Kanal Youtube pertama Dimitri bersama rekannya Rama mereview mobil Suzuki Jimny. Masih belajar membuat konten Youtube, jadi mohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada. Kami sangat menghargai setiap “Like”, “Subscribe”, “Share” serta komentar-komentar demi perbaikan kanal ini di kemudian hari. Selamat menikmati, terima kasih.
First Youtube channel from Dimitri and his mate Rama, reviewing Suzuki Jimny car. Still learning to make a Youtube content, so apology for flaws you might find. Every “Like”, “Subscribe”, “Share” and comment for this channel improvement in the future is highly appreciated. Enjoy the review and thank you.
Sugeng sonten Mas Didi Kempot yang sangat saya
hormati dan kagumi,
Mau memberitahu sampeyan aja
bahwa pagi ini saya syok banget membaca berita tentang kepergianmu. Baru kemarin saya menyaksikan video klip Anda
“Ojo Mudik” yang berisi himbauanmu untuk tidak mudik di tengah pandemi Covid-19
ini. Belum lama juga saya menambahkan
beberapa lagumu di playlist Youtube
Music saya. Lalu juga belum hilang dari
ingatan saya menonton konser amal Anda di Kompas TV yang menghasilkan 7,5
miliar rupiah hanya dalam 3 jam untuk disumbangkan bagi penanggulangan wabah
saat ini.
Sejauh ini Mas Didi, tulisan ini adalah tulisan pertama yang saya buat
dengan mata berkaca-kaca, bahkan saya sudah beberapa kali menyeka air mata
saya. Ngga tau kenapa, tapi yang jelas Anda adalah selebritis Indonesia
pertama yang saya kagumi. Memang saya
sudah kenal lagu-lagu lama Anda seperti “Stasiun Balapan” atau “Sewu Kuto”
sejak dulu, bahkan itu lagu-lagu favorit saya kalau berkaraoke bersama
keluarga. Tapi sejak anak laki-laki saya
mengenalkan beberapa lagu Anda lagi yang dia suka seperti “Kalung Emas”, “Layang
Kangen”, “Banyu Langit”, “Cidro” dan tentu saja “Pamer Bojo” yang selalu bikin
heboh itu, saya menjadi lebih intens mengikuti karya-karya Anda.
Lalu saya menjadi salah satu subscriberchannel Youtube Anda, dan lagu serta
suara Anda seolah bagian dari hidup saya sehari-hari sekarang. Perjalanan saya di mobil ke manapun selalu
diisi suara Anda. Bekerja di kantor juga
diiringi suara Anda. Menunggu istri
belanja juga diisi suara Anda di earphone
saya. Di rumah, buka Youtube ya cuma
untuk mencari lagu Anda. Anda memberi
keceriaan, hingga pagi sebelum saya tulis surat ini, di mana untuk pertama
kalinya berita tentang Anda menghadirkan kesedihan yang mendalam.
Saya belum pernah bertemu Anda.
Juga belum sempat nonton konser Anda.
Saya baru meniatkan untuk menonton konser Anda secara live, berdua dengan anak laki-laki saya,
tapi Anda telah lebih dulu berpulang. Meski demikian, bagi saya Anda sangat
istimewa, seperti halnya bagi “Sobat Ambyar” yang lain. Semakin mengikuti karya-karya Anda, semakin
banyak alasan saya untuk memandang Anda sebagai sebuah sosok yang berbeda. Anda bukan sekedar selebritis, bukan sekedar
artis atau penyanyi biasa. Anda adalah
idola, inspirasi, dan pendobrak. Tak
heran meski usia Anda berjarak cukup jauh dengan sebagian besar generasi
milenial penggemar Anda, Anda bisa begitu dekat dengan mereka.
Saya pernah menonton wawancara Anda yang dipandu oleh Gofar Hilman,
penyiar radio Hard Rock FM
Jakarta. Itu saat Anda banyak bercerita
tentang masa lalu Anda, bagaimana Anda menciptakan lagu-lagu Anda, dan
bagaimana sikap Anda ketika banyak penyanyi lain mengambil keuntungan dari
lagu-lagu yang Anda ciptakan. Semua
cerita Anda itu adalah “Wow” buat
saya. Banyak lagi cerita-cerita yang
Anda sampaikan di berbagai kesempatan, kepada berbagai presenter, yang semuanya menggambarkan satu hal di mata saya: Anda
adalah orang yang apa adanya.
Kostum Anda selalu sederhana. Kaos,
kemeja atau batik, itu yang paling sering saya lihat. Paling mewah ya busana Jawa lengkap dengan blangkon-nya. Gaya Anda tidak dibuat-buat, entah itu saat manggung atau saat interview. Anda berbicara
sebagaimana Anda berbicara sehari-hari.
Logat Jawa Anda sangat kentara, dan itu tidak berusaha Anda tutupi. Boso
londone: “genuine”. Seandainya waktu bisa diputar dan kita bisa
melihat Anda di masa lalu, saya yakin tidak akan melihat banyak perbedaan
dengan apa yang saya lihat dari Anda saat ini.
Seorang Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot yang orang-orang sekitar
Anda kenal sejak Anda kecil adalah orang yang sama dengan yang dikenal generasi
milenial hari ini.
Anda membuktikan bahwa menjadi “apa adanya” tidak akan membuat kita
hina. “Apa adanya” Anda justru menjadi
pembeda Anda dari seleb-seleb lain yang cuma sibuk bikin sensasi, pamer ini
itu, bikin berita plesir kesana
kemari, tapi miskin prestasi. Seleb-seleb yang—buat saya—cuma bikin sakit
mata kalau buka situs berita. Anda hanya
tahu bagaimana berkarya, bikin lagu-lagu yang bertema sederhana dengan bahasa
yang sangat gampang dicerna, yang menggambarkan hal-hal realistis dalam
hubungan antar umat manusia. “Apa adanya”
Anda membuat musik Anda tidak lekang oleh modernisasi jaman.
Anda tidak sibuk mencitrakan diri Anda, meski Anda tahu penggemar Anda
jutaan, tidak hanya di dalam tapi juga luar negeri. Anda mungkin tidak kepikiran bikin channel
Youtube kalau tidak ada yang memberi masukan dan membuatkannya untuk Anda (itu feeling saya lho Mas). Anda tidak pernah
memposisikan diri Anda di atas yang lain.
Anda penuh dengan empati dan apresiasi terhadap orang lain. Gaya Anda di panggung juga “begitu-begitu
saja”. Tapi itulah hebatnya Anda, Mas
Didi. Anda memang tidak perlu membuat yang
“aneh-aneh” di panggung atau di luar panggung, karena Anda sudah ditakdirkan
membawa perbedaan dalam diri Anda sendiri.
Ketika karya Anda dijadikan bahan mencari keuntungan oleh orang lain,
Anda hanya senyum-senyum saja. Tapi Anda
terus berkarya dan berkarya. Anda
meyakini bahwa keuntungan yang didapat orang lain dengan karya Anda adalah
amalan untuk Anda. Suatu sifat yang
hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, orang-orang besar. Sebuah karakter yang orang-orang dengan label
atau atribut “pejabat”, “orang penting”, “wakil rakyat” bla bla bla sekalipun
belum tentu memilikinya. Karakter yang menunjukkan
bahwa Anda adalah seorang pemenang.
Anda dibesarkan dengan karya Anda.
Anda dididik oleh kehidupan Anda sendiri, yang keras dan penuh pahit
getir. Mengamen di jalanan, di bis kota,
mengadu nasib dan ngekos di kamar
sempit di Jakarta, ditolak label rekaman, dan berbagai cerita pahit
lainnya. Itu yang membesarkan Anda, dan
menjadikan Anda seperti sekarang. Didi
Kempot yang sederhana, apa adanya, penuh empati, merakyat dan bisa dekat dengan
siapa saja meskipun ngetop-nya sudah ngga ketulungan.
Dari Anda, saya semakin yakin bahwa menjadi diri sendiri adalah yang
utama bagi setiap orang, karena kita tidak akan pernah menjadi sama dengan
orang lain, sekeras apapun kita mencobanya.
Dan kita memang tidak perlu mencoba menjadi seperti orang lain. Tuhan menciptakan diri kita berbeda dengan
yang lain, dan di dalamnya Tuhan menanam benih-benih talenta, berkat, dan
kelebihan sejak kita dilahirkan. Tidak
perlu mengeluhkan apa yang tidak kita punya, karena pada dasarnya orang lainpun
banyak yang tidak memiliki apa yang kita miliki. Menjadi diri sendiri adalah tentang bagaimana
kita menghargai dan mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan untuk kita, dalam
wujud lahir dan bathin kita.
Anda memberi teladan bagaimana mencintai apa yang kita kerjakan. Anda memberi jiwa di setiap lagu Anda, bukan
sekedar rangkaian nada dengan lirik yang hampa.
Anda mengangkat hal-hal yang sehari-hari ada dalam kehidupan kita, sehingga
tidak sulit bagi siapapun untuk mencernanya.
Lirik, nada, dan musik-musik Anda simpel, tidak rumit, dan sekalipun sebagian
besar dalam Bahasa Jawa, semua orang bisa memahaminya. Itu karena musik adalah sesuatu yang Anda tekuni
dengan cinta, passion, sehingga
siapapun yang mendengar lagu Anda serasa sedang mendengarkan sebuah seruan hati,
bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tidak aneh bila anak-anak muda sekalipun
bisa menangis di konser Anda, dan tidak aneh pula bila karya-karya Anda bisa
diterima berbagai kalangan, mulai kaum elite sampai masyarakat kebanyakan, menerjang
batas usia, suku, etnis, agama, bahkan batas negara.
Anda memberi contoh bagaimana membangun hidup yang bermanfaat bagi banyak
orang. Musik Anda sendiri sudah menjadi
sumber hiburan jutaan manusia. Ditambah
lagi empati Anda yang luar biasa bagi mereka yang berkekurangan. Anda mengadakan konser amal dari rumah untuk
mereka yang terdampak wabah belakangan ini, dengan “menawarkan” suara dan
lagu-lagu Anda. Anda bahkan “membiarkan”
orang lain memanfaatkan lagu Anda untuk keuntungannya sendiri, tanpa minta ijin
atau memberi tahu Anda. Lagu-lagu Anda
adalah representasi suara banyak orang, corong untuk berbagai jeritan.
Dari Anda pula saya memiliki optimisme akan generasi muda kita, yang
dengan bangga melabelkan diri mereka sebagai “Sadbois” dan “Sadgirls” dalam
komunitas besar “Sobat Ambyar”. Mereka
adalah perlambang bahwa musik kita, sekalipun dengan genre tradisional kedaerahan, masih mendapat tempat istimewa di
hati kalangan muda. Saya selalu takjub
melihat setiap video konser Anda, di mana anak-anak muda itu tidak hanya
berjoget, melainkan hafal setiap kata di lagu yang Anda nyanyikan. Mereka luar biasa, dan itu karena Anda.
Sekarang, mendengarkan lagu-lagu Anda tak akan terasa sama lagi. Kalau dulu mendengarkan lagu-lagu Anda adalah
keceriaan, atau tangisan suara hati, kini mendengarkan lagu-lagu Anda akan
terasa seperti merangkai mozaik kenangan.
Kenangan yang Anda tinggalkan di setiap lirik lagu Anda, kenangan akan
seseorang yang sederhana yang mencintai pekerjaannya, dan membaktikan hidupnya
untuk kemaslahatan banyak orang. Ya,
sekarang mendengarkan lagu Anda adalah sebuah kilas balik mengenang seorang
legenda, seorang “Maestro”, seorang musisi hebat yang setia menjadi dirinya
sendiri.
Pada akhirnya, Sang Pencipta yang sangat mencintaimu lebih memahami apa
yang terbaik. CintaNya jauh lebih besar dari cinta para
penggemarmu. Bila kemarin orang menangis
karena lirik lagu Anda, sekarang orang menangis karena Anda. Terima kasih, Mas Didi. Selamat jalan dan selamat beristirahat dalam
kedamaian, The Godfather of Broken Heart.
Ketika saya berkesempatan menempuh
pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula
bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary
school) di kota Queanbeyan, NSW.
Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya
sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra. Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu. Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3
sore. Siswa di situ selalu mendapat PR
setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.
Saya selalu membaca lembar kertas PR yang
dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian
saya. PR itu hanya berupa 1 lembar
kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa
selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran
lain. Matematikanya sangat gampang untuk
ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di
kelas II dan III di sekolahnya di Bogor.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.
Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang
isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website
bla bla bla dot co dot au. Jawab semua
pertanyaan di dalamnya. Bila ada yang
tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”. Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan
soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi
ada juga yang tidak. Semula anak saya
meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi
saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak
bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.
Karakter,
Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan
Suatu hari ketika menjemput anak saya di
sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan
saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya. Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa
soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia
seperti anak Bapak. Tapi dalam keyakinan
kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis,
dan berhitung. Kalau cuma itu, selama
anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal,
mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung. Itulah yang diberikan sekolah. Tapi ketika membangun karakter, kita harus
mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini. Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami
membangun tempat mendidik”.
“Maksudya?”, tanya saya.
“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang
berisi tugas untuk membuka sebuah website
dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.
“Ya, saya melihat itu”
“Nah, itulah sebenarnya intinya”
“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”
“Negara kami merancang model tugas yang
seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak. Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya
sendiri. Dia harus mengerjakan sendiri
sebatas yang dia mampu. Ketika ada
hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk
mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas. Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab
soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan
bagaimana dia menjawab soal itu”
“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa
menjawab soal itu?”
“Di situlah peran saya sebagai Guru”
Kejujuran,
Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas
Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya
luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi. Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela
yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan. Yang saya lihat betul-betul membuat saya
kagum.
Di dalam kelas seorang teman anak saya
sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan.
Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan
kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu. Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri
dalam menjawab soal itu. Akhirnya muncul
diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya
duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.
Setelah diskusi selesai, semua siswa
kembali duduk. Lalu Bu Guru menjelaskan
hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi. Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran
siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan
pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas
partisipasinya dalam diskusi. Tidak ada
satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model
pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu
berbeda-beda. Semua dihargai.
Satu hal menarik lagi adalah bahwa model
bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah
Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan
meja/mimbar Guru. Di sekolah anak saya,
susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang. Susunan yang demikian membuat anak-anak
saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun
kohesi satu sama lain. Menurut anak
saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.
Pendidikan
Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor
Guru lebih banyak berada di belakang kelas,
membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah
sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu
sama lain. Tapi ini bukan berarti Guru
tidak memantau perkembangan murid-muridnya.
Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.
Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”. Intinya adalah menggambarkan pencapaian si
anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa
kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran
kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas. Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman
yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu. Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi
rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.
Substansi rapornya pun sangat
menggugah. Sekolah selalu menghargai
potensi anak, apapun itu. Saya jadi teringat
obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar
bersekolah. Itu sebabnya di lembar rapor
tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking.
Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka,
ranking, dan sebagainya.
Setiap anak punya potensinya sendiri, dan
setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat
di kemudian hari. Anak yang susah
memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh? Mungkin memang potensinya bukan di
hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu
sosial (humaniora). Apakah ilmu-ilmu itu
tidak bermanfaat? Anda tahu jawabannya.
Nah, masalahnya sistem pendidikan kita
menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara
seragam. Nilai matematika minimal harus
75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik
kelas. Padahal potensinya memang bukan di
situ. Ketika dituntut sedemikian rupa,
demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara,
yang penting skornya nanti bagus. Dia
akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua
misalnya), dan lain-lain.
Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah
oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah
saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”. Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua,
nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan
seterusnya. Lagi-lagi, ini membuat
sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti
memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.
Pada akhirnya kita melihat sekolah justru
menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik. Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk
lain dari mencuri. Kebiasaan mencuri
yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit
kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid. Maka jangan heran ketika si murid ini suatu
hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan
pembunuh. Itu karena sejak dia sekolah,
dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri,
dan tidak mau mengakui kekurangannya.
Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan
“mentereng” di luar.
Pendidikan
Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek
Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20%
dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945. Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola
dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang. Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih
di situ-situ saja”.
Alokasi APBN yang besar dan berasal dari
uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang
mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu
pengetahuan. Karakter yang berisi
kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan
mencintai bangsanya. Pendidikan karakter
jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif. Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus
dimulai sejak dini.
Kurikulum harus disusun sedemikian rupa
agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme. Membuat model pendidikan yang seperti itu
jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin
maju. Jadi anggaran pendidikan tidak
habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa
cetak buku atau modul baru secara nasional.
Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru
lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.
Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar
kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga
pendidik. Jadi penambahan kesejahteraan
materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka
sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea
ke-4 Pembukaan UUD 1945. Bukan
sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli
muridnya bisa atau ngga, yang penting
jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.
Anggaran pendidikan yang besar juga harus
menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau
terluar di negeri ini. Pendidikan harus
murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama
untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada. Infrastruktur harus tersedia secara memadai,
jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada
hujan atau angin besar. Infrastruktur
itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak
perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah,
atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.
Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di
masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita. Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan
ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah
nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi
hancur oleh dirinya sendiri.
Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional,
Indonesia!