilan yang lumayan untuk saat itu. Tidak jauh dari rumah kami, di kampung yang sama, tinggal juga Pak Dhe dan Bu Dhe saya, namun karena usianya yang sudah tua, saya memanggil mereka “Mbah” alih-alih Pak Dhe atau Bu Dhe. Karena Ayah sering melaut, dan Ibu masih harus mengurus dua adik saya (yang lahir tahun 1976 dan 1979), saya sering dititipkan ke rumah Mbah. Kebetulan Mbah (atau Pak Dhe/Bu Dhe) tidak punya anak, jadi saya diperlakukan dan disayang selayaknya anak mereka sendiri.
Selama lima tahun pertama hidup saya, saya tumbuh di Kampung Barutikung, dengan segala kondisi sosial dan stigma yang melekat padanya. Namun, itu justru membuat saya dapat bersaksi hari ini, bahwa kampung dengan stigma buruk itulah tempat saya pertama kali mengenal cinta, kasih dan sayang: dari orang tua saya, kedua Mbah saya, dan orang-orang di kampung itu. Di kampung itu, panggilan akrab untuk saya adalah Eddy (karena nama saya Jon Keneddy hehehe…). Saya punya banyak teman masa kecil di sana, dengan berbagai cerita: bermain petasan saat malam takbiran atau Tahun Baru, bermain di sungai yang kotor, ke laut atau pelabuhan, main air saat kampung kena “rob” (naiknya permukaan air saat laut pasang, umumnya di sore menjelang malam hari), nonton layar tancap, ikut takbiran keliling dengan truk, dan banyak lagi.
Kampung Barutikung, yang selalu termarjinalkan dalam strata sosial masyarakat Semarang, yang sering dicap sebagai “kampung begal”, “kampung preman”, “daerah hitam”, dan lain-lain, adalah kampung yang telah memberi warna awal pada kertas kosong hidup saya; dan bukan warna yang buruk seperti stigmanya, justru warna yang penuh kasih, kohesi yang kuat antar sesama warganya, dan solidaritas yang tinggi.
Tahun 1980-1984
Ayah menyadari bahwa kampung ini pada dasarnya kurang baik untuk perkembangan anak-anaknya dalam jangka panjang. Kemungkinan juga ada pertimbangan yang lain dari Ayah, sehingga keluarga kami kemudian pindah ke wilayah Kalibanteng, Semarang Barat. Tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani, kampung baru ini boleh dibilang jauh lebih tenang, kalem, jauh dari kesan “keras” ala daerah pelabuhan, dan masyarakatnya relatif lebih berpendidikan. Geografinya lebih berbukit-bukit, termasuk jalan ke rumah kami adalah jalan menanjak, yang dari puncaknya, kita dapat melihat Bandara Ahmad Yani dari kejauhan.
Saya masuk Taman Kanak-Kanak di TK Siliwangi, di kawasan Bundaran Kalibanteng. Saya langsung dimasukkan Ayah ke kelas “Nol Besar” tahun 1980-1981. Tahun 1981, saya masuk ke Sekolah Dasar di SD Siliwangi II, di kompleks sekolahan yang sama dengan TK saya. Tidak banyak kenangan yang saya ingat di masa-masa sekolah saat itu; mungkin karena saya masih terlalu kecil waktu itu. Kenangan yang masih membekas sampai hari ini adalah, kalau di sekolah saya dapat nilai “K” (Kurang), saya tidak berani pulang ke rumah karena pasti sabetan rotan Ayah sudah menanti hahaha…
Saya harus dirayu pulang oleh Mas Doyo, tetangga rumah di Kalibanteng yang oleh Ibu sering dimintai tolong untuk mengantar jemput saya ke/dari sekolah. Sampai rumah, belum ganti baju, belum makan siang, saya harus berdiri di depan papan tulis yang Ayah siapkan untuk belajar kami, mengulangi soal-soal yang tadi saya dapat di sekolah. Setiap jawaban salah yang saya tulis dengan kapur tulis di papan hitam itu akan langsung diganjar Ayah dengan rotan di pantat saya. Kalau sudah begini, Ibulah yang tampil menjadi penyelamat saya hehehe…
Namun, Kampung Barutikung tetap jadi favorit saya saat libur sekolah. Libur apapun (libur kenaikan kelas, Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari libur lainnya), saya selalu habiskan di Barutikung, bersama Mbah yang begitu mencintai saya, dan teman-teman kecil saya di sana. Di antara kami bertiga (saya dan kedua adik saya), hanya sayalah yang kerasan tinggal di Barutikung. Adik-adik saya tidak tahan dengan hawa panasnya, dan nyamuk yang sangat banyak karena kumuhnya kawasan itu. Bagi saya, tempat itu adalah sorga karena saya sangat dimanja oleh Mbah, yang dalam keterbatasan ekonominya selalu berusaha untuk memenuhi apapun permintaan saya.
[Mbah Sadi bekerja sebagai juru parkir di Rumah Sakit Tentara (RST) Semarang, sedangkan Mbah Trinem adalah seorang ART di sebuah rumah mewah di Perumahan Tanjung Mas Estate]
Tahun 1983, ekonomi keluarga kami mulai menurun karena perusahaan tempat Ayah bekerja ditutup, dan Ayah sempat menganggur beberapa bulan. Ayah akhirnya mencoba peruntungan dengan menjadi petani di Jambi, menerima tawaran Abangnya (paman saya) yang memiliki tanah di sana. Selama Ayah merantau di Jambi, kami tinggal berempat di Kalibanteng (Ibu, saya dan dua adik saya). Setiap bulan Ayah selalu mengirim uang via wesel pos kepada Ibu untuk hidup kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak. Itu berlangsung sampai menjelang akhir tahun 1984.
Bulan November 1984, Ayah pulang ke Semarang untuk menjemput kami pindah ke Jambi. Itulah hari-hari terakhir yang begitu berat untuk kami, membayangkan hidup di Pulau Sumatera, meninggalkan kehidupan kota Semarang yang penuh dengan kenangan dan cerita. Mbah Trinem ikut dengan kami ke Jambi, menempuh perjalanan 2 hari 2 malam menggunakan bis “Labana Express” (Labex). Di Jambi, untuk sementara kami tinggal di rumah paman saya (dalam adat Karo, saya dan adik-adik memanggilnya “Pak Tengah”). Dia seorang birokrat, rumahya termasuk mewah untuk ukuran saat itu.
Tahun 1985-1990
Di Jambi, saya bersekolah di sebuah SD swasta, SD Adhyaksa I Kota Jambi, meneruskan kelas IV. SD Adhyaksa I berisi anak-anak orang berada, entah itu anak pegawai, dokter, atau pengusaha. Masih teringat di benak saya, saat Ibu mendaftarkan saya dan adik saya Juli di kantor sekolah, dan pegawai di situ menanyakan profesi Ayah, yang dijawab Ibu dengan “tani” (maksudnya petani), si pegawai tidak percaya dan bertanya “Maksud Ibu TNI?”, lalu Ibu menjawab “Bukan pak, petani”. Si pegawai akhirnya menulis dengan sedikit tidak percaya, bahwa ada anak petani masuk ke sekolah seperti ini hehehe…
Perbedaan strata dengan siswa-siswa lainnya membuat adaptasi sosial saya agak sulit di sekolah baru ini. Saat jam istirahat misalnya, mereka berkumpul jajan di kantin, sementara saya dan adik saya perlu berpikir berulang-ulang karena uang saku kami hanya cukup untuk beli es lilin. Juga ketika ada acara-acara sekolah, ketika mereka semua diantar orang tua mereka dengan mobil atau sepeda motor, kami harus berjalan kaki atau naik angkot; dan orang tua kami tidak pernah ikut acara-acara sekolah itu. Beberapa bulan menumpang di rumah Pak Tengah, kami pindah ke sebuah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Pak Tengah, di Lorong “TAC”. Rumah kami nyaris tanpa perabotan. Tamu duduk di lantai, kami juga tidur di kasur yang dibentangkan di lantai. Kami sempat punya televisi hitam putih, namun tak lama televisi itu dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayah tinggal sendiri di kebun milik Pak Tengah yang diolahnya, jaraknya kira-kira 20 kilometer dari rumah, di Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari. Ayah pulang ke kota Jambi 2-3 hari sekali untuk menghemat biaya bensin motornya. Sementara itu, Ibu mencoba membantu Ayah dengan berjualan sayur di Pasar TAC tak jauh dari rumah; pernah juga mencoba berjualan pecel di teras rumah.
(BERSAMBUNG KE PART II…..)