PREMAN SEKOLAH ATAU SEKOLAH PREMAN?

Soal preman lagi, hehehe… Setelah tanggal 5 Agustus lalu saya menulis sebuah surat terbuka untuk memberi dukungan moril bagi sahabat saya AKBP Hengki Haryadi (dan segenap jajaran Polri c.q. Polda Metro) dalam menumpas preman-preman ibukota, saya jadi bertanya-tanya: mengapa premanisme bisa sebegitu merajalela di negeri ini? Ya, negeri yang katanya sudah merdeka hampir 68 tahun; yang didirikan di atas perjuangan dan pengorbanan mahal para pendirinya? Logikanya, pendiri negara manapun adalah orang-orang hebat dengan ketulusan hati serta komitmen yang teguh untuk dapat melihat negara yang dirintisnya berkembang maju menjadi sebuah negara yang besar. Jadi, pendiri negara tidak mungkin para preman, dan tak satupun pendiri negara rela memberikan ruang untuk premanisme di negaranya, karena mereka tak ingin negara yang dibangunnya dengan susah payah hancur akibat premanisme.

Thus, mengapa sekarang bangsa ini seolah tak asing dengan premanisme? Premanisme sudah seperti “bagian hidup”, karena kita sudah sangat terbiasa dengan hal-hal seperti pungutan liar (pungli), sogok menyogok, wani piro, pemberian ‘komisi’ kepada otoritas tertentu, dan sebagainya. Itulah premanisme sistemik dalam filosofi saya, yaitu sebuah situasi di mana kekuatan uang, status sosial, senjata, dan fisik berada di atas peraturan dan hukum untuk menyelesaikan suatu masalah. Premanisme ada di semua lini dan terjelmakan dalam berbagai wujud: mulai dari buruh kasar sampai mereka yang sehari-hari berjas dan dasi atau berseragam. Saking sistemiknya, upaya pemberantasan premanisme di Indonesia (dalam perkiraan saya) akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan pemberantasan mafioso di Italia, atau pembasmian kekuasaan para kartel narkoba di Amerika Selatan. Nah, barangkali pertanyaan “mengapa” ini akan sedikit berkontribusi dalam menguak akar premanisme sistemik di negeri tempat kita hidup sekarang. Layaknya tanaman, bila kita babat hingga ke akar, maka tanaman itu akan mati.

Fenomena Dunia Pendidikan Indonesia

Siapapun maklum, bahwa lingkungan pendidikan adalah dunia di mana sebuah bangsa dapat berharap untuk memiliki generasi penerus yang dapat melanjutkan kelangsungan masa depan bangsanya. Artinya, keluaran atau hasil didik dari lingkungan ini haruslah mereka yang tidak hanya cerdas dan berwawasan, namun jauh lebih penting adalah generasi yang berkarakter. Hanya dengan memiliki generasi penerus yang berkarakter, sebuah bangsa dapat terjamin kelangsungannya. Hanya oleh generasi yang berkarakter pulalah sebuah bangsa akan terus maju, berkembang, dan sejahtera. Persoalannya, sudah cukup percayakah kita pada dunia pendidikan Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus yang sedemikian?

Saat ini, jangankan para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya—apakah itu di SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi—anak-anak yang notabene adalah (bakal) obyek didik pun sudah mahfum bahwa bayar membayar untuk bisa masuk ke sekolah tertentu itu biasa. Anak saya yang bersekolah di salah satu SMP negeri di Bogor juga pernah bercerita kepada saya, bahwa beberapa temannya menceritakan tentang orang tua mereka yang harus menggelontorkan sejumlah uang sehingga mereka bisa masuk ke sekolah itu. Itulah salah satu fenomena sosial dunia pendidikan kita: ada uang, selesai masalah (meskipun anak kita sebenarnya tak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah itu).

Bila di sekolah-sekolah negeri (yang notabene dikelola negara dan dibiayai dengan APBN) fenomena itu bisa terjadi, tak perlu kita tanyakan bagaimana di sekolah-sekolah swasta. Mungkin tidak semua juga, artinya pengeluaran uang oleh orang tua murid memang proporsional sebagai biaya untuk mendidik anak-anak mereka di sana. Tapi naif juga untuk tidak mengatakan bahwa itu tidak terjadi sama sekali. Dalam logika sederhana saya, lha wong di sekolah negeri yang dibiayai negara saja orang tua bisa “dipalakin”, apalagi di sekolah swasta, yang operasional pendidikannya memang bergantung pada pemasukan dari orang tua siswa (atau calon siswa)?

Selain premanisme dalam bentuk uang, dunia pendidikan kita juga akrab dengan premanisme dalam manifesto yang lain.  Misalnya: kebiasaan menyontek, mencuri soal ujian, atau jual beli bocoran soal/jawaban. Benang merah semua perilaku itu sama: mencuri. Mencuri itu juga perilaku preman to? Nah, perilaku preman itu yang diperkenalkan secara telanjang dan tanpa tedeng aling-aling kepada para murid, dalam beberapa kasus malah difasilitasi oleh sekolah atau oknum guru. Sekolah tidak ingin siswanya banyak yang gagal dalam ujian nasional misalnya, sehingga berbagai cara dilakukan agar siswanya lulus semua (sehingga sekolah itu akan dinilai sebagai sekolah yang hebat/bagus). Seorang guru atau wali kelas juga tidak mau dibilang bodoh dan tidak bisa membina kelasnya dengan baik, sehingga ia dengan “ikhlas” memberikan bocoran soal agar siswa-siswa di kelasnya lulus ujian semua. Para pengawas ujian, karena sudah mendapat “sesuatu” dari pihak sekolah yang diawasinya, akhirnya membiarkan peserta ujian menyontek satu sama lain (yang penting ngga ribut atau gaduh di kelas hehehe…).

Belum lagi kalau kita bicara soal materi pendidikan. Mengapa sampai ada buku pegangan siswa yang isinya cerita-cerita berbau porno? Gambar-gambar artis atau bahkan bintang film syur seperti Miyabi? Ya, karena buku-buku itu kan ada penyedianya, si pemenang tender alias kontrak pengadaan buku ajaran untuk sekolah. Selama mereka mampu memberikan kompensasi yang “menggiurkan” kepada otoritas atau oknum terkait, sensor pasti menjadi longgar. Pengendalian kualitas kendor.  Hasilnya, muncullah gambar-gambar atau cerita-cerita “dewasa” di buku untuk siswa SD atau SMP. Sekali lagi, tidak semua sekolah atau daerah kondisinya seperti itu. Tapi saya juga naif bila mengatakan fenomena itu tidak ada sama sekali. Itulah sebabnya, kita juga tidak asing dengan pemandangan tawuran antar pelajar, atau siswa-siswa yang keluyuran di luar sekolah saat masih jam pelajaran. Mereka beranggapan bahwa masuk sekolah dan belajar itu ngga penting, toh nanti waktunya ujian mereka akan dapat bocoran soal. Kalau ngga dapat secara cuma-cuma, ya tinggal bayar. Kalau ketahuan dan akan diperkarakan, bayar lagi ke otoritas yang lebih tinggi agar kasusnya tidak diteruskan.  Selesai perkara.

Premanisme Dalam Pengelolaan Sekolah Unggulan

Saya cukup “takjub”, bahwa fenomena seperti itu ternyata juga (bisa) terjadi di sekolah-sekolah unggulan. Cukup masuk akal pada akhirnya, bila kita memahami bahwa orang tua manapun ingin anaknya bisa masuk sekolah unggulan, dan lulus dari sana. Thus, hasrat para orang tua ini yang “ditangkap” oleh pengelola sekolah unggulan, yang sayangnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sekolah-sekolah unggulan (yang umumnya swasta, dengan fasilitas pendidikan yang wah, berasrama, menawarkan berbagai kurikulum khusus sebagai nilai tambah) memerlukan biaya operasional pendidikan yang tinggi, dan itu dilimpahkan kepada biaya yang harus dibayar oleh para orang tua siswa. Meskipun beberapa sekolah unggulan juga menawarkan program bea siswa untuk mereka yang berprestasi namun kurang mampu secara finansial, sekolah unggulan tetap saja lekat dengan predikat “sekolah orang kaya”.

Bila stigma ini benar, maka terbukalah pintu bagi premanisme dalam pengelolaan pendidikan. Lagi-lagi logika sederhana saja: para pengelola sekolah unggulan (swasta) berpikir bahwa mereka tidak dibiayai dengan uang negara, tidak menggunakan APBN. Thus, tidak akan ada kerugian negara. Di sisi lain, para orang tua berlomba-lomba mengupayakan anaknya dapat dididik dan menjadi lulusan sekolah unggulan itu, karena dengan menjadi lulusan sebuah sekolah unggulan, akan ada suatu kebanggan tersendiri, prestise, serta status sosial tertentu bagi lingkungannya. Betul, dan itu yang menjadi “gayung bersambut” bagi para pengelola sekolah unggulan.

Maka tidaklah aneh bila di sebuah sekolah unggulan yang sudah punya “nama besar”, yang didirikan untuk menghasilkan generasi penerus yang diharapkan membawa negeri ini menjadi bangsa yang besar serta mendunia (seperti contoh almamater saya sendiri, sebuah sekolah menengah atas di Magelang), premanisme seperti inipun mendapat ruang yang “nyaman” untuk berkembang biak. Bayangkan, siswa-siswanya ada yang anak pejabat negara, anak jenderal, anak pengusaha kaya, anak dokter kepresidenan, dan anak orang-orang hebat lainnya. Para orang tua yang seperti itu adalah mereka-mereka yang sama sekali tidak punya masalah dengan uang pangkal atau uang pembangunan yang paling tidak 30 juta rupiah, lalu biaya bulanan (SPP), serta biaya-biaya lainnya yang digit-nya sampai delapan (dan bila ditotal selama tiga tahun SMA bisa mencapai sembilan atau bahkan sepuluh digit).  Belum lagi “kontribusi khusus” dari orang tua yang bersedia memberikan komitmen tertentu pada pengelola sekolah. Di sisi lain, ada siswa penerima bea siswa, yaitu mereka yang benar-benar berprestasi namun orang tuanya tidak mampu secara finansial. Sederhananya, biaya pendidikan mereka ditutup dari uang yang dibayarkan oleh para orang tua yang mampu.

Thus, bola ada di tangan pengelola sekolah. Idealnya, aturan tetap harus di atas segala-galanya. Begitu masuk, semua siswa punya hak dan kewajiban yang sama untuk berpegang pada peraturan serta kode etik sekolah itu. Siswa dari kalangan mampu (finansial) tidak lantas berhak untuk berbuat seenaknya, sementara siswa bea siswa harus benar-benar taat aturan. Apa bisa? Ya bisa saja, selama pengelola sekolah adalah orang-orang berjiwa luhur, berhati bersih, serta berpegang pada komitmen dan cita-cita luhur para pendiri sekolah. Tapi bila pengelola sekolah unggulan ini justru memanfaatkan antusiasme dan semangat para orang tua murid, ya jadilah sekolah itu dikelola dengan cara-cara preman. Misalnya: bila si murid melanggar sebuah kode etik siswa (menyontek, mencuri soal, atau pelanggaran lainnya) dan guru memproses pelanggaran ini sesuai prosedur, pengelola sekolah justru “bernegosisasi” dengan orang tua si murid. Setelah ada deal-deal tertentu, hasil akhirnya si murid tidak dikeluarkan dari sekolah (bahkan tidak mendapat sanksi sama sekali).

Saya hanya berpikir begini: si murid semata-mata obyek didik, dia justru “korban” dari premanisme sistematik itu; sementara orang tua wajib berusaha agar anaknya mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Nah, pengelola sekolah-lah yang seyogyanya menjamin bahwa si obyek didik mendapatkan pendidikan terbaik sesuai harapan orang tuanya. Lembaga pengelola sekolah harus bisa menjadi filter terakhir saat murid dan orang tua melakukan penyimpangan. Lembaga itu harus menjadi last barrier kala si murid tidak tahu bahwa privilege untuknya hanyalah racun bagi dirinya sendiri, dan kala orang tua murid tidak menyadari bahwa pemanjaan terhadap anak-anak mereka adalah penjerumusan bagi masa depan si anak. Bila ketidakpahaman si orang tua (ketika mereka berusaha “mengamankan” perilaku buruk si anak) justru dimanfaatkan oleh pengelola sekolah untuk kepentingannya sendiri, itulah saatnya sekolah justru sedang mendidik para preman masa depan. Ya, para preman yang telah diajari bagaimana mencuri, berbohong, dan membuat kepalsuan. Di sekolah mereka mencuri soal atau menyontek (dan aman-aman saja), kelak kemudian hari, merekalah para pencuri uang rakyat, uang negara.

Pengelolaan sekolah dengan mekanisme sogok menyogok, deal-deal di luar aturan baku, serta pengabaian terhadap kesetaraan hak adalah sama dengan premanisme, yang menempatkan uang atau kekuasaan di atas aturan. Hari-hari terakhir ini kita dijejali cukup banyak berita soal pemberantasan preman di ibukota. Sayang sekali, saat premanisme di negeri ini sedang dibabat habis di tataran praktis, di saat yang sama kita justru sedang menanti lahirnya preman-preman baru, yaitu hasil didik sekolah-sekolah (unggulan) yang dikelola dengan pendekatan premanisme. Layaknya iceberg phenomenon, sekarang kita sedang membabat apa yang muncul di permukaan. Bila kita tidak membabat juga preman-preman pengelola lembaga pendidikan itu (apalagi yang berlabel sekolah unggulan), maka kita sedang membiarkan gunung es itu muncul kembali…dan bisa jadi, lebih besar dan lebih biadab dari preman-preman sebelumnya.

Ahhh…sedih sekali rasanya bila benar itu terjadi di almamater saya sendiri.

Surat Terbuka untuk AKBP Hengki Haryadi, Kasatreskrim Polrestro Jakarta Barat

Dear brother,

Maaf saya menulis surat ini di tengah kesibukanmu beberapa waktu belakangan. Niat saya semata-mata sangat sederhana: mendukungmu.  Beberapa hari terakhir, saya membaca serta mendengar berita di berbagai media soal Hercules, dan selalu namamu disebut-sebut karena kamu adalah Kasatreskrim Polrestro Jakarta Barat yang bertanggungjawab atas semua penanganan perkara kriminal di wilayah hukum Jakbar. Kalau soal Hercules yang pesawat angkut hebat dari Amerika Serikat itu, saya mungkin bisa bicara banyak bro, tapi kalau Hercules yang satu ini…hehehe, you know it much better than I do.

Ada suatu kebanggaan tersendiri mengetahui bahwa kamu in-charge di lapangan menangani preman yang satu ini, seperti juga preman-preman lainnya yang pernah atau sedang kamu hadapi. Saya bangga, bahwa saya punya seorang teman se-almamater yang setia pada komitmen, berdedikasi tinggi, dan teguh pada pendirian yang benar. Saya bangga bahwa kita pernah bersama-sama dididik di sebuah SMA yang hebat di Lembah Tidar, dan bersama-sama melanjutkan pendidikan di Akabri yang penuh kebanggaan itu (meski berbeda kampus: kamu di Semarang, saya di Yogyakarta). Saya bangga karena kamu bisa memelihara komitmen dan janji mulia almamater kita dalam pengabdianmu kepada masyarakat.

Sahabatku,

Siapapun tahu bahwa premanisme dalam bentuk dan atas nama apapun adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Itulah sebabnya saya heran membaca dan mendengar komentar-komentar yang sinis, apatis, bahkan mencela apa yang kamu dan institusimu lakukan terhadap Hercules. Kamu adalah representasi institusi Polri yang sedang mengerjakan apa yang memang menjadi tugas alamiah Polri: memberikan rasa aman dan mewujudkan ketertiban di masyarakat. Saya miris bahwa sudah terlalu banyak dari kita yang “sakit jiwa” sehingga tidak senang bila ketertiban ditegakkan dan rasa aman itu diwujudkan. Tapi saya juga tidak naif bro, bahwa ada segelintir orang yang merasa “zona nyaman”-nya terganggu dengan apa yang kamu dan anak buahmu lakukan akhir-akhir ini.

Karenanya saya menduga (ini cuma dugaan saya lho), bahwa kamu pasti berhadapan juga dengan hal-hal lain yang ngga kalah “menyeramkan” dengan tampang si preman sendiri. Misalnya, pasti ada yang datang atau telepon kamu dan minta agar kasus ini tidak diteruskan; atau ada yang menawari kamu “sesuatu” untuk damai (dan saya menduga nominalnya tidak main-main hehehe…); atau kamu menghadapi bentuk premanisme yang lain berupa intimidasi. Wah…kalau mengintimidasi seorang Kasatreskrim sebuah Polres Metro dengan pangkat AKBP berarti dia pasti ”somebody” alias bukan orang sembarangan donk hehehe… Mudah-mudahan dugaan saya salah, meski hati kecil saya mengatakan mustahil hal-hal seperti itu tidak terjadi di negeri yang katanya merdeka tapi seperti baru berdiri ini.

Anyway bro, saya mengenalmu dengan baik karena tiga tahun kita habiskan bersama di Magelang, meski sejak masuk Akabri dan berdinas kita relatif jarang bertemu. Saya tahu kamu menyadari betul apa yang menjadi tugas Polri, dan kamu selalu berusaha menjaga citra baik institusi mulia ini. Itulah sebabnya saya juga menghargai keputusan pimpinan Polri yang menempatkan orang-orang terbaik seperti kamu di salah satu satuan jajaran Polda Metro. Jakarta adalah ibukota negara, yang juga simbolisasi derajat dan martabat negeri ini di mata dunia. Bayangkan kalau di ibukota negara (yang di situ ada kepala negara, pemimpin-pemimpin nasional, wakil rakyat, kedutaan-kedutaan negara sahabat dan sebagainya) preman merajalela dan seenaknya sendiri mengangkangi hukum, bagaimana di daerah-daerah lain yang jauh dari pusat negara? Bagaimana pula dunia internasional memandang bangsa kita? Apa kita ngga malu dibilang negara yang dikuasai preman? Saya yakin, kamu memahami ini semua dengan baik, demikian juga institusi Polri. Bila tidak, maka tidak akan ada berita-berita seperti yang kita lihat akhir-akhir ini.

Percayalah kepada hukum alam, sahabatku. Semesta hanya mendukung mereka yang mengabdikan diri untuk kebaikan, apakah itu dalam pikiran, ucapan, maupun tindakan mereka. Tak seorangpun bisa menghindar atau “bernegosisasi” dengan hukum yang paling hakiki ini, apapun pangkat, jabatan, status atau seberapapun kekayaannya. Semua yang dilandasi dengan niat baik pasti berbuah baik, dan semua yang dilandasi dengan kebusukan akan berakhir dengan busuk pula. Saya yakin, pasti ada yang menuduhmu punya motif-motif tertentu di balik semua yang kamu kerjakan. Jangan pedulikan. Tuhan jauh lebih tahu mana yang benar dan salah, mana yang baik atau buruk. Jadi, maju terus, dan biarkan kuasa Tuhan yang bekerja membimbingmu serta melindungimu dan anak buahmu menjalankan tugas mulia ini. Tak hanya saya yang memang sudah mengenalmu, jutaan warga Indonesia (khususnya warga Jakarta) pun mendukungmu, setidaknya dalam doa-doa mereka.

Kawanku yang kubanggakan,

Seandainya kita bisa masuk ke alam kubur dan melihat para pendiri bangsa kita yang telah menghadap Tuhan, pasti mereka semua sedang menangis saat ini, karena melihat sebuah bangsa besar yang mereka dirikan dan perjuangkan dengan susah payah, dengan pengorbanan darah dan air mata, telah menjadi bangsa yang kehilangan martabatnya sendiri, dan membiarkan dirinya dikuasai oleh preman-preman dalam berbagai wujud. Kita sama-sama dididik untuk tidak membiarkan semua itu terjadi bro, dan mengembalikan harkat, derajat, serta martabat bangsa ini ke bentuk yang seharusnya seperti yang tertuang dalam dasar negara kita Pancasila. Ya, sebuah bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berpihak pada rakyat, dan berkeadilan sosial. Yang sedang kamu lakukan sekarang adalah bagian kecil untuk mewujudkan itu; dan itu sebabnya saya tulis surat ini untuk mendukungmu, serta meyakinkanmu bahwa kamu melakukan hal yang benar.

Ah…surat saya terlalu panjang dan saya takut mengganggu waktumu terlalu banyak. Last but not least, maju terus bersama dengan kebenaran bro. Percayalah bahwa di tengah banyaknya sinisme, cercaan, makian bahkan intimidasi terhadapmu, jauh lebih banyak orang yang mendukungmu, setidaknya dalam doa mereka. Saya hanya salah satunya, karena kebetulan saya mengenalmu.

Maju terus Polri, Polda Metro, dan Polrestro Jakarta Barat. Pantang mundur, kawanku Hengki. Tuhan besertamu.

Bandung, 5 Agustus 2013

Sahabatmu,

JKG

KETIKA “TERBANG” JADI RAHASIA MILITER…

Image
Di depan foto Wilbur Wright, Wright Brothers Aviation Center, Dayton Ohio.

“Terbang” atau “menaklukkan angkasa” yang dicapai oleh Wilbur dan Orville Wright pada tanggal 17 Desember 1903 di Kitty Hawk, North Carolina merupakan salah satu catatan prestasi terbesar bagi kemanusiaan.  Tulisan Marvin W. McFarland dalam makalahnya berjudul “When The Airplane Was A Military Secret—A Study of National Attitudes Before 1914”, yang dibacakan sebelum Konferensi Sejarah Tahunan di State University of Iowa tanggal 10 April 1954, mungkin adalah salah satu catatan yang dapat membuktikan pada kita bahwa sebuah mahakarya belum tentu diterima dengan mudah sebelum jaman menunjukkan betapa karya itu penting dan berpengaruh.

Marvin W. McFarland adalah Kepala Seksi Aeronautika, Divisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Perpustakaan Kongres AS.  Ia juga bergabung bersama US Army Air Force di Eropa dalam Perang Dunia II.

Hampir 110 tahun yang lalu, pada suatu pagi tanggal 17 Desember 1903, antara pukul 10.30 dan tengah hari, dua bersaudara yang belum dikenal dari Dayton, Ohio, Wilbur dan Orville Wright, membukukan serangkaian penerbangan pendek dengan sebuah pesawat terbang bermesin karya dan rancangan mereka sendiri.   Itu terjadi di sebuah pantai di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.

Ini adalah sebuah peristiwa kunci dan monumental yang akan dikenang oleh manusia sama panjangnya seperti antara lain: bulan Maret tahun 44 S.M dan pembunuhan Caesar, atau seperti Hari Natal tahun 800 Masehi dan pemahkotaan Charlemagne, atau tahun 1066 dan Invasi Norman ke tanah Britania, atau tahun 1492 dan penemuan Colombus atas “Dunia Baru”, atau bahkan seperti 4 Juli 1776 dan Independence Day.  Dilihat dari kepentingannya, penemuan ini—penaklukan angkasa, yang melepaskan keterikatan manusia terhadap bumi dan tanah sejak pertama diciptakan—sekelas dengan penemuan kembang api, penemuan roda, pengembangan percetakan media, pengkabelan listrik dan bom atom.

Setelah penerbangan pertamanya, ketika mengemasi barang dan pulang dari Kitty Hawk pada Desember 1903, Wright bersaudara tidak mempunyai bayangan akan apa yang telah mereka lakukan.  Mereka hanya tahu bahwa mesin ciptaan mereka “memiliki tenaga yang cukup untuk terbang, memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan beban dan goncangan saat mendarat dan kemampuan pengendalian yang cukup untuk menciptakan penerbangan yang aman dalam terjangan angin kencang, seperti halnya saat angin tenang”, tetapi mereka tak tahu bahwa mereka telah mencapai hal yang lebih, dalam standar ideal, dari sekedar pencapaian yang masih mentah dan kasar dengan sebuah perlengkapan yang paling bagus hanya akan disebut sebagai “prototype pesawat terbang”.   Dibandingkan dengan apa yang dicapai sampai saat itu, ini adalah sebuah revolusi yang menentukan, meskipun bila dihadapkan pada potensi penerbangan yang mereka lihat, itu bukan apa-apa—hanya sebuah permulaan, namun permulaan ini yang akan membuat mereka tidak pernah mati dan melahirkan sebuah jaman baru.

Pada Januari 1905, sekitar 13 bulan setelah Kitty Hawk, mereka melakukan apa yang sedikit banyak telah mereka rencanakan: menawarkan pesawat mereka ke Pemerintah AS untuk digunakan oleh US Army sebagai pemandu dan pembawa pesan dalam perang.   Mereka mengajukan penawaran baik dalam penyediaan mesin dengan spesifikasi yang ditentukan, atau pemberian informasi praktis dan ilmiah, bersama dengan ijin menggunakan hak paten mereka, yang dengan demikian menempatkan Pemerintah AS untuk menggunakan “hak monopoli”.   Pesawat terbang akan menjadi rahasia eksklusif militer Amerika Serikat, baik mesin maupun teknisnya.

Terhadap penawaran Wright bersaudara ini, jawaban Departemen Perang AS adalah sebuah penolakan, bahkan lebih tepat penghinaan. Secara singkat dikatakan bahwa mereka menolak untuk memberi bantuan finansial bagi “pengembangan eksperimental” perlengkapan terbang dan hanya akan mempertimbangkan peralatan yang sudah digunakan dalam operasi praktis.   Wright bersaudara hampir tidak mempercayai hal ini dan meragukan bahwa surat mereka telah dibaca.  Setelah ditolak di negeri sendiri, mereka beralih ke Eropa, namun bukan tanpa pemecahan masalah bila negosiasi Eropa ini tidak boleh mencabut hak Amerika terhadap pesawat ini.   Dengan kata lain, mereka tidak akan membuat kontrak luar negeri yang memberi hak khusus pada pesawat itu, perkecualian hanya ada pada Amerika.

Negosiasi di tanah Britania yang terhambat di tahun 1905 dan lebih banyak dilakukan di 1906, sama tidak produktifnya dengan upaya meyakinkan pemerintah AS pada periode yang sama.  Sementara itu, pada tahun 1905, Wright bersudara tetap terbang dan terbang, meningkatkan teknik mereka dan secara konstan memecahkan rekor mereka sendiri.

Motivasi sesungguhnya selalu sulit diungkap, lebih sulit lagi untuk dihalangi. Selama berabad-abad manusia memimpikan dapat terbang.   Sekarang mereka bisa.  Namun adakah “ucapan selamat” atas fakta ini?   Adakah penghargaan akan arti pentingnya?   Adakah kesadaran bahwa bumi telah “tenggelam”, bahwa kesetaraan kekuatan akan berubah, bahwa sebuah kekuatan dinamis akan membalikkan arah sejarah? Tidak sama sekali.   Pemerintah, negarawan, yang seharusnya sudah menyadari bahwa potensi ini tidak dapat diabaikan sama sekali dari perhitungan mereka, menganggap penemuan ini seolah-olah hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan.  Pesawat terbang ini, alih-alih disambut sebagai sebuah kemenangan manusia atas dunia secara fisik, sebuah pencapaian untuk dipelajari dan dieksploitasi, justru “dipaksakan” untuk tetap menjadi rahasia selama lima tahun.  Wright bersaudara justru harus membayar dengan terhambatnya pengembangan pesawat mereka akibat “kerahasiaan” ini.   Mereka sudah siap menjual pesawat mereka kapan saja setelah 1904, namun dalam setiap negosiasi, yang ada hanya calon pembeli, yang sekalipun berminat, terhambat pada kebijaksanaan “rahasia” ini, pada hak eksklusif dan monopoli Amerika dan hal ini yang sama sekali tidak mereka berdua harapkan karena mereka merasa bahwa pesawat ini, yang dikembangkan Amerika, seyogyanya dimiliki oleh bangsa Amerika.  Kalaupun ada pihak lain, itu hanya Pemerintah AS, namun Amerika justru bersikap lebih tak acuh dibandingkan dengan yang lain.  “Sang burung” harus kembali beristirahat di “sarang”.   Namun akhirnya, Pemerintah AS menjadi pemerintahan pertama yang memiliki pesawat terbang, dan langsung membelinya dari Wright bersaudara.

Sikap melunak pemerintah AS—dalam hal ini US War Department—yang terlambat ini mengakhiri masa negosiasi yang cukup panjang.   Wrights akhirnya berkonsentrasi pada perakitan sebuah pesawat baru yang memenuhi spesifikasi teknis US War Department dan penyerahan resminya direncanakan pada musim panas 1908.   Berita ini segera mengubah peta situasi di Eropa, khususnya Perancis: sebuah kelompok bisnis yang dipimpin oleh pengusaha Lazare Weiller menyatakan ingin membeli hak paten Wrights dan menawarkan pembentukan sebuah French Wright Company.  Wrights setuju dan sebagai bagian dari kontrak Wrights akan mengadakan demonstrasi udara di Perancis.   Artinya, momen itu akan terjadi hampir bersamaan dengan saat penyerahan pesawat pada US Army di Amerika.

Sebuah peristiwa dramatis dalam sejarah penerbangan.  Orville Wright terbang di Fort Myer, Virginia sementara Wilbur pergi ke Perancis.  Dengan terlaksananya dua demonstrasi penerbangan pada Agustus 1908 ini, semua keraguan pada kemampuan Wright dalam “menguasai udara” lenyap.  Bangsa Perancis—yang sebelumnya merasa mampu membuat yang lebih baik dari itu—menunjukkan sikap yang berbeda 180º dengan kejadian ini dan Wilbur adalah pahlawannya.  Segala kehormatan yang diberikan padanya baru bisa disamai lagi oleh Charles Lindbergh yang terbang melintasi Atlantik sampai ke Paris lebih dari 18 tahun kemudian.  Raja Edward VII dari Inggris—yang Menhannya, Richard Burdon Haldane tidak tertarik pada pesawat ini—menunjukkan ketertarikannya dengan datang ke Pau dan meminta Wilbur menjelaskan mekanisme kerja mesin terbang ini.   Raja Alphonso dari Spanyol bahkan harus mengingkari janji tidak terbang pada permaisurinya, karena keinginan ikut terbangnya yang begitu tinggi.   Tahun berikutnya, Wilbur terbang di Roma dan Orville di Berlin.   Di Berlin, seluruh kerabat kerajaan menyaksikan, bahkan Der Kaiser.   Setelah terbang, Putra Mahkota menyematkan pin dari berlian—ruby yang berbentuk huruf “W” pada Orville.

Sederetan sukses itu tetap belum meyakinkan para pejabat militer berpengaruh di Eropa.   Jenderal Eberstadt misalnya, yang turut menyaksikan demonstrasi Orville di Berlin meninggalkan acara sebelum usai.   Nyatalah bahwa pembela perjuangan mereka tidak akan berasal dari para birokrat atau pejabat pemerintahan atau dari gedung parlemen, bahkan dari para peneliti profesional sekalipun.   Mereka justru didukung oleh orang-orang yang punya banyak ruang dalam pikirannya bagi imajinasi konstruktif, spekulasi, kreatifitas dan ekspresi pendapat dalam lingkup kata yang amat luas.   Itu adalah para penulis: novelis seperti H.G.Wells, wartawan seperti Alfred Hamsworth, Lord Northcliffe, atau pecinta olahraga seperti Frank P. Lahm, seorang anggota Aero Club of France.  Juga para anggota Aero Club of America yang baru dibentuk yang pada 1906, yang sebelum penerbangan spektakuler di Fort Myer, Le Mans, Pau dan Berlin telah meyakini bahwa angkasa telah ditaklukkan dan orang harus melihat dampak penaklukan ini.

Ketika Santos Dumont pada musim gugur 1906 menerbangkan “pesawat aneh”-nya, 14-bis di Paris—yang menjadikannya orang Eropa pertama yang terbang dengan pesawat bermesin, Northcliffe menyatakan “Beritanya adalah bahwa bukan manusia dapat terbang, melainkan bahwa Inggris tidak lagi sebuah pulau (yang terpisah dari Eropa)!”

Wells melalui novel fiksi ilmiahnya, The War in the Air, yang diterbitkan pada 1908 menyatakan ketidakraguannya pada hal ini.  Northcliffe bahkan berani menawarkan seribu pound untuk penerbangan melintasi English Channel dan 10 ribu pound untuk penerbangan pertama dari London ke Manchester.   Maksud di balik penawaran ini adalah membangkitkan pemahaman publik akan pengaruh pesawat terbang dan perang yang akan terjadi dengan Jerman.

Antara penerbangan pertama tahun 1903 dan pecahnya PD I tahun 1914, interval 11 tahun, ada masa persiapan menjelang perang.   Namun, persiapan itu tidak dilakukan dan meskipun sebagian besar peserta perang telah berbuat sesuatu dengan pesawat terbang sebelum perang, tak satu negarapun yang terjun ke dalam perang ini siap di udara….

(Disarikan dari “When The Airplane Was A Military Secret” karya Marvin W. McFarland yang dimuat dalam buku “The Impact Of Air Power, National Security and World Politics” hal. 20-26 karya Eugenne M. Emme.   Diterbitkan oleh D.Van Nostrand Company, Inc., 1959)

“ICARUS SYNDROME” : KEJATUHAN KARENA PENGABAIAN TATA NILAI

Image

Icarus, dalam mitologi Yunani kuno dikenal sebagai putra seorang pengrajin dari Athena bernama Daedalus.  Daedalus, dalam rasa sayangnya kepada sang anak, berkenan membuatkannya sayap dari bulu-bulu burung yang direkatkan dengan lilin (wax).   Mereka adalah orang-orang yang berkeinginan untuk terbang, dan Icarus, sangat ingin menjangkau Kreta (sebuah pulau indah di Yunani) dengan sayap buatan ayahnya itu.  Mitologi ini juga bercerita bahwa sang ayah telah memperingatkan anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari.  Sayangnya, Icarus mengabaikan peringatan sang ayah, dan tetap terbang mendekati matahari.  Perekat lilin itupun meleleh karena panas, dan bulu-bulu pada sayap Icarus rontok berjatuhan.  Icarus terhempas jatuh dan tenggelam di lautan.

Fenomena dalam mitologi Icarus adalah rangkaian cerita yang sarat nilai-nilai moral.  Dalam “duet”-nya dengan sang ayah (Daedalus), mereka adalah simbolisasi komunitas yang secara batin sinergis satu sama lain, punya kohesi yang kuat, namun miskin pengetahuan.  Ini dilambangkan dengan kesalahan mereka mengidentifikasi sebuah masalah, dalam hal ini adalah “bagaimana kita bisa terbang?”.  Kesalahan identifikasi itu menghasilkan kesimpulan yang salah, yang berdampak pada pengambilan tindakan yang salah pula: membuat sayap.   Peringatan Daedalus pada anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari adalah representasi sebuah prevensi berupa nasehat, masukan, saran atau apapun namanya yang pada gilirannya tidak digubris oleh Icarus.

Keinginan Icarus untuk mendekati matahari adalah simbolisasi ambisi, yang tidak didukung dengan pengetahuan serta nalar yang memadai (dalam hal ini pengetahuan untuk memahami karakter lilin yang akan meleleh bila terpapar panas).  Kejatuhan Icarus (secara harfiah), adalah perlambang sebuah akibat atau hasil (outcome) dari serangkaian proses yang sejak awal telah dibuka dengan “kesalahan”.

Fenomena Icarus Dalam Perspektif Realis

Bagi sebagian orang, mitos tetaplah mitos.  Di sekeliling kitapun banyak mitos-mitos dalam berbagai legenda.  Namun, patut untuk dipahami bahwa realisme cerita tak lebih dari sekedar bingkai, dan lebih baik untuk mencoba melihat nilai-nilai apa yang terpagari oleh bingkai itu.  Demikian pula terhadap mitologi Icarus, yang dalam pandangan saya tak hanya sarat pesan moral, namun juga merupakan fenomena yang justru sedang booming di sekeliling kita akhir-akhir ini.

“Icarus” dapat dipandang sebagai suatu individu, namun lebih tepat bila kita pandang sebagai sebuah entitas.  Kohesi “Icarus-Daedalus” dapat dipandang sebagai kohesi antar individu dalam satu kelompok/komunitas, dapat juga dilihat sebagai mutual interface antar komunitas.  Perspektif itu menjadi tidak penting lagi saat kita melihat sejumlah norma serta tata nilai yang terkandung jauh di dalam entitas-entitas itu:

1. Keinginan/cita-cita, yang adalah sebuah kewajaran bagi siapapun yang hidup.  Itu adalah karunia, karena keinginan akan sesuatu itulah awal dari setiap usaha.

2. Ambisi, yang merupakan keinginan/hasrat yang berkembang dan menjadi obsesi dalam hidup setiap mahluk, yang bila tak terkendali justru merupakan awal dari kejatuhan.

3. Usaha, yang merupakan norma wajib bagi siapapun yang berharap keinginan/ambisinya tercapai.

4. Pengetahuan/kecerdasan, yang selayaknya menjadi penopang bagi siapapun yang berusaha menggapai keinginannya.

5. Nasehat, yang berisi serangkaian pesan baik bagi kepentingan pemenuhan keinginan, penunjang perjuangan, serta pelindung dari kejatuhan yang tidak diharapkan.

Semua dalam tata nilai itu adalah norma yang melekat dalam kehidupan kita, nilai-nilai yang sangat manusiawi, dan siapapun berhak serta bisa memilikinya.  Pada intinya, kita semua hidup dalam semua tatanan itu.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana nilai-nilai itu “di-struktur-kan” dalam hidup setiap individu, dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas, serta bagaimana nilai-nilai itu dipadupadankan satu sama lain.

Keinginan, ambisi, usaha, pengetahuan, dan nasehat seperti apapun baiknya tak akan berguna bagi siapapun bila mereka berdiri sendiri-sendiri, dan tidak terbingkai serta terintegrasi secara sinergis. Keinginan akan tetap menjadi keinginan bila anda tak berusaha.  Usaha apapun akan sia-sia bila anda tak punya pengetahuan yang cukup.  Pengetahuan yang diagung-agungkan secara berlebihan justru akan membuat kita abai terhadap nasehat, dan seterusnya.  Di sinilah setiap manusia harus mengingat bahwa alam semesta sendiri sejatinya adalah sebuah sinergi, yang memadukan berbagai unsur secara proporsional, dan bergerak dengan derap yang sama.  Adalah naif bagi siapapun yang mengatakan bahwa teorema alam semesta berbeda dengan mekanisme hidup individu. Bukankah kita adalah bagian kecil dari semesta raya ini?

Tentu saja, siapapun berharap Icarus hanya hadir dalam mitologi Yunani itu.  Sayangnya, saat ini kita justru hidup berkelilingkan banyak “Icarus”, dan bisa jadi kitalah salah satu “Icarus” itu.  Kita menyaksikan orang-orang yang terkubur oleh ambisinya sendiri, jatuh karena minimnya pengetahuan/kecerdasan, gagal karena tidak berusaha cukup kuat, tujuan-tujuan yang tidak tercapai karena kesalahan identifikasi masalah, dan negara yang terhantam krisis/resesi ekonomi karena penghamburan anggaran yang tidak tepat.  Inilah akibat masif dari sebuah sindrom: “Sindrom Icarus” (Icarus Syndrome)[1], yang dapat kita lihat di berbagai strata komunitas.

Sindrom Icarus Pada Sebuah Negara

Sindrom ini dapat mendera sebuah negara, yang ditandai dengan “ambisi” yang tertuang dalam program-program pembangunan yang besar, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mewujudkannya.  Negara-negara ini membangun infrastruktur, namun tidak membangun pengetahuan bagi warga negaranya berupa “pengetahuan akan dirinya sendiri”.  Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang akan menyadarkan setiap individu tentang jati diri mereka, dan karakter khas bangsa mereka.  Negara-negara ini membungkus “kemakmuran” dalam kemasan pertumbuhan ekonomi makro, deretan gedung pencakar langit di kota-kotanya, jalanan beraspal beserta ribuan mobil yang memenuhinya tiap hari, dan sebagainya.

Negara-negara ini—layaknya Icarus—lupa pada nasehat bijak nenek moyang bahwa tiang-tiang yang menjadi tumpuan keberlangsungan mereka adalah generasi mudanya.  Akibatnya, negara-negara inipun lupa pada inti pembangunan yang paling utama, yakni membangun generasi muda.  Negara-negara ini merasa sudah “membangun pendidikan” dengan cara mendirikan ribuan sekolah, tapi tak acuh pada materi pendidikannya.  Mereka juga lupa bahwa dari dunia pendidikan itulah sebagian besar karakter komunitas itu akan terbentuk: apakah mereka kelak akan menjadi nasionalis, patriotis, sosialis, liberalis, kapitalis, materialis, atau bahkan komunis.

Juga, negara-negara ini merasa telah berhasil membangun ekonominya karena ada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), tapi lupa bahwa pelaku ekonomi terbesar pada dasarnya adalah masyarakat, bukan para pengusaha atau penanam modal.  Pertumbuhan ekonomi tingkat makro yang tak menyentuh sendi-sendi ekonomi masyarakat selaku pelaku ekonomi terbesar hanya akan menyuburkan pengangguran, kriminalitas, dan berbagai ekses sosial lainnya.  Negara-negara ini merasa berhasil membangun sistem politiknya dengan banyaknya partai-partai politik yang berdiri, namun abai membangun budaya politik dalam dunia pendidikannya.  Akibatnya, sistem politik hanya menjadi tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatis, dan wahana untuk memenuhi ambisi pribadi-pribadi tertentu, entah itu kedudukan atau materi.  Sistem politik—yang seharusnya merupakan “etalase” kemajuan peradaban sebuah kelompok masyarakat—justru menjadi ruang yang dipandang dengan skeptis, acuh tak acuh, dan sikap apatisme masyarakatnya.

Negara-negara yang terserang virus Sindrom Icarus akut membanggakan ketertiban nasionalnya dengan banyaknya peraturan dan undang-undang.  Namun karena negara-negara ini tidak cukup paham dan berpengetahuan dalam membangun karakter penegak hukumnya, sederetan buku peraturan perundang-undangan itu justru menjadi “sampah”, dan dimanfaatkan sebagai ajang pemenuhan kepentingan.  Negara-negara ini merasa telah menunaikan kewajibannya setelah membuat peraturan, tapi lupa menumbuhkan kesadaran masyarakatnya bahwa mereka membutuhkan sebuah tatanan yang tertib, solid, dan gagal menjamin bahwa siapapun berkedudukan sama di muka hukum.  Ya, karena negara-negara ini lupa pada sebuah nasehat bijak yang lain bahwa “A disorder country is a country in which there are many laws”.

Sindrom Icarus Pada Institusi/Lembaga

Sebuah institusi, lembaga, organisasi, atau apapun namanya juga sangat rentan terserang virus Sindrom Icarus ini.  Mereka adalah lembaga-lembaga yang menggebu-gebu “membangun” dirinya, namun sekali lagi, tak punya cukup pengetahuan untuk memelihara kesinambungan pencapaian tujuannya.  Mereka bangga pada wujud struktur yang besar, namun abai pada efektifitas fungsi, dan lupa pada efisiensi sumber daya.  Mereka sibuk mengembangkan diri, memekarkan organisasi, dengan dalih pencapaian tujuan.

Lembaga-lembaga ini membanggakan kebesaran mereka dengan infrastruktur kantor yang megah, perangkat sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, serta profil organigram yang menjulang dan lebar.  Mereka bangga karena cabang atau perwakilan mereka ada di mana-mana, dengan segala perangkat pendukungnya.  Mereka lupa bahwa institusi/organisasi adalah bentuk pelembagaan sebuah sistem, dan yang terpenting dari sebuah sistem adalah bagaimana ia mampu merubah suatu masukan (input) menjadi sebuah keluaran (output) yang lebih berdayaguna daripada sebelumnya. Jadi ibarat mesin, yang terpenting bukan dimensi fisik mesinnya, melainkan efektifitas elemen-elemen di dalamnya dalam mengolah masukan-masukan itu.

Virus Icarus pada lembaga-lembaga ini pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih bersifat “cost driver” ketimbang “profit maker”.  Bila mereka lembaga pemerintah yang dibiayai dengan anggaran negara, maka mereka adalah penyedot keuangan negara.  Bila mereka lembaga swasta atau independen, maka mereka berpotensi untuk jatuh prematur karena kebangkrutan.  Sekali lagi, inilah buah ambisi yang tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai, atau, inilah buah dari kegagalan membangun “pengetahuan akan diri sendiri”, yang menghasilkan “konseptor” manajemen pragmatis yang lebih mementingkan pemenuhan ambisinya sendiri ketimbang membangun lembaga dan atau negaranya.

Mencegah Infeksi “Virus Icarus”

Kini saatnya kita melihat koneksitas dari serangkaian nilai-nilai di atas, sebagai upaya awal untuk menghindari infeksi virus Icarus ini.  Sekali lagi, adalah wajar untuk memiliki keinginan, cita-cita, atau ambisi.  Namun tanpa pengetahuan yang cukup, semua itu justru akan membawa siapapun pada kejatuhannya sendiri.  Pengetahuan itu sendiri adalah sebuah entitas maha luas, sangat infinitum, dan tak akan habis hingga akhir hayat.  Itulah sebabnya semesta memberi kita pelajaran tentang “simbiosis”, sebuah sinergi satu sama lain.  Di hadapan pengetahuan, tak ada seorangpun yang lebih pintar dari orang lain, tak seorangpun lebih superior dari sekelilingnya.  Di sinilah semua orang patut untuk mendengar nasehat dari siapapun, selama itu bersifat konstruktif.  Pengabaian terhadap nasehat-nasehat baik sama halnya dengan pengabaian terhadap tata nilai itu sendiri, dan juga perintisan jalan menuju jurang kegagalan.

Usaha yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang baik.  Perencanaan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan identifikasi yang tepat atas sebuah masalah.  Untuk itu semua orang harus belajar, menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, serta mendengarkan masukan-masukan demi pemahaman yang lebih baik atas suatu persoalan.  Pemahaman masalah yang komprehensif itulah yang akan membuat identifikasi masalah kita menjadi tepat (right to the bull’s eye).  Dengan identifikasi masalah yang tepat, siapapun dapat merencanakan usaha atau langkah-langkah secara tepat, dan pada gilirannya menyelesaikan masalah secara mantik, tanpa harus membuat masalah-masalah atau ekses-ekses baru.

Ini sama halnya dengan penanganan sebuah penyakit dalam dunia medis.  Seseorang yang mengalami panas badan tinggi, belum dapat diketahui apakah dia menderita demam biasa, typus, demam berdarah, atau malaria.  Harus ada orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi gejala itu, dalam hal ini dokter.  Seorang dokter yang arif tidak akan mendasarkan diagnosanya semata-mata karena pengalaman (bentuk pengagungan terhadap pengetahuan yang berlebihan).  Akan lebih baik bila ia mencari “nasehat”, dalam hal ini masukan dari laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah si pasien.  Dari hasil laboratorium inilah si dokter akan memiliki pengetahuan komprehensif tentang penyakit pasiennya, dan ia akan mampu mengidentifikasi dalam bentuk diagnosa yang tepat.  Dengan diagnosa yang tepat, ia dapat mengambil langkah yang tepat pula: memberi resep yang sesuai, memutuskan apakah pasien dirawat inap atau tidak, dan sebagainya.

Siapapun wajib membangun dirinya, dan siapapun punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kelompok/komunitasnya, institusinya, dan negaranya.  Ketika hak-hak individu dikekang, dan kewajiban pada individu dibebankan secara tidak proporsional, maka kita telah menepikan pengetahuan serta mengabaikan nasehat.  Di situlah virus Icarus telah menginfeksi kita, dan hanya soal waktu kapan kita jatuh terhempas dan tenggelam.

[1]  Diinspirasi dari Buku “The Icarus Syndrome: A History of American Hubris”, karya Paul Beinart, terbitan Harper 2010.

ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

DI MANAKAH NEGARA?

Image

 

Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF Suzuki 2012 setelah dikalahkan Malaysia 0-2 tentu mengecewakan kita semua. Negeri ini telah terlalu haus untuk merasakan kembali prestasi di cabang sepakbola-cabang olahraga yang diklaim memiliki penggemar terbanyak. Kita maklum, dengan penduduk yang berkisar 270 juta-an jiwa, negara seperti kesulitan mencari 11-20 orang yang punya kualitas bermain bola. Parahnya, itu terjadi setelah konflik internal di tubuh pengelola sepakbola Indonesia yang berlarut-larut. Organisasi resmi bernama PSSI yang telah berdiri puluhan tahun tidak berdaya saat digerogoti oleh internalnya sendiri. Lalu muncul sekelompok orang yang mengaku dirinya “pencinta” sepakbola Indonesia, tapi ujung-ujungnya juga hanya memperkeruh situasi. Hasilnya bisa kita lihat, tak hanya sepi tropi & prestasi di ajang-ajang seperti SEA Games, Asian Games (alih-alih Olimpiade) maupun Piala Asia (alih-alih Piala Dunia), kita bahkan sama sekali “tak masuk hitungan” di regional Asia Tenggara-yang beberapa puluh tahun lalu kita kuasai.

 

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di sebuah media informasi berbasis internet, bahwa seorang mantan juara dunia perahu naga asal Jambi sedang mengalami kesulitan membiayai perawatan anaknya (yang belum genap 2 tahun) yang menderita pengerapuhan kulit. Deretan medali, piagam, sertifikat serta berbagai penghargaan nasional & internasional yang dimilikinya ternyata hanya membawanya pada kehidupan saat ini sebagai seorang buruh cuci. Dengan itu, plus penghasilan suaminya yang hanya sekitar 1 juta rupiah per bulan sebagai seorang cleaning service di DPRD Jambi, tentu sulit untuk membiayai pengobatan anaknya yang memerlukan biaya sekitar 1,5 juta rupiah sebulan di RSCM.

 

Ironis. Ya, saat negara membutuhkan peran, tenaga, pikiran & keterampilan atlet-atet kita untuk mengibarkan Sang Merah Putih serta mengumandangkan Indonesia Raya, negara justru abai & membiarkan para duta ini mendapat malu, & bergumul sendiri dengan kesulitan hidupnya. Negara dengan kekuasaannya yang semestinya bisa berbuat sangat banyak untuk menyelesaikan konflik di sebuah institusi resmi, serta berlimpah anggaran dalam membangun prestasi, justru sibuk berdalih.

 

Kisruh PSSI vs KPSI sebenarnya bisa dituntaskan bila negara sunguh-sungguh & berkomitmen terhadap pembangunan prestasi sepakbola. Kisah yang dialami Leni, sang juara dunia dayung itu, juga tak perlu terjadi seandainya negara sadar bahwa di sisi lain, sekian miliar rupiah justru dinikmati oleh para pengelola olahraga negeri ini melalui berbagai proyek seperti Wisma Atlet atau Hambalang.

 

Olahraga hanyalah salah satu dimensi hidup di negeri ini yang dapat membuat rakyat dapat melupakan berbagai kekacauan serta ketidakbecusan pengelola negara yang berdampak pada berbagai masalah bangsa. Olahraga-lah yang membuat rakyat kecil masih punya kebanggaan ber-Indonesia, masih mencintai Merah Putih, serta tidak malu untuk berkata “Saya orang Indonesia!”.

 

Kita tak perlu naif dengan fakta bahwa seperti apapun kemajuan ekonomi (makro) yang digembar-gemborkan pemerintah itu, masih banyak hal yang dapat menjadi indikator ketertinggalan kita dari berbagai negara yang dulu justru belajar dari kita. Mari kita bicara yang gampang-gampang saja: beranikah kita menyandingkan kelas Ibukota Negara Jakarta dengan ibukota tetangga kita seperti Singapura atau Kuala Lumpur?; beranikah kita membanggakan produk nasional kita seperti Malaysia bangga dengan Proton-nya?; beranikah kita berbicara soal kesejahteraan masyarakat di pulau terluar atau perbatasan saat kita harus membandingkannya dengan apa yang dilakukan Malaysia terhadap perkampungan mereka di perbatasan yang sama?

 

Sebagai anak bangsa yang sangat mencintai negeri ini, saya khawatir bahwa pengelola negara ini sudah terjebak dalam pragmatisme kuantitas. Semua diukur dengan angka, persentase, rupiah/dollar, dsb. Kita terlalu ignorant pada kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang kita sebut positif itu adalah angka dalam persen; tidak lebih. Tapi fakta bahwa kita masih mengimpor bahan pangan, bahkan di beberapa daerah masyarakatnya masih mengalami malnutrisi & kekurangan pangan (saat sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia negara agraris) adalah soal kualitas: kualitas manajemen pangan yang buruk, apakah itu di bidang penelitian, pembudidayaan benih, pengelolaan lahan, distribusi, hingga pengendalian harga. Tak perlu berdalih & menutup mata, karena itu semua ada di negeri ini.

 

Memang, di sisi lain kita juga patut berharap bahwa ada segelintir orang yang ketokohannya dapat mencuatkan harapan kita akan sesuatu yang lebih baik. Namun ini juga bukan pembenaran bahwa negara bisa abai terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa sedikit orang-orang baik ini akan berhadapan dengan tembok & badai “pro status quo” yang telah sangat sistematis & terorganisir, yang dimotori oleh sekelompok orang yang tak rela zona nyamannya di-“utak-atik”.

 

Saya percaya, bahwa pada saat John F. Kennedy mengatakan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS tahun 1961 “Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country“, ia tak pernah sedikitpun bermaksud bahwa negara bisa berbuat atau abai semaunya terhadap warganya…

INTERMEZZO: WHAT UNIQUELY COMES BETWEEN LINCOLN AND KENNEDY

Abraham Lincoln masuk Kongres AS tahun 1846.
John F. Kennedy masuk Kongres AS tahun 1946.

Abraham Lincoln terpilih menjadi Presiden AS tahun 1860.
John F. Kennedy terpilih menjadi Presiden AS tahun 1960.

Keduanya sangat peduli hak-hak sipil.
Kedua istri mereka kehilangan anak saat di Gedung Putih.

Kedua presiden ditembak hari Jumat.
Kedua presiden ditembak di kepala.

Mmmmm… What’s next?

Sekretaris Lincoln bernama Kennedy.
Sekretaris Kennedy bernama Lincoln.

Keduanya dibunuh oleh orang dari daerah selatan.
Keduanya digantikan oleh orang selatan dengan nama Johnson.

Andrew Johnson, pengganti Lincoln, lahir tahun 1808.
Lyndon Johnson, pengganti Kennedy, lahir tahun 1908.

John Wilkes Booth, yang membunuh Lincoln, lahir tahun 1839.
Lee Harvey Oswald, yang membunuh Kennedy, lahir tahun 1939.

Kedua pembunuh terkenal dengan tiga namanya.
Nama keduanya terdiri dari 15 huruf.

Then what???

Lincoln ditembak di teater bernama ‘Ford’.
Kennedy tertembak di mobil ‘Lincoln’ dibuat oleh ‘Ford’.

Lincoln tertembak di teater dan pembunuhnya bersembunyi di gudang.
Kennedy tertembak dari sebuah gudang dan pembunuhnya bersembunyi di teater.

Booth dan Oswald terbunuh sebelum diadili.

And you know what…?

Seminggu sebelum Lincoln tertembak, dia berada di Monroe, Maryland.
Seminggu sebelum Kennedy tertembak, dia bersama Marilyn Monroe.

That’s life anyway….