SUZUKI JIMNY REVIEW WITH “DRIVING FOLKS”

#drivingfolks #car #automotive

Kanal Youtube pertama Dimitri bersama rekannya Rama mereview mobil Suzuki Jimny. Masih belajar membuat konten Youtube, jadi mohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada. Kami sangat menghargai setiap “Like”, “Subscribe”, “Share” serta komentar-komentar demi perbaikan kanal ini di kemudian hari. Selamat menikmati, terima kasih.

First Youtube channel from Dimitri and his mate Rama, reviewing Suzuki Jimny car. Still learning to make a Youtube content, so apology for flaws you might find. Every “Like”, “Subscribe”, “Share” and comment for this channel improvement in the future is highly appreciated. Enjoy the review and thank you.

LAYANG KAGEM MAS DIDI KEMPOT

Ilustrasi dari musikan.net

Sugeng sonten Mas Didi Kempot yang sangat saya hormati dan kagumi,

Mau memberitahu sampeyan aja bahwa pagi ini saya syok banget membaca berita tentang kepergianmu.  Baru kemarin saya menyaksikan video klip Anda “Ojo Mudik” yang berisi himbauanmu untuk tidak mudik di tengah pandemi Covid-19 ini.  Belum lama juga saya menambahkan beberapa lagumu di playlist Youtube Music saya.  Lalu juga belum hilang dari ingatan saya menonton konser amal Anda di Kompas TV yang menghasilkan 7,5 miliar rupiah hanya dalam 3 jam untuk disumbangkan bagi penanggulangan wabah saat ini.

Sejauh ini Mas Didi, tulisan ini adalah tulisan pertama yang saya buat dengan mata berkaca-kaca, bahkan saya sudah beberapa kali menyeka air mata saya.  Ngga tau kenapa, tapi yang jelas Anda adalah selebritis Indonesia pertama yang saya kagumi.   Memang saya sudah kenal lagu-lagu lama Anda seperti “Stasiun Balapan” atau “Sewu Kuto” sejak dulu, bahkan itu lagu-lagu favorit saya kalau berkaraoke bersama keluarga.  Tapi sejak anak laki-laki saya mengenalkan beberapa lagu Anda lagi yang dia suka seperti “Kalung Emas”, “Layang Kangen”, “Banyu Langit”, “Cidro” dan tentu saja “Pamer Bojo” yang selalu bikin heboh itu, saya menjadi lebih intens mengikuti karya-karya Anda.

Lalu saya menjadi salah satu subscriber channel Youtube Anda, dan lagu serta suara Anda seolah bagian dari hidup saya sehari-hari sekarang.  Perjalanan saya di mobil ke manapun selalu diisi suara Anda.  Bekerja di kantor juga diiringi suara Anda.  Menunggu istri belanja juga diisi suara Anda di earphone saya.  Di rumah, buka Youtube ya cuma untuk mencari lagu Anda.  Anda memberi keceriaan, hingga pagi sebelum saya tulis surat ini, di mana untuk pertama kalinya berita tentang Anda menghadirkan kesedihan yang mendalam.

Saya belum pernah bertemu Anda.  Juga belum sempat nonton konser Anda.  Saya baru meniatkan untuk menonton konser Anda secara live, berdua dengan anak laki-laki saya, tapi Anda telah lebih dulu berpulang.   Meski demikian, bagi saya Anda sangat istimewa, seperti halnya bagi “Sobat Ambyar” yang lain.  Semakin mengikuti karya-karya Anda, semakin banyak alasan saya untuk memandang Anda sebagai sebuah sosok yang berbeda.  Anda bukan sekedar selebritis, bukan sekedar artis atau penyanyi biasa.   Anda adalah idola, inspirasi, dan pendobrak.  Tak heran meski usia Anda berjarak cukup jauh dengan sebagian besar generasi milenial penggemar Anda, Anda bisa begitu dekat dengan mereka.

Saya pernah menonton wawancara Anda yang dipandu oleh Gofar Hilman, penyiar radio Hard Rock FM Jakarta.  Itu saat Anda banyak bercerita tentang masa lalu Anda, bagaimana Anda menciptakan lagu-lagu Anda, dan bagaimana sikap Anda ketika banyak penyanyi lain mengambil keuntungan dari lagu-lagu yang Anda ciptakan.  Semua cerita Anda itu adalah “Wow” buat saya.  Banyak lagi cerita-cerita yang Anda sampaikan di berbagai kesempatan, kepada berbagai presenter, yang semuanya menggambarkan satu hal di mata saya: Anda adalah orang yang apa adanya.

Kostum Anda selalu sederhana.  Kaos, kemeja atau batik, itu yang paling sering saya lihat.  Paling mewah ya busana Jawa lengkap dengan blangkon­-nya.  Gaya Anda tidak dibuat-buat, entah itu saat manggung atau saat interview.  Anda berbicara sebagaimana Anda berbicara sehari-hari.  Logat Jawa Anda sangat kentara, dan itu tidak berusaha Anda tutupi.  Boso londone: “genuine”.  Seandainya waktu bisa diputar dan kita bisa melihat Anda di masa lalu, saya yakin tidak akan melihat banyak perbedaan dengan apa yang saya lihat dari Anda saat ini.  Seorang Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot yang orang-orang sekitar Anda kenal sejak Anda kecil adalah orang yang sama dengan yang dikenal generasi milenial hari ini.

Anda membuktikan bahwa menjadi “apa adanya” tidak akan membuat kita hina.  “Apa adanya” Anda justru menjadi pembeda Anda dari seleb-seleb lain yang cuma sibuk bikin sensasi, pamer ini itu, bikin berita plesir kesana kemari, tapi miskin prestasi.   Seleb-seleb yang—buat saya—cuma bikin sakit mata kalau buka situs berita.  Anda hanya tahu bagaimana berkarya, bikin lagu-lagu yang bertema sederhana dengan bahasa yang sangat gampang dicerna, yang menggambarkan hal-hal realistis dalam hubungan antar umat manusia.  “Apa adanya” Anda membuat musik Anda tidak lekang oleh modernisasi jaman.

Anda tidak sibuk mencitrakan diri Anda, meski Anda tahu penggemar Anda jutaan, tidak hanya di dalam tapi juga luar negeri.  Anda mungkin tidak kepikiran bikin channel Youtube kalau tidak ada yang memberi masukan dan membuatkannya untuk Anda (itu feeling saya lho Mas).  Anda tidak pernah memposisikan diri Anda di atas yang lain.  Anda penuh dengan empati dan apresiasi terhadap orang lain.  Gaya Anda di panggung juga “begitu-begitu saja”.  Tapi itulah hebatnya Anda, Mas Didi.  Anda memang tidak perlu membuat yang “aneh-aneh” di panggung atau di luar panggung, karena Anda sudah ditakdirkan membawa perbedaan dalam diri Anda sendiri.

Ketika karya Anda dijadikan bahan mencari keuntungan oleh orang lain, Anda hanya senyum-senyum saja.  Tapi Anda terus berkarya dan berkarya.  Anda meyakini bahwa keuntungan yang didapat orang lain dengan karya Anda adalah amalan untuk Anda.  Suatu sifat yang hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, orang-orang besar.  Sebuah karakter yang orang-orang dengan label atau atribut “pejabat”, “orang penting”, “wakil rakyat” bla bla bla sekalipun belum tentu memilikinya.  Karakter yang menunjukkan bahwa Anda adalah seorang pemenang.

Anda dibesarkan dengan karya Anda.  Anda dididik oleh kehidupan Anda sendiri, yang keras dan penuh pahit getir.  Mengamen di jalanan, di bis kota, mengadu nasib dan ngekos di kamar sempit di Jakarta, ditolak label rekaman, dan berbagai cerita pahit lainnya.  Itu yang membesarkan Anda, dan menjadikan Anda seperti sekarang.  Didi Kempot yang sederhana, apa adanya, penuh empati, merakyat dan bisa dekat dengan siapa saja meskipun ngetop-nya sudah ngga ketulungan.

Dari Anda, saya semakin yakin bahwa menjadi diri sendiri adalah yang utama bagi setiap orang, karena kita tidak akan pernah menjadi sama dengan orang lain, sekeras apapun kita mencobanya.  Dan kita memang tidak perlu mencoba menjadi seperti orang lain.  Tuhan menciptakan diri kita berbeda dengan yang lain, dan di dalamnya Tuhan menanam benih-benih talenta, berkat, dan kelebihan sejak kita dilahirkan.  Tidak perlu mengeluhkan apa yang tidak kita punya, karena pada dasarnya orang lainpun banyak yang tidak memiliki apa yang kita miliki.  Menjadi diri sendiri adalah tentang bagaimana kita menghargai dan mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan untuk kita, dalam wujud lahir dan bathin kita.

Anda memberi teladan bagaimana mencintai apa yang kita kerjakan.  Anda memberi jiwa di setiap lagu Anda, bukan sekedar rangkaian nada dengan lirik yang hampa.  Anda mengangkat hal-hal yang sehari-hari ada dalam kehidupan kita, sehingga tidak sulit bagi siapapun untuk mencernanya.  Lirik, nada, dan musik-musik Anda simpel, tidak rumit, dan sekalipun sebagian besar dalam Bahasa Jawa, semua orang bisa memahaminya.  Itu karena musik adalah sesuatu yang Anda tekuni dengan cinta, passion, sehingga siapapun yang mendengar lagu Anda serasa sedang mendengarkan sebuah seruan hati, bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tidak aneh bila anak-anak muda sekalipun bisa menangis di konser Anda, dan tidak aneh pula bila karya-karya Anda bisa diterima berbagai kalangan, mulai kaum elite sampai masyarakat kebanyakan, menerjang batas usia, suku, etnis, agama, bahkan batas negara.

Anda memberi contoh bagaimana membangun hidup yang bermanfaat bagi banyak orang.  Musik Anda sendiri sudah menjadi sumber hiburan jutaan manusia.  Ditambah lagi empati Anda yang luar biasa bagi mereka yang berkekurangan.  Anda mengadakan konser amal dari rumah untuk mereka yang terdampak wabah belakangan ini, dengan “menawarkan” suara dan lagu-lagu Anda.  Anda bahkan “membiarkan” orang lain memanfaatkan lagu Anda untuk keuntungannya sendiri, tanpa minta ijin atau memberi tahu Anda.  Lagu-lagu Anda adalah representasi suara banyak orang, corong untuk berbagai jeritan.

Dari Anda pula saya memiliki optimisme akan generasi muda kita, yang dengan bangga melabelkan diri mereka sebagai “Sadbois” dan “Sadgirls” dalam komunitas besar “Sobat Ambyar”.  Mereka adalah perlambang bahwa musik kita, sekalipun dengan genre tradisional kedaerahan, masih mendapat tempat istimewa di hati kalangan muda.  Saya selalu takjub melihat setiap video konser Anda, di mana anak-anak muda itu tidak hanya berjoget, melainkan hafal setiap kata di lagu yang Anda nyanyikan.  Mereka luar biasa, dan itu karena Anda.

Sekarang, mendengarkan lagu-lagu Anda tak akan terasa sama lagi.  Kalau dulu mendengarkan lagu-lagu Anda adalah keceriaan, atau tangisan suara hati, kini mendengarkan lagu-lagu Anda akan terasa seperti merangkai mozaik kenangan.  Kenangan yang Anda tinggalkan di setiap lirik lagu Anda, kenangan akan seseorang yang sederhana yang mencintai pekerjaannya, dan membaktikan hidupnya untuk kemaslahatan banyak orang.  Ya, sekarang mendengarkan lagu Anda adalah sebuah kilas balik mengenang seorang legenda, seorang “Maestro”, seorang musisi hebat yang setia menjadi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, Sang Pencipta yang sangat mencintaimu lebih memahami apa yang terbaik.   CintaNya jauh lebih besar dari cinta para penggemarmu.  Bila kemarin orang menangis karena lirik lagu Anda, sekarang orang menangis karena Anda.   Terima kasih, Mas Didi.  Selamat jalan dan selamat beristirahat dalam kedamaian, The Godfather of Broken Heart.

Ati sing ambyar sak ambyare, 5 Mei 2020

MENDIDIK INDONESIA

Ilustrasi dari siedoo.com

Ketika saya berkesempatan menempuh pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary school) di kota Queanbeyan, NSW.  Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra.  Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu.  Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore.  Siswa di situ selalu mendapat PR setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.

Saya selalu membaca lembar kertas PR yang dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian saya.  PR itu hanya berupa 1 lembar kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran lain.  Matematikanya sangat gampang untuk ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di kelas II dan III di sekolahnya di Bogor.  Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.

Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website bla bla bla dot co dot au.  Jawab semua pertanyaan di dalamnya.  Bila ada yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”.  Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi ada juga yang tidak.  Semula anak saya meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.

Karakter, Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan

Suatu hari ketika menjemput anak saya di sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya.  Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia seperti anak Bapak.  Tapi dalam keyakinan kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis, dan berhitung.  Kalau cuma itu, selama anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal, mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung.  Itulah yang diberikan sekolah.  Tapi ketika membangun karakter, kita harus mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini.  Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami membangun tempat mendidik”.

“Maksudya?”, tanya saya.

“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang berisi tugas untuk membuka sebuah website dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.

“Ya, saya melihat itu”

“Nah, itulah sebenarnya intinya”

“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”

“Negara kami merancang model tugas yang seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak.  Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri.  Dia harus mengerjakan sendiri sebatas yang dia mampu.  Ketika ada hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas.  Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan bagaimana dia menjawab soal itu”

“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa menjawab soal itu?”

“Di situlah peran saya sebagai Guru”

Kejujuran, Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas

Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi.  Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan.  Yang saya lihat betul-betul membuat saya kagum.

Di dalam kelas seorang teman anak saya sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan.  Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu.  Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri dalam menjawab soal itu.  Akhirnya muncul diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.

Setelah diskusi selesai, semua siswa kembali duduk.  Lalu Bu Guru menjelaskan hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi.  Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas partisipasinya dalam diskusi.  Tidak ada satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu berbeda-beda.  Semua dihargai.

Satu hal menarik lagi adalah bahwa model bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan meja/mimbar Guru.  Di sekolah anak saya, susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang.  Susunan yang demikian membuat anak-anak saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun kohesi satu sama lain.  Menurut anak saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.

Pendidikan Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor

Guru lebih banyak berada di belakang kelas, membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu sama lain.  Tapi ini bukan berarti Guru tidak memantau perkembangan murid-muridnya.  Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.

Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”.  Intinya adalah menggambarkan pencapaian si anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas.  Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu.  Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.

Substansi rapornya pun sangat menggugah.  Sekolah selalu menghargai potensi anak, apapun itu.  Saya jadi teringat obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar bersekolah.  Itu sebabnya di lembar rapor tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking.  Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka, ranking, dan sebagainya.

Setiap anak punya potensinya sendiri, dan setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat di kemudian hari.  Anak yang susah memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh?  Mungkin memang potensinya bukan di hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu sosial (humaniora).  Apakah ilmu-ilmu itu tidak bermanfaat?  Anda tahu jawabannya.

Nah, masalahnya sistem pendidikan kita menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara seragam.  Nilai matematika minimal harus 75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik kelas.  Padahal potensinya memang bukan di situ.  Ketika dituntut sedemikian rupa, demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara, yang penting skornya nanti bagus.  Dia akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua misalnya), dan lain-lain.

Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”.  Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua, nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan seterusnya.  Lagi-lagi, ini membuat sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.

Pada akhirnya kita melihat sekolah justru menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik.  Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk lain dari mencuri.  Kebiasaan mencuri yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid.  Maka jangan heran ketika si murid ini suatu hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan pembunuh.  Itu karena sejak dia sekolah, dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri, dan tidak mau mengakui kekurangannya.  Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan “mentereng” di luar.

Pendidikan Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek

Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20% dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945.  Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang.  Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih di situ-situ saja”.

Alokasi APBN yang besar dan berasal dari uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu pengetahuan.  Karakter yang berisi kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan mencintai bangsanya.  Pendidikan karakter jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif.   Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus dimulai sejak dini.

Kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme.  Membuat model pendidikan yang seperti itu jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin maju.  Jadi anggaran pendidikan tidak habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa cetak buku atau modul baru secara nasional.  Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.

Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga pendidik.  Jadi penambahan kesejahteraan materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.  Bukan sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli muridnya bisa atau ngga, yang penting jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.

Anggaran pendidikan yang besar juga harus menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau terluar di negeri ini.  Pendidikan harus murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada.  Infrastruktur harus tersedia secara memadai, jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada hujan atau angin besar.  Infrastruktur itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah, atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.

Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita.  Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi hancur oleh dirinya sendiri.

Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional, Indonesia!

Bogor, 2 Mei 2020