SEPAKBOLA, BERTERIMA KASIHLAH KEPADA JERMAN…!

20140714_061444_timnas-jerman-juara
www.tribunnews.com

Sejak mengenal sepakbola pasca Piala Dunia Meksiko 1986 (kala itu saya kelas 6 SD), tim nasional favorit saya hingga detik ini tidak berubah: Jerman. Itu sebabnya saya sampai melompat kegirangan di depan layar TV saya saat menyaksikan gol Mario Goetze yang membawa Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014, dan mencatatkan sejarah baru sebagai tim Eropa pertama yang menjadi juara dunia di tanah Amerika Latin. Saya tidak bermaksud mengulas soal teknik atau taktik dalam pertandingan final itu, melainkan saya hanya ingin menjelaskan mengapa saya suka sepakbola ala Jerman, dan begitu ingin melihat Jerman memenangkan Piala Dunia kali ini.

Sepakbola Adalah Olahraga Tim

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung soal hakekat sepakbola sejak ia diciptakan, yang untuk gampangnya saya bahasakan sebagai “kodrat” sepakbola. Sepakbola diciptakan untuk dimainkan oleh 11 orang dengan peran masing-masing di lapangan: ada kiper, ada pemain belakang, tengah, depan, sektor kiri, kanan dan sebagainya. Semua itu bukan tanpa maksud. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab di dalamnya, yang wajib dijalankan oleh setiap pemain untuk mencapai tujuan yang sama: menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan, dan mencegah gol lawan ke gawang kita. Jadi, kemenangan adalah buah kerja tim secara menyeluruh, dan kekalahan adalah tanggung jawab semua individu dalam tim. Beban moril atau tanggung jawab itu terdistribusi sama untuk semuanya. Bila filosofi ini dipahami, permainan sepakbola tidak akan menjadikan beban seorang pemain tertentu lebih berlipat ganda dibanding pemain lainnya. Bila itu terjadi, 11 orang itu bukanlah sebuah tim, melainkan sekumpulan orang yang terdiri atas seorang pemain dibantu 10 pemain lainnya.

Inilah yang dipahami sepakbola Jerman sejak dulu. Tak hanya di level tim nasional, di level klub pun Jerman selalu memainkan sepakbola kolektif, sarat kerjasama antar lini, dan bermain total sebagai sebuah tim. Jerman tak punya pemain sekaliber Pele pada jamannya, atau Maradona pada eranya, atau Messi dan Ronaldo saat ini. Namun demikian, Jerman sudah memenangkan Piala Dunia empat kali. Jerman memang punya nama-nama seperti Franz Beckenbauer, Karl-Heinz Rummenigge, Lothar Matthaus, atau Juergen Klinsmann. Tapi di era mereka masing-masing, banyak pemain dari negara lain yang secara obyektif dapat disejajarkan dengan mereka.

Amat tepat Jerman dijuluki “Die Mannschaft” (Tim). Sebaliknya, secara pribadi saya sulit menerima kenyataan bahwa Argentina atau Brasil bisa menembus semifinal, bahkan Argentina melaju hingga final. Brasil terbukti hancur oleh kolektifitas Jerman, Argentina hanya bernasib mujur menang lewat adu penalti melawan Belanda yang jauh lebih kolektif (dan lebih pantas melawan Jerman di final). Di final lalu, saya membayangkan bila Argentina yang menjadi juara dunia, betapa mundurnya sepakbola. Semua orang akan berpikir bahwa untuk mencapai prestasi hebat, kita cukup mempunyai satu pemain hebat. Pemikiran ini yang akan menjauhkan sepakbola dari nilai intinya sebagai sebuah olahraga tim, dan bagi saya itu adalah sebuah pengingkaran kodrat.

Sepakbola Adalah Sebuah Seni Dalam Olahraga

Sebagai sebuah seni, sepakbola adalah sebentuk hiburan dengan lapangan hijau sebagai panggungnya. Sepakbola dirancang untuk atraktif, dan mampu memberi kepuasan bathin bagi siapapun yang menyaksikannya. Kemampuan menghibur dalam sepakbola tidak mesti bertentangan dengan misi para pemain di lapangan, yaitu untuk menang. Hal ini sebenarnya sudah diakomodir oleh FIFA melalui beberapa aturan dalam pertandingan. Aturan offside misalnya, dibuat agar pemain penyerang tidak “ngetem” atau “mangkal” di daerah pertahanan lawan (seperti halnya dalam permainan bola basket). Aturan offside pada gilirannya akan memacu para pemain untuk meningkatkan kualitas berlari (sprint)-nya, agar bisa lebih cepat menguasai bola dari pemain bertahan lawan meskipun ia berada lebih jauh dari gawang. Begitu juga aturan back-pass yang tidak boleh ditangkap oleh kiper. Aturan ini dibuat agar tim yang sudah unggul tidak mengulur-ulur waktu di daerah mereka sendiri, yang bisa membuat pertandingan menjadi membosankan. Intinya, semua aturan itu dibuat agar sepakbola menjadi lebih atraktif, dan bisa menghadirkan hiburan berkelas bagi penonton.

Sekali lagi, Jerman menunjukkan kualitas ini. Permainan mereka mengalir bagai simponi sebuah orkestra dari kaki ke kaki, berpindah dari kanan ke tengah, lalu ke kiri, dan sebaliknya. Tapi saat mereka punya kesempatan bagus, mereka akan menjadi sebuah mesin pembunuh yang mematikan. Lihat saja gol-gol Jerman di Piala Dunia 2014 yang hampir semuanya dibuat di dalam kotak penalti lawan, yang menunjukkan bahwa “orkestra” mereka mampu menembus kedalaman pertahanan lawannya. Dalam laga final sekalipun, mereka berani memainkan bola-bola pendek, dan tidak terburu-buru dalam menyerang meski harus mencetak gol. Irama permainan, itu yang mereka atur layaknya irama musik (kapan harus keras, kapan harus lembut, dan seterusnya). Berbeda dengan Kosta Rika yang sengaja bertahan melawan Belanda untuk menunggu adu penalti (yang akhirnya gagal juga), atau Argentina yang menggunakan skema yang nyaris sama di final melawan Jerman.

Itulah sebabnya, meski tidak dilarang, adalah tidak etis bagi sebuah tim untuk bermain bertahan dengan menempatkan banyak pemain di kotak penalti (yang oleh beberapa pelatih ternama disebut dengan “parkir bus”). Memang itu bagian dari strategi bermain yang sah-sah saja diputuskan oleh pelatih. Tapi seandainya cara bermain seperti ini “dilestarikan”, sepakbola harus siap ditinggalkan oleh pecintanya, bahkan bukan tidak mungkin kelak akan tinggal kepingan sejarah. Para praktisi sepakbola, apakah itu pemain, pelatih, atau pengurus sepakbola, harus sadar bahwa nilai-nilai dasar seperti inilah yang telah membesarkan sepakbola, dan menjadikannya cabang olahraga paling digemari di planet ini.

Sepakbola Memerlukan Totalitas dan Standar Tertentu

Adalah sebuah nilai universal bahwa setiap sukses memerlukan komitmen, kerja keras dan semangat pantang menyerah. Ukuran sukses itu sendiri sebenarnya sangat luas, mulai dari sukses jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam sepakbola, nilai universal inipun berlaku. Bagaimana setiap tim mendefinisikan “sukses” dalam kamus mereka, itulah yang kemudian akan berdampak pada bagaimana mereka membentuk atau meramu tim. Di level klub, yang kompetisinya berlangsung setiap tahun selama hampir setahun penuh, sukses atau prestasi adalah torehan gelar di liga domestik, liga benua, atau kejuaraan lain di tiap negara. Atas nama “prestasi” atau “sukses” itu, tak jarang pemilik klub bersifat pragmatis dengan membeli pemain-pemain hebat, mendatangkan pelatih ternama, dan lain-lain. Itu yang dilakukan Real Madrid, Chelsea, atau Manchester City. Berbeda dengan Arsenal, Barcelona, atau Bayern Munchen yang lebih memilih untuk membina pemain-pemain muda sebagai kaderisasi bagi kelangsungan tim jangka panjang. Memang untuk beberapa klub seperti Arsenal, hasilnya belum begitu memuaskan setidaknya hingga saat ini, ketika mereka baru berhasil merebut trofi Piala FA tahun 2014 setelah berpuasa gelar sejak 2005. Namun ke depan, Arsenal adalah sebuah klub yang akan semakin kuat.

Tampilnya Jerman sebagai juara dunia 2014 ini adalah buah dari proses panjang ini. Skuad yang dibawa Joachim Loew adalah hasil pembinaan jangka panjang yang dimulai sejak kegagalan mereka di Piala Eropa 2004 (di Portugal). Tahun 2006 saat mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia, tim yang baru terbentuk dua tahun itu membuat kejutan dengan menempati peringkat ketiga. Piala Eropa berikutnya tahun 2008 (di Swiss-Austria), mereka menjadi runner-up setelah kalah dari Spanyol. Lalu Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kembali Jerman menempati peringkat ketiga. Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina, Jerman kalah di semifinal dari Italia. Pemain-pemain senior saat ini seperti Philipp Lahm, Lukas Podolski, dan Bastian Schwensteiger adalah mereka yang oleh Joachim Loew sejak tahun 2006 sudah dipadukan dengan para senior mereka saat itu seperti Oliver Kahn, Jens Lehmann, dan Michael Ballack.

Di gelaran Piala Dunia 2014 inipun, kita bisa melihat bagaimana Lahm, Klose dan Podolski bisa berpadu padan dengan junior mereka seperti Toni Kroos, Andre Schurrle atau Mario Goetze. Thomas Muller yang adalah top scorer di tim Jerman juga baru berusia 24 tahun. Pemain “tua” seperti Miroslav Klose masih mampu bersaing dan memecahkan rekor pencetak total gol terbanyak di Piala Dunia (16 gol).   Di Piala Dunia 2018 (Rusia) nanti, Schurrle, Muller, Goetze dan pemain-pemain muda lainnya akan memasuki usia emas mereka, dan saat itu mereka sudah menjadi pemain-pemain yang sarat pengalaman internasional. Inilah hasil sebuah pembinaan yang total dan komprehensif, visioner, dan menjamin kelangsungan tim dalam jangka panjang. Selain bervisi dan berkonsep, totalitas Jerman juga didukung dengan kecanggihan teknologi yang mereka gunakan untuk meningkatkan kemampuan otot, kecerdasan bermain, serta aspek teknis lainnya. Semuanya dilandaskan pada sebuah ukuran standar yang tinggi, sehingga hanya mereka yang benar-benar punya kualitas yang dapat bergabung di skuad Jerman.

Tidak mengherankan, siapapun yang diturunkan oleh Loew, daya pukul Jerman tetap sama. Goetze menjadi penentu kemenangan setelah diturunkan menggantikan seniornya Klose. Schurrle mencetak dua gol saat membantai Brasil 7-1 juga sebagai pemain pengganti. Pemain yang telah “berjasa” besar hingga semifinal seperti Sami Khedira bahkan tidak bermain semenitpun di final. Itulah Jerman, yang dengan totalitas dan standar tingginya telah berhasil membentuk sebuah tim dengan kemampuan yang sama pada setiap individunya.

Bagi saya, tampilnya Jerman sebagai juara Piala Dunia 2014 adalah kemenangan bagi sepakbola itu sendiri. Bukan semata-mata kemenangan “sepakbola indah”, “sepakbola menyerang”, atau “total football”, melainkan kemenangan karena akhirnya sepakbola kembali pada kodratnya sebagai sebuah kerja tim, sebuah bentuk karya seni, dan sebuah totalitas berbalut standar yang tinggi. Sepakbola dan semua pecintanya patut berterima kasih pada Jerman atas hal ini.

Vielen dank, Deutschland…!!!

KETIKA SEPAKBOLA MEMBERI KITA PELAJARAN…

Fifa-World-Cup-2014-HD-Wallpapers-WideScreen
www.iberita.com

Perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil, hingga saya menulis ini, masih menyisakan dua pertandingan lagi: perebutan tempat ketiga (Brasil vs Belanda), dan final (Jerman vs Argentina). Saya tidak akan berbicara teknik, taktik atau strategi yang disajikan oleh 32 tim peserta; juga tidak akan membuat prediksi-prediksi untuk dua pertandingan tersisa itu. Saya justru ingin menulis tentang sisi-sisi lain yang tersaji setelah 62 pertandingan dimainkan. Bagi saya, dari sisi-sisi inilah kita layak untuk mengambil pelajaran serta filosofi bagi kehidupan yang kita jalani.

1. Hasil vs Proses

Setiap tim datang ke Brasil dengan latar belakang mereka masing-masing, yang pada gilirannya membentuk orientasi mereka menghadapi event yang dipandang lebih hebat bahkan dari Olimpiade ini. Setiap pelatih/ofisial pasti telah berhitung, menimbang, dan mencoba bersikap serealistis mungkin saat mereka datang ke negeri Samba. Akhirnya, muncullah berbagai model permainan, taktik, dan strategi yang dibawa ke lapangan hijau. Tim-tim dengan tradisi kuat di gelaran Piala Dunia seperti Brasil, Jerman, Argentina, Italia, atau juara bertahan Spanyol tentu sudah memiliki karakteristik tertentu yang terbentuk seiring waktu. Adalah sangat realistis bila siapapun menjagokan salah satu dari tim-tim itu menjadi juara di 2014 ini. Di sisi lain, tim-tim “medioker” seperti Meksiko, Kolombia, Kosta Rika, Swiss, Aljazair dan sebagainya amat sadar bahwa sudah cukup baik bagi mereka untuk sekedar meloloskan diri dari fase grup. Tim-tim di kelompok pertama tentu lebih berorientasi pada proses mencapai kemenangan di setiap pertandingan. Mereka memiliki banyak pemain yang “di atas rata-rata”, kuat di semua lini, sehingga tidak soal siapapun yang mereka mainkan, di atas kertas hasilnya akan positif. Tinggal bagaimana prosesnya, dan itu yang menentukan siapa yang akan diturunkan oleh pelatih di setiap pertandingan. Sebaliknya, tim-tim di golongan kedua relatif tidak punya banyak pilihan untuk dieksplorasi. Dengan skuad yang “terbatas”, proses menjadi tidak penting. Apapun caranya, bahkan dengan sepakbola negatif sekalipun, tidak masalah asal mereka menang, atau setidaknya tidak kebobolan. Lihat saat Kosta Rika berduel melawan Belanda di perempat final. Strategi “parkir bus” mereka nyaris berhasil, saat mereka berhasil membuat Belanda frustrasi selama 120 menit yang tanpa gol. Sayang, Louis Van Gaal punya seorang Tim Krul yang dimasukkannya di menit terakhir perpanjangan waktu untuk membuyarkan impian Kosta Rika melaju ke semifinal.

Dalam hidup, ada banyak orang yang begitu memperhatikan detail dalam semua yang dilakukannya. Mereka begitu peduli pada proses, begitu perfeksionis dalam melihat “bagaimana” sesuatu diperoleh. Kepuasan mereka ada pada kesempurnaan langkah demi langkah dalam mencapai tujuan. Namun, ada banyak orang pula yang hanya melihat “apa” yang bisa ia dapat, tak peduli caranya. Mereka cenderung pragmatis, dan berpikir bahwa konsekuensi dari tindakan mereka adalah urusan nanti, tak perlu dipikirkan sekarang. Yang mana pilihan anda, silakan bertanya pada diri anda sendiri.

2. Orang Yang Tepat Pada Situasi Yang Tepat

Hingga Belanda melaju ke perempat final, seorang Tim Krul belum bermain semenitpun. Maklum, ia hanyalah kiper ketiga di Tim Oranye setelah Jasper Cillessen dan Michel Vorm. Namun di menit terakhir perpanjangan waktu dalam pertandingan perempat final melawan Kosta Rika, Van Gaal menurunkannya menggantikan Cillessen. Van Gaal melihat bahwa catatan “prestasi” Krul dalam adu penalti lebih baik ketimbang Cillessen. Melihat bahwa tak ada lagi peluang untuk membuat gol di perpanjangan waktu, Krul dimasukkan dan terbukti ia sukses membendung dua tendangan pemain Kosta Rika yang memastikan Belanda lolos ke semifinal. Masih dari tim Belanda, cerita sebaliknya terjadi di semifinal ketika mereka berhadapan dengan Argentina. Karena memaksakan gol di masa perpanjangan waktu, Van Gaal memasukkan Klaas Jan Huntelaar menggantikan Robin Van Persie yang terlihat sudah kelelahan. Jatah pergantian tiga pemain yang sudah habis tidak memungkinkan Krul untuk masuk seperti saat melawan Kosta Rika. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan adu penalti seorang Cillessen, faktanya semua tendangan pemain Argentina berhasil membobol gawang Belanda, dan dua tendangan pemain Belanda berhasil digagalkan kiper Argentina Sergio Romero. Dalam situasi ini, Van Gaal sebenarnya butuh dua sosok penting: Krul dan Van Persie. Krul punya potensi membendung tendangan para pemain Argentina, dan Van Persie punya peluang membuat satu gol. Namun itu tidak terjadi, dan Belanda harus puas berebut tempat ketiga.

Itulah, dalam hidup kita terkadang berada pada situasi tertentu di mana kita membutuhkan orang tertentu pula. Dalam banyak kasus, “orang tertentu” itu bukanlah mereka yang kita pandang hebat selama ini. Seperti yang sering diucapkan mereka yang bijak, bahwa “terkadang malaikat itu tak bersayap, tak cemerlang, tak juga bercahaya”. Akan terjadi bahwa seorang yang kita anggap “rendah”, “bukan siapa-siapa” atau biasa-biasa saja akan menjadi “dewa penyelamat” dalam kehidupan kita.

3. ‘Pembangkitan Motivasi’ Tidak Sama Dengan ‘Sombong’

Ketika Brasil lolos ke perempat final setelah mengalahkan Chile di babak 16 besar, pelatih Luiz Felipe Scolari menyatakan pada pers bahwa “satu tangan Brasil sudah menggenggam Piala Dunia”. Saat itu, untuk menggenggam Piala Dunia Brasil bersama tim perempat finalis lainnya masih harus menjalani tiga laga lagi: perempat final, semifinal, dan final. Brasil memang menang lagi di perempat final atas Kolombia (yang memakan “korban” bintang mereka Neymar) dan lolos ke semifinal. Namun di babak itu, Brasil—yang berhadapan dengan Jerman—harus menanggung malu dengan “rekor” kebobolan terburuk dalam sejarah semifinal Piala Dunia sejak bergulir tahun 1930, yakni kebobolan tujuh gol dengan lima di antaranya dalam 30 menit pertama pertandingan. Organisasi permainan mereka kocar-kacir tanpa struktur, dan Jerman menjadikan lapangan pertandingan layaknya sebuah training ground bagi mereka. Sangat terlihat bahwa kehilangan Neymar yang cedera dan sang kapten Thiago Silva yang terkena akumulasi kartu kuning membuat Brasil seperti sebuah tim yang baru belajar bermain sepakbola.

Kesombongan memang tidak pernah baik. Saat perjalanan mencapai tujuan masih panjang, kita sebaiknya waspada dan mawas diri, bahwa banyak hal masih bisa terjadi dalam rentang perjalanan itu. Membangkitkan motivasi diri (dan tim) dengan sombong adalah dua hal berbeda. Ketika kita sudah mengatakan bahwa garis finis sudah di depan mata saat kita baru berada di separuh perjalanan, kita adalah orang-orang yang sombong. Namun saat kita merasa yakin bahwa kita akan sampai di garis finis saat semua terlihat masih berat dan panjang, itulah pembangkitan motivasi diri.

4. Kerjasama Tim vs ‘One Man Plus Plus

Sejatinya sepakbola adalah sebuah olahraga tim yang dimainkan oleh sebelas orang dengan peran dan tugas masing-masing. Tim-tim seperti Jerman dan Belanda adalah gambaran yang nyaris sempurna dalam konteks ini. Sepakbola memang memerlukan sinergi yang kuat antar lini, kerjasama yang solid antar pemain, serta penerapan strategi bermain yang benar-benar melibatkan sebelas orang, bahkan pemain yang sedang tidak menguasai bola sekalipun. Namun beberapa kontestan Piala Dunia 2014, harus saya akui, tidak bisa menunjukkan hal ini. Mereka adalah kesebelasan-kesebelasan yang sangat kental bergantung pada satu-dua pemain. Lihat Portugal, yang sangat “Ronaldo-sentris”. Begitu pula Brasil, yang sangat bergantung pada kinerja seorang Neymar. Argentina pun demikian, sangat bergantung pada Lionel Messi. Kecuali Argentina yang secara mengejutkan (bagi saya pribadi) bisa melaju hingga partai puncak, kegagalan Portugal yang bahkan tidak lolos fase grup dan Brasil yang hancur lebur di semifinal adalah gambaran bahwa sepakbola tidak bisa dimainkan hanya dengan berharap pada kemampuan satu-dua pemain, sementara yang lain hanya berperan sebagai ‘pendukung’. Ketika tim-tim seperti itu harus berhadapan dengan sebuah kolektifitas seperti yang ditunjukkan Jerman, hasilnya fatal (Portugal kalah telak 0-4 dan Brasil hancur lebur 1-7). Argentina sebenarnya nyaris mendapat hasil serupa saat melawan Belanda di semifinal, ketika statistik menunjukkan bahwa penguasaan bola dan peluang lebih banyak dimiliki Belanda. Beruntung, dewi fortuna menyertai mereka hingga lolos lewat adu penalti. Pendapat saya, bila Argentina menjadi juara Piala Dunia 2014, ini adalah preseden buruk untuk sepakbola, karena sepakbola akan menjauh dari nilai fundamentalnya: sebuah olahraga tim.
[Namun sejarah Piala Dunia menunjukkan ini pernah terjadi, ketika Argentina di tahun 1986 menjadi juara dunia “hanya” dengan jerih payah seorang Diego Armando Maradona].

Ketika berada pada sebuah situasi yang menuntut kerjasama tim, bekerjalah sebagai sebuah tim. Beri porsi yang seimbang pada semua anggota tim sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Sebuah kelompok yang hebat bukanlah kelompok yang memiliki seorang “bintang” tapi tak didukung oleh anggota lainnya, melainkan kelompok yang terdiri atas sekumpulan orang yang berkomitmen kuat untuk mencapai tujuan bersama (meskipun kemampuan individu dalam kelompok mungkin tidak terlalu istimewa). To achieve a common goal, we don’t need a great man; we need a great team.

A LITTLE NOTE FROM FRANCE…

Minggu terakhir bulan Juni lalu, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melihat langsung bakal alutsista baru TNI AU, helikopter EC-725 Cougar dalam proses perakitannya (assembly) di fasilitas milik Airbus Helicopters, Marignane, Perancis. Helikopter ini adalah pesanan pemerintah RI (Kementerian Pertahanan) yang akan dioperasikan oleh TNI AU. RI memesan sebanyak enam pesawat berdasarkan Kontrak Jual Beli antara Kemhan RI dengan PT. Dirgantara Indonesia (PT.DI) nomor Trak/142/PLN/III/2012/AU tanggal 6 Maret 2012. Dalam kontrak ini, PT.DI lalu menunjuk Airbus Helicopters Perancis sebagai sub-kontraktor untuk menyediakan enam helikopter tersebut.

Airbus Helicopters sendiri telah beberapa kali berganti nama, mulai dari Sud Aviation (SA), Aerospatiale (AS), Eurocopter (EC), dan setelah diakuisisi oleh Airbus menjadi Airbus Helicopters (AH). TNI AU hingga saat ini telah mengoperasikan helikopter yang diproduksi di setiap era masing-masing nama tersebut, yang dapat dilihat dari designasinya: SA-330 Puma (Sud Aviation), AS-332 Super Puma (Aerospatiale), dan EC-120B Colibri (Eurocopter). Selain persoalan kehandalan (reliability), kerjasama yang telah terjalin lama dengan PT.DI juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam menggunakan produk pabrikan helikopter terbesar di Eropa tersebut (harapannya, potensi nasional di PT.DI dapat terus terpelihara).

Pembelian enam helikopter EC-725 ini terbagi dalam tiga tahap (batch), yang dalam tiap batch Kemhan/TNI AU akan menerima dua pesawat. Saya merupakan bagian dari tim pemeriksa pemasangan sistem pesawat pada dua pesawat batch I, yang berkode IPT-001 dan IPT-002. Pesawat pertama (IPT-001) sudah memasuki tahap industrial test flight, yang berarti secara sistem pesawat tersebut sudah lengkap dan diterbang-ujikan oleh pabrik. Sementara pesawat IPT-002 masih dalam proses perakitan di final assembly line, dengan beberapa bagian belum terpasang. Tugas utama saya beserta tim yang dipimpin oleh Kolonel Kal Juliantono dari Mabesau ini adalah memeriksa kesesuaian komponen yang dipasang dengan apa yang tertera dalam kontrak.

Saya akui tugas ini tidak mudah, dan saya tidak dalam misi “jalan-jalan”. Di tim yang terdiri atas lima personel Kemhan/TNI AU dan dua personel PT.DI ini, saya adalah satu-satunya yang memiliki latar belakang sebagai praktisi helikopter. Secara praktis, boleh dikatakan saya memahami prinsip kerja helikopter (yang telah menjadi “mainan” saya di TNI AU sekitar 15 tahun hingga hari ini). Itulah sebabnya sedari awal saya sadar bahwa saya bakal bekerja keras agar tugas tim ini dapat dilaksanakan dengan baik.

Tim berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta hari Minggu 22 Juni 2014 pukul 19.00 WIB melalui Singapura. Setelah melalui penerbangan yang panjang ditambah dua kali transit yang juga panjang (masing-masing sekitar lima jam di Singapura dan Amsterdam, Belanda), akhirnya tim tiba di Aeroport de Marseille Provence hari Senin 23 Juni 2014 sekitar pukul 16.00 waktu setempat (21.00 WIB). Setelah check-in di hotel tak jauh dari bandara, hari itu dihabiskan dengan menikmati kota Aix-En-Provence (sekitar 15 km dari Marignane), yang seperti halnya Marignane merupakan kawasan satelit dari kota metropolitan Marseille. Meski jauh lebih kecil dari Marseille, Aix-En-Provence (atau lebih dikenal dengan “Aix”) menawarkan keindahan khas Perancis dengan bangunan-bangunan bergaya Roman Gothic dan restoran-restoran semi-kafe (disebut “brasserie” dalam bahasa Perancis), serta patung-patung dengan air mancur dari abad ke-17 atau 18. Kebetulan saat ini sedang musim panas, dan matahari baru terbenam sekitar pukul 21.30 waktu setempat.

AH3
Berdiskusi dengan tim di fasilitas produksi Airbus Helicopters.

Esok harinya, tim mulai berkunjung ke fasilitas AH. Hari pertama kunjungan itu diisi dengan beberapa paparan/presentasi tentang perkembangan kontrak yang telah berjalan, khususnya dua pesawat pertama dalam batch I (IPT-001 dan 002). Beberapa hal masih belum memuaskan saya, dan saya meminta kepada pihak PT.DI untuk mengkomunikasikan kembali beberapa hal tersebut dengan AH. Misalnya tentang penyediaan publikasi teknik (manual-manual pemeliharaan dan pengoperasian pesawat) yang hanya satu set. Saya membayangkan hal itu akan menyulitkan para pilot dan teknisi yang kelak akan mengoperasikan pesawat itu di beberapa spot sekaligus, yang artinya di tiap spot mereka harus punya publikasi teknik yang lengkap. Dengan persetujuan forum (termasuk pihak AH), hal itu dituangkan dalam catatan dalam Minutes of Meeting (MoM) yang ditandatangani oleh semua yang hadir di situ. Setelah lunch break, kami diajak untuk melihat fasilitas pabrik dalam perakitan helikopter NH90 (assembly line) dan “Les Florides” yang merupakan pusat operasi logistik AH.

IMG_20140624_100956
Menerima paparan perkembangan program EC-725 pesanan RI.
AH5
“Dikerubuti” staf Airbus Helicopters saat meninjau “Les Florides”.

Hari berikutnya, kunjungan diawali dengan peninjauan ke EC-225 Final Assembly Line, di mana pesawat kedua (IPT-002) tengah menjalani perakitan. Tugas teknis saya pun diawali di pesawat itu. Berbekal check list yang saya ambil dari lampiran kontrak, saya mengawali pemeriksaan dari kokpit, lalu ke kabin, naik ke engine deck, ke belakang (tail section), lalu “merayap” di bawah badan pesawat. Saya sadar, untuk inilah saya berada di sini, dan saya tidak akan bermain-main dengan tanggung jawab saya. Saya menghabiskan sekitar satu jam di situ, didampingi teknisi AH yang saya minta untuk mencoba beberapa sistem yang telah terpasang. Setelah memberikan beberapa catatan kepada pihak AH, saya mengakhiri pemeriksaan dengan overall conclusion: satisfactory. Dari situ, kami beranjak ke pesawat IPT-001 di flight line (fasilitas pengoperasian pesawat yang sudah lengkap/ready for flight).

Indonesia
Saya meminta teknisi Airbus Helicopters mencoba sistem navigasi pesawat.
Indonesia
Pemeriksaan di IPT-001.

Meski sudah lengkap dan memiliki catatan terbang uji oleh pabrikan, saya tetap meminta pemeriksaan menyeluruh meski pesawat tidak harus diputar. Saya tetap meminta teknisi mencoba semua sistem navigasi, komunikasi, hydraulic, electric, combat support, dan indikasi-indikasi. Sama halnya dengan IPT-002, saya “menggerayangi” pesawat itu mulai dari kokpit, kabin, bagian atas, belakang, dan merayap lagi di bawah. Sekali lagi, saya harus memastikan bahwa saat pesawat ini diterbangkan oleh awak TNI AU, ia harus memiliki daya getar yang kita harapkan, dan menjadi bagian dari pengembangan kekuatan yang kita cita-citakan. Saya cukup puas dengan apa yang saya lihat, meski pesawat belum 100% selesai (masih memerlukan pengecatan sesuai motif yang kita inginkan).

Indonesia
“All good!”, itu yang saya katakan setelah memeriksa tail rotor system IPT-002.

Setelah itu, kami kembali ke meeting room untuk mendiskusikan dan merumuskan beberapa catatan atau temuan yang kami dapatkan selama pemeriksaan. Setelah semua menyetujui, tiap orang baik dari Kemhan/TNI AU, PT.DI maupun AH membubuhkan tanda tangannya. Itulah akhir rangkaian kegiatan selama dua hari yang cukup padat dan melelahkan (khususnya buat saya hehehe…) dan kamipun sepakat untuk mengakhiri kunjungan dengan menerima undangan makan malam resmi dari AH di sebuah restoran China di Aix. Esok harinya (Kamis 26 Juni 2014) kami bergeser ke Paris dengan menempuh sekitar satu setengah jam penerbangan dari Marseille. Saya sudah pernah ke Paris sebelumnya, sehingga tidak terlalu “heboh” untuk melihat Menara Eiffel atau Arc de Triomphe di Avenue des Champs Elysees. Saat yang lain pergi ke kedua ikon Paris itu, saya memilih untuk menghabiskan satu hari terakhir di ikon Paris yang lain: Museum du Louvre, yang merupakan plot setting buku dan film “The Da Vinci Code” karya penulis novel favorit saya Dan Brown.

IMG_20140627_094207
Sejak “The Da Vinci Code”, akhirnya impian saya terkabul untuk bisa datang ke tempat ini: Museum du Louvre.
IMG_20140627_102206
Bersyukur karena bisa melihat langsung tatapan mata “Monna Lisa” karya Leonardo Da Vinci.

Di sana, di antara ribuan karya hebat ratusan orang besar dari berbagai abad, menanti sebuah lukisan masterpiece dari seorang legenda dunia bernama Leonardo Da Vinci: Monna Lisa (“Le Joconde” dalam bahasa Perancis). Tak percuma saya harus “berjuang” di tengah kerumunan pengunjung untuk mendapat tempat tepat di depan tatapan mata yang terkenal itu, di sebuah museum megah yang bercerita banyak kepada saya tentang sejarah peradaban manusia…