KETIKA “TERBANG” JADI RAHASIA MILITER…

Image
Di depan foto Wilbur Wright, Wright Brothers Aviation Center, Dayton Ohio.

“Terbang” atau “menaklukkan angkasa” yang dicapai oleh Wilbur dan Orville Wright pada tanggal 17 Desember 1903 di Kitty Hawk, North Carolina merupakan salah satu catatan prestasi terbesar bagi kemanusiaan.  Tulisan Marvin W. McFarland dalam makalahnya berjudul “When The Airplane Was A Military Secret—A Study of National Attitudes Before 1914”, yang dibacakan sebelum Konferensi Sejarah Tahunan di State University of Iowa tanggal 10 April 1954, mungkin adalah salah satu catatan yang dapat membuktikan pada kita bahwa sebuah mahakarya belum tentu diterima dengan mudah sebelum jaman menunjukkan betapa karya itu penting dan berpengaruh.

Marvin W. McFarland adalah Kepala Seksi Aeronautika, Divisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Perpustakaan Kongres AS.  Ia juga bergabung bersama US Army Air Force di Eropa dalam Perang Dunia II.

Hampir 110 tahun yang lalu, pada suatu pagi tanggal 17 Desember 1903, antara pukul 10.30 dan tengah hari, dua bersaudara yang belum dikenal dari Dayton, Ohio, Wilbur dan Orville Wright, membukukan serangkaian penerbangan pendek dengan sebuah pesawat terbang bermesin karya dan rancangan mereka sendiri.   Itu terjadi di sebuah pantai di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.

Ini adalah sebuah peristiwa kunci dan monumental yang akan dikenang oleh manusia sama panjangnya seperti antara lain: bulan Maret tahun 44 S.M dan pembunuhan Caesar, atau seperti Hari Natal tahun 800 Masehi dan pemahkotaan Charlemagne, atau tahun 1066 dan Invasi Norman ke tanah Britania, atau tahun 1492 dan penemuan Colombus atas “Dunia Baru”, atau bahkan seperti 4 Juli 1776 dan Independence Day.  Dilihat dari kepentingannya, penemuan ini—penaklukan angkasa, yang melepaskan keterikatan manusia terhadap bumi dan tanah sejak pertama diciptakan—sekelas dengan penemuan kembang api, penemuan roda, pengembangan percetakan media, pengkabelan listrik dan bom atom.

Setelah penerbangan pertamanya, ketika mengemasi barang dan pulang dari Kitty Hawk pada Desember 1903, Wright bersaudara tidak mempunyai bayangan akan apa yang telah mereka lakukan.  Mereka hanya tahu bahwa mesin ciptaan mereka “memiliki tenaga yang cukup untuk terbang, memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan beban dan goncangan saat mendarat dan kemampuan pengendalian yang cukup untuk menciptakan penerbangan yang aman dalam terjangan angin kencang, seperti halnya saat angin tenang”, tetapi mereka tak tahu bahwa mereka telah mencapai hal yang lebih, dalam standar ideal, dari sekedar pencapaian yang masih mentah dan kasar dengan sebuah perlengkapan yang paling bagus hanya akan disebut sebagai “prototype pesawat terbang”.   Dibandingkan dengan apa yang dicapai sampai saat itu, ini adalah sebuah revolusi yang menentukan, meskipun bila dihadapkan pada potensi penerbangan yang mereka lihat, itu bukan apa-apa—hanya sebuah permulaan, namun permulaan ini yang akan membuat mereka tidak pernah mati dan melahirkan sebuah jaman baru.

Pada Januari 1905, sekitar 13 bulan setelah Kitty Hawk, mereka melakukan apa yang sedikit banyak telah mereka rencanakan: menawarkan pesawat mereka ke Pemerintah AS untuk digunakan oleh US Army sebagai pemandu dan pembawa pesan dalam perang.   Mereka mengajukan penawaran baik dalam penyediaan mesin dengan spesifikasi yang ditentukan, atau pemberian informasi praktis dan ilmiah, bersama dengan ijin menggunakan hak paten mereka, yang dengan demikian menempatkan Pemerintah AS untuk menggunakan “hak monopoli”.   Pesawat terbang akan menjadi rahasia eksklusif militer Amerika Serikat, baik mesin maupun teknisnya.

Terhadap penawaran Wright bersaudara ini, jawaban Departemen Perang AS adalah sebuah penolakan, bahkan lebih tepat penghinaan. Secara singkat dikatakan bahwa mereka menolak untuk memberi bantuan finansial bagi “pengembangan eksperimental” perlengkapan terbang dan hanya akan mempertimbangkan peralatan yang sudah digunakan dalam operasi praktis.   Wright bersaudara hampir tidak mempercayai hal ini dan meragukan bahwa surat mereka telah dibaca.  Setelah ditolak di negeri sendiri, mereka beralih ke Eropa, namun bukan tanpa pemecahan masalah bila negosiasi Eropa ini tidak boleh mencabut hak Amerika terhadap pesawat ini.   Dengan kata lain, mereka tidak akan membuat kontrak luar negeri yang memberi hak khusus pada pesawat itu, perkecualian hanya ada pada Amerika.

Negosiasi di tanah Britania yang terhambat di tahun 1905 dan lebih banyak dilakukan di 1906, sama tidak produktifnya dengan upaya meyakinkan pemerintah AS pada periode yang sama.  Sementara itu, pada tahun 1905, Wright bersudara tetap terbang dan terbang, meningkatkan teknik mereka dan secara konstan memecahkan rekor mereka sendiri.

Motivasi sesungguhnya selalu sulit diungkap, lebih sulit lagi untuk dihalangi. Selama berabad-abad manusia memimpikan dapat terbang.   Sekarang mereka bisa.  Namun adakah “ucapan selamat” atas fakta ini?   Adakah penghargaan akan arti pentingnya?   Adakah kesadaran bahwa bumi telah “tenggelam”, bahwa kesetaraan kekuatan akan berubah, bahwa sebuah kekuatan dinamis akan membalikkan arah sejarah? Tidak sama sekali.   Pemerintah, negarawan, yang seharusnya sudah menyadari bahwa potensi ini tidak dapat diabaikan sama sekali dari perhitungan mereka, menganggap penemuan ini seolah-olah hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan.  Pesawat terbang ini, alih-alih disambut sebagai sebuah kemenangan manusia atas dunia secara fisik, sebuah pencapaian untuk dipelajari dan dieksploitasi, justru “dipaksakan” untuk tetap menjadi rahasia selama lima tahun.  Wright bersaudara justru harus membayar dengan terhambatnya pengembangan pesawat mereka akibat “kerahasiaan” ini.   Mereka sudah siap menjual pesawat mereka kapan saja setelah 1904, namun dalam setiap negosiasi, yang ada hanya calon pembeli, yang sekalipun berminat, terhambat pada kebijaksanaan “rahasia” ini, pada hak eksklusif dan monopoli Amerika dan hal ini yang sama sekali tidak mereka berdua harapkan karena mereka merasa bahwa pesawat ini, yang dikembangkan Amerika, seyogyanya dimiliki oleh bangsa Amerika.  Kalaupun ada pihak lain, itu hanya Pemerintah AS, namun Amerika justru bersikap lebih tak acuh dibandingkan dengan yang lain.  “Sang burung” harus kembali beristirahat di “sarang”.   Namun akhirnya, Pemerintah AS menjadi pemerintahan pertama yang memiliki pesawat terbang, dan langsung membelinya dari Wright bersaudara.

Sikap melunak pemerintah AS—dalam hal ini US War Department—yang terlambat ini mengakhiri masa negosiasi yang cukup panjang.   Wrights akhirnya berkonsentrasi pada perakitan sebuah pesawat baru yang memenuhi spesifikasi teknis US War Department dan penyerahan resminya direncanakan pada musim panas 1908.   Berita ini segera mengubah peta situasi di Eropa, khususnya Perancis: sebuah kelompok bisnis yang dipimpin oleh pengusaha Lazare Weiller menyatakan ingin membeli hak paten Wrights dan menawarkan pembentukan sebuah French Wright Company.  Wrights setuju dan sebagai bagian dari kontrak Wrights akan mengadakan demonstrasi udara di Perancis.   Artinya, momen itu akan terjadi hampir bersamaan dengan saat penyerahan pesawat pada US Army di Amerika.

Sebuah peristiwa dramatis dalam sejarah penerbangan.  Orville Wright terbang di Fort Myer, Virginia sementara Wilbur pergi ke Perancis.  Dengan terlaksananya dua demonstrasi penerbangan pada Agustus 1908 ini, semua keraguan pada kemampuan Wright dalam “menguasai udara” lenyap.  Bangsa Perancis—yang sebelumnya merasa mampu membuat yang lebih baik dari itu—menunjukkan sikap yang berbeda 180º dengan kejadian ini dan Wilbur adalah pahlawannya.  Segala kehormatan yang diberikan padanya baru bisa disamai lagi oleh Charles Lindbergh yang terbang melintasi Atlantik sampai ke Paris lebih dari 18 tahun kemudian.  Raja Edward VII dari Inggris—yang Menhannya, Richard Burdon Haldane tidak tertarik pada pesawat ini—menunjukkan ketertarikannya dengan datang ke Pau dan meminta Wilbur menjelaskan mekanisme kerja mesin terbang ini.   Raja Alphonso dari Spanyol bahkan harus mengingkari janji tidak terbang pada permaisurinya, karena keinginan ikut terbangnya yang begitu tinggi.   Tahun berikutnya, Wilbur terbang di Roma dan Orville di Berlin.   Di Berlin, seluruh kerabat kerajaan menyaksikan, bahkan Der Kaiser.   Setelah terbang, Putra Mahkota menyematkan pin dari berlian—ruby yang berbentuk huruf “W” pada Orville.

Sederetan sukses itu tetap belum meyakinkan para pejabat militer berpengaruh di Eropa.   Jenderal Eberstadt misalnya, yang turut menyaksikan demonstrasi Orville di Berlin meninggalkan acara sebelum usai.   Nyatalah bahwa pembela perjuangan mereka tidak akan berasal dari para birokrat atau pejabat pemerintahan atau dari gedung parlemen, bahkan dari para peneliti profesional sekalipun.   Mereka justru didukung oleh orang-orang yang punya banyak ruang dalam pikirannya bagi imajinasi konstruktif, spekulasi, kreatifitas dan ekspresi pendapat dalam lingkup kata yang amat luas.   Itu adalah para penulis: novelis seperti H.G.Wells, wartawan seperti Alfred Hamsworth, Lord Northcliffe, atau pecinta olahraga seperti Frank P. Lahm, seorang anggota Aero Club of France.  Juga para anggota Aero Club of America yang baru dibentuk yang pada 1906, yang sebelum penerbangan spektakuler di Fort Myer, Le Mans, Pau dan Berlin telah meyakini bahwa angkasa telah ditaklukkan dan orang harus melihat dampak penaklukan ini.

Ketika Santos Dumont pada musim gugur 1906 menerbangkan “pesawat aneh”-nya, 14-bis di Paris—yang menjadikannya orang Eropa pertama yang terbang dengan pesawat bermesin, Northcliffe menyatakan “Beritanya adalah bahwa bukan manusia dapat terbang, melainkan bahwa Inggris tidak lagi sebuah pulau (yang terpisah dari Eropa)!”

Wells melalui novel fiksi ilmiahnya, The War in the Air, yang diterbitkan pada 1908 menyatakan ketidakraguannya pada hal ini.  Northcliffe bahkan berani menawarkan seribu pound untuk penerbangan melintasi English Channel dan 10 ribu pound untuk penerbangan pertama dari London ke Manchester.   Maksud di balik penawaran ini adalah membangkitkan pemahaman publik akan pengaruh pesawat terbang dan perang yang akan terjadi dengan Jerman.

Antara penerbangan pertama tahun 1903 dan pecahnya PD I tahun 1914, interval 11 tahun, ada masa persiapan menjelang perang.   Namun, persiapan itu tidak dilakukan dan meskipun sebagian besar peserta perang telah berbuat sesuatu dengan pesawat terbang sebelum perang, tak satu negarapun yang terjun ke dalam perang ini siap di udara….

(Disarikan dari “When The Airplane Was A Military Secret” karya Marvin W. McFarland yang dimuat dalam buku “The Impact Of Air Power, National Security and World Politics” hal. 20-26 karya Eugenne M. Emme.   Diterbitkan oleh D.Van Nostrand Company, Inc., 1959)

“ICARUS SYNDROME” : KEJATUHAN KARENA PENGABAIAN TATA NILAI

Image

Icarus, dalam mitologi Yunani kuno dikenal sebagai putra seorang pengrajin dari Athena bernama Daedalus.  Daedalus, dalam rasa sayangnya kepada sang anak, berkenan membuatkannya sayap dari bulu-bulu burung yang direkatkan dengan lilin (wax).   Mereka adalah orang-orang yang berkeinginan untuk terbang, dan Icarus, sangat ingin menjangkau Kreta (sebuah pulau indah di Yunani) dengan sayap buatan ayahnya itu.  Mitologi ini juga bercerita bahwa sang ayah telah memperingatkan anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari.  Sayangnya, Icarus mengabaikan peringatan sang ayah, dan tetap terbang mendekati matahari.  Perekat lilin itupun meleleh karena panas, dan bulu-bulu pada sayap Icarus rontok berjatuhan.  Icarus terhempas jatuh dan tenggelam di lautan.

Fenomena dalam mitologi Icarus adalah rangkaian cerita yang sarat nilai-nilai moral.  Dalam “duet”-nya dengan sang ayah (Daedalus), mereka adalah simbolisasi komunitas yang secara batin sinergis satu sama lain, punya kohesi yang kuat, namun miskin pengetahuan.  Ini dilambangkan dengan kesalahan mereka mengidentifikasi sebuah masalah, dalam hal ini adalah “bagaimana kita bisa terbang?”.  Kesalahan identifikasi itu menghasilkan kesimpulan yang salah, yang berdampak pada pengambilan tindakan yang salah pula: membuat sayap.   Peringatan Daedalus pada anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari adalah representasi sebuah prevensi berupa nasehat, masukan, saran atau apapun namanya yang pada gilirannya tidak digubris oleh Icarus.

Keinginan Icarus untuk mendekati matahari adalah simbolisasi ambisi, yang tidak didukung dengan pengetahuan serta nalar yang memadai (dalam hal ini pengetahuan untuk memahami karakter lilin yang akan meleleh bila terpapar panas).  Kejatuhan Icarus (secara harfiah), adalah perlambang sebuah akibat atau hasil (outcome) dari serangkaian proses yang sejak awal telah dibuka dengan “kesalahan”.

Fenomena Icarus Dalam Perspektif Realis

Bagi sebagian orang, mitos tetaplah mitos.  Di sekeliling kitapun banyak mitos-mitos dalam berbagai legenda.  Namun, patut untuk dipahami bahwa realisme cerita tak lebih dari sekedar bingkai, dan lebih baik untuk mencoba melihat nilai-nilai apa yang terpagari oleh bingkai itu.  Demikian pula terhadap mitologi Icarus, yang dalam pandangan saya tak hanya sarat pesan moral, namun juga merupakan fenomena yang justru sedang booming di sekeliling kita akhir-akhir ini.

“Icarus” dapat dipandang sebagai suatu individu, namun lebih tepat bila kita pandang sebagai sebuah entitas.  Kohesi “Icarus-Daedalus” dapat dipandang sebagai kohesi antar individu dalam satu kelompok/komunitas, dapat juga dilihat sebagai mutual interface antar komunitas.  Perspektif itu menjadi tidak penting lagi saat kita melihat sejumlah norma serta tata nilai yang terkandung jauh di dalam entitas-entitas itu:

1. Keinginan/cita-cita, yang adalah sebuah kewajaran bagi siapapun yang hidup.  Itu adalah karunia, karena keinginan akan sesuatu itulah awal dari setiap usaha.

2. Ambisi, yang merupakan keinginan/hasrat yang berkembang dan menjadi obsesi dalam hidup setiap mahluk, yang bila tak terkendali justru merupakan awal dari kejatuhan.

3. Usaha, yang merupakan norma wajib bagi siapapun yang berharap keinginan/ambisinya tercapai.

4. Pengetahuan/kecerdasan, yang selayaknya menjadi penopang bagi siapapun yang berusaha menggapai keinginannya.

5. Nasehat, yang berisi serangkaian pesan baik bagi kepentingan pemenuhan keinginan, penunjang perjuangan, serta pelindung dari kejatuhan yang tidak diharapkan.

Semua dalam tata nilai itu adalah norma yang melekat dalam kehidupan kita, nilai-nilai yang sangat manusiawi, dan siapapun berhak serta bisa memilikinya.  Pada intinya, kita semua hidup dalam semua tatanan itu.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana nilai-nilai itu “di-struktur-kan” dalam hidup setiap individu, dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas, serta bagaimana nilai-nilai itu dipadupadankan satu sama lain.

Keinginan, ambisi, usaha, pengetahuan, dan nasehat seperti apapun baiknya tak akan berguna bagi siapapun bila mereka berdiri sendiri-sendiri, dan tidak terbingkai serta terintegrasi secara sinergis. Keinginan akan tetap menjadi keinginan bila anda tak berusaha.  Usaha apapun akan sia-sia bila anda tak punya pengetahuan yang cukup.  Pengetahuan yang diagung-agungkan secara berlebihan justru akan membuat kita abai terhadap nasehat, dan seterusnya.  Di sinilah setiap manusia harus mengingat bahwa alam semesta sendiri sejatinya adalah sebuah sinergi, yang memadukan berbagai unsur secara proporsional, dan bergerak dengan derap yang sama.  Adalah naif bagi siapapun yang mengatakan bahwa teorema alam semesta berbeda dengan mekanisme hidup individu. Bukankah kita adalah bagian kecil dari semesta raya ini?

Tentu saja, siapapun berharap Icarus hanya hadir dalam mitologi Yunani itu.  Sayangnya, saat ini kita justru hidup berkelilingkan banyak “Icarus”, dan bisa jadi kitalah salah satu “Icarus” itu.  Kita menyaksikan orang-orang yang terkubur oleh ambisinya sendiri, jatuh karena minimnya pengetahuan/kecerdasan, gagal karena tidak berusaha cukup kuat, tujuan-tujuan yang tidak tercapai karena kesalahan identifikasi masalah, dan negara yang terhantam krisis/resesi ekonomi karena penghamburan anggaran yang tidak tepat.  Inilah akibat masif dari sebuah sindrom: “Sindrom Icarus” (Icarus Syndrome)[1], yang dapat kita lihat di berbagai strata komunitas.

Sindrom Icarus Pada Sebuah Negara

Sindrom ini dapat mendera sebuah negara, yang ditandai dengan “ambisi” yang tertuang dalam program-program pembangunan yang besar, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mewujudkannya.  Negara-negara ini membangun infrastruktur, namun tidak membangun pengetahuan bagi warga negaranya berupa “pengetahuan akan dirinya sendiri”.  Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang akan menyadarkan setiap individu tentang jati diri mereka, dan karakter khas bangsa mereka.  Negara-negara ini membungkus “kemakmuran” dalam kemasan pertumbuhan ekonomi makro, deretan gedung pencakar langit di kota-kotanya, jalanan beraspal beserta ribuan mobil yang memenuhinya tiap hari, dan sebagainya.

Negara-negara ini—layaknya Icarus—lupa pada nasehat bijak nenek moyang bahwa tiang-tiang yang menjadi tumpuan keberlangsungan mereka adalah generasi mudanya.  Akibatnya, negara-negara inipun lupa pada inti pembangunan yang paling utama, yakni membangun generasi muda.  Negara-negara ini merasa sudah “membangun pendidikan” dengan cara mendirikan ribuan sekolah, tapi tak acuh pada materi pendidikannya.  Mereka juga lupa bahwa dari dunia pendidikan itulah sebagian besar karakter komunitas itu akan terbentuk: apakah mereka kelak akan menjadi nasionalis, patriotis, sosialis, liberalis, kapitalis, materialis, atau bahkan komunis.

Juga, negara-negara ini merasa telah berhasil membangun ekonominya karena ada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), tapi lupa bahwa pelaku ekonomi terbesar pada dasarnya adalah masyarakat, bukan para pengusaha atau penanam modal.  Pertumbuhan ekonomi tingkat makro yang tak menyentuh sendi-sendi ekonomi masyarakat selaku pelaku ekonomi terbesar hanya akan menyuburkan pengangguran, kriminalitas, dan berbagai ekses sosial lainnya.  Negara-negara ini merasa berhasil membangun sistem politiknya dengan banyaknya partai-partai politik yang berdiri, namun abai membangun budaya politik dalam dunia pendidikannya.  Akibatnya, sistem politik hanya menjadi tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatis, dan wahana untuk memenuhi ambisi pribadi-pribadi tertentu, entah itu kedudukan atau materi.  Sistem politik—yang seharusnya merupakan “etalase” kemajuan peradaban sebuah kelompok masyarakat—justru menjadi ruang yang dipandang dengan skeptis, acuh tak acuh, dan sikap apatisme masyarakatnya.

Negara-negara yang terserang virus Sindrom Icarus akut membanggakan ketertiban nasionalnya dengan banyaknya peraturan dan undang-undang.  Namun karena negara-negara ini tidak cukup paham dan berpengetahuan dalam membangun karakter penegak hukumnya, sederetan buku peraturan perundang-undangan itu justru menjadi “sampah”, dan dimanfaatkan sebagai ajang pemenuhan kepentingan.  Negara-negara ini merasa telah menunaikan kewajibannya setelah membuat peraturan, tapi lupa menumbuhkan kesadaran masyarakatnya bahwa mereka membutuhkan sebuah tatanan yang tertib, solid, dan gagal menjamin bahwa siapapun berkedudukan sama di muka hukum.  Ya, karena negara-negara ini lupa pada sebuah nasehat bijak yang lain bahwa “A disorder country is a country in which there are many laws”.

Sindrom Icarus Pada Institusi/Lembaga

Sebuah institusi, lembaga, organisasi, atau apapun namanya juga sangat rentan terserang virus Sindrom Icarus ini.  Mereka adalah lembaga-lembaga yang menggebu-gebu “membangun” dirinya, namun sekali lagi, tak punya cukup pengetahuan untuk memelihara kesinambungan pencapaian tujuannya.  Mereka bangga pada wujud struktur yang besar, namun abai pada efektifitas fungsi, dan lupa pada efisiensi sumber daya.  Mereka sibuk mengembangkan diri, memekarkan organisasi, dengan dalih pencapaian tujuan.

Lembaga-lembaga ini membanggakan kebesaran mereka dengan infrastruktur kantor yang megah, perangkat sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, serta profil organigram yang menjulang dan lebar.  Mereka bangga karena cabang atau perwakilan mereka ada di mana-mana, dengan segala perangkat pendukungnya.  Mereka lupa bahwa institusi/organisasi adalah bentuk pelembagaan sebuah sistem, dan yang terpenting dari sebuah sistem adalah bagaimana ia mampu merubah suatu masukan (input) menjadi sebuah keluaran (output) yang lebih berdayaguna daripada sebelumnya. Jadi ibarat mesin, yang terpenting bukan dimensi fisik mesinnya, melainkan efektifitas elemen-elemen di dalamnya dalam mengolah masukan-masukan itu.

Virus Icarus pada lembaga-lembaga ini pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih bersifat “cost driver” ketimbang “profit maker”.  Bila mereka lembaga pemerintah yang dibiayai dengan anggaran negara, maka mereka adalah penyedot keuangan negara.  Bila mereka lembaga swasta atau independen, maka mereka berpotensi untuk jatuh prematur karena kebangkrutan.  Sekali lagi, inilah buah ambisi yang tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai, atau, inilah buah dari kegagalan membangun “pengetahuan akan diri sendiri”, yang menghasilkan “konseptor” manajemen pragmatis yang lebih mementingkan pemenuhan ambisinya sendiri ketimbang membangun lembaga dan atau negaranya.

Mencegah Infeksi “Virus Icarus”

Kini saatnya kita melihat koneksitas dari serangkaian nilai-nilai di atas, sebagai upaya awal untuk menghindari infeksi virus Icarus ini.  Sekali lagi, adalah wajar untuk memiliki keinginan, cita-cita, atau ambisi.  Namun tanpa pengetahuan yang cukup, semua itu justru akan membawa siapapun pada kejatuhannya sendiri.  Pengetahuan itu sendiri adalah sebuah entitas maha luas, sangat infinitum, dan tak akan habis hingga akhir hayat.  Itulah sebabnya semesta memberi kita pelajaran tentang “simbiosis”, sebuah sinergi satu sama lain.  Di hadapan pengetahuan, tak ada seorangpun yang lebih pintar dari orang lain, tak seorangpun lebih superior dari sekelilingnya.  Di sinilah semua orang patut untuk mendengar nasehat dari siapapun, selama itu bersifat konstruktif.  Pengabaian terhadap nasehat-nasehat baik sama halnya dengan pengabaian terhadap tata nilai itu sendiri, dan juga perintisan jalan menuju jurang kegagalan.

Usaha yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang baik.  Perencanaan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan identifikasi yang tepat atas sebuah masalah.  Untuk itu semua orang harus belajar, menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, serta mendengarkan masukan-masukan demi pemahaman yang lebih baik atas suatu persoalan.  Pemahaman masalah yang komprehensif itulah yang akan membuat identifikasi masalah kita menjadi tepat (right to the bull’s eye).  Dengan identifikasi masalah yang tepat, siapapun dapat merencanakan usaha atau langkah-langkah secara tepat, dan pada gilirannya menyelesaikan masalah secara mantik, tanpa harus membuat masalah-masalah atau ekses-ekses baru.

Ini sama halnya dengan penanganan sebuah penyakit dalam dunia medis.  Seseorang yang mengalami panas badan tinggi, belum dapat diketahui apakah dia menderita demam biasa, typus, demam berdarah, atau malaria.  Harus ada orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi gejala itu, dalam hal ini dokter.  Seorang dokter yang arif tidak akan mendasarkan diagnosanya semata-mata karena pengalaman (bentuk pengagungan terhadap pengetahuan yang berlebihan).  Akan lebih baik bila ia mencari “nasehat”, dalam hal ini masukan dari laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah si pasien.  Dari hasil laboratorium inilah si dokter akan memiliki pengetahuan komprehensif tentang penyakit pasiennya, dan ia akan mampu mengidentifikasi dalam bentuk diagnosa yang tepat.  Dengan diagnosa yang tepat, ia dapat mengambil langkah yang tepat pula: memberi resep yang sesuai, memutuskan apakah pasien dirawat inap atau tidak, dan sebagainya.

Siapapun wajib membangun dirinya, dan siapapun punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kelompok/komunitasnya, institusinya, dan negaranya.  Ketika hak-hak individu dikekang, dan kewajiban pada individu dibebankan secara tidak proporsional, maka kita telah menepikan pengetahuan serta mengabaikan nasehat.  Di situlah virus Icarus telah menginfeksi kita, dan hanya soal waktu kapan kita jatuh terhempas dan tenggelam.

[1]  Diinspirasi dari Buku “The Icarus Syndrome: A History of American Hubris”, karya Paul Beinart, terbitan Harper 2010.

ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

DI MANAKAH NEGARA?

Image

 

Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF Suzuki 2012 setelah dikalahkan Malaysia 0-2 tentu mengecewakan kita semua. Negeri ini telah terlalu haus untuk merasakan kembali prestasi di cabang sepakbola-cabang olahraga yang diklaim memiliki penggemar terbanyak. Kita maklum, dengan penduduk yang berkisar 270 juta-an jiwa, negara seperti kesulitan mencari 11-20 orang yang punya kualitas bermain bola. Parahnya, itu terjadi setelah konflik internal di tubuh pengelola sepakbola Indonesia yang berlarut-larut. Organisasi resmi bernama PSSI yang telah berdiri puluhan tahun tidak berdaya saat digerogoti oleh internalnya sendiri. Lalu muncul sekelompok orang yang mengaku dirinya “pencinta” sepakbola Indonesia, tapi ujung-ujungnya juga hanya memperkeruh situasi. Hasilnya bisa kita lihat, tak hanya sepi tropi & prestasi di ajang-ajang seperti SEA Games, Asian Games (alih-alih Olimpiade) maupun Piala Asia (alih-alih Piala Dunia), kita bahkan sama sekali “tak masuk hitungan” di regional Asia Tenggara-yang beberapa puluh tahun lalu kita kuasai.

 

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di sebuah media informasi berbasis internet, bahwa seorang mantan juara dunia perahu naga asal Jambi sedang mengalami kesulitan membiayai perawatan anaknya (yang belum genap 2 tahun) yang menderita pengerapuhan kulit. Deretan medali, piagam, sertifikat serta berbagai penghargaan nasional & internasional yang dimilikinya ternyata hanya membawanya pada kehidupan saat ini sebagai seorang buruh cuci. Dengan itu, plus penghasilan suaminya yang hanya sekitar 1 juta rupiah per bulan sebagai seorang cleaning service di DPRD Jambi, tentu sulit untuk membiayai pengobatan anaknya yang memerlukan biaya sekitar 1,5 juta rupiah sebulan di RSCM.

 

Ironis. Ya, saat negara membutuhkan peran, tenaga, pikiran & keterampilan atlet-atet kita untuk mengibarkan Sang Merah Putih serta mengumandangkan Indonesia Raya, negara justru abai & membiarkan para duta ini mendapat malu, & bergumul sendiri dengan kesulitan hidupnya. Negara dengan kekuasaannya yang semestinya bisa berbuat sangat banyak untuk menyelesaikan konflik di sebuah institusi resmi, serta berlimpah anggaran dalam membangun prestasi, justru sibuk berdalih.

 

Kisruh PSSI vs KPSI sebenarnya bisa dituntaskan bila negara sunguh-sungguh & berkomitmen terhadap pembangunan prestasi sepakbola. Kisah yang dialami Leni, sang juara dunia dayung itu, juga tak perlu terjadi seandainya negara sadar bahwa di sisi lain, sekian miliar rupiah justru dinikmati oleh para pengelola olahraga negeri ini melalui berbagai proyek seperti Wisma Atlet atau Hambalang.

 

Olahraga hanyalah salah satu dimensi hidup di negeri ini yang dapat membuat rakyat dapat melupakan berbagai kekacauan serta ketidakbecusan pengelola negara yang berdampak pada berbagai masalah bangsa. Olahraga-lah yang membuat rakyat kecil masih punya kebanggaan ber-Indonesia, masih mencintai Merah Putih, serta tidak malu untuk berkata “Saya orang Indonesia!”.

 

Kita tak perlu naif dengan fakta bahwa seperti apapun kemajuan ekonomi (makro) yang digembar-gemborkan pemerintah itu, masih banyak hal yang dapat menjadi indikator ketertinggalan kita dari berbagai negara yang dulu justru belajar dari kita. Mari kita bicara yang gampang-gampang saja: beranikah kita menyandingkan kelas Ibukota Negara Jakarta dengan ibukota tetangga kita seperti Singapura atau Kuala Lumpur?; beranikah kita membanggakan produk nasional kita seperti Malaysia bangga dengan Proton-nya?; beranikah kita berbicara soal kesejahteraan masyarakat di pulau terluar atau perbatasan saat kita harus membandingkannya dengan apa yang dilakukan Malaysia terhadap perkampungan mereka di perbatasan yang sama?

 

Sebagai anak bangsa yang sangat mencintai negeri ini, saya khawatir bahwa pengelola negara ini sudah terjebak dalam pragmatisme kuantitas. Semua diukur dengan angka, persentase, rupiah/dollar, dsb. Kita terlalu ignorant pada kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang kita sebut positif itu adalah angka dalam persen; tidak lebih. Tapi fakta bahwa kita masih mengimpor bahan pangan, bahkan di beberapa daerah masyarakatnya masih mengalami malnutrisi & kekurangan pangan (saat sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia negara agraris) adalah soal kualitas: kualitas manajemen pangan yang buruk, apakah itu di bidang penelitian, pembudidayaan benih, pengelolaan lahan, distribusi, hingga pengendalian harga. Tak perlu berdalih & menutup mata, karena itu semua ada di negeri ini.

 

Memang, di sisi lain kita juga patut berharap bahwa ada segelintir orang yang ketokohannya dapat mencuatkan harapan kita akan sesuatu yang lebih baik. Namun ini juga bukan pembenaran bahwa negara bisa abai terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa sedikit orang-orang baik ini akan berhadapan dengan tembok & badai “pro status quo” yang telah sangat sistematis & terorganisir, yang dimotori oleh sekelompok orang yang tak rela zona nyamannya di-“utak-atik”.

 

Saya percaya, bahwa pada saat John F. Kennedy mengatakan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS tahun 1961 “Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country“, ia tak pernah sedikitpun bermaksud bahwa negara bisa berbuat atau abai semaunya terhadap warganya…

INTERMEZZO: WHAT UNIQUELY COMES BETWEEN LINCOLN AND KENNEDY

Abraham Lincoln masuk Kongres AS tahun 1846.
John F. Kennedy masuk Kongres AS tahun 1946.

Abraham Lincoln terpilih menjadi Presiden AS tahun 1860.
John F. Kennedy terpilih menjadi Presiden AS tahun 1960.

Keduanya sangat peduli hak-hak sipil.
Kedua istri mereka kehilangan anak saat di Gedung Putih.

Kedua presiden ditembak hari Jumat.
Kedua presiden ditembak di kepala.

Mmmmm… What’s next?

Sekretaris Lincoln bernama Kennedy.
Sekretaris Kennedy bernama Lincoln.

Keduanya dibunuh oleh orang dari daerah selatan.
Keduanya digantikan oleh orang selatan dengan nama Johnson.

Andrew Johnson, pengganti Lincoln, lahir tahun 1808.
Lyndon Johnson, pengganti Kennedy, lahir tahun 1908.

John Wilkes Booth, yang membunuh Lincoln, lahir tahun 1839.
Lee Harvey Oswald, yang membunuh Kennedy, lahir tahun 1939.

Kedua pembunuh terkenal dengan tiga namanya.
Nama keduanya terdiri dari 15 huruf.

Then what???

Lincoln ditembak di teater bernama ‘Ford’.
Kennedy tertembak di mobil ‘Lincoln’ dibuat oleh ‘Ford’.

Lincoln tertembak di teater dan pembunuhnya bersembunyi di gudang.
Kennedy tertembak dari sebuah gudang dan pembunuhnya bersembunyi di teater.

Booth dan Oswald terbunuh sebelum diadili.

And you know what…?

Seminggu sebelum Lincoln tertembak, dia berada di Monroe, Maryland.
Seminggu sebelum Kennedy tertembak, dia bersama Marilyn Monroe.

That’s life anyway….