Aku ingin kamu tahu bahwa
aku begitu berterima kasih atas hadirmu yang meyakinkan aku betapa Tuhan setia
hadir dalam hidupku.
Tulisan ini aku buat untuk
mengungkapkan terima kasihku yang teramat besar atas hadirmu, dan sebagai
ungkapan syukurku di hari istimewa ini. Ketika
menulis ini, ingatanku terbang ke berbagai kenangan masa lalu yang membangun
rasa syukurku yang tiada habis pada Tuhan kita.
Di masa awal mengarungi
rumah tangga, kita sering bingung mau makan apa karena gajiku sudah habis di
tengah bulan. Aku juga ingat kebiasaanmu
menggendong anak pertama kita sambil menjemur pakaian. Kemana-mana kita selalu jalan kaki atau naik
angkot karena belum punya kendaraan.
Lalu suatu hari kita pernah berlari panik ke rumah sakit karena Dimitri
kecil jatuh dari kasurnya. Dan yang
cukup menggelikan, kita pernah tidak jadi ke gereja karena basah kuyup kena
cipratan air dari mobil yang lewat saat kita dalam perjalanan naik motor. Hehehe…
Sekarang semuanya berbeda,
dan aku bersyukur karenanya. Namun, kamu
tetap pribadi yang sama hebat dan setianya sejak pertama kita bersama. Setiap hari
kamu memastikan makanan tersedia di rumah.
Setiap pagi kamu menyiapkan segala sesuatu untukku berangkat ke
kantor. Kamu membuat rumah kita selalu bersih,
cerah, dan nyaman. Kamu mendesain rumah
mungil kita di Magelang dengan amat berkelas.
Dan sebagai seorang Ibu, kamu memastikan anak-anak mendapatkan
pendidikan terbaik mereka,
Semua ingatanku akan perjalanan panjang itu menunjukkan betapa hebatnya dirimu, betapa tangguhnya pribadimu, dan betapa setianya kamu menjaga cita-cita kita. Itu semua semakin membuatku bersyukur, karena di sisiku berdiri seorang wanita luar biasa.
Ketika melihat betapa
berlimpahnya berkat Tuhan atas hidup kita, aku percaya itu karena Dia melihatmu
dan anak-anak kita. Itulah sebabnya aku
senantiasa bersyukur, karena jalan berkat itu adalah pribadi hebat di
sampingku,
Mama sayang,
Untukmu, kuucapkan “Selamat
Ulang Tahun”, kiranya kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan selalu bersamamu.
Dan kepada Tuhan,
Kuucapkan syukurku atas
seorang wanita hebat yang Dia hadirkan untukku, dan kepadaNya pula aku
percayakan hidup wanita terkasihku.
Sungguh, hidupku adalah
sebuah karunia, dan itu karena kamu. Terima
kasih telah membuat hidupku terasa begitu istimewa dan penuh syukur.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat
sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan
oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah
melakukan perlawanan di berbagai daerah.
Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan
di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa
kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan,
pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa
tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan”
Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah
yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.
Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat”
atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.
Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai
bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki
sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.
Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis
untuk menjadi sebuah negara merdeka?
Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan? Punya sumber daya untuk membiayai
pembangunan? Punya angkatan perang yang
cukup kuat untuk melindungi negara?
Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.
Lantas kecakapan atau kompetensi apa
yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka? KOMPETENSI MORAL. Kecakapan moral itulah yang membuat para
tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk
memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka. Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu
tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang,
karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib
Indonesia. Mereka juga berpotensi
dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan
Jepang pasca menyerahnya Jepang. Namun,
kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri
bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan
orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.
JANGAN
PERNAH LUPA PADA SEJARAH
Itu 75 tahun yang lalu. Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia
yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam
siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”. Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah
usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan
jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan
dalam tata kelola bermasyarakat. Adalah
sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita
sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.
Kembali pada sejarah, setelah merdeka
bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya. Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun
politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya
Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an,
hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI. Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih
bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998,
yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat
ini.
Berbagai pencapaian telah diraih. Pembangunan infrastruktur berjalan masif,
Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang
bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”. Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan
kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih
sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari
sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun). Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang
seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi. Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting
adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”
History
is the foundation of a nation. Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa. Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun
di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah
kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.
Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi
sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang
rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng. Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah
bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari
semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata
para pendahulu kita.
KOMPETENSI
MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA
Para pendiri bangsa ini telah
menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal
sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama
kita kompeten secara moral. Apa yang
dimaksud “kompeten secara moral” itu?
Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi
kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan
kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama,
mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak
pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.
Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian
figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta,
Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit
sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah
proklamasi. Kompetensi moral itu pulalah
yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap
berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan
Indonesia yang masih berusia dini. Juga pada
diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota
negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang
terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia. Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang
dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang
lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya. Diri dan keluarga merekapun berada di
prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.
Tujuan pembangunan negara adalah untuk
mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial).
Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai
aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta
keamanan.
Cita-cita nasional hanya dapat
diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.
Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak
kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.
Benchmark dari karakter bangsa
ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal
kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita
bernegara. Artinya, kita perlu kembali
lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami
bagaimana kita harus melangkah ke depan.
Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat
kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia
tahun 2003.
SEBERAPA
KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?
Di tengah kemajuan teknologi informasi
yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif
tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa
melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan
perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai
lembaga penegakan hukum sudah dibentuk. Tidak
sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata
teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat. Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih
tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu
sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.
Kita bangga dengan pencapaian
pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa
itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh
sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan
nasional kita yang sudah maju. Sebelum pandemi
Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil
harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara
hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal
yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi
di Pulau Jawa, yang nota bene satu
pulau dengan Ibukota negara). Saat pandemi,
terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern
yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah
di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan
sinyal dan akses internet yang stabil. Masih
banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.
Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita
masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.
Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa
contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir
dan sikap moralnya. Tidak mengherankan,
karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap
moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka. Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa
otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.
Pencapaian kita memang banyak di 75
tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan
kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD
1945, itu persoalan lain. Menjawab
pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada
dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik
masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta
kepuasan diri sendiri.
Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini
dibangun di atas kompetensi moral.
Kanal Youtube pertama Dimitri bersama rekannya Rama mereview mobil Suzuki Jimny. Masih belajar membuat konten Youtube, jadi mohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada. Kami sangat menghargai setiap “Like”, “Subscribe”, “Share” serta komentar-komentar demi perbaikan kanal ini di kemudian hari. Selamat menikmati, terima kasih.
First Youtube channel from Dimitri and his mate Rama, reviewing Suzuki Jimny car. Still learning to make a Youtube content, so apology for flaws you might find. Every “Like”, “Subscribe”, “Share” and comment for this channel improvement in the future is highly appreciated. Enjoy the review and thank you.
Sugeng sonten Mas Didi Kempot yang sangat saya
hormati dan kagumi,
Mau memberitahu sampeyan aja
bahwa pagi ini saya syok banget membaca berita tentang kepergianmu. Baru kemarin saya menyaksikan video klip Anda
“Ojo Mudik” yang berisi himbauanmu untuk tidak mudik di tengah pandemi Covid-19
ini. Belum lama juga saya menambahkan
beberapa lagumu di playlist Youtube
Music saya. Lalu juga belum hilang dari
ingatan saya menonton konser amal Anda di Kompas TV yang menghasilkan 7,5
miliar rupiah hanya dalam 3 jam untuk disumbangkan bagi penanggulangan wabah
saat ini.
Sejauh ini Mas Didi, tulisan ini adalah tulisan pertama yang saya buat
dengan mata berkaca-kaca, bahkan saya sudah beberapa kali menyeka air mata
saya. Ngga tau kenapa, tapi yang jelas Anda adalah selebritis Indonesia
pertama yang saya kagumi. Memang saya
sudah kenal lagu-lagu lama Anda seperti “Stasiun Balapan” atau “Sewu Kuto”
sejak dulu, bahkan itu lagu-lagu favorit saya kalau berkaraoke bersama
keluarga. Tapi sejak anak laki-laki saya
mengenalkan beberapa lagu Anda lagi yang dia suka seperti “Kalung Emas”, “Layang
Kangen”, “Banyu Langit”, “Cidro” dan tentu saja “Pamer Bojo” yang selalu bikin
heboh itu, saya menjadi lebih intens mengikuti karya-karya Anda.
Lalu saya menjadi salah satu subscriberchannel Youtube Anda, dan lagu serta
suara Anda seolah bagian dari hidup saya sehari-hari sekarang. Perjalanan saya di mobil ke manapun selalu
diisi suara Anda. Bekerja di kantor juga
diiringi suara Anda. Menunggu istri
belanja juga diisi suara Anda di earphone
saya. Di rumah, buka Youtube ya cuma
untuk mencari lagu Anda. Anda memberi
keceriaan, hingga pagi sebelum saya tulis surat ini, di mana untuk pertama
kalinya berita tentang Anda menghadirkan kesedihan yang mendalam.
Saya belum pernah bertemu Anda.
Juga belum sempat nonton konser Anda.
Saya baru meniatkan untuk menonton konser Anda secara live, berdua dengan anak laki-laki saya,
tapi Anda telah lebih dulu berpulang. Meski demikian, bagi saya Anda sangat
istimewa, seperti halnya bagi “Sobat Ambyar” yang lain. Semakin mengikuti karya-karya Anda, semakin
banyak alasan saya untuk memandang Anda sebagai sebuah sosok yang berbeda. Anda bukan sekedar selebritis, bukan sekedar
artis atau penyanyi biasa. Anda adalah
idola, inspirasi, dan pendobrak. Tak
heran meski usia Anda berjarak cukup jauh dengan sebagian besar generasi
milenial penggemar Anda, Anda bisa begitu dekat dengan mereka.
Saya pernah menonton wawancara Anda yang dipandu oleh Gofar Hilman,
penyiar radio Hard Rock FM
Jakarta. Itu saat Anda banyak bercerita
tentang masa lalu Anda, bagaimana Anda menciptakan lagu-lagu Anda, dan
bagaimana sikap Anda ketika banyak penyanyi lain mengambil keuntungan dari
lagu-lagu yang Anda ciptakan. Semua
cerita Anda itu adalah “Wow” buat
saya. Banyak lagi cerita-cerita yang
Anda sampaikan di berbagai kesempatan, kepada berbagai presenter, yang semuanya menggambarkan satu hal di mata saya: Anda
adalah orang yang apa adanya.
Kostum Anda selalu sederhana. Kaos,
kemeja atau batik, itu yang paling sering saya lihat. Paling mewah ya busana Jawa lengkap dengan blangkon-nya. Gaya Anda tidak dibuat-buat, entah itu saat manggung atau saat interview. Anda berbicara
sebagaimana Anda berbicara sehari-hari.
Logat Jawa Anda sangat kentara, dan itu tidak berusaha Anda tutupi. Boso
londone: “genuine”. Seandainya waktu bisa diputar dan kita bisa
melihat Anda di masa lalu, saya yakin tidak akan melihat banyak perbedaan
dengan apa yang saya lihat dari Anda saat ini.
Seorang Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot yang orang-orang sekitar
Anda kenal sejak Anda kecil adalah orang yang sama dengan yang dikenal generasi
milenial hari ini.
Anda membuktikan bahwa menjadi “apa adanya” tidak akan membuat kita
hina. “Apa adanya” Anda justru menjadi
pembeda Anda dari seleb-seleb lain yang cuma sibuk bikin sensasi, pamer ini
itu, bikin berita plesir kesana
kemari, tapi miskin prestasi. Seleb-seleb yang—buat saya—cuma bikin sakit
mata kalau buka situs berita. Anda hanya
tahu bagaimana berkarya, bikin lagu-lagu yang bertema sederhana dengan bahasa
yang sangat gampang dicerna, yang menggambarkan hal-hal realistis dalam
hubungan antar umat manusia. “Apa adanya”
Anda membuat musik Anda tidak lekang oleh modernisasi jaman.
Anda tidak sibuk mencitrakan diri Anda, meski Anda tahu penggemar Anda
jutaan, tidak hanya di dalam tapi juga luar negeri. Anda mungkin tidak kepikiran bikin channel
Youtube kalau tidak ada yang memberi masukan dan membuatkannya untuk Anda (itu feeling saya lho Mas). Anda tidak pernah
memposisikan diri Anda di atas yang lain.
Anda penuh dengan empati dan apresiasi terhadap orang lain. Gaya Anda di panggung juga “begitu-begitu
saja”. Tapi itulah hebatnya Anda, Mas
Didi. Anda memang tidak perlu membuat yang
“aneh-aneh” di panggung atau di luar panggung, karena Anda sudah ditakdirkan
membawa perbedaan dalam diri Anda sendiri.
Ketika karya Anda dijadikan bahan mencari keuntungan oleh orang lain,
Anda hanya senyum-senyum saja. Tapi Anda
terus berkarya dan berkarya. Anda
meyakini bahwa keuntungan yang didapat orang lain dengan karya Anda adalah
amalan untuk Anda. Suatu sifat yang
hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, orang-orang besar. Sebuah karakter yang orang-orang dengan label
atau atribut “pejabat”, “orang penting”, “wakil rakyat” bla bla bla sekalipun
belum tentu memilikinya. Karakter yang menunjukkan
bahwa Anda adalah seorang pemenang.
Anda dibesarkan dengan karya Anda.
Anda dididik oleh kehidupan Anda sendiri, yang keras dan penuh pahit
getir. Mengamen di jalanan, di bis kota,
mengadu nasib dan ngekos di kamar
sempit di Jakarta, ditolak label rekaman, dan berbagai cerita pahit
lainnya. Itu yang membesarkan Anda, dan
menjadikan Anda seperti sekarang. Didi
Kempot yang sederhana, apa adanya, penuh empati, merakyat dan bisa dekat dengan
siapa saja meskipun ngetop-nya sudah ngga ketulungan.
Dari Anda, saya semakin yakin bahwa menjadi diri sendiri adalah yang
utama bagi setiap orang, karena kita tidak akan pernah menjadi sama dengan
orang lain, sekeras apapun kita mencobanya.
Dan kita memang tidak perlu mencoba menjadi seperti orang lain. Tuhan menciptakan diri kita berbeda dengan
yang lain, dan di dalamnya Tuhan menanam benih-benih talenta, berkat, dan
kelebihan sejak kita dilahirkan. Tidak
perlu mengeluhkan apa yang tidak kita punya, karena pada dasarnya orang lainpun
banyak yang tidak memiliki apa yang kita miliki. Menjadi diri sendiri adalah tentang bagaimana
kita menghargai dan mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan untuk kita, dalam
wujud lahir dan bathin kita.
Anda memberi teladan bagaimana mencintai apa yang kita kerjakan. Anda memberi jiwa di setiap lagu Anda, bukan
sekedar rangkaian nada dengan lirik yang hampa.
Anda mengangkat hal-hal yang sehari-hari ada dalam kehidupan kita, sehingga
tidak sulit bagi siapapun untuk mencernanya.
Lirik, nada, dan musik-musik Anda simpel, tidak rumit, dan sekalipun sebagian
besar dalam Bahasa Jawa, semua orang bisa memahaminya. Itu karena musik adalah sesuatu yang Anda tekuni
dengan cinta, passion, sehingga
siapapun yang mendengar lagu Anda serasa sedang mendengarkan sebuah seruan hati,
bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tidak aneh bila anak-anak muda sekalipun
bisa menangis di konser Anda, dan tidak aneh pula bila karya-karya Anda bisa
diterima berbagai kalangan, mulai kaum elite sampai masyarakat kebanyakan, menerjang
batas usia, suku, etnis, agama, bahkan batas negara.
Anda memberi contoh bagaimana membangun hidup yang bermanfaat bagi banyak
orang. Musik Anda sendiri sudah menjadi
sumber hiburan jutaan manusia. Ditambah
lagi empati Anda yang luar biasa bagi mereka yang berkekurangan. Anda mengadakan konser amal dari rumah untuk
mereka yang terdampak wabah belakangan ini, dengan “menawarkan” suara dan
lagu-lagu Anda. Anda bahkan “membiarkan”
orang lain memanfaatkan lagu Anda untuk keuntungannya sendiri, tanpa minta ijin
atau memberi tahu Anda. Lagu-lagu Anda
adalah representasi suara banyak orang, corong untuk berbagai jeritan.
Dari Anda pula saya memiliki optimisme akan generasi muda kita, yang
dengan bangga melabelkan diri mereka sebagai “Sadbois” dan “Sadgirls” dalam
komunitas besar “Sobat Ambyar”. Mereka
adalah perlambang bahwa musik kita, sekalipun dengan genre tradisional kedaerahan, masih mendapat tempat istimewa di
hati kalangan muda. Saya selalu takjub
melihat setiap video konser Anda, di mana anak-anak muda itu tidak hanya
berjoget, melainkan hafal setiap kata di lagu yang Anda nyanyikan. Mereka luar biasa, dan itu karena Anda.
Sekarang, mendengarkan lagu-lagu Anda tak akan terasa sama lagi. Kalau dulu mendengarkan lagu-lagu Anda adalah
keceriaan, atau tangisan suara hati, kini mendengarkan lagu-lagu Anda akan
terasa seperti merangkai mozaik kenangan.
Kenangan yang Anda tinggalkan di setiap lirik lagu Anda, kenangan akan
seseorang yang sederhana yang mencintai pekerjaannya, dan membaktikan hidupnya
untuk kemaslahatan banyak orang. Ya,
sekarang mendengarkan lagu Anda adalah sebuah kilas balik mengenang seorang
legenda, seorang “Maestro”, seorang musisi hebat yang setia menjadi dirinya
sendiri.
Pada akhirnya, Sang Pencipta yang sangat mencintaimu lebih memahami apa
yang terbaik. CintaNya jauh lebih besar dari cinta para
penggemarmu. Bila kemarin orang menangis
karena lirik lagu Anda, sekarang orang menangis karena Anda. Terima kasih, Mas Didi. Selamat jalan dan selamat beristirahat dalam
kedamaian, The Godfather of Broken Heart.
Ketika saya berkesempatan menempuh
pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula
bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary
school) di kota Queanbeyan, NSW.
Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya
sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra. Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu. Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3
sore. Siswa di situ selalu mendapat PR
setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.
Saya selalu membaca lembar kertas PR yang
dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian
saya. PR itu hanya berupa 1 lembar
kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa
selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran
lain. Matematikanya sangat gampang untuk
ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di
kelas II dan III di sekolahnya di Bogor.
Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.
Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang
isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website
bla bla bla dot co dot au. Jawab semua
pertanyaan di dalamnya. Bila ada yang
tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”. Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan
soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi
ada juga yang tidak. Semula anak saya
meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi
saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak
bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.
Karakter,
Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan
Suatu hari ketika menjemput anak saya di
sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan
saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya. Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa
soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia
seperti anak Bapak. Tapi dalam keyakinan
kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis,
dan berhitung. Kalau cuma itu, selama
anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal,
mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung. Itulah yang diberikan sekolah. Tapi ketika membangun karakter, kita harus
mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini. Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami
membangun tempat mendidik”.
“Maksudya?”, tanya saya.
“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang
berisi tugas untuk membuka sebuah website
dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.
“Ya, saya melihat itu”
“Nah, itulah sebenarnya intinya”
“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”
“Negara kami merancang model tugas yang
seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak. Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya
sendiri. Dia harus mengerjakan sendiri
sebatas yang dia mampu. Ketika ada
hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk
mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas. Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab
soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan
bagaimana dia menjawab soal itu”
“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa
menjawab soal itu?”
“Di situlah peran saya sebagai Guru”
Kejujuran,
Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas
Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya
luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi. Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela
yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan. Yang saya lihat betul-betul membuat saya
kagum.
Di dalam kelas seorang teman anak saya
sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan.
Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan
kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu. Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri
dalam menjawab soal itu. Akhirnya muncul
diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya
duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.
Setelah diskusi selesai, semua siswa
kembali duduk. Lalu Bu Guru menjelaskan
hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi. Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran
siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan
pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas
partisipasinya dalam diskusi. Tidak ada
satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model
pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu
berbeda-beda. Semua dihargai.
Satu hal menarik lagi adalah bahwa model
bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah
Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan
meja/mimbar Guru. Di sekolah anak saya,
susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang. Susunan yang demikian membuat anak-anak
saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun
kohesi satu sama lain. Menurut anak
saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.
Pendidikan
Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor
Guru lebih banyak berada di belakang kelas,
membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah
sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu
sama lain. Tapi ini bukan berarti Guru
tidak memantau perkembangan murid-muridnya.
Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.
Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”. Intinya adalah menggambarkan pencapaian si
anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa
kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran
kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas. Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman
yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu. Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi
rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.
Substansi rapornya pun sangat
menggugah. Sekolah selalu menghargai
potensi anak, apapun itu. Saya jadi teringat
obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar
bersekolah. Itu sebabnya di lembar rapor
tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking.
Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka,
ranking, dan sebagainya.
Setiap anak punya potensinya sendiri, dan
setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat
di kemudian hari. Anak yang susah
memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh? Mungkin memang potensinya bukan di
hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu
sosial (humaniora). Apakah ilmu-ilmu itu
tidak bermanfaat? Anda tahu jawabannya.
Nah, masalahnya sistem pendidikan kita
menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara
seragam. Nilai matematika minimal harus
75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik
kelas. Padahal potensinya memang bukan di
situ. Ketika dituntut sedemikian rupa,
demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara,
yang penting skornya nanti bagus. Dia
akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua
misalnya), dan lain-lain.
Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah
oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah
saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”. Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua,
nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan
seterusnya. Lagi-lagi, ini membuat
sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti
memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.
Pada akhirnya kita melihat sekolah justru
menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik. Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk
lain dari mencuri. Kebiasaan mencuri
yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit
kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid. Maka jangan heran ketika si murid ini suatu
hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan
pembunuh. Itu karena sejak dia sekolah,
dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri,
dan tidak mau mengakui kekurangannya.
Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan
“mentereng” di luar.
Pendidikan
Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek
Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20%
dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945. Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola
dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang. Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih
di situ-situ saja”.
Alokasi APBN yang besar dan berasal dari
uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang
mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu
pengetahuan. Karakter yang berisi
kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan
mencintai bangsanya. Pendidikan karakter
jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif. Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus
dimulai sejak dini.
Kurikulum harus disusun sedemikian rupa
agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme. Membuat model pendidikan yang seperti itu
jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin
maju. Jadi anggaran pendidikan tidak
habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa
cetak buku atau modul baru secara nasional.
Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru
lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.
Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar
kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga
pendidik. Jadi penambahan kesejahteraan
materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka
sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea
ke-4 Pembukaan UUD 1945. Bukan
sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli
muridnya bisa atau ngga, yang penting
jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.
Anggaran pendidikan yang besar juga harus
menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau
terluar di negeri ini. Pendidikan harus
murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama
untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada. Infrastruktur harus tersedia secara memadai,
jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada
hujan atau angin besar. Infrastruktur
itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak
perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah,
atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.
Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di
masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita. Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan
ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah
nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi
hancur oleh dirinya sendiri.
Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional,
Indonesia!
Gegara COVID-19, sudah sekitar 3 minggu
saya bekerja dari rumah alias Work From
Home (WFH), meski sempat beberapa kali ke kantor karena ada hal yang
mengharuskan kehadiran fisik di tempat kerja.
Saat sedang tidak ada pekerjaan dari kantor yang harus saya kerjakan di
rumah, salah satu kesibukan yang saya pilih adalah belajar menggambar 3-dimensi
(3D drawing). Di Youtube,
channel yang mengajarkan cara
menggambar 3D kebetulan banyak, jadi ngga
susah buat belajar.
Manfaatnya lumayan juga. Selain sebagai pengisi waktu luang, kemampuan
kognitif dan motorik saya terjaga, lalu dengan goresan-goresan pensil dan
spidol di secarik kertas polos saya bisa belajar sesuatu yang baru, dan
hasilnya cukup bisa memuaskan mata untuk ukuran seorang pemula yang masih
sekedar menirukan apa yang dikerjakan oleh para ahli di berbagai channel itu. Bisa sedikit “pamer” juga ke anak-anak dan
memperoleh apresiasi mereka (walaupun mungkin terpaksa karena itu bikinan Bapaknya hehehe…).
==========================
Mereka yang paham atau minimal pernah menggambar
3D tentu mengerti bahwa ilusi 3 dimensi dari sebuah gambar yang sebenarnya 2
dimensi dan dilukis di atas sebidang kertas itu diperoleh ketika gambar tersebut
dilihat dari satu sudut padang tertentu.
Artinya, gambar itu akan terlihat 3 dimensi hanya dari satu perspektif
yang tepat. Sebuah huruf yang mengambang
misalnya, hanya akan terlihat mengambang dari satu angle. Dari angle yang lain, ia hanya akan terlihat
seperti gambar sebuah huruf biasa dengan sedikit arsiran di dekatnya (yang
menjadi “bayangan” huruf itu ketika terlihat 3 dimensi). Ilusi yang dimunculkannya adalah persoalan
perspektif.
“Perspektif” sebenarnya bukan sesuatu yang
asing bagi manusia dan kehidupan yang sudah ribuan tahun ada di bumi ini. Setiap hari kita lekat dengan
perspektif. Apa yang kita pikirkan tentang sesuatu
sebenarnya adalah perspektif kita, yang berbuah pada tindakan kita atas sesuatu
itu. Ketika sesuatu yang sama dilihat
oleh orang lain secara berbeda, artinya perspektif orang itu juga berbeda. Dengan kata lain, ia melihat sesuatu dari
sudut pandang yang berbeda. Alhasil,
tindakannya atas sesuatu itu juga tidak akan sama dengan tindakan kita.
Dalam konteks sosial, perspektif layaknya
pelangi. Ia berpola sama, tapi warnanya
macam-macam: merah, jingga, kuning, hijau, dan sebagainya. Artinya, semua orang punya perspektif
terhadap satu hal yang sama, tapi hasilnya bisa berbeda. Perspektif adalah sebuah heterogenitas yang
abstrak, ngga keliatan di mata tapi
terasa dampaknya. Perspektif bukan
sebuah keragaman yang bisa dilihat kasat mata seperti suku, agama, warna kulit,
etnis, pangkat, jabatan dan sebagainya.
Sangat abstrak, tapi tidak semu.
Kembali ke contoh gambar huruf mengambang
tadi (yang saya jadikan ilustrasi tulisan ini), dari sudut mana seseorang
melihat gambar itulah yang akan menghasilkan interpretasi di pikirannya. Tindakan yang mungkin muncul adalah sebuah
kesimpulan verbal ketika seseorang akan berkata “Ah, itu gambar huruf biasa”
atau “Oh, itu huruf yang mengambang di udara”.
==========================
Sejarah umat manusia pada dasarnya juga
dibentuk dan ditentukan oleh perspektif-perspektif. Adam dan Hawa menjadi berdosa dalam
perspektif Tuhan karena mereka melihat sesuatu dari sudut pandang iblis,
sehingga Tuhan marah dan menghukum mereka (setidaknya itu yang diajarkan dalam
keyakinan yang saya anut). Perang Dunia
II dipicu oleh perspektif seorang Adolf Hitler terhadap bangsa Yahudi. Kebangkitan nasional Indonesia tahun 1908
didasari pada sebuah perspektif kebangsaan dari seorang Dr. Soetomo, begitu
pula Sumpah Pemuda 1928 oleh kelompok-kelompok pemuda Indonesia.
Perspektif membentuk cara berpikir. Cara berpikir membentuk cara bertindak atau
melakukan sesuatu. Cara bertindak
membentuk budaya, dan budaya membentuk peradaban. Perspektif pada dasarnya adalah akar dari
semua mekanisme, metodologi, dan cara-cara kita menjalani kehidupan hari ini,
mulai dari yang paling simple sampai
yang paling rumit. Perspektif jugalah
dasar dari segala keputusan yang kita ambil; dengan perspektif yang tepat,
keputusan kita pasti tepat. Demikian
juga sebaliknya. Perspectives make what we are today.
Apa yang manusia lihat dalam kehidupan saat
ini mungkin sudah baik dan memuaskan, dalam arti kita memperoleh banyak
kemudahan, keleluasaan, dan lain-lain.
Sebaliknya, sebagian orang masih melihat banyak yang belum ada, yang
perlu diubah, diperbaiki, dan sebagainya.
Itulah yang menghasilkan perbedaan di antara umat manusia. Perbedaan yang oleh sebagian orang dimaknai
sebagai keragaman, kekayaan, atau warna kehidupan, tapi oleh sebagian yang lain
dipahami sebagai pertentangan.
==========================
Perspektif adalah bagian yang melekat atau inherent dengan manusia dan kehidupan
itu sendiri. Perspektif adalah salah
satu anugerah terbesar Tuhan karena itulah yang membentuk kemanusiaan
kita. Manusia tanpa perspektif hanyalah
seonggok daging yang bernyawa, tapi sejatinya tidak “hidup”. Jadi, bersyukurlah ketika sebagai seorang
manusia, anda punya perspektif terhadap sesuatu, sekalipun itu berbeda dari
perspektif orang lain.
Kehadiran perspektif tidak pernah
salah. Yang salah—dan berbahaya—adalah
ketika perspektif itu menjadi sebuah “keyakinan” yang mati. Perspektif yang seperti itu yang kita lihat
dalam bentuk “fanatisme” yang justru menghasilkan kerusuhan, keributan,
pertikaian, bahkan perang. Sejarah kita
juga sudah membuktikan dengan banyak contoh: dua kali perang dunia, perang
lokal di berbagai negara atau wilayah negara, terbunuhnya pemimpin negara,
pemberontakan-pemberontakan, sampai kerusuhan antar kampung yang kerap terjadi.
Perspektif itu sendiri dinilai atau ditakar
kebenarannya oleh karakteristik sosial masyarakat tempat manusia itu berada. Artinya begini: perspektif si A bisa
dikatakan “salah” ketika norma-norma dalam karakteristik sosial di tempat si A
berada tidak bisa menerima perspektif itu.
Di tempat lain dengan karakteristik sosial yang berbeda, mungkin
perspektif si A bisa diterima atau dianggap benar. Begitulah kira-kira.
==========================
Perspektif yang “salah” atau “tidak sehat”
itu bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Namun, seperti apapun anatomi sosial masyarakat, saya melihat faktor
keterdidikan masyarakat menjadi hal terpenting agar perspektif yang “salah”
bisa diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
Kalaupun ada, ya masih bisa
dikendalikan. Keterdidikan yang saya
maksud adalah keterdidikan yang bersifat holistik, madani, membangun moralitas,
dan membentuk kemanusiaan manusia. Bukan
keterdidikan yang semata-mata disimbolkan dengan gelar akademis atau riwayat
sekolah yang panjangnya dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan.
Kejadian penolakan terhadap jenasah seorang
perawat yang meninggal karena terinfeksi Covid-19 setelah ia berjuang
menyelamatkan sekian pasien yang sudah terjangkit di sebuah rumah sakit di Jawa
Tengah misalnya, adalah contoh bagaimana tingkat keterdidikan menjadi penentu
terbentuknya sebuah perspektif yang “salah”.
Para provokator yang sudah jadi tersangka itu adalah tokoh masyarakat di
desa tersebut, yang saya yakin pendidikan akademisnya lumayan lah.
Alasan mereka (tindakan verbal menyatakan penolakan) lahir dari satu
perspektif: jenasah tersebut terjangkit virus Corona.
Keterdidikan yang dibentuk dari pengetahuan
yang minim tentang wabah ini membutakan mata mereka terhadap pemahaman yang
tidak sekedar bersifat medis (bahwa jenasah positif Corona yang sudah
diperlakukan dengan protokol penanganan virus tersebut tidak berbahaya bila
sudah terkubur) namun juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Orang-orang bodoh itu telah melihat dari
perspektif yang salah. Seandainya mereka
melihat dari angle yang lain,
misalnya bahwa di perawat ini sudah berjasa besar menyelamatkan nyawa
orang-orang yang dinyatakan terjangkit—yang mungkin juga berasal dari kampung
mereka—maka penilaian verbalnya akan mengatakan “Dia seorang pahlawan, mari
kita sambut dan doakan agar dia beristirahat dalam damai”. Perspektif konyol mereka telah membunuh
moralitas, nilai kemanusiaan, dan pada akhirnya “mengorbankan” masyarakat
mereka sendiri.
==========================
Bagaimana kita membiasakan diri
memanfaatkan perspektif atau cara memandang sesuatu dalam hidup kita pada
akhirnya menjadi benih yang membentuk diri, derajat, martabat, dan kehormatan
kita. Orang-orang yang bijaksana dan
luhur budi pekertinya pastilah orang-orang yang terbiasa melihat sesuatu dari
berbagai perspektif berbeda. Mereka
adalah orang-orang yang ingin mendapatkan gambaran utuh tentang suatu hal, dan
selalu percaya bahwa ada sesuatu yang baik dari apa yang terlihat tidak
baik. Orang-orang yang selalu positif,
optimis, namun tetap menjejakkan kakinya di atas realitas. Yang jelas, mereka pasti bukan para
perundung, pengeluh, atau pencaci, melainkan orang-orang yang hidupnya dipenuhi
ungkapan syukur kepada Sang Pencipta Kehidupan.
Seperti gambar 3D tadi, dari satu sisi ia hanya terlihat seperti sebuah huruf biasa yang tidak istimewa, yang bisa dibuat siapa saja. Tapi ketika dilihat dari sisi yang berbeda, ia akan terlihat sebagai sebuah karya seni, yang perlu waktu, tenaga serta keterampilan untuk membuatnya. Di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19 seperti sekarang, ketika segala sesuatu seolah memudar dan suram, mari kita melihat dari perspektif yang lain, dari sudut pandang yang berbeda. Saya yakin, ada maksud Tuhan yang masih tersembunyi untuk kita ungkap…….tentu saja melalui perspektif yang tepat.
One of or all those above words might be used
by future generations to mark one among many that has happened in human
civilization. Later in our grandchildren or grand grandchildren school books,
those words will refer to “a milestone” marking a change in how life is run up
to their time.
Well, our world is no stranger to
change. Our civilization evolves from
time to time for various reasons: war, disease, and technology are among others.
Every generation has its own way of
living, and some “lucky” generations like us—aged 40 to 60 years today—have
gone through more than one living style.
What
has changed today?
This Covid-19 outbreak has by far changed
some parts of our life. Now everyone is
forced to get even closer to their gadgets.
We recently avoid shaking hands, and introduce new styles of saying
hello to others. Students and office
workers are more familiar to teleconference, remote classes, and many
more. Lately also, we are getting used
to keep physical distance with others.
Things we never thought before that we will have to go through those
today.
Historically, this phenomenon is not
strange, once again, but the ratio between the scale versus the speed of the spread
is. Our new “habits” are formed in just
a matter of months, instead of years or generations. Driven by panic and little knowledge of what
actually happens and how to deal with it, we tend to accept what is told, be it
by authorities, friends, or even somebody we only know in our social media. “We have to change things”, that’s all we
know…and then do.
Let’s look deeper at a simple
instance. By working from home, parents
will get closer to children—who are also studying from home. This will elevate the quality as well as
quantity of interaction, and in turns give parents new perspectives on how
their children struggle in their studies.
Also resulted from this so called “WFH” is necessity for parents to
understand a little deeper how social media work, otherwise they will not be
able to perform their job. Fathers will
go more frequently to kitchen—at least now they do dishwashing even better than
mothers do.
The use of network data increases
significantly, so does consumption of clean water. The use of bio-fuel, on the other hand,
declines as cars are retreated home.
Neighborhoods become cleaner and quieter, since people stay at
home. However, level of anxiety raises:
anxious of being infected, worry of not having enough daily supplies, and of
course, anxious of how life can be sustained when you stop working.
What
will this outbreak bring for our future?
Despite all the hardships humankind have
to get through these days, this unexpected outbreak might lead us to many good
deeds in the future. Healthy living is
just one example: hand-washing habit, greater care to environment and personal
cleanness, and many more. The rise of
empathy to others is also a good value this outbreak brings. Stronger family ties is another one to
mention. Anyone of you might have your
own to say to make this a long list to read.
We can also expect to have some new
models in doings things. Some offices
might find working from home is quite effective: it reduces daily operational
cost, saves electricity consumption, etc.
Some schools might also find studying from home is not a bad idea. One challenge in doing so, perhaps, is
availability of network. A network not
only sufficient to support connection from different distant places, but also
with good sustainability.
The mankind will also find an increasing
need of clean water. This will raise nation
awareness, as well as global challenge, of sustaining clean water resources for
the future. Consequently, researches on
natural resources will also be broaden to find alternatives of providing clean
water for people. Rivers will be cleaned
up, and reservoirs will be built more or widened. Cities will also be built with better
guarantee to clean water access.
Will
the change be always good?
Basically, a new civilization replaces
the old one. However, we can find many
example on how people can maintain good values from time to time, regardless
how civilization changes for ages. In
Indonesia for example, there are many areas in which we can see local wisdoms
are maintained while at the same time we trust our mobile phones more than we
do to ourselves. Japan is also a good
example in how modern technologies live side by side with traditional
philosophy or belief that has last for thousands of years.
My highlight is this: we expect changes
in many aspects of our life. However,
this Covid-19 is something different in terms of changing how people can mingle
with each other. We might see that
handshaking will not be common anymore, let alone cheek-kissing and hugging. Greeting someone with “Namaste” style gesture
might be more visible in the future. We
might also find keeping reasonable physical distance during talks or meetings
makes us feel safer, even with someone we know in day-to-day basis.
Is it good? It depends, I believe. Moreover, the more substantial issue is not
whether it is good. The challenge for us
is how to maintain good spirit in social relationship regardless how we should
or would behave in physical terms. Yes,
the danger this outbreak can bring for us is negativity in seeing others. When we see people sick for example, we might
easily think “Be careful, he might be infected!” Negativity is what we have to deal with—and
overcome—when we live post this outbreak.
Well, we might have a stronger internet
connection as we will work more from home than from office, or better water
supplies, or better network-based methodologies in doing things, or many other
things. But when our thoughts are
occupied with negativity, our core of civilization i.e. social cohesion will be
in danger. I have written before (in
Bahasa Indonesia) that when we are mistaken in dealing with this issue, it is
not simply human fatalities that we have to face, but more importantly, the
death of civilization.
Humans are created social beings. That’s what makes communities, societies, and
nations. That’s what makes the world we
are living in. That’s what makes us
today. Cohesion among individuals is
what forms the way we live, the way we behave, the way we treat ourselves and
others. That’s what this outbreak will
hit and defeat, if we welcome negativity to our minds.
Now, it’s time to learn to appreciate life, and what it has given to us. Time to learn to support and care of each other, or to do so more than before. Indeed, everything will not be the same again, but let’s stay positive. That’s what makes us still human beings.