Sebuah Oase Kecil, dan Pengingat Yang Besar

Bripda Taufik yang saya hormati,

Kita bisa berbagi cerita yang nyaris sama, dan sungguh salut atas keyakinan anda akan kebesaran serta keadilan Tuhan, juga cinta anda untuk keluarga anda. Doa terbaik saya untuk kesuksesan hidup dan karier anda, dan salam hormat saya untuk Bapak Triyanto yang luar biasa, yang mengingatkan saya pada Ayah saya…

Salam bangga,

J.K.Ginting

http://regional.kompas.com/read/2015/01/15/06450061/Kisah.Bripda.Taufik.Wujudkan.Mimpi.Jadi.Polisi.meski.Tinggal.di.Bekas.Kandang.Sapi

INSPIRASI GAYATRI

2340368fan-page780x390
www.kompas.com

Tidak sering saya menulis dua tulisan dalam selisih yang cuma hitungan hari. Tapi hari ini, terus terang saya terlalu terharu karena sebuah berita yang saya baca di sebuah media online, dan tidak tahan untuk tidak menulis apa yang saya rasakan. Berita itu adalah tentang seorang wanita muda bernama Gayatri Wailissa (17 tahun), yang meninggal dunia di RS Abdi Waluyo Jakarta Kamis (23/10/2014) malam. Dalam usia belianya, ia adalah seorang polyglot yang menguasai 14 bahasa. Barangkali bakat-bakat sejenis banyak kita lihat di sekitar kita, namun bagi saya Gayatri adalah seorang yang berbeda.

Gayatri ternyata jauh lebih dewasa dibandingkan usia biologisnya. Dia seorang yang begitu mampu mengelola persoalan dengan sebuah pendekatan yang cemerlang: “berpikir dan berbuat di luar kotak”. Filosofi itu umum di masa sekarang (meskipun tak banyak juga yang memahaminya), sayapun memiliki filosofi yang sama. Yang membuat itu tidak umum adalah bahwa filosofi hebat itu dipahami betul oleh seorang yang masih belia. Di usia itu, remaja kita umumnya masih sangat klasik dalam berpikir, dan masih pragmatis dalam memecahkan masalah.

Tidak banyak anak muda yang mau mempelajari bahasa asing, apalagi secara otodidak. Tidak banyak orang yang mampu mengelola perasaan kecewanya dengan terus berusaha dan berjuang.   Tidak banyak orang yang mampu bertahan dari perasaan “ditolak”, “tidak dianggap”, atau “diabaikan”.   Tidak banyak juga orang yang telah dipercaya menjadi duta bangsa mampu menerima kenyataan bahwa prestasinya kalah populer di media dibandingkan dengan sebuah kontes “ratu-ratuan”, “idol-idolan”, atau pernikahan bermilyar-milyar rupiah seorang selebriti (yang tidak jelas apa yang telah diperbuatnya untuk bangsa ini).

Itulah yang mempesona saya dari seorang Gayatri. Ia adalah salah satu dari yang “tidak banyak” itu. Hebatnya lagi, mentalitas itu ia miliki dalam usia muda, saat berjuta remaja lainnya lebih memilih untuk membiarkan diri mereka terjebak dalam euforia sekularisme dan kesalahan memilih panutan. Gayatri menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan buku guna memahami tata bahasa, mendengarkan lagu untuk mempelajari pelafalan, dan membuka kamus untuk menambah khasanah kosa kata. Dia tidak terjebak dalam kepasrahan karena kesederhanaan orang tuanya yang tidak mampu memasukkannya ke kursus-kursus bahasa. Dia tidak mau terperangkap dalam kekecewaan karena Gubernur Maluku menolak permohonan bea siswanya. Dia juga tidak larut dalam kesedihan berlebih saat mendapati kenyataan bahwa “seorang duta bangsa tidak penting untuk pemerintah kita”.

Saya betul-betul kagum pada anak muda ini, dan paham sekali apa yang ia rasakan. Memang sakit rasanya, bila potensi dan prestasi kita tidak mendapat penghargaan yang sepadan. Tidak mudah untuk berjuang dan bertahan di sebuah komunitas yang serba kuantitatif, komunitas yang menghargai seseorang hanya karena kekayaannya, kekuasaannya, parasnya, atau golongannya. Komunitas yang angkuh, yang hanya berkata “Who the hell are you?” atau “Memangnya kamu siapa?” kepada mereka yang berprestasi tapi tidak kaya, tidak berkuasa atau punya koneksi ke penguasa, tidak rupawan, atau tidak berasal dari golongan tertentu. Komunitas yang dikuasai para preman yang hanya tahu “meminta jatah”, dan para pencoleng yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Mungkin banyak Gayatri lainnya di negeri ini. Yang jelas, dari orang-orang seperti ini kita patut belajar, bahwa banyak jalan menuju cita-cita dan menembus batasan. Belajar dan menguasai 14 bahasa asing dengan otodidak bukan sesuatu yang main-main, dan dengan itulah Gayatri telah menunjukkan cara hidup yang dipenuhi ungkapan syukur, bukan keluhan-keluhan. Baginya, masalah hidup akan tetap ada, dan tidak ada satu keluhanpun yang akan membuat masalah selesai atau makin mudah. “Sisi-sisi kotak” itu akan tetap di sana, dan tak ada gunanya kita menabrakkan diri kita ke sisi-sisi kotak itu. Keluarlah dari dalamnya, dan jadikan dirimu merdeka. Tempatkan dirimu di luar kotak itu, dan buat setiap langkahmu lebih ringan dan leluasa.

Selamat beristirahat dalam damai, Gayatri…

PERUBAHAN: Titipan Pesan Dari Semesta…

Earth globe
www.depositphotos.com

Beberapa hari terakhir, bangsa ini tenggelam dalam euforia demokrasi setelah Presiden ke-7 Republik Indonesia dilantik tanggal 20 Oktober lalu. Saya prajurit yang tidak berpolitik, dan tidak soal bagi saya siapapun yang menjadi presiden. Namun, saya cukup senang dengan berbagai perkembangan ini, yang berjalan dengan penuh damai, serta mengucapkan selamat atas dilantiknya Bapak Ir. Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019.

Fenomena ini adalah sebuah momentum yang layak kita tangkap dan cermati. Banyak dari kita yang lupa, tidak tahu, atau pura-pura lupa dan pura-pura tidak tahu. Siapapun yang berkeyakinan, beriman, dan mengamini kebesaran Tuhan pastilah paham, bahwa Tuhan melalui alam semesta punya kehendakNya sendiri, yang tak seorangpun akan sanggup membendungnya. Dunia kita sesungguhnya telah menghadirkan banyak sekali pesan melalui beragam fenomena, kejadian-kejadian monumental, dan peristiwa-peristiwa yang sarat peringatan. Persoalannya sekarang, cukup cerdas dan pekakah kita untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh semesta itu?

Pesan Pertama: Tuhan Maha Adil.

Kita sering mengucapkan premis ini: “Tuhan Maha Adil”. Namun faktanya, banyak dari kita yang lebih memilih bersikap dan bertindak pragmatis kala situasi di sekeliling kita tampak “tak bersahabat”. Bahkan mereka yang terbiasa bekerja keras pun panik ketika melihat berbagai perkembangan yang terjadi, dan berganti haluan mengambil “jalan pintas”. Hampir tak ada yang percaya bahwa “semua yang baik akan mendapatkan yang baik”, “semua yang bekerja keras akan menuai hasil kerja kerasnya”, “siapa yang busuk akan menjadi bangkai dengan kebusukannya”, “siapa yang jahat akan dihukum”, dan sebagainya. Kita sering tak sabar menunggu Tuhan menunjukkan keadilanNya, tak mau berlama-lama menanti semesta menunjukkan kearifannya untuk menghargai mereka yang baik, atau menghukum mereka yang jahat. Fenomena Jokowi, sekali lagi, bukan sesuatu yang luar biasa. Begitulah Tuhan dengan keadilanNya, Dia tahu bagaimana memberi imbalan kepada seorang yang jujur, bekerja keras, dan tak lupa pada bumi tempatnya berpijak.

Pesan Kedua: Kodrat alam “Pemimpin” adalah untuk “Yang Dipimpin”.

Secara harfiah saja, “pemimpin” mengandung makna “orang yang memimpin”. Artinya, ia ada karena ada yang (harus) dipimpin. Jadi, pemimpin bukanlah ia yang ingin menjadikan tampuk kepemimpinannya untuk kepentingan dirinya sendiri atau segelintir orang dekatnya. Ia didaulat untuk memperjuangkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, bagi saya kemenangan Jokowi sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa, karena itu sebenarnya hanya sebuah fase di mana alam semesta mengembalikan sesuatu kepada kodratnya semula. Juga, bagi saya tidak mengejutkan melihat lautan manusia sepanjang Jl. Soedirman dan Jl. Thamrin hingga ke Istana Merdeka sesaat setelah ia dilantik di Senayan. Semua yang sesuai dengan kehendak semesta pasti diterima banyak orang, itu inti pesannya.

Pesan Ketiga: Alam semesta bisa merasa muak akan kebebalan manusia.

Seperti cerita tentang tenggelamnya orang-orang yang mencela Nabi Nuh yang membuat bahtera di atas gunung, sebenarnya semesta juga telah banyak mengingatkan manusia bahwa kehendak manusia tak pernah mampu berhadapan dengan kehendak semesta. Ketika sekelompok manusia diperlakukan tidak adil hanya karena warna kulitnya, semesta membungkam mereka dengan tampilnya seorang pria kulit hitam sebagai presiden di sebuah negara adidaya. Fenomena Jokowi juga sebuah petunjuk bahwa tak ada seorang manusiapun yang pantas untuk diinjak-injak atau ditutup kesempatannya untuk menjadi yang terdepan. Para politisi boleh merasa bahwa deretan nama besar, kekuatan uang, partai politik dan lain-lain bisa menentukan segalanya, namun kala semesta muak dengan arogansi manusia, semesta akan menghukum keangkuhan itu dengan caranya sendiri.

Pesan Keempat: Jangan pernah berpikir bahwa anda tahu semuanya.

Pragmatisme manusia umumnya didasari oleh pemahamannya sendiri yang dangkal. Orang melihat situasi hari ini begini, lalu menganggap “semuanya akan terus begini sehingga saya harus mengambil langkah ini”. Ada sekelompok orang yang merasa ia akan “baik-baik saja” di masa depan karena hari ini mereka menikmati sekian banyak hak-hak istimewa karena kebobrokan sistem. Mereka membangun keangkuhan atas pemahaman bahwa karena hari ini kelompok mereka “berjaya”, mereka akan terus berjaya. Patutlah kita belajar dari fenomena Jokowi ini, yang kira-kira lima tahun lalupun, tak ada yang berpikir bahwa ia akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sekali lagi, kita tidak tahu apa-apa. Tuhan yang tahu semuanya, kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk berbagai ketidakpastian itu.

Tuhan melalui alam semesta telah menitipkan jutaan pesan untuk kita. Jaman akan menuntut sesuatu yang kodrati dengan caranya sendiri, sehingga orang-orang bijak akan memahami bahwa perubahan adalah keniscayaan. Siapapun yang tak mau merubah dirinya sendiri akan diubah oleh alam semesta; caranya pasti tidak enak. Siapapun yang menganggap perubahan tidak akan terjadi, alias mereka yang tidak menyiapkan dirinya untuk perubahan, akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.

The only certainty in life is uncertainty

I can only say THANK YOU: The Testimony

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8z6FDL47Yrk&feature=youtu.be]

Bukan aku yang telah memberi; kalianlah yang telah berbuat.

Bukan aku yang berbeda; kalianlah yang istimewa.

Aku sadar, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa.

Untuk semuanya, aku hanya bisa berkata: TERIMA KASIH…!

KETIKA PETI MATIKU MAKIN DEKAT…

Image

Kemarin malam dalam perbincangan telepon dengan putri kecilku, ia bertanya, “Papa besok ulang tahun ya?”  Aku hanya tertawa—semata-mata karena suara dan nadanya yang selalu terdengar lucu dan membuat kangen.  Akupun tak berniat membicarakan soal itu lebih jauh, karena lebih menyenangkan bagiku untuk mendengar cerita-ceritanya tentang pelajaran sekolahnya, teman sekelasnya, gurunya, komentar dia tentang abangnya, atau celotehnya tentang dua ekor kelinci yang kami pelihara di rumah.

Banyak hal yang membuatku tak menaruh perhatian apapun pada tanggal kelahiranku (sesuai KTP-ku).  Tanggal yang dalam bahasa kerennya disebut “ulang tahun” itu tak berbeda dengan 30 angka lainnya dalam satu bulan.  Hari itupun bagiku tak berbeda dengan 364 hari lainnya dalam setahun. Barangkali karena seingatku, tak pernah aku merayakan itu (karena kondisi ekonomi orang tua yang tak memungkinkan).  Itulah yang akhirnya membuatku abai dari tahun ke tahun. Semuanya biasa saja.

Tapi itu bukan sebab utama. Aku layak bersyukur pada Tuhan karena seiring waktu, Dia mengijinkanku melihat dan merenungkan banyak hal.  Meski banyak hal pula yang masih belum dapat kupahami setelah 39 tahun mengenyam hidup, setidaknya ada beberapa hal yang dapat mencerahkan, mengingatkan, dan menyadarkanku.  Satu yang paling menarik bagiku adalah “Berapa lamakah aku akan berada di dunia?”  Interpretasi lain untuk pertanyaan ini adalah “Berapa jatah usia yang Tuhan berikan untukku?”

Aku pernah mendengar sebuah dongeng bijak dari budaya China tentang bagaimana Tuhan memberi jatah umur pada kuda, kerbau, monyet, dan manusia.  Tapi bukan karena dongeng itu aku berpikir dan bertanya seperti tadi.  Dalam keterbatasanku sebagai manusia biasa, aku melihat konsep ini logis. Ada saat di mana kita akan mengakhiri perjalanan fana ini untuk beralih ke dunia yang jauh lebih kekal, dan agama atau keyakinan apapun percaya bahwa Tuhan telah mengetahui kapan itu akan terjadi pada tiap-tiap orang.  Kita hanya bisa menyebutnya “Rahasia Ilahi”.

Kemanusiaanku jelas tak akan pernah menjangkau keilahian Tuhan. Karena itu, aku cuma bisa mengajukan pertanyaan yang telah kusebutkan sebelumnya. Aku tahu, bila kuserukan pertanyaan itu pada Tuhan, Dia mungkin akan tertawa terbahak-bahak (meski Tuhan tak akan balas bertanya “Mau tau aja atau mau tau banget? Kepo banget sih elo”).  Tuhan adalah Maha Bijaksana, yang akan menjawab setiap tanya kita dengan caraNya sendiri yang luar biasa.  Pun demikian, kadang aku merasa tak cukup layak mempertanyakan itu padaNya, sehingga kutanyakan saja pada diriku sendiri meski tak pernah berjawab.

Di titik ini, aku serasa berada di antara “Venus” dan “Mars” dalam simbolisasi dua piramida terbalik ala ahli simbologi Robert Langdon dalam “The Da Vinci Code” karangan Dan Brown.  Bukan soal “wanita vs pria”-nya, melainkan soal kedua paramida yang saling berlawanan namun menyatu itu. Satu paramidaku adalah ungkapan syukur bahwa sejauh ini Tuhan telah memimpinku dalam hidup, hingga aku sehat walafiat jasmani dan rohani. Syukur karena aku berlimpah karunia dalam berbagai wujudnya: istri yang setia, anak-anak yang manis, karier, dan jutaan anugerah lainnya.  Syukur karena Dia tak membiarkanku jatuh di tengah hantaman dunia dan serangan mereka yang memusuhiku.

Paramidaku yang lain adalah rasa khawatir akan kematian. Saat Sang Pencipta itu telah menggariskan sekian tahun waktu bagiku untuk merasakan kehidupan dunia, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun yang berlalu telah menggerusnya. Layaknya jam pasir, sebagian dari pasir itu telah berada di ceruk bawah (aku tak tahu apakah itu sebagian kecil atau sebagian besar).  Kelak seluruh pasir itu akan berada di bawah, waktu habis.  Marjin sisa usiaku makin kecil, aku makin dekat ke penghujung.  Meski aku menyadari bahwa hidup di dunia adalah perjalanan menuju ke kehidupan yang kekal, tetap gelap bagiku kapan kehidupan yang abadi itu akan kumulai.

Umurku bertambah, pemahamanku akan kehidupan dunia juga bertambah, pun juga kekuatanku untuk menghadapi ribuan kepalsuan dunia. Namun, peti matiku makin dekat. Aku tak tahu kapan aku akan dibaringkan ke dalamnya, dan ragaku diantar untuk menyatu dengan bumi tempatku berpijak selama aku bernyawa.  Entah sudah dibuat atau belum, aku tahu peti mati untukku ada atau akan ada di suatu tempat di muka bumi ini.  Itu kepastian untukku, juga untuk manusia lainnya. Setelah 39 tahun, tak tahu berapa lama lagi akan kutempuh perjalanan ini untuk akhirnya terbaring di dalamnya.

Aku tak bermaksud menghibur diri, tapi sah-sah saja aku menguatkan hati. Kapanpun aku akan masuk ke peti mati itu, dan di manapun itu akan terjadi, aku ingin berbaring di dalamnya dalam kedamaian.  Aku ingin rebah di situ dengan tersenyum.  Tersenyum karena aku mengawali kehidupan kekalku sebagai sebuah pribadi yang telah memenangkan pertempuran di dunia semu melawan musuh terberatku: diriku sendiri.

Tuhanku Yang Maha Baik, ijinkan semua itu terjadi atasku, seperti halnya Engkau ijinkan aku berlayar di tengah samudera karuniaMu yang tak bertepi dalam kehidupan duniaku…hingga detik ini.

[Bandung, 13 Februari 2014]

BALADA ROTI SISIR DAN SATE AYAM

Seorang pria keluar dari sebuah minimarket dengan sebungkus plastik minuman dan makanan kesukaannya: roti sisir.  Ia berlalu pulang ke tempatnya menginap di sebuah kota di Jawa Barat, dan setelah berganti pakaian, ia membuka bungkusan plastik itu.  Karena kesukaannya, roti sisir itupun ia buka untuk menghilangkan rasa laparnya. Merasa masih lapar, iapun memanggil tukang sate yang lewat di depan mess tempat ia tinggal. Ia memang menyukai kedua jenis makanan ini.  Baginya, dari kedua makanan inilah ia belajar banyak tentang sebuah cinta sejati.

Ingatannya kembali ke masa berpuluh tahun lalu, saat pria ini masih duduk di bangku SD.  Ia sangat dekat dengan kakek neneknya, dan selalu menghabiskan liburan sekolah bersama mereka yang rumahnya berjarak beberapa kilometer dari tempat ia tinggal.  Kadang-kadang, sang kakek langsung menjemputnya di sekolah dan membawanya ke rumah dengan sepeda onthel-nya.  Ya, sepeda itulah alat transportasi sang kakek dari dan ke tempat kerjanya sebagai seorang tukang parkir di sebuah rumah sakit tentara di salah satu kota besar di Jawa Tengah.

Roti sisir adalah “oleh-oleh” favorit yang selalu ia tunggu saat sang kakek pulang dari kerjanya.  Ia tahu, sang kakek membelinya dari sebuah toko kecil di depan rumah sakit tempat ia bekerja. Dalam lelahnya setelah menjadi tukang parkir seharian (plus mengayuh sepeda pulang pergi), sang kakek selalu membukakan bungkus roti itu untuknya, dan menungguinya menghabiskan roti itu.  Malam hari, paha sang kakek selalu menjadi tempat bersandarnya kala tertidur setelah bermain seharian.  Lalu, sang kakek selalu membangunkannya kala penjual sate ayam Madura lewat di depan rumah.  Sang kakek selalu memesan sate itu untuknya, dan seperti biasa, menungguinya makan.

Dalam rasa manis dan nikmatnya roti sisir serta sate ayam, si pria selalu merasakan pukulan hebat bagi bathinnya. Ia terpukul karena kakek dan nenek itu kini telah tiada. Ia merasa begitu kejam karena ia jauh di negeri orang saat sang kakek dan nenek berpulang. Ia merasa begitu hina karena hingga hari ini tak punya waktu menyambangi pusara kedua orang yang begitu mencintainya itu.  Ia terpukul dengan cerita tragis di balik berpulangnya kedua orang yang selalu membanggakannya.  Dan sekarang, ia hanya bisa meneteskan air mata, terisak dalam kesepiannya.  Dalam keterpukulannya, ia hanya mampu berdoa, agar Tuhan memberinya waktu hidup yang cukup untuk kelak sekedar mencium pusara kakek neneknya, seperti mereka selalu mengecup keningnya saat si pria ini tertidur di masa kecilnya.

Ia belajar, bahwa cinta sejati tak pernah menuntut balas. Cinta sejati tak pernah mempertanyakan apapun saat kita tersakiti.  Cinta sejati pantang mengeluhkan mengapa kita terabaikan. Cinta sejati hanya berisi doa dan harapan tulus, agar orang yang kita cintai mendapatkan apa yang terbaik untuknya.  Ia belajar dari kakek neneknya, yang menjalani sisa hidup mereka hanya berdua, karena cucu kesayangan mereka telah memiliki hidup dan tanggung jawabnya sendiri.  Ia belajar dari mereka, yang harus menuju titik akhir duniawinya tanpa si cucu menemani, hanya karena mereka sudah cukup bahagia mengetahui cucu mereka tengah merintis jalan sukses di negeri orang.

Pria itu kini berlinang air mata, karena menyadari bahwa dalam apa yang ia raih hari ini, peluk dan cium kakek neneknya adalah keping-keping cinta yang ikut merangkai perjalanan suksesnya. Roti sisir dan sate ayam itu seolah mengatakannya…

[Untuk kedua Mbah-ku, yang tenang dalam pelukan Tuhan di sorga. Aku mencintaimu, dan selalu menyebutmu dalam doa-doaku.]