Hello everyone!

Welcome to my website. Here I share my thoughts and ideas, and you might find differences from yours. Let’s take this a beauty of life-a thinking I live with. Please enjoy as you wish.

JKG

SETENGAH ABAD (PART II)

Meskipun hidup kami penuh keterbatasan, nilai rapor saya lumayan bagus.  Saya selalu masuk tiga besar di kelas saya.  Namun biaya hidup di kota (termasuk sekolah saya dan adik-adik) sepertinya terlalu berat untuk Ayah dan Ibu, sehingga akhirnya keluarga kami pindah ke kebun yang diolah Ayah di Kabupaten Batang Hari.  Rumah kami sebenarnya adalah gubuk yang selama ini dipakai Ayah untuk menjaga kebun, dan tempat bermalam Ayah bila tidak pulang ke Kota Jambi.  Atapnya jerami, dindingnya papan, lantainya tanah (Ayah memanfaatkan kayu dari hutan di sekitar gubuk untuk tiang rumah kami).  “Rumah” itu hanya terdiri dari 3 ruangan: ruang utama untuk kami makan, belajar, menerima tamu; ruang tidur yang berisi satu dipan panjang untuk kami berlima; dan dapur merangkap gudang untuk menyimpan pupuk serta alat-alat pertanian Ayah.  Ibu memasak menggunakan kayu bakar (alias pawon).  Tidak ada kamar mandi atau toilet; kami mandi di sumur sekitar 50 meter dari rumah, BAB di tengah kebun (yang penting ngga kelihatan orang lain hehehe…), BAK ya di sekitar rumah saja.

Sekolah Dasar tempat saya belajar tahun 1985 s.d. 1987. Waktu itu namanya SDN 70/I Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari. Sekarang, seiring dengan pemekaran wilayah dan penambahan kabupaten di Provinsi Jambi, namanya menjadi SDN 23/IX Desa Pondok Meja Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi. Foto diambil tanggal 28 Desember 2024. [Foto koleksi pribadi]

Kami bertiga meneruskan bersekolah di SD Negeri 70/I Kabupaten Batang Hari, jaraknya antara 3-4 kilometer dari rumah.  Setiap hari kami jalan kaki ke dan dari sekolah, melewati hutan karet dan kebun-kebun milik warga sekitar.   Kera/monyet yang bergelantungan di pohon atau kadang-kadang bermain-main di pinggir jalan, atau babi hutan yang melintas adalah pemandangan biasa buat kami bertiga.  Teman-teman sekolah kami rata-rata juga anak-anak petani.  Tampilan kami tergolong paling rapi dibandingkan teman-teman yang lain: seragam yang bersih, pakai sepatu dan kaos kaki (maklum, siswa pindahan dari kota hehehe…).  Teman-teman kami banyak yang bersekolah tanpa alas kaki, dengan seragam sekolah yang sudah kusam.

Saya lulus SD tahun 1987, dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi di Kabupaten Batang Hari.  Waktu itu belum ada sistem zonasi, sehingga saya bisa mendaftar SMP di wilayah Kota Jambi.  Saat mendaftar di SMP Negeri 18 Kota Jambi, saya diterima dengan NEM tertinggi di antara para pendaftar.  Di SMP ini latar belakang sosial para siswanya beragam: ada anak pegawai negeri atau swasta, anak petani atau pedagang, anak dokter dan sebagainya.  Domisili mereka pun ada yang di wilayah Kota Jambi, ada juga yang di Kabupaten Batang Hari seperti saya. Saya punya banyak teman baik di sini, ditambah guru-guru yang baik dan sayang pada saya.

Hari Kamis 14 Januari 1988, keluarga kami terkena musibah.  Rumah kami yang terbuat dari “bahan bakar” seperti jerami, papan dan kayu itu terbakar habis.  Yang tersisa hanya baju yang kami pakai (kalau saya ya seragam sekolah saat itu) plus pakaian yang ada di jemuran.  Kami memang tidak punya harta apa-apa, tapi kehilangan satu-satunya tempat berteduh yang di dalamnya ada dokumen-dokumen seperti akta lahir dan ijazah SD saya benar-benar membuat kami terpukul.  Ayah tampak tenang saat itu, meskipun saya tahu beban pikirannya pasti berat sekali, sementara Ibu menangis histeris dan harus kami tenangkan.  Saya merasa Tuhan sedang menguji kami lebih berat lagi, setelah kehidupan kami sehari-hari yang sebenarnya juga sudah berat.  [Kelak pada waktunya, kami paham kenapa Tuhan membawa kami melalui semua ini…]

Kami menumpang di rumah Ketua RT selama sekitar satu bulan (kebetulan di sebelah rumahnya ada rumah kecil kosong).  Setelahnya, Ayah meminjam sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah tak jauh dari rumah Ketua RT.  Rumah itu juga tak jauh dari lahan yang baru dibuka Ayah bersama beberapa temannya (yang kelak menjadi tanah tempat tinggal Ayah sampai hari ini).  Kami tinggal beberapa bulan di rumah itu sampai suatu hari si empunya tanah meminta kami meninggalkan rumah itu, dengan alasan adiknya akan menempati rumah itu sekaligus menjaga tanahnya.  Karena Ayah belum punya cukup uang untuk membangun rumah permanen, Ayah memutuskan memanfaatkan dangau (gubuk untuk menjaga/mengawasi lahan pertanian Ayah) menjadi “rumah”.  Dangau itu beratap jerami, dan Ayah menambah seng bekas sebagai dinding penutupnya.  Itulah “rumah” kami selama lebih kurang tiga tahun ke depan, yang tidak jauh berbeda dengan rumah kami sebelumnya yang terbakar.

Ini lokasi rumah kami yang terbakar tahun 1988 (foto diambil 28 Desember 2024). Beberapa rumah di latar belakang foto ini dulunya adalah kebun yang dikelola Ayah saat memulai hidup di Jambi. Ayah pernah berkebun pisang, cabe dan semangka selama mengolah tanah ini, yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami. [Foto koleksi pribadi]

Dengan kondisi ekonomi keluarga yang terbatas, saya tidak punya gambaran apakah bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA (meskipun saya selalu meraih ranking satu selama di SMP hehehe…).  Masih ada dua adik saya yang juga bersekolah (SMP dan SD), dan penghasilan Ayah dari bertanam semangka atau cabe di kebunnya sangat terbatas untuk membiayai tiga anak.  Secara pribadi, saya sudah siap untuk tidak melanjutkan sekolah, dan membantu Ayah Ibu bertani atau mencari pekerjaan lainnya.  Sampai suatu hari setelah selesai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) SMP, saya dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah.  Jaman itu, dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah adalah sesuatu yang luar biasa, dan membuat setiap siswa deg-degan.  Di ruangannya, beliau menunjukkan kepada saya brosur sebuah SMA baru bernama “SMA Taruna Nusantara”.

Beliau bertanya “Jon, kamu mau ngga sekolah di sini? Gratis, malah dapat uang saku.  Tapi ada tesnya.”  Saya yang masih serius membaca brosur itu bertanya balik “Ini sekolah tentara ya Pak?” yang kemudian dijawab beliau “Bukan, sekolah SMA swasta biasa, tapi yang mendirikan ABRI.”  Saya lalu minta waktu untuk memberitahukan orang tua saya di rumah.  Kepala Sekolah saya mengatakan bahwa kalau memang berminat, besok beliau sendiri yang akan mengantar saya mengikuti seleksi.  Saat pulang ke rumah, saya ceritakan kepada Ibu, dan Ibu meminta saya mengikuti seleksinya.  Saya segera menyiapkan semua dokumen seleksinya, dan esok harinya menghadap Kepala Sekolah lagi.

Kepala Sekolah saya, Bapak Subowo, mengantarkan saya menuju Korem 042/Garuda Putih dengan motor Vespa-nya.  Tempat itu tidak asing bagi saya, karena terletak hanya beberapa puluh meter di seberang SD Adhyaksa I, tempat saya bersekolah pertama kali setelah pindah ke Jambi.  Meskipun demikian, ada sedikit rasa takut ketika memasuki markas militer seperti itu.  Saya masih ingat, nomor pendaftaran saya 001, artinya saya adalah pendaftar pertama hehehe… Itu karena kehebatan Pak Subowo, yang dengan Vespa-nya pagi-pagi sekali mengantar saya langsung ke Makorem 042. Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan beliau ini…

Seleksi masuk SMA TN adalah pertunjukan lainnya akan kehebatan Tuhan dalam hidup saya.  Selama proses yang melelahkan untuk seorang anak ingusan yang baru akan lulus SMP seperti saya, Tuhan menunjukkan penyertaanNya dengan menghadirkan orang-orang baik yang mengajari, membimbing, dan mendukung saya.  Orang-orang itu bahkan baru saya kenal saat seleksi sudah berjalan.  Saya seperti “anak dari tengah hutan” yang merasa inferior ketika harus berhadapan dengan ratusan peserta seleksi dari berbagai SMP se-Provinsi Jambi, termasuk beberapa SMP favorit (kabarnya jumlah pendaftar mencapai 350-an orang saat itu).  Namun karena orang-orang baik yang Tuhan hadirkan itu, “anak dari tengah hutan” ini bisa mendapatkan kepercayaan dirinya hingga akhir seleksi.

Singkat cerita, dari 350-an peserta yang diseleksi dengan sistem gugur, saya masuk empat besar.  Nah, kuota Provinsi Jambi saat itu hanya tiga orang, jadi saya dinyatakan tidak lolos ke Magelang.  Saya tentu saja kecewa, dan sudah membayangkan hari-hari saya bekerja di kebun, atau di bengkel orang, atau di tempat lainnya setelah lulus SMP.  Namun sehari setelah pengumunan tingkat provinsi, seorang anggota Koramil Jambi Luar Kota datang ke rumah dan meminta saya (didampingi orang tua) untuk datang ke Makorem 042/Garuda Putih.  Dalam kekecewaan saya setelah pengumunan sehari sebelumnya, saya datang ke Makorem didampingi Ayah.  Di sana, seorang Perwira Korem menyampaikan bahwa karena ada beberapa provinsi lain (khususnya di Jawa) yang tidak dapat memenuhi kuota mereka (provinsi-provinsi di Jawa, karena kualitas pendidikan yang lebih baik dari pulau-pulau lainnya, mendapatkan kuota yang besar: ada yang 15 orang, 25 orang, dsb), maka sisa kuota tersebut dialihkan ke provinsi lainnya.  Jambi mendapatkan jatah dua siswa lagi, yang berarti saya dan urutan lima akan ikut seleksi pusat di Magelang…

Tuhan itu memang luar biasa dan tidak terbatas. Ketika orang tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah saya, Tuhan tidak menjawabnya dengan uang, namun memberikan sekolah gratis.  Ketika saya tidak masuk ke alokasi awal kuota Provinsi Jambi, Tuhan memberikan tambahan kuota yang memungkinkan saya dapat melanjutkan ke seleksi pusat di Magelang, Jawa Tengah, dengan caraNya sendiri yang ajaib.  Saya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, di sebuah SMA yang tidak hanya gratis, namun juga merupakan SMA dengan fasilitas dan guru-guru terbaik di Indonesia pada saat itu…

[Untuk Pak drg. Sitepu (alm.), Pak Liyat Ginting, Pak Subowo, Pak Prayogo (alm.) dan semua guru SMP saya, terima kasih sudah mendukung dan membimbing saya, yang hanya anak seorang petani, tinggal di tengah hutan, hingga bisa sampai pada titik ini.  Kalian adalah malaikat-malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untuk mengangkat hidup saya.  Dalam doa-doa saya selalu ada nama kalian, orang-orang baik yang telah menjadi bagian dari cerita hidup saya.  Sekali lagi, terima kasih…]

(BERSAMBUNG KE PART III…)

SETENGAH ABAD (PART I)

“Waktu” adalah sebuah kata atau terminologi yang amat sangat umum dan akrab di telinga setiap orang.  Kita berbicara “waktu” ketika kita bercerita tentang sebuah event atau peristiwa, rentang periode; mungkin soal bertahun-tahun, berbulan-bulan, berjam-jam atau bahkan hanya soal beberapa detik.  Meskipun “waktu” sudah seperti sesuatu di alam bawah sadar manusia, “waktu” sudah menarik banyak ilmuwan untuk mendefinisikannya lebih jauh dari sudut pandang sains.  Yang paling terkenal tentu saja Albert Einstein, dengan Teori Relativitas-nya.

Saya tidak akan berbicara soal waktu secara ilmiah, karena saya merasa tidak cukup cerdas untuk sampai ke sana. Saya mau melihat waktu dari sudut pandang kehidupan saya sendiri. Sebuah kehidupan yang tampak biasa dan bukan apa-apa, tapi bagi saya luar biasa dan penuh dengan cerita kebaikan Tuhan.

[Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang kebaikan Tuhan, namun tulisan kali ini sedikit berbeda dalam hal sudut padang]

Tugu Muda dan Lawang Sewu, 2 ikon Kota Semarang (foto koleksi pribadi)

Tahun 1975-1980

Ada sebuah kawasan di kota Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, bernama Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara.  Salah satu kampung yang ada di kelurahan itu bernama Kampung Barutikung, yang terletak di tepi sungai Boom Lama. Semarang Utara, secara umum seperti halnya wilayah-wilayah di kawasan pelabuhan, terkenal sebagai kawasan yang “keras”.  Setiap kelurahan yang ada di kecamatan Semarang Utara punya kampung “ikon” yang terkenal dengan tingkat kekerasan sosial dan kriminalitasnya. Nah, untuk wilayah Kelurahan Bandarharjo, Kampung Barutikung adalah kampung “ikon” itu.

Saya lahir di kampung ini, tanggal 13 Februari. Saat itu kondisi ekonomi keluarga boleh dikatakan bagus, karena Ayah bekerja di sebuah perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dengan penghasilan yang lumayan untuk saat itu.  Tidak jauh dari rumah kami, di kampung yang sama, tinggal juga Pak Dhe dan Bu Dhe saya, namun karena usianya yang sudah tua, saya memanggil mereka “Mbah” alih-alih Pak Dhe atau Bu Dhe. Karena Ayah sering melaut, dan Ibu masih harus mengurus dua adik saya (yang lahir tahun 1976 dan 1979), saya sering dititipkan ke rumah Mbah.  Kebetulan Mbah (atau Pak Dhe/Bu Dhe) tidak punya anak, jadi saya diperlakukan dan disayang selayaknya anak mereka sendiri.

Selama lima tahun pertama hidup saya, saya tumbuh di Kampung Barutikung, dengan segala kondisi sosial dan stigma yang melekat padanya.  Namun, itu justru membuat saya dapat bersaksi hari ini, bahwa kampung dengan stigma buruk itulah tempat saya pertama kali mengenal cinta, kasih dan sayang: dari orang tua saya, kedua Mbah saya, dan orang-orang di kampung itu. Di kampung itu, panggilan akrab untuk saya adalah Eddy (karena nama saya Jon Keneddy hehehe…).  Saya punya banyak teman masa kecil di sana, dengan berbagai cerita: bermain petasan saat malam takbiran atau Tahun Baru, bermain di sungai yang kotor, ke laut atau pelabuhan, main air saat kampung kena “rob” (naiknya permukaan air saat laut pasang, umumnya di sore menjelang malam hari), nonton layar tancap, ikut takbiran keliling dengan truk, dan banyak lagi.

Kampung Barutikung, yang selalu termarjinalkan dalam strata sosial masyarakat Semarang, yang sering dicap sebagai “kampung begal”, “kampung preman”, “daerah hitam”, dan lain-lain, adalah kampung yang telah memberi warna awal pada kertas kosong hidup saya; dan bukan warna yang buruk seperti stigmanya, justru warna yang penuh kasih, kohesi yang kuat antar sesama warganya, dan solidaritas yang tinggi.

Tahun 1980-1984

Ayah menyadari bahwa kampung ini pada dasarnya kurang baik untuk perkembangan anak-anaknya dalam jangka panjang. Kemungkinan juga ada pertimbangan yang lain dari Ayah, sehingga keluarga kami kemudian pindah ke wilayah Kalibanteng, Semarang Barat.  Tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani, kampung baru ini boleh dibilang jauh lebih tenang, kalem, jauh dari kesan “keras” ala daerah pelabuhan, dan masyarakatnya relatif lebih berpendidikan.  Geografinya lebih berbukit-bukit, termasuk jalan ke rumah kami adalah jalan menanjak, yang dari puncaknya, kita dapat melihat Bandara Ahmad Yani dari kejauhan.

Saya masuk Taman Kanak-Kanak di TK Siliwangi, di kawasan Bundaran Kalibanteng.  Saya langsung dimasukkan Ayah ke kelas “Nol Besar” tahun 1980-1981.  Tahun 1981, saya masuk ke Sekolah Dasar di SD Siliwangi II, di kompleks sekolahan yang sama dengan TK saya.  Tidak banyak kenangan yang saya ingat di masa-masa sekolah saat itu; mungkin karena saya masih terlalu kecil waktu itu.  Kenangan yang masih membekas sampai hari ini adalah, kalau di sekolah saya dapat nilai “K” (Kurang), saya tidak berani pulang ke rumah karena pasti sabetan rotan Ayah sudah menanti hahaha

Saya harus dirayu pulang oleh Mas Doyo, tetangga rumah di Kalibanteng yang oleh Ibu sering dimintai tolong untuk mengantar jemput saya ke/dari sekolah.  Sampai rumah, belum ganti baju, belum makan siang, saya harus berdiri di depan papan tulis yang Ayah siapkan untuk belajar kami, mengulangi soal-soal yang tadi saya dapat di sekolah.  Setiap jawaban salah yang saya tulis dengan kapur tulis di papan hitam itu akan langsung diganjar Ayah dengan rotan di pantat saya. Kalau sudah begini, Ibulah yang tampil menjadi penyelamat saya hehehe

Namun, Kampung Barutikung tetap jadi favorit saya saat libur sekolah.  Libur apapun (libur kenaikan kelas, Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari libur lainnya), saya selalu habiskan di Barutikung, bersama Mbah yang begitu mencintai saya, dan teman-teman kecil saya di sana.  Di antara kami bertiga (saya dan kedua adik saya), hanya sayalah yang kerasan tinggal di Barutikung.  Adik-adik saya tidak tahan dengan hawa panasnya, dan nyamuk yang sangat banyak karena kumuhnya kawasan itu.  Bagi saya, tempat itu adalah sorga karena saya sangat dimanja oleh Mbah, yang dalam keterbatasan ekonominya selalu berusaha untuk memenuhi apapun permintaan saya.

[Mbah Sadi bekerja sebagai juru parkir di Rumah Sakit Tentara (RST) Semarang, sedangkan Mbah Trinem adalah seorang ART di sebuah rumah mewah di Perumahan Tanjung Mas Estate]

Tahun 1983, ekonomi keluarga kami mulai menurun karena perusahaan tempat Ayah bekerja ditutup, dan Ayah sempat menganggur beberapa bulan.  Ayah akhirnya mencoba peruntungan dengan menjadi petani di Jambi, menerima tawaran Abangnya (paman saya) yang memiliki tanah di sana.  Selama Ayah merantau di Jambi, kami tinggal berempat di Kalibanteng (Ibu, saya dan dua adik saya).  Setiap bulan Ayah selalu mengirim uang via wesel pos kepada Ibu untuk hidup kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak.  Itu berlangsung sampai menjelang akhir tahun 1984.

Bulan November 1984, Ayah pulang ke Semarang untuk menjemput kami pindah ke Jambi.  Itulah hari-hari terakhir yang begitu berat untuk kami, membayangkan hidup di Pulau Sumatera, meninggalkan kehidupan kota Semarang yang penuh dengan kenangan dan cerita.  Mbah Trinem ikut dengan kami ke Jambi, menempuh perjalanan 2 hari 2 malam menggunakan bis “Labana Express” (Labex).  Di Jambi, untuk sementara kami tinggal di rumah paman saya (dalam adat Karo, saya dan adik-adik memanggilnya “Pak Tengah”).  Dia seorang birokrat, rumahya termasuk mewah untuk ukuran saat itu.

Tahun 1985-1990

Di Jambi, saya bersekolah di sebuah SD swasta, SD Adhyaksa I Kota Jambi, meneruskan kelas IV.  SD Adhyaksa I berisi anak-anak orang berada, entah itu anak pegawai, dokter, atau pengusaha.  Masih teringat di benak saya, saat Ibu mendaftarkan saya dan adik saya Juli di kantor sekolah, dan pegawai di situ menanyakan profesi Ayah, yang dijawab Ibu dengan “tani” (maksudnya petani), si pegawai tidak percaya dan bertanya “Maksud Ibu TNI?”, lalu Ibu menjawab “Bukan pak, petani”.  Si pegawai akhirnya menulis dengan sedikit tidak percaya, bahwa ada anak petani masuk ke sekolah seperti ini hehehe

Perbedaan strata dengan siswa-siswa lainnya membuat adaptasi sosial saya agak sulit di sekolah baru ini.  Saat jam istirahat misalnya, mereka berkumpul jajan di kantin, sementara saya dan adik saya perlu berpikir berulang-ulang karena uang saku kami hanya cukup untuk beli es lilin.  Juga ketika ada acara-acara sekolah, ketika mereka semua diantar orang tua mereka dengan mobil atau sepeda motor, kami harus berjalan kaki atau naik angkot; dan orang tua kami tidak pernah ikut acara-acara sekolah itu. Beberapa bulan menumpang di rumah Pak Tengah, kami pindah ke sebuah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Pak Tengah, di Lorong “TAC”.  Rumah kami nyaris tanpa perabotan.  Tamu duduk di lantai, kami juga tidur di kasur yang dibentangkan di lantai.  Kami sempat punya televisi hitam putih, namun tak lama televisi itu dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Ayah tinggal sendiri di kebun milik Pak Tengah yang diolahnya, jaraknya kira-kira 20 kilometer dari rumah, di Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari.  Ayah pulang ke kota Jambi 2-3 hari sekali untuk menghemat biaya bensin motornya.  Sementara itu, Ibu mencoba membantu Ayah dengan berjualan sayur di Pasar TAC tak jauh dari rumah; pernah juga mencoba berjualan pecel di teras rumah.

(BERSAMBUNG KE PART II…..)

KEBAIKAN TUHAN

Picture courtesy of https://www.rjstevensmusic.com/product/god-is-so-good/

Setiap bulan Agustus, saya selalu mengingat kebaikan Tuhan dalam salah satu babak penting kehidupan saya: hari pernikahan.  Mengingat penyertaan Tuhan yang luar biasa saat saya bersama istri mulai membangun fondasi sebuah keluarga—menjalani hidup dengan “modal” seadanya (hanya mengandalkan gaji yang sudah kena potongan sana sini), benar-benar tidak punya apa-apa—semakin membuat saya merasa bahwa Tuhan itu nyata, bukan sekedar dongeng atau retorika agama.  Kebaikan Tuhan dalam menyertai kehidupan rumah tangga kami dari benar-benar nol hingga saat ini hanyalah rangkaian dari kebaikan Tuhan yang tidak pernah berhenti mengalir sejak saya hadir ke dunia sekitar 48 tahun silam.  Kebaikan itu terasa makin sempurna ketika Dia menitipkan kepada kami dua buah hati yang ganteng (Si Sulung) dan cantik (Si Bungsu).  Tuhan juga menghadirkan orang-orang baik di sekeliling keluarga kami, antara lain asisten rumah tangga kami (Si Mbak).

Agustus tahun 2023 ini, saya merasa ada beberapa sentuhan emosional yang lebih istimewa…

Si Bungsu

Kebaikan Tuhan itu datang lagi dan lagi.  Kali ini, sebuah berita baik bagi keluarga kami karena anak kami yang kedua (si bungsu) diterima di sebuah universitas ternama di Malang, Jawa Timur.  Itu adalah perguruan tinggi negeri (PTN) favoritnya, kotanya juga kota yang ia suka.  Yang menyentuh bagi saya adalah, keberhasilannya masuk PTN ini diperoleh setelah serangkaian kegagalan yang dia alami dalam beberapa ujian masuk PTN sebelumnya (mungkin ada empat atau lima PTN, baik lewat jalur rapor, UTBK maupun mandiri).  Rangkaian ketidakberhasilan itu sempat membuatnya “down” dan saya bahkan harus setengah memaksanya untuk mengambil kesempatan terakhir yang terbuka saat itu, dan ternyata di sanalah Tuhan memberi jawaban yang melebihi harapannya: fakultas dan jurusan yang menjadi passion-nya, dan di kelas internasional.

Karena hal ini, istri bersama anak sulung saya harus menghabiskan waktu beberapa hari berada di Malang untuk mempersiapkan banyak hal, terutama kost dan kelengkapannya.  Naluri seorang Ibu yang sangat mengkhawatirkan anak perempuannya membuat mereka bolak balik kesana kemari mencari kelengkapan sehari-hari untuk si bungsu. Istri saya dibantu juga oleh seorang temannya yang ikut dari Bogor dan tidak kalah capeknya menyiapkan ini itu untuk anak saya.  Saya sempat menyusul di akhir pekan (Sabtu dan Minggu) untuk sedikit membantu mereka, dan harus kembali Minggu malam ke Jakarta karena masuk kantor lagi hari Senin-nya.  Saya dapat melihat raut kebahagiaan di wajah anak saya karena ia mendapatkan lebih dari yang ia harapkan.

Si Sulung

Agustus ini juga, anak sulung saya sudah sekitar empat bulan berada di rumah, setelah menyelesaikan kuliahnya di sebuah kampus di Australia.  Dia harus kembali ke Australia, karena ia harus mengurus visa baru setelah ia selesai kuliah ini (graduate visa).  Saya bersyukur, sebelum ia kembali ke sana, ia sudah sempat menemani ibu dan adiknya mempersiapkan kuliah si adik di Malang.

Seminggu sebelum ia kembali ke Australia, saya mendapat perintah (mendadak) untuk mendampingi pimpinan dalam sebuah kunjungan dinas ke Amerika Serikat.  Bagi saya, ini bukan timing yang tepat karena saya ingin menghabiskan satu minggu ke depan untuk banyak berbincang dengan si sulung, sebelum ia terbang ke Australia dan tidak tahu berapa lama lagi kami akan bertemu dengan dia secara langsung.  Tapi saya adalah seorang prajurit, dan sebuah perintah tetaplah sebuah perintah, apapun kondisinya.

Istri dan anak sulung saya mengantar saya ke bandara Soekarno-Hatta, dan saya menyampaikan beberapa pesan secara singkat untuk anak saya sebelum ia kembali ke Australia minggu depannya.  Ada sebuah keengganan untuk beranjak ke dalam terminal bandara, ketika saya merasa bahwa seminggu terakhir bersama anak sulung saya “terenggut” dari kehidupan saya.  Tapi saya sadar, ini mungkin salah satu bentuk pengabdian saya kepada negara, meski mata saya terus melihat keluar ketika sudah berada di dalam terminal keberangkatan, memastikan bahwa mobil yang membawa istri dan anak sulung saya sudah meninggalkan titik penurunan penumpang (drop-off point).

Si “Mbak”

Karena perjalanan ke Amerika Serikat adalah sebuah perjalanan yang panjang, saya membeli paket Wi-Fi di pesawat yang saya tumpangi, sehingga saya tetap bisa berkomunikasi selama penerbangan yang panjang itu.  Lalu saya sempatkan membuka WhatsApp (aplikasi percapakan favorit banyak orang hehehe…) dan saya melihat story atau status WhatsApp si “Mbak” yang sehari-hari membantu kami membersihkan dan beres-beres di rumah.  Si “Mbak” mengunggah sebuah foto dirinya dan kakaknya (yang sehari-hari ikut membantu dia di rumah kami) yang mengapit anak bungsu saya.  Foto itu saya yakin diambil sesaat sebelum istri dan kedua anak saya berangkat ke Malang untuk mempersiapkan keperluan kuliah si bungsu.

Dalam keterangan (caption) di bawah fotonya, si “Mbak” menulis kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: “Sudah ngga ada lagi yang minta rujak sama mie goreng. Ngga lagi menyiapkan bekal. Kehilangan, karena kuliahnya jauh. Semoga sehat-sehat selalu, dikelilingi sama orang-orang baik, dimudahkan segala urusannya, dan kelak bisa jadi orang (sukses). Amin…” Anak bungsu saya memang hobi makan, dan rujak serta mie goreng adalah favoritnya, dan ia selalu minta si “Mbak” untuk membuatkan untuknya.  Setiap pagi selama si bungsu sekolah di SMA, si “Mbak” setia menyiapkan bekal makanan untuk dibawa ke sekolah (dan anak saya pernah bercerita bahwa bekalnya adalah yang “terlengkap” dibandingkan bekal teman-temannya karena selalu ada lauk, sayur dan buah selain nasi. Lauknya bahkan bisa lebih dari satu macam).  Si “Mbak” sudah memperlakukan dia seperti anaknya sendiri.

Tuhan

Status atau story WhatsApp si “Mbak” itu memicu rangkaian ingatan saya akan momen-momen di bulan Agustus 2023 ini: penyertaan Tuhan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kami, kebaikanNya untuk anak bungsu saya, waktu yang Dia berikan untuk berbagi kebersamaan dengan anak sulung saya, serta orang baik dan tulus yang ada bersama keluarga kami sehari-hari.  Mengingat kembali semuanya itu membuat saya meneteskan air mata di tengah gelapnya kabin pesawat A-380 yang membawa saya ke Amerika Serikat.  Saya meneteskan air mata bukan sekedar karena teringat akan kedua anak saya atau membaca status WhatsApp si “Mbak”, namun lebih dari itu, karena mengingat begitu luar biasanya kebaikan Tuhan dalam hidup saya.

Tuhan menyertai dan memelihara keluarga kami, yang kami rintis dengan tertatih-tatih dalam segala keterbatasan dan ketidakpunyaan.  Kami dapat membuktikan kasih setia Tuhan yang nyata, yang tanganNya tidak membiarkan kami terjatuh serta membawa kami dapat hidup seperti sekarang ini.  Tuhan baik dalam kehidupan anak-anak kami: menyertai si sulung menyelesaikan kuliahnya di Australia dengan predikat “First Class Honours” (setara cum laude), membuka pintu bagi si bungsu untuk belajar di kampus dan kota favoritnya. Yang tidak kalah penting, Tuhan sangat baik dalam kehidupan keluarga kami dengan menghadirkan orang-orang baik seperti teman istri saya dan si “Mbak” yang membuat banyak urusan keluarga kami menjadi mudah.

Saya melihat sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan saya, sesuatu yang sebenarnya bukan hal baru karena sudah ada sejak saya lahir ke dunia: kebaikan Tuhan.  Mulai dari kedua orang tua yang luar biasa, adik-adik yang baik, dan banyak kebaikan lagi sepanjang hidup saya bersama orang-orang terkasih.  Meskipun bukan hal baru, tetap saja saya terkesima dengan begitu baiknya Tuhan dalam kehidupan saya.  Sang Pencipta Yang Maha Kasih, yang selalu baik dengan caraNya, yang menjawab harapan saya pada waktuNya, dan memberi saya lebih dari apa yang layak saya terima.

Jakarta, 29 Agustus 2023, 17.27

MERASAKAN DIA (SEBUAH KESAKSIAN)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.  Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu bagiku bekerja memberi buah.  Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.”
(Filipi 1:21-22)

(Foto dari https://media.beliefnet.com)

Aku percaya bahwa semua keyakinan mengajarkan kita banyak hal yang sama, salah satunya adalah bahwa Tuhan (apapun kita menyebutnya) berkuasa penuh atas hidup kita, seperti soal rejeki, jodoh, umur, dan semua hal lainnya.  Namun, kita melihat bahwa meyakini dengan sepenuh hati kekuasaan Tuhan atas hidup kita, dalam banyak contoh, bukanlah hal mudah.  Ada kesenjangan kebijaksanaan yang sangat besar antara manusia dengan Penciptanya di sini, sehingga keterbatasan pengetahuan kita membuat kita tetap merasa cemas, khawatir, atau takut seiring banyaknya “ketidakpastian” yang kita rasakan dalam kehidupan kita.

Saat duduk di bangku SMP, salah seorang guru pernah berkata kepadaku: “Jon, setiap orang sudah punya ‘jatah’ umurnya masing-masing.  Ketika ‘jatah’ itu habis, maka selesailah kehidupan dunianya”.  Dalam satu hal inipun, aku yakin bahwa secara umum pandangan semua keyakinan atau agama juga sama, yaitu bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh hari demi hari itu pada hakekatnya adalah perjalanan menuju sebuah akhir, sekaligus sebuah awal.  Akhir dari kefanaan di dunia, dan awal dari sebuah keabadian.

Kita melihat hari ulang tahun sebagai rangkaian perjalanan dari titik awal kefanaan, yaitu berapa lama kita “sudah” berjalan sejak kita dilahirkan ke dalam dunia ini.  Itu karena tidak ada satupun manusia yang tahu kapan perjalanan itu akan berakhir, atau seberapa jauh lagi “garis finish” itu.  Ketika ada yang berulang tahun, kita selalu mengatakan “Semoga panjang umur”, yang sebenarnya kita mendoakan agar “garis finish”-nya masih jauh.  Namun, seberapapun masih jauhnya garis akhir itu, kita tetap berjalan mendekatinya, tanpa pernah tahu kapan kita akan tiba di sana, apakah lima menit lagi, satu hari lagi, tiga bulan lagi, sepuluh tahun lagi, atau kapan.  Di situlah Tuhan menggenggam erat dan menguasai rahasiaNya, sebuah rahasia Ilahiah.

Kebetulan aku adalah orang yang memilih untuk melihat bertambahnya usiaku sebagai perjalanan yang semakin mendekatkanku pada keabadianku, dengan peti matiku sebagai “garis start”-nya.  Kalaupun itu kulakukan dengan melihat ke belakang, kepada semua ingatanku akan apa yang terjadi dan kualami di masa-masa lalu sepanjang hidupku, itu lebih merupakan upayaku agar keyakinanku semakin kuat bahwa hingga akhir hidup duniaku kelak (yang aku tak tahu kapan), Tuhan akan tetap setia bersamaku, menjagaku, memeliharaku, dan menopangku.  Puji Tuhan, setidaknya hingga hari ini ketika sudah 47 tahun kutempuh langkah hidupku, aku dapat merasakan semakin tumbuhnya keyakinan akan kesetiaan Tuhan dalam hidupku.

Menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku bisa menjadi sebuah kisah panjang yang tidak berkesudahan, bahkan bisa lebih panjang daripada soal kehidupan itu sendiri.  Mengingat semua kemurahan Tuhan dalam perjalanan hidup ini bahkan bisa menjadi menit-menit hening yang penuh air mata dan rasa haru, karena semakin kuingat, semuanya terasa semakin luar biasa.  Hingga akhirnya aku sadar, bahwa mujizat itu dekat, hanya sejauh doa; keajaiban itu tidak jauh, hanya sejauh seruan hati.

Kesetiaan Tuhan nyata dan teruji dalam hidupku, meskipun dalam banyak hal, perlu waktu bagiku untuk menyadari kesetiaanNya itu. Sering sekali terjadi aku kecewa ketika sesuatu berjalan tak sesuai harapan, tapi Dia dengan caraNya yang luar biasa selalu menyingkap perlahan-lahan semua rahasiaNya.  Ketika tiba waktuNya (bukan waktuku), Dia membukakan tirai itu sehingga aku dapat melihat alasanNya untuk membiarkan sesuatu terjadi padaku, alasanNya membawaku melalui jalan berbatu dan penuh duri, atau mendaki bukit terjal yang tak pernah kukehendaki, atau melalui malam kelam yang penuh kejahatan.  Setelah tirai itu Dia buka, yang kulihat di depanku adalah sebuah terang yang hangat bersahabat, penuh limpahan berkat dan kebaikan.

Ketika kehidupan tidak selalu bersahabat dan menawarkan perjalanan yang sering kali terasa terlalu keras untukku, aku dapat merasakan tanganNya menopang kakiku sehingga aku tidak jatuh.  Ketika aku terlihat begitu lemah di hadapan sebuah badai ganas, aku dapat merasakan pelukanNya yang mendekapku erat dan badai itu hanya berlalu begitu saja.  Ketika jurang terlihat terlalu curam untuk kuturuni, aku dapat merasakan tanganNya menggenggam tangan lemahku sehingga aku tidak tergelincir.  Aku selalu merasakan Dia ada, hadir, bekerja dan melakukan campur tanganNya tanpa henti, dan tidak pernah terlambat.  Dalam banyak hal, Dia melakukan semua itu bahkan sebelum aku meminta.

(Foto dari https://wallpapers.com)

Aku bersyukur bahwa masa laluku membuat semua kebaikanNya itu begitu mudah untuk dilihat.  Ketika masa kecil harus dijalani dengan penuh kekurangan dan keterbatasan, dari satu titik rendah ke titik rendah yang lain, dari satu kesusahan ke kesusahan yang lain, Dia memeliharaku dan semua orang terkasihku, menjaga kami, menganugerahkan kami kesehatan, sehingga kami dikuatkan melalui semuanya. [Aku nyaris tidak bisa merasakan bangku SMA karena keadaan ekonomi keluarga, dan Dia menjawab doa-doa kami bukan dengan memberi keluarga kami uang, melainkan dengan memberiku SMA terbaik di Indonesia—saat itu—tanpa harus membayar alias gratis]

Masa remaja di SMA, Akabri hingga awal karier sebagai Perwira TNI juga bukan masa-masa yang berisi kemudahan-kemudahan.  Aku tidak punya “darah biru” atau “balung rojo”, dan semuanya harus kuusahakan sendiri.  Gaji—yang tidak seberapa—adalah satu-satunya penghasilan.  Membangun keluarga di usia yang masih amat muda juga merupakan bukit terjal lainnya.  Istriku dan aku hanyalah orang-orang biasa yang memperjuangkan segalanya sendiri, dan tak bisa berharap atau mengandalkan siapapun, termasuk keluarga besar kami, karena kami semua bukan berasal dari keluarga berada.  [Suatu hari saat jam istirahat siang di kantor, aku pernah pulang ke mess tempat kami berdua tinggal, dan hanya ada semangkuk mie instan yang bisa dimasak istriku yang saat itu sedang hamil anak pertama kami, karena gajiku sudah habis sebelum bulan berakhir]

Tapi itulah Tuhan, yang dengan kebaikanNya yang tidak pernah habis, setia menemani setiap hari perjuanganku, upaya-upayaku, jerih lelahku sekalipun hari-hari itu penuh air mata.  Ketika aku mulai mempertanyakan kebenaran jalan yang kupilih, Tuhan pada saat yang menurutNya tepat selalu bisa membuka mataku bahwa Dia ada bersamaku, tidak pernah meninggalkanku sendirian, atau berpaling dariku.  Dengan caraNya Dia membimbingku untuk melihat cahaya terang itu pada waktunya, menyingkap rahasia yang selama itu Dia simpan hingga aku melihat sendiri bahwa jalan yang Dia pilihkan tidak salah, bahwa rancanganNya bukanlah rancangan kegagalan, melainkan rancangan masa depan yang berlimpah kebaikan.

Gejolak-gejolak dalam hatiku tetap ada, semata-mata karena keterbatasan hikmatku sebagai manusia biasa.  Ketika kenyataan di hadapanku tidak seperti harapanku, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran jalan Tuhan itu selalu muncul.  Ketika waktuku tidak sama dengan waktuNya, ketika jalan berbatu dan badai kelam itu tetap muncul dalam wujud-wujud barunya, ketika pintu yang sudah terbuka tertutup lagi, aku selalu bertanya dan bertanya kembali: “apakah ini memang jalan yang tepat untukku?”, “mengapa Engkau membawaku ke sini?”, “mengapa tak Engkau ijinkan aku ke sana?” dan seterusnya.

Namun sekali lagi, Tuhan baik.  Sangat baik.  Ketika Dia mengatakan “tidak”, atau “nanti dulu” untuk sebuah doa dan permintaan, Dia akan tunjukkan alasannya, dengan cara dan waktuNya sendiri, dan aku selalu melihat bahwa waktuNya tidak pernah salah, rencanaNya tidak pernah gagal.  Aku berkali-kali dibohongi oleh manusia, diberi harapan-harapan palsu, janji-jani bodong, tapi Dia tidak pernah berbohong atas janji-janjiNya.  Aku tahu bahwa Dia tidak menjanjikan langit yang selalu biru, atau jalanan yang selalu tanpa hambatan.  JanjiNya adalah bahwa dalam langit yang paling kelam atau jalanan paling terjal sekalipun, Dia tidak akan meninggalkanku, selalu ada bersamaku, menyertaiku, menjagaku, memeliharaku, dan membimbingku hingga kuraih kemenanganku.

Empat puluh tujuh tahun perjalanan, tepat tanggal 13 Februari ini, telah semakin lebar membuka mataku akan kasih setiaNya yang tak berkesudahan, akan mujizatNya yang ada di setiap langkahku, akan dekapan hangatNya dalam setiap takutku, akan genggaman tanganNya dalam setiap lemahku, dan kuasa perlindunganNya yang bagaikan benteng pertahanan maha kokoh sehingga kejahatan-kejahatan tidak dapat menyentuhku.  Satu-satunya sahabat setia yang selalu dapat kuandalkan dan kupercaya.  Sumber segala berkat dan kebaikan dalam hidupku, segala karunia yang aku terima dan rasakan.  Penguasa Kehidupan yang kuasaNya tak berbatas, melampaui segala akal dan pengetahuan.  Aku berhutang terlalu banyak padaNya, hutang yang tidak pernah bisa aku bayar, sekalipun aku tahu cintaNya adalah cinta yang tak bersyarat.  Cinta yang tetap Dia berikan bahkan dalam keadaanku yang paling hina sekalipun.

(Foto dari https://www.messagemagazine.com)

Hari ini, aku kembali mengingat itu semua dalam ungkapan syukur, seraya berdoa padaNya agar Dia berkenan memberiku waktu yang lebih panjang di kehidupan sementara ini, sehingga aku punya ruang lebih banyak untuk dapat menyatakan kemuliaanNya di hadapan dunia, menjadi saluran berkatNya untuk lebih banyak orang, dan meninggikan Dia melalui kebaikan-kebaikan dalam setiap ucapan dan perbuatanku.  Itu permintaanku, yang mungkin akan Dia jawab dengan kata “tidak”.  Kalaupun itu yang terjadi, aku yakin bahwa semua adalah yang terbaik bagiku, dan bagi semua yang mengasihiku.  Aku hanya memohon bahwa ketika tiba waktuku untuk kehidupan abadiku, aku sudah layak di hadapan Dia.

Terima kasih Tuhanku, Sahabatku, Penolongku Yang Setia.

Bogor, 13 Februari 2022

NATAL YANG MEMBERI

Photo courtesy of https://www.2ndcongregationalchurchvt.org/

Circa 1985-1990.

Sebuah keluarga kecil menghabiskan satu hari di tanggal 25 Desember sebagaimana mereka menjalani hari-hari lainnya.  Bedanya, tiga anak dalam keluarga tersebut tidak ke sekolah sekalipun itu bukan hari Minggu (saat itu hari sekolah adalah Senin sampai Sabtu).  Sang Ayah tetap pergi ke kebun sejak pagi.  Sang Ibu menyiapkan makanan untuk dibawa ke kebun buat sarapan Sang Ayah.  Ketiga anaknya membersihkan rumah sambil membantu Ibu menyiapkan makanan ke dalam rantang susun, kopi hitam panas ke dalam termos, dan radio transistor untuk dibawa ke kebun.

Rumah kecil keluarga ini berdinding papan, beratap jerami, dan beralaskan tanah, persis seperti lirik sebuah lagu dari kelompok “God Bless”-nya Ahmad Albar.  Hanya ada tiga ruangan di rumah kecil itu: ruang depan untuk makan, belajar anak-anak sekaligus menerima tamu, kamar dengan dipan kayu panjang untuk tidur berlima, dan dapur sekaligus gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian Sang Ayah termasuk untuk menyimpan pupuk.  Tidak ada toilet ataupun kamar mandi.  Mereka mandi di sumur yang digali Sang Ayah sekitar 30 meter dari rumah.

Pada saat libur sekolah, anak-anak selalu ikut membantu orang tua mereka di kebun.  Membersihkan rumput-rumput liar di sekeliling tanaman cabe atau semangka (tergantung musim saat itu), memupuk tanaman di lubang-lubang yang sudah digali Sang Ayah atau Ibu lalu menimbunnya kembali, atau menyiram tanaman dengan air yang disedot oleh pompa dari sungai, berteman sebuah radio transistor bertenaga enam baterai yang sesekali dipindah sesuai lokasi mereka bekerja di kebun.  Itu rutinitas libur mereka, termasuk ketika libur Natal 25 Desember, saat keluarga Kristiani lainnya pergi ke gereja dan setelahnya merayakan Natal bersama keluarga.

Bagi keluarga ini, 25 Desember hanyalah sekedar tanggal merah biasa seperti tanggal merah lainnya di kalender.  Hari ketika anak-anak tidak perlu pergi ke sekolah dan bisa membantu orang tuanya di kebun.  Tidak ada perayaan, tidak ada baju baru, tidak ada kado, tidak ada pohon terang.  Gereja terdekat berjarak cukup jauh untuk ditempuh berlima, ketika alat transportasi yang mereka miliki hanya sebuah sepeda motor tua dan sepeda onthel.  Kadang-kadang ada tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat Natal, dan setiap ditanya mengapa tidak ke gereja atau jalan-jalan, Sang Ayah selalu memiliki jawabannya sendiri.

Bagi keluarga ini, hidup sudah terlalu berat untuk dijalani bahkan dengan standar sekedar “normal”.  Bisa makan tiga kali sehari dan anak-anak bisa tetap bisa sekolah sudah menjadi sebuah pencapaian besar bagi Sang Ayah sebagai kepala keluarga.  So, 25th of December is just another day, another day-off.

========================================

Keluarga di atas adalah keluarga pemilik website ini, penulis tulisan ini.  Keluargaku di Jambi.  Aku adalah anak tertua dari tiga anak di atas, dengan satu adik perempuan dan satu adik laki-laki (adik termudaku sekarang belum lahir saat itu).

Aku—dan kami semua—sangat akrab dengan semua lagu Natal sejak kecil, termasuk saat kami menjalani kehidupan di tengah kebun (lebih tepatnya di tengah hutan karena secara harfiah, rumah kami memang dikelilingi hutan, yang sebagian di antaranya sudah dibuka oleh Ayahku untuk menjadi kebunnya).  Saat itu, lagu Natal hanyalah kumandang yang kami dengar di radio, sambil membayangkan pohon Natal yang dihujani salju ala Eropa.  Lamunan kami yang tipikal ini membawa kami pada bayangan-bayangan lainnya: keluarga yang sedang berkumpul di bawah pohon terang, membuka kado dari orang-orang tercinta, mengenakan topi Sinterklas, lalu menikmati makanan dan minuman istimewa bersama keluarga mereka.  Sekedar lamunan, yang kami tidak tahu kapan akan merasakannya.

24 Desember 2021.

Aku tiba di kantorku di Jakarta sekitar pukul 06.00, berdoa sebentar seperti biasa, lalu menyalakan smart TV mencari lagu-lagu Natal di Youtube.  Aku melamun lagi, tapi bedanya, aku tidak membayangkan pohon terang yang dihujani salju (aku sudah beberapa kali merasakannya di beberapa negara Eropa dan Amerika hehehe…).  Lamunanku jauh ke masa lalu ketika Natal selalu kami isi dengan membantu Ayah dan Ibu di kebun.  Ketika Natal hanyalah sebuah tanggal merah biasa yang membebaskan kami dari sekolah.

Masa lalu itu telah membangun bagiku sebuah perspektif baru tentang Natal.  Aku tahu bahwa hingga saat ini, masih ada ribuan keluarga Kristiani yang melihat Natal sama seperti kami melihat Natal di sekitar tahun 1985 sampai 1990-an itu.  Mereka yang masih berjuang dengan hidupnya, yang bahkan belum tahu apakah mereka bisa makan tiga kali hari ini, atau apakah mereka bisa makan besok, dan seterusnya.  Natal yang mungkin saja jutsru menjadi “derita” bagi mereka karena tidak bisa merayakan, tidak bisa pulang ke kampung halaman karena tidak punya uang, dan pada saat yang sama mereka melihat banyak keluarga bergembira dengan segala kecukupannya.

Aku bersyukur karena dari masa lalu Tuhan mengingatkanku tentang makna Natal yang sesungguhnya.  Tentang sukacita yang dibawa oleh Tuhan ke bumi melalui bayi kecil bernama Yesus Kristus.  Masa lalu telah membangun pemahamanku saat ini bahwa Natal adalah tentang berbagi cinta kasih, berbagi sukacita, dan berbagi damai sejahtera.  Itulah yang dilakukan oleh Tuhan sendiri ketika Dia memberi sukacita, cinta kasih dan damai sejahtera kepada mahluk ciptaanNya melalui seorang anak yang dikirimkanNya ke bumi, agar mereka semua terbebas dari dosa, dan bisa merasakan kerajaan Surga.

Bagiku, Natal adalah tentang memberi, karena Natal itu sendiri adalah wujud pemberian Tuhan berupa keselamatan untuk semua umat manusia dari segala kuasa dosa dan kegelapan.  Natal adalah tentang empati atas penderitaan orang lain, atas kekurangan mereka, atau rasa kehilangan mereka.  Natal bukan tentang kemewahan, kado, pohon terang, baju baru atau jalan-jalan.

Yesus Kristus lahir di sebuah palungan di kandang domba, dan yang menjenguk bayi Yesus pertama kali adalah para gembala.  Kisah itu saja sudah cukup menggambarkan bagaimana Natal sangat lekat dengan kesederhanaan, kebersahajaan, dan ketulusan.  Natal adalah milik semua orang, seperti para gembala yang nota bene masyarakat biasa ikut bersukacita menyambut hadirnya Sang Juru Selamat ke dunia.

Di tengah alunan lagu Natal yang kudengar saat menulis ini, aku mengingat mereka semua yang tengah berduka, yang tengah bersedih, yang sedang berjuang untuk hidupnya, sama seperti yang kami sekeluarga rasakan setiap mendengar lagu Natal di tahun 1985 sampai 1990-an. Aku mengingat semua yang merasa termarjinalkan karena keadaan, terpinggirkan karena status sosial, dan terasing karena kemiskinan.  Percayalah, Natal ini juga hadir untuk kalian semua, maka bersukacitalah.  Ingatlah bahwa kita semua punya alasan yang sama untuk bersukacita, bukan karena kita punya baju baru, mendapat banyak kado atau bisa jalan-jalan, melainkan karena Tuhan memberikan kepada kita semua keselamatan melalui anakNya.

Ketika memaknai Natal sebagai sebuah karunia atau pemberian Tuhan, aku lebih senang untuk menjadikan setiap hariku sebagai hari Natal, ketika hidup kujalani dengan sebuah prinsip bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dia punya, melainkan oleh apa yang dia perbuat atau berikan bagi sekitarnya.  Menjadi berkat bagi banyak orang.  Berbagi sukacita sehingga siapapun ikut merasakan sukacita kita, dan menguatkan mereka yang bersedih.

Photo courtesy of https://forgodandjesus.wordpress.com/

Pada akhirnya, alunan lagu Natal ini mengingatkanku pada kasih Tuhan yang luar biasa dan tidak pernah habis dalam hidupku.  Aku merenungkan kembali ketika Dia menghadirkan bagiku seorang pria dan seorang wanita hebat dalam wujud Ayah dan Ibuku, adik-adik yang baik, istri dan anak-anak yang setia, dan banyak orang baik yang ada di sekelilingku.  Juga ketika Dia membukakan banyak pintu bagi kehidupanku yang semakin baik dari waktu ke waktu, dan ketika Dia dengan caraNya yang luar biasa membawa kami keluar dari berbagai kesulitan.  Sukacita Natalku adalah karena perjalanan yang kurangkai bersama Tuhan yang tanganNya selalu menuntunku agar aku tidak terjatuh dan merasa terlindungi, serta kasihNya yang setia menjawab semua pergumulanku.  Sebuah sukacita karena aku tahu Tuhan tidak pernah gagal dan tidak pernah terlambat membuktikan cintaNya kepada semua orang.

Selamat Natal, Ayah dan Ibu terkasih.

Selamat Natal, adik-adikku tersayang.

Selamat Natal, istri dan anak-anakku tercinta.

Selamat Natal, semuanya.

SURAT SEORANG AYAH

Bintang kecilku,

Aku menulis surat ini untuk hari istimewamu, ketika kamu memasuki sebuah masa yang menurut banyak orang adalah masa-masa kamu mencari jati dirimu, menjadi seorang remaja.

Pahamilah anakku, bahwa tujuh belas (tahun) hanyalah sekedar angka. Ia tidak melambangkan atau mewakili apapun. Representasi dirimu adalah semua pikiranmu, tutur katamu, dan segala perbuatanmu.  Semua itu tidak dapat diwakili oleh angka-angka, dan tak berbatas usia.

Ketahuilah bahwa setiap langkah kecil yang kamu buat hari demi hari, adalah batu demi batu yang kamu susun untuk membangun “rumahmu”.  Seperti apa itu semua terlihat nantinya, itulah hasil dari usahamu membangun.  Membangun jati dirimu, karaktermu, dan semua yang akan dilihat dunia tentang kamu.  Apapun langkah yang kamu ambil sekarang, kamu sedang membangun dirimu sendiri.

(Foto koleksi pribadi)

Cantikku,

Jadilah dirimu sendiri, karena Tuhan menciptakanmu bukan untuk memenuhi apa yang menjadi kehendak orang lain, atau menjadi seperti orang lain. Tataplah dan hadapi dunia dengan kepala tegak, jangan sekali-kali tertunduk.  Menundukkan kepalamu ketika menghadapi dunia hanya akan menghilangkan batas cakrawalamu dalam melihat kemenangan, yang meskipun masih jauh tapi pasti bisa kamu capai.

Kalahkan dirimu terlebih dulu sebelum kamu berniat mengalahkan dunia.  Kalahkan semua egomu, nafsumu, dan semua keinginan duniawimu, karena semua itu hanya akan membawamu menjauh dari kemenangan sejati. Musuh terberat kita adalah diri sendiri, bukan orang lain.

Jadikan dirimu tempat yang nyaman untuk Tuhan berdiam di dalamnya.  Semua orang memiliki hati kecil yang adalah ruang untuk Tuhan bersemayam, tapi kebanyakan orang tidak merawat hati kecilnya dengan baik, sehingga Tuhan pun keluar dari situ.  Ketika Tuhan tak ada dalam dirimu, jangan pernah bermimpi menjadi pemenang.  Sering-seringlah berbicara dengan hati kecilmu, agar kamu dapat mendengar suara Tuhan yang pasti akan menuntunmu pada semua kebaikan.

(Foto koleksi pribadi)

Bidadari kecilku,

Jangan pernah takut menghadapi kegagalan, karena dari kegagalan kamu dapat belajar menjadi lebih baik, dan melompat lebih tinggi.  Jangan takut menjadi tidak sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta.  Jangan takut jatuh, karena saat jatuh itulah kamu akan mengingat bumi tempatmu berpijak.  Yang membedakan kamu dengan yang lainnya adalah bagaimana kamu tetap berdiri tegak saat kamu gagal, menghargai dirimu sendiri dengan segala kekuranganmu, dan bangkit setelah terjatuh.  Semua pemenang atau orang-orang hebat yang kamu kenal adalah orang-orang yang mampu melakukan semua itu.

Lambungkan cita-citamu setinggi angkasa biru, tapi letakkan hatimu sedalam dasar lautan. Jangan biarkan kegagalan menghancurkanmu, dan jangan biarkan kemenangan memabukkanmu.  Tetaplah tersenyum di tengah semua beban hidupmu, dan tetaplah rendah hati di tengah semua kelimpahan yang kamu terima.  Jadikan dirimu berkat bagi banyak orang, karena itulah yang kelak akan menjadi bekalmu menghadap Yang Maha Kuasa.  Nilaimu adalah apa yang kamu berikan selama hidupmu, bukan apa yang kamu punya.

Carmenita-ku,

Ketahuilah bahwa hadirmu adalah karunia indah bagi keluarga kecil kita.  Menerimamu sebagai amanat dari Tuhan adalah sebuah kehormatan bagiku, sebuah kebanggaan yang tak tergambar dengan bahasa apapun, dan sebuah kebahagiaan yang tak tertebus dengan uang berapapun.  Ketika karena langkah-langkahmu, seluruh dunia meninggalkan kamu, ketahuilah bahwa ada Tuhan yang tidak akan meninggalkanmu, dan seorang laki-laki yang cintanya kepadamu melebihi cinta pada dirinya sendiri: Papamu.

Happy 17th birthday, my twinkling little star.

Ruang Cinta, 7 Desember 2021

JOGJAKARTA: KETIKA KUTEMUKAN RUMAH

(Foto koleksi pribadi)

Pertengahan November lalu saya bersama keluarga berkesempatan menikmati beberapa hari berada di Jogjakarta.  Kebetulan ada suatu keperluan keluarga, plus dua hari keperluan dinas memenuhi undangan dari sebuah instansi Pemerintah.

Bagi saya, Jogjakarta selalu bisa menjadi cerita.  Seperti lirik sebuah lagu, selalu ada sesuatu di sana. Ia mungkin dikenal sebagai kota pelajar, kota perjuangan, atau kota sejarah.  Ia juga mungkin dikenal dengan angkringannya, Keraton-nya, atau Jalan Malioboro-nya.  Bagi saya Jogjakarta lebih dari semua itu.  Jogjakarta juga lebih dari sekedar jutaan kenangan.  Jogjakarta adalah sebuah filosofi, kehidupan, dan jiwa.

(Foto koleksi pribadi)

Meskipun “resminya” saya hidup di kota ini hanya sekitar tiga tahun (selama saya menjadi Taruna Akademi Angkatan Udara), tapi pesona dan aura kota ini telah membuat saya jatuh hati. Saya medapatkan banyak hal dari tempat ini, terlebih ketika saat ini hari-hari saya dihabiskan dengan suasana yang penuh kepalsuan, basa basi, pemenuhan ego, dan “kasak kusuk” para pemburu ambisi. Jogjakarta selalu bisa memberi saya kepuasan atas dahaga saya akan ketenangan, kedamaian, kesejukan jiwa, dan perenungan untuk “kembali pada diri sendiri”.

Sebagian besar orang yang pernah ke kota ini pasti merasakan bagaimana tempat ini begitu bersahabat, bersahaja, dan menenangkan di setiap sudutnya.  Keramahan adalah jiwa dari kota ini.  Persahabatan adalah roh yang melekat di tiap denyut nadinya.  Itulah sebabnya saya sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar duduk sambil menikmati wedang jahe, kopi, atau gorengan di angkringan yang bertebaran di sana, sembari menyaksikan bagaimana kebersahajaan itu lalu lalang di hadapan saya: dalam diri para penjual angkringan, para penarik becak atau delman, atau para penjaja gudeg dan sate dengan bakul dagangan di pundak atau kepala mereka.

Jogjakarta adalah rumah bagi saya.  Bukan semata-mata karena saya merasa nyaman berada di dalamnya, melainkan karena saya selalu bisa menemukan “rumah” bagi batin saya: diri saya sendiri.  Jogjakarta adalah sebuah ruang besar bagi kontemplasi saya, ketika saya merasa sangat penat, lelah dan terkuras lahir batin oleh Jakarta.  Jogjakarta selalu menyajikan saya presentasi nyata tentang kesetaraan kita sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, tentang penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, dan tentang pengharapan yang selalu ada dalam keadaan seperti apapun.  Saya melihat itu semua tanpa buku, tanpa power point slides, tanpa teori atau pengantar dari siapapun.  Jogjakarta menghadirkan semuanya secara “live” di depan mata saya, dan menancapkan semua tontonan itu dalam nurani saya.

Saya melihat dan merasakan sebuah perjalanan kembali pada diri saya sendiri dari kota ini, bukan dari para wisatawan atau pelancong, melainkan justru dari warganya yang lahir, dibesarkan atau hidup dari kota ini.  Dari momen ketika kemewahan yang dibawa dan dipertontonkan para wisatawan di hadapan mereka yang berjuang dengan mengayuh becak, mengemudikan delman, menjajakan makanan, atau memainkan musik jalanan itulah saya melihat bagaimana kota ini memberi sebuah pelajaran berharga, yang bagaikan mata air bagi dahaga batin saya.  Pelajaran yang mengatakan kepada saya betapa kecilnya kita sebagai manusia, dan betapa lemahnya kita dalam perjuangan mengalahkan musuh terberat kita: diri kita sendiri.

(Foto koleksi pribadi)

Dari mereka yang tampak “biasa” di mata sesama manusia, saya justru belajar tentang sebuah kebesaran jiwa, penerimaan tulus terhadap apa yang Tuhan beri kepada mereka, yang selalu mereka syukuri, dan mereka pakai untuk memelihara asa akan kehidupan hari esok yang lebih baik. Dalam skala tertentu, saya merasa melihat Tuhan bersemayam dalam batin mereka—sebuah keadaan yang sangat saya rindukan, ketika diri ini bisa menyisihkan sedikit ruang untuk Tuhan dapat berdiam di dalamnya.

Ketika hati kecil selalu bertanya apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini, Jogjakarta hadir sebagai sebuah ruang besar di mana mahluk kecil seperti saya dapat menikmati sebuah perenungan yang berisi perjalanan menuju rumah saya sesungguhnya: diri saya sendiri.  Rumah yang menyediakan sebuah ruang bagi Sang Penguasa dan Pencipta Hidup untuk berdiam di dalamnya.

Manunggaling Kawula Gusti.

KONTESTASI GREAT POWERS DI KAWASAN ASEAN DAN DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Pertahanan (negara) adalah investasi.  Negara yang kuat pertahanannya, aman, terjadi iklim yang damai.

– Prabowo Subianto –

Tanggal 25 November 2020 yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang mengambil tema “Sentralitas ASEAN Dalam Kontestasi Great Powers di Kawasan Indo-Pasifik: Inisiatif Diplomasi Pertahanan Indonesia”.  FGD ini membahas hasil kajian yang dilakukan oleh Kemenkopolhukam RI bekerjasama dengan Parahyangan Center of International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Kesempatan berharga itu saya manfaatkan untuk menyampaikan beberapa pandangan saya terkait diplomasi pertahanan Indonesia, yang karena kesibukan baru bisa saya muat dalam bentuk artikel kali ini.

BEBERAPA FAKTA[1]

1.     Mengacu pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) April 2020, belanja militer di Asia Tenggara mengalami peningkatan 4,2% di tahun 2019 hingga mencapai 40,5 miliar Dollar AS, setelah sebelumnya mengalami penurunan 4,1% di tahun 2018.  Bila dihitung dalam satu dekade 2010-2019, peningkatannya mencapai 34%.

2.     Dari data di atas, tiga negara di kawasan ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar di tahun 2019 adalah Singapura (28% dari total belanja pertahanan kawasan), Indonesia (19%), dan Thailand (18%).  Beberapa negara di kawasan ASEAN meningkatkan belanja pertahanannya untuk memperkuat kemampuan angkatan perangnya sebagai reaksi atas klaim Tiongkok serta aktifitas mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).

3.     Masih dari data di atas, beberapa negara ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar dalam hal persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 antara lain: Singapura 11.2 miliar Dollar AS (3.2% PDB), Indonesia 7.7 miliar Dollar AS (0.7% PDB), Thailand 7.3 miliar Dollar AS (1.3% PDB).  Negara tetangga ASEAN, Australia mencatatkan belanja pertahanannya sebesar 25.9 miliar Dollar AS (1.9% PDB).

Table 1. World’s Defence Spending 2019 (source: SIPRI)

SI VIS PACEM, PARA BELLUM

Perang pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional.  Secara universal, dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional semua bangsa adalah keberlangsungan hidup (sustainment of life) atau lebih sederhananya: bertahan hidup (survival).  Mereka yang memiliki sedikit sumber daya untuk bertahan hidup akan merasa perlu memperjuangkan banyak hal bahkan hingga tingkat yang paling ekstrim yaitu dengan berperang.  Namun, mereka yang memiliki banyak sumber daya untuk bertahan hidup, tidak boleh merasa tidak ada atau tidak banyak yang perlu mereka perjuangkan hingga harus berperang.

Semua perang yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia seperti ekspansi Kerajaan Romawi, Perang Salib, ekspansi Kerajaan Mongol, dua kali Perang Dunia, bahkan Perang Dingin yang tidak melibatkan konfrontasi fisik senjata antara dua negara adikuasa saat itupun, terjadi karena ada kelompok/negara yang ingin menguasai kelompok/negara lain, yang tentu saja untuk menguasai sumber dayanya bagi kepentingan hidup kelompok/negaranya.  Fakta ini mengajarkan kepada kita bahwa memiliki sumber daya bukan berarti kita akan hidup dengan mudah, damai dan tenang.  Semakin melimpah sumber daya yang dimiliki sebuah bangsa, justru menghadirkan tantangan yang makin besar untuk mempertahankan sumber daya itu bagi kemakmuran bangsanya dari kemungkinan dirampas, dijarah, dan dikuasai orang lain.

KONTESTASI GREAT POWERS

Kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) secara umum didefinisikan sebagai kekuatan-kekuatan (dalam hal ini negara) yang dipandang memiliki kemampuan atau keahlian untuk menyebarkan atau menanamkan pengaruhnya pada tingkat global.[2]  Saat ini, dunia pada umumnya menganggap negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, Inggris, juga Jerman dan Perancis adalah mereka yang termasuk dalam kategori Great Powers tersebut.  Pengaruh yang disebarkan secara global ini bermacam-macam bentuknya: ekonomi (misalnya dalam wujud perdagangan dan perbankan), teknologi, sosial dan budaya, juga militer.  Penggunaan mata uang Dollar AS sebagai standar mata uang dunia, meluasnya konsumsi makanan cepat saji, penggunaan platform-platform media sosial, merupakan bentuk-bentuk pengaruh yang berasal dari Great Powers tadi.

Dari perspektif militer, fenomena Great Powers sebenarnya merupakan evolusi dari bipolarisasi kekuatan di era pasca Perang Dunia II atau Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet menjadi pusat kekuatan militer global.  Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, AS tampil sebagai satu-satunya orientasi kekuatan militer dunia.  Meskipun masih dianggap sebagai pusat kekuatan militer dunia, hegemoni AS perlahan-lahan mulai “tergerus” sejak akhir era 1990-an, ketika Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dan membangun militernya berbasis teknologi ciptaan mereka sendiri, serta Rusia yang mewarisi sebagian besar kapasitas industri pertahanan dari jaman Uni Soviet berusaha untuk membangun (kembali) pasar produk militernya.  Meski demikian, geliat Tiongkok dan Rusia belum terlalu signifikan mempengaruhi peta kekuatan militer dunia, karena pasar kedua negara tersebut umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara-negara dengan tata kelola yang buruk.

Di regional ASEAN, kontestasi Great Powers, setidaknya untuk saat ini, berpusat pada persaingan AS dan Tiongkok, terutama di kawasan ekonomi Laut Tiongkok Selatan (LTS).  Hal ini karena secara geografis, beberapa negara ASEAN secara langsung terdampak oleh kebijakan-kebijakan sepihak Pemerintah Tiongkok atas klaim mereka di LTS, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tentu saja Indonesia.  Persoalannya, seberapa mampu ASEAN sebagai sebuah entitas multilateral meminimalisir dampak manuver-manuver masif Tiongkok di kawasan tersebut?

Kembali pada filosofi dasar “sustainment of life” atau “survival” tadi, LTS menjadi menarik karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan nilai strategis dan ekonomi tinggi yang dapat membantu siapapun “bertahan hidup”.  Namun, LTS juga merupakan “jembatan”, baik secara fisik/geografis maupun politis/diplomatis bagi perluasan kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, yang tentu saja sangat mengganggu AS.  Sejarah mencatat, kawasan Asia Tenggara adalah salah satu “area of interest” AS sejak lama, bila kita melihat pada masa Perang Dunia II, pemberontakan-pemberontakan di Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1960-an sampai penggulingan Soekarno tahun 1966, Perang Vietnam, akuisisi Timor Timur oleh Indonesia, dan masih banyak lagi.  AS membangun pangkalan militer di Filipina sejak 1947 hingga 1992, dan masih memiliki akses untuk menggunakan pangkalan-pangkalan militer di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, dan tentu saja sekutu dekat mereka Australia.

PERAN ASEAN

https://asean.org/asean/asean-member-states/

Association of South East Asia Nations (ASEAN), sejak dibentuk tahun 1967 telah memainkan peran sentral sebagai sebuah komunitas menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan ini.  Keanggotaan yang awalnya terdiri atas lima negara pendiri, saat ini telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah lima negara berikutnya bergabung dalam periode antara 1984 hingga 1998.  Fokus kerja sama ASEAN adalah di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dan informasi.  Meskipun berdiri di atas prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, dan saling menghormati, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sejarah masing-masing negara anggotanya berpeluang memunculkan gesekan-gesekan khususnya di sektor pertahanan.

Heterogenitas negara-negara ASEAN menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dalam menyatukan visi di bidang pertahanan dan keamanan kawasan.  Keterikatan historis negara-negara anggotanya dengan beberapa negara besar di luar kawasan telah menghasilkan orientasi pembangunan pertahanan yang beragam di antara sesama anggota ASEAN.  Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam misalnya, mereka adalah bagian dari The Commonwealth yang dipimpin oleh Inggris.  Filipina, meskipun di bawah Presiden Rodrigo Duterte terlihat agak “menjaga jarak” dengan AS, namun pada faktanya sangat bergantung pada Pemerintah AS dalam memperkuat militernya—sekali lagi karena faktor historis.  Vietnam, terlepas dari konflik akhir-akhir ini dengan Tiongkok di LTS, membangun reformasi sosialisme mereka dengan belajar dari Tiongkok, lagi-lagi karena faktor historis.

Faktor historis membuat beberapa negara ASEAN memiliki apa yang disebut sebagai “floating multilateralism” atau multilaterisme mengambang yang memungkinkan beberapa negara ASEAN membangun koneksitas yang demi kepentingan pragmatis bisa saja melebihi koneksitas mereka dengan ASEAN itu sendiri.  Multilateralisme mengambang, bila dibawa ke ranah militer atau pertahanan negara, seperti koneksitas Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris, tentu menjadi sebuah tantangan dan ujian besar bagi “ASEAN Bersatu”.  Ujian ini pernah dialami ASEAN dalam sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang berujung pada lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI tahun 2002.

Dalam KTT ASEAN di Bangkok bulan Juni 2019, para pemimpin negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah konsep politik regional yang bertajuk “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”. Pandangan ASEAN ini berdasarkan pada prinsip-prinsip memperkuat sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusifitas ASEAN, kerangka kerja berbasis peraturan, good governance, penghormatan atas kedaulatan, non-intervensi, ketaatan terhadap kerangka kerjasama yang sudah ada, kesamaan, saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap hukum internasional seperti UN Charter, UNCLOS 1982 dan peraturan-peraturan internasional lainnya, serta ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan regional lainnya.[3]

Secara subyektif, saya melihat ASEAN Outlook ini sebagai sebuah paradoks: di satu sisi ASEAN Outlook on Indo Pacific berfokus kepada area kerjasama non-militer (Maritime Cooperation, Connectivity, UN Sustainable Development Goals 2030, Economic and other areas), namun di saat yang sama,     kontestasi Great Powers mengindikasikan eskalasi di sektor militer yang akan berdampak pada stabilitas kawasan.  Sengketa LTS adalah contoh di mana konflik militer di kawasan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun itu bukan antar negara ASEAN.  Namun sejarah mencatat bahwa hubungan militer di antara negara-negara anggota ASEAN layaknya “api dalam sekam”: dingin di permukaan, namun “panas” di dalam (contohnya sengketa wilayah Ambalat).

DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Kecenderungan eskalasi ketegangan di kawasan LTS tentu harus disikapi serius oleh ASEAN, tidak hanya untuk stabilitas kawasan, namun juga tak kalah pentingnya adalah untuk menjamin agar ASEAN sendiri tidak “terpecah”, karena meskipun secara kuantitatif musuh yang dihadapi sama (Tiongkok), namun secara kualitatif kepentingan tiap negara ASEAN yang terkait dengan LTS bisa saja berbeda.  Perbedaan kepentingan ini sangat berpeluang memunculkan orientasi pragmatis dalam pengembangan kekuatan militer tiap-tiap negara, dengan mengatasnamakan sengketa LTS.

Meskipun terkesan normatif dan sedikit naif, namun diplomasi pertahanan tetap menjadi sebuah upaya yang harus dilakukan demi tetap terjaganya stabilitas kawasan ASEAN.  ASEAN memiliki forum-forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM Plus yang melibatkan para Menteri Pertahanan dari delapan negara mitra ASEAN (AS, Tiongkok, Rusia, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).  Namun demikian, fakta masih terjadinya beberapa sengketa perbatasan, termasuk pelanggaran wilayah baik di darat, laut maupun udara di antara sesama anggota ASEAN menunjukkan bahwa diplomasi pertahanan bukan sebuah solusi tunggal.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita dalam hal diplomasi pertahanan ini, baik secara umum maupun khusus dalam konteks kontestasi Great Powers:

1.     Pada suatu titik ketika dampak kontestasi Great Powers sudah dipandang membahayakan kepentingan negara ASEAN tertentu, sebuah negara bisa mengambil langkah pragmatis.  Dalam kasus Filipina versus Tiongkok di Arbitrase LTS 2016 (The Hague) yang hasilnya diabaikan sama sekali oleh Tiongkok (meskipun mereka termasuk dalam UNCLOS 1982) misalnya, Filipina tentu merasa mereka tidak dapat mengandalkan ASEAN, dan bisa jadi lebih memilih untuk memanfaatkan floating multilateralism mereka dengan AS (yang tentu saja akan dimanfaatkan AS dengan senang hati).

2.     Diplomasi pertahanan, yang bertujuan mewujudkan perdamaian kawasan tetap harus didukung dengan “kesiapan berperang”. Si vis pacem, para bellum.  Diplomasi pertahanan Indonesia jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa itu adalah upaya Indonesia karena tidak siap berperang.  Fakta bahwa beberapa pelanggaran wilayah oleh kekuatan militer negara tetangga masih terjadi hingga saat ini (yang terlalu naif untuk dikatakan “tidak sengaja”) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum terlalu “dianggap”, bahkan di tingkat kawasan.

Mendiang Presiden AS John Fitzgerald Kennedy pernah berkata “It is an unfortunate fact that we can secure peace only by preparing for war”.  Itu berarti bahwa diplomasi pertahanan untuk tujuan stabilitas dan perdamaian (kawasan) juga harus diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan, atau kesiapan untuk berperang. Diplomasi pertahanan dan pembangunan kekuatan pertahanan layaknya dua sisi mata uang yang memberi keuntungan timbal balik: diplomasi pertahanan dapat meningkatkan kesiapan berperang; kesiapan berperang akan memperkuat posisi diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan harus dilihat sebagai suatu upaya atau tindakan yang sistematis, dan melibatkan semua elemen nasional.  Diplomasi pertahanan haruslah berupa pendekatan “kesisteman Indonesia”.  Belajar dari para Great Powers, kuatnya posisi diplomasi pertahanan mereka banyak ditentukan oleh kuatnya ekonomi, majunya industri (tidak hanya industri sektor pertahanan), kuatnya political will pemerintah, tingginya tingkat literasi atau keterdidikan masyarakat, mapannya tata kelola negara, dan faktor-faktor lainnya.

Di sisi lain, pembangunan kekuatan pertahanan agar “siap berperang” juga harus dilihat dengan pendekatan yang sama: “kesisteman Indonesia”.  Semua elemen harus terlibat, tidak hanya Kementerian Pertahanan atau TNI.  Pembangunan kekuatan pertahanan bukan semata-mata soal defence spending atau belanja pertahanan.  Membangun pertahanan untuk sebuah negara seluas Indonesia dengan mengandalkan defence spending, selain memerlukan biaya besar, juga tidak menjamin adanya daya gentar dalam jangka panjang.  Kita dapat melihat besarnya defence spending di beberapa negara kaya di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab atau Qatar, yang secara kualitatif tidak menghasilkan rasa takut atau segan negara-negara lainnya.

Diplomasi pertahanan Indonesia akan lebih kuat, berpengaruh, diperhitungkan dan dihormati di kawasan bila Indonesia secara serius menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten untuk membangun pertahanan negara yang tangguh, dengan mengubah paradigma dari defence spending ke defence investmentDefence investment adalah pembangunan dan pengembangan segenap sumber daya pertahanan: Alutsista, sumber daya manusia (SDM), research and development (R&D), industri pertahanan, serta tata kelola pertahanan negara berupa struktur, doktrin, strategi hingga taktik.  Bila ini dijalankan, dalam jangka panjang belanja pertahanan akan menjadi asset, bukan hanya beban atau liability.  Negara-negara seperti Iran dan India memiliki posisi diplomasi pertahanan yang bagus tidak hanya di kawasan mereka, namun juga di tingkat global, bukan semata-mata dengan defence spending, namun juga dengan kemandirian industri mereka dan kekuatan political will pemerintahnya.

Itulah tantangan pembangunan kekuatan diplomasi pertahanan kita, agar kita lebih disegani dan dihormati, setidaknya di kawasan ASEAN, di tengah perjuangannya menghadapi dampak kontestasi Great Powers.  Siapapun yang ingin hidup damai, tenang dan nyaman, harus siap untuk berperang.

Si vis pacem, para bellum.


[1] https://www.sipri.org/databases/milex, diunduh tanggal 21 November 2020

[2] https://www.webcitation.org/5kwqEr8pe, diunduh 30 Januari 2021

[3] https://asean.org/storage/2019/06/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf, diterjemahkan tanggal 24 November 2020.

SELAMAT ULANG TAHUN, KASIHKU!

Foto Koleksi Pribadi

Dear Mama,

Aku ingin kamu tahu bahwa aku begitu berterima kasih atas hadirmu yang meyakinkan aku betapa Tuhan setia hadir dalam hidupku.

Tulisan ini aku buat untuk mengungkapkan terima kasihku yang teramat besar atas hadirmu, dan sebagai ungkapan syukurku di hari istimewa ini.  Ketika menulis ini, ingatanku terbang ke berbagai kenangan masa lalu yang membangun rasa syukurku yang tiada habis pada Tuhan kita.

Di masa awal mengarungi rumah tangga, kita sering bingung mau makan apa karena gajiku sudah habis di tengah bulan.  Aku juga ingat kebiasaanmu menggendong anak pertama kita sambil menjemur pakaian.  Kemana-mana kita selalu jalan kaki atau naik angkot karena belum punya kendaraan.  Lalu suatu hari kita pernah berlari panik ke rumah sakit karena Dimitri kecil jatuh dari kasurnya.  Dan yang cukup menggelikan, kita pernah tidak jadi ke gereja karena basah kuyup kena cipratan air dari mobil yang lewat saat kita dalam perjalanan naik motor.  Hehehe…

Sekarang semuanya berbeda, dan aku bersyukur karenanya.  Namun, kamu tetap pribadi yang sama hebat dan setianya sejak pertama kita bersama. Setiap hari kamu memastikan makanan tersedia di rumah.  Setiap pagi kamu menyiapkan segala sesuatu untukku berangkat ke kantor.  Kamu membuat rumah kita selalu bersih, cerah, dan nyaman.  Kamu mendesain rumah mungil kita di Magelang dengan amat berkelas.  Dan sebagai seorang Ibu, kamu memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik mereka,

Semua ingatanku akan perjalanan panjang itu menunjukkan betapa hebatnya dirimu, betapa tangguhnya pribadimu, dan betapa setianya kamu menjaga cita-cita kita.  Itu semua semakin membuatku bersyukur, karena di sisiku berdiri seorang wanita luar biasa.

Ketika melihat betapa berlimpahnya berkat Tuhan atas hidup kita, aku percaya itu karena Dia melihatmu dan anak-anak kita.  Itulah sebabnya aku senantiasa bersyukur, karena jalan berkat itu adalah pribadi hebat di sampingku,

Mama sayang,

Untukmu, kuucapkan “Selamat Ulang Tahun”, kiranya kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan selalu bersamamu.

Dan kepada Tuhan,

Kuucapkan syukurku atas seorang wanita hebat yang Dia hadirkan untukku, dan kepadaNya pula aku percayakan hidup wanita terkasihku.

Sungguh, hidupku adalah sebuah karunia, dan itu karena kamu.  Terima kasih telah membuat hidupku terasa begitu istimewa dan penuh syukur.

Tuhan menyertaimu selalu, sayangku.  HAPPY LOVELY 43RD BIRTHDAY!

Bogor, 20 September 2020

MEMBANGUN DI ATAS KOMPETENSI MORAL

Foto dari islamindonesia.id

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri.  Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah melakukan perlawanan di berbagai daerah.  Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan” Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.

Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat” atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.  Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.  Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis untuk menjadi sebuah negara merdeka?  Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan?  Punya sumber daya untuk membiayai pembangunan?  Punya angkatan perang yang cukup kuat untuk melindungi negara?  Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.

Lantas kecakapan atau kompetensi apa yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka?  KOMPETENSI MORAL.  Kecakapan moral itulah yang membuat para tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka.  Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang, karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib Indonesia.  Mereka juga berpotensi dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan Jepang pasca menyerahnya Jepang.  Namun, kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.

JANGAN PERNAH LUPA PADA SEJARAH

Itu 75 tahun yang lalu.  Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”.  Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan dalam tata kelola bermasyarakat.  Adalah sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.

Kembali pada sejarah, setelah merdeka bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya.  Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an, hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI.  Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998, yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat ini.

Berbagai pencapaian telah diraih.  Pembangunan infrastruktur berjalan masif, Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”.  Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun).  Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi.  Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”

History is the foundation of a nation.  Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa.  Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.  Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng.  Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata para pendahulu kita.

KOMPETENSI MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA

Para pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama kita kompeten secara moral.  Apa yang dimaksud “kompeten secara moral” itu?  Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama, mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.

Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah proklamasi.  Kompetensi moral itu pulalah yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia yang masih berusia dini.  Juga pada diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia.  Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.  Diri dan keluarga merekapun berada di prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.

Tujuan pembangunan negara adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).  Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Cita-cita nasional hanya dapat diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.  Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.  Benchmark dari karakter bangsa ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita bernegara.  Artinya, kita perlu kembali lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami bagaimana kita harus melangkah ke depan.  Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia tahun 2003.

SEBERAPA KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?

Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai lembaga penegakan hukum sudah dibentuk.  Tidak sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat.  Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.

Kita bangga dengan pencapaian pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan nasional kita yang sudah maju.  Sebelum pandemi Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi di Pulau Jawa, yang nota bene satu pulau dengan Ibukota negara).  Saat pandemi, terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan sinyal dan akses internet yang stabil.  Masih banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.

Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.  Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir dan sikap moralnya.  Tidak mengherankan, karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka.  Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.

Pencapaian kita memang banyak di 75 tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, itu persoalan lain.  Menjawab pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta kepuasan diri sendiri.

Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini dibangun di atas kompetensi moral.

Selamat memaknai 75 tahun perjalanan, negeriku!

Dirgahayu, tanah airku!