SURAT UNTUK DELIS

(Courtesy of kompas.com)

Ananda Delis Sulistina di Surga,

Saya tidak mengenal kamu, atau bahkan sekedar mendengar namamu, sebelum berita kematian tragismu memenuhi media massa.  Perhatian saya semakin menjauh dari penuhnya berita tentang wabah virus Corona saat saya membaca berita-berita lain tentangmu, hidupmu, deritamu, dan sedihnya lagi: cita-citamu……yang pernah kamu tulis dalam catatan harianmu.

Jujur saja, saya membangun kesan tentang kamu sepenuhnya dari media daring yang saya baca.  Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat kematian menjemputmu selain soal uang untuk study tour SMP-mu, apalagi soal keseharian, kondisi keluarga, dan lain-lain tentang kamu.  Semua yang saya tahu tentangmu hanya apa yang berita-berita itu tuliskan, dan saya berharap berita-berita itu tidak menambah atau mengurangi apapun tentang kamu.

Ananda Delis,

Saya menulis surat ini semata-mata karena saya seorang Ayah yang juga punya anak perempuan seumuran kamu.  Anak saya tak jauh beda dengan kamu: punya cita-cita, punya harapan membahagiakan orang tua, ingin punya banyak teman, dan juga pernah minta uang untuk study tour sekolahnya hehehe…

Sebagai seorang Ayah, berita tentang kematianmu di tangan ayah kandungmu sendiri karena uang untuk study tour itu betul-betul merobek hati.  Bukan soal uang yang tidak dapat diberikan ayahmu yang menghancurkan perasaan saya, melainkan apa yang harus kamu alami setelah itu.  Di usiamu yang baru 13 tahun, kamu harus menjemput mautmu dalam perjalananmu menggapai cita-cita mulia yang pernah kamu tulis, di tangan seseorang yang kamu tidak punya kuasa untuk memilih apakah dia layak atau tidak menjadi ayahmu…..dan itu membuat saya menangis.

Ayahmu sama sekali bukan representasi seorang ayah—kamu pasti paham itu.  Saya mungkin juga bukan representasi seorang Ayah yang baik, apalagi sempurna.  Namun dalam ukuran saya yang jauh dari sempurna inipun, apa yang ayahmu perbuat kepadamu adalah sangat biadab; bahkan seekor hewanpun tidak akan melakukan itu pada anaknya sendiri.

Ananda Delis,

Sudahlah…..bagaimanapun kamu sudah berada di alam sana, dan saya berdoa kamu tenang dan damai bersama Sang Maha Pencipta, yang sesungguhnya adalah Ayah sekaligus Ibu kita semua dalam hidup kekal yang akan kita jalani setelah semua kefanaan dunia ini.

Tapi bolehlah kita berbicara sedikit tentang apa yang kamu pernah tulis dalam catatan harianmu atau apapun itu.  Oh iya, saya sempat membaca sebagian tulisanmu di sebuah media daring yang memuat foto penggalan catatanmu (dan itu cukup untuk membuat pilu hati seorang Ayah seperti saya).

Kamu bilang kamu ingin jadi Polwan untuk “memberantas kejahatan sehingga kejahatan berkurang”.  Sebuah cita-cita hebat yang kamu ungkapkan dalam ketulusan dan kepolosanmu yang menyentuh hati.  Dunia kita memang penuh orang-orang jahat, baik dalam arti harfiah maupun dalam artian yang lain.  Kejahatan yang ditunjukkan apa adanya di rumah, di jalan, di berbagai tempat, maupun kejahatan yang dibungkus kebaikan-kebaikan atau kata-kata bijak, yang dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya “pintar” atau “penting”.  Seandainya kamu punya kesempatan menggapai cita-cita itu (menjadi seorang Polwan), kamu pasti akan tahu apa yang saya maksud.

Kamu bilang ingin masuk SMPN 6 karena “dekat dari rumah, sehingga tidak perlu buang-buang uang untuk ongkos angkutan umum”.  Betapa mulianya hatimu Nak, yang bisa memahami kondisi orang tuamu (Ibumu) dan tidak mau membebaninya.  Saya melihat kecerdasan emosional yang luar biasa dari seorang anak 13 tahun, yang bahkan mereka yang sudah “dewasa”-pun belum tentu punya.  Saya berdoa kiranya ini kelak bisa membimbing Ibumu menuju surga karena memiliki dan membesarkan anak yang solehah seperti kamu.  Amin…

Kamu bilang bahwa kamu ingin masuk SMPN 6 karena “ingin mendapatkan ilmu pengetahuan dan mendapatkan banyak teman”.  Lalu kamu juga bilang bahwa kamu “akan belajar belajar dengan tekun agar cita-citamu tercapai”, dan “akan mengerjakan tugas dari Bu Guru dengan senang hati agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat”.  Ah….semangat seperti itu yang negeri ini butuhkan sekarang.  Semangat untuk belajar dan bekerja keras, semangat untuk meraih sesuatu yang lebih baik, semangat untuk berbuat semua hal yang bermanfaat.  Entah kamu sempat melihat atau tidak, negeri ini penuh dengan orang-orang yang selalu skeptis, pesimis, atau sebaliknya kelewat optimis dan merasa sudah pintar sehingga tidak perlu belajar lagi.  Saat berbuat, yang diperbuat justru hal-hal yang tidak bermanfaat, mengganggu kenyamanan orang lain, bahkan merusak.

Ananda Delis di Surga,

Berita-berita yang saya baca juga menyebutkan bahwa kamu sering di-bully di sekolah oleh teman-temanmu, yang menyebut kamu “bau lepet (lontong)”, karena Ibumu sehari-harinya berjualan lontong.  Hatimu tidak sendirian merasa sakit, Nak.  Hati sayapun sakit mendengar hal-hal semacam itu.  Tapi itulah potret pendidikan kita selama ini, yang tidak pernah diarahkan untuk membangun karakter, watak serta kepribadian yang baik, dan hanya melulu soal “angka”, “nilai”, “rangking”, “skor” bla…bla…bla…  Dunia pendidikan yang malah mencetak para perundung, penghina, pencaci, bahkan pembunuh.  Begitulah kalau pendidikan semata-mata dijadikan “proyek”.  Yang penting 20% APBN tiap tahun itu terserap; hasil didik nggak penting.

Saya merasa bahwa secara tidak langsung kamu adalah korban dari sistem buruk pendidikan kita.  Selain bully itu, kegiatan-kegiatan seperti study tour—yang akhirnya memicu ajalmu—dalam banyak kasus justru menjadi beban bagi orang tua murid.  Banyak sekolah yang tidak memahami kondisi psikososial murid-muridnya, yang datang dengan latar belakang beragam.  Ujung-ujungnya, banyak sekolah yang justru jadi ajang pamer harta, adu status sosial orang tua, dan di sisi lain menjadi lembah derita bagi mereka yang kurang mampu.  Singkatnya, dunia pendidikan kita belum menjadi tempat yang mendidik manusia secara hakiki dan mampu menjadi dirinya sendiri.

Berita yang saya baca juga mengatakan bahwa kamu adalah siswi yang pintar.  Tidak mengherankan buat saya, karena catatan yang kamu tulis saat kelas 6 SD itu sudah menunjukkan betapa cerdasnya kamu, dan betapa mulianya hatimu.  Tapi Tuhan memiliki rencana lain dalam hidupmu, yang saya yakin semata-mata karena Dia menyayangimu.  Saya membayangkan seandainya kamu punya waktu mewujudkan cita-citamu, kamu pasti akan jadi seorang Polwan yang baik, cerdas, dan kita akan melihat sebuah dunia yang damai karena minimnya kejahatan.  Sekarang saya hanya berharap ada banyak anak lagi dengan semangat yang sama dengan kamu, yang menjalani hidupnya untuk sebuah cita-cita luhur demi kebahagiaan orang tuanya, dan kemaslahatan orang banyak.

Ananda Delis,

Sepertinya tulisan saya sudah terlalu panjang untuk ukuran sebuah surat.  Mohon maaf menyita waktumu untuk membacanya, tapi sekali lagi, saya hanya seorang Ayah dari seorang anak perempuan sebaya kamu yang betul-betul sedih, teriris dan tidak dapat menerima perlakuan orang terhadapmu, terutama ayahmu yang biadab dan tidak bertanggung jawab itu.  Biarlah Tuhan dan alam semesta menghukumnya secara setimpal.

Rasa hormat saya yang tulus untuk Ibumu, yang dengan segala keterbatasannya berusaha yang terbaik untuk membesarkan kamu.  Beliau seorang wanita yang luar biasa.

Semoga kelak dari alam sana kamu akan melihat dunia yang kamu cita-citakan dalam tulisan tanganmu.    Selamat beristirahat dalam damai, Delis.

Jakarta, 28 Februari 2020

*(Tulisan ini merujuk kepada berbagai berita tentang kematian Delis Sulistina, seorang siswi SMPN 6 Tasikmalaya)