68 TAHUN (BELAJAR) BERNEGARA, BUKAN 68 TAHUN MERDEKA…

Image

Tahun 2013, untuk ke-68 kalinya negeri ini merayakan dan memperingati momen terpenting dalam perjalanan sejarahnya: Proklamasi 17 Agustus 1945.  Kita menyebutnya “Proklamasi Kemerdekaan”. Ya, karena dalam teks Proklamasi yang dibacakan Bung Karno didampingi Bung Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta itu disebutkan “….menyatakan kemerdekaan Indonesia….”.  Dalam konteks kala itu, memang tepat apa yang dinyatakan para pendiri bangsa ini.  Saat itu kita memang terjajah secara fisik, dan hak-hak manusia Indonesia terampas oleh kekuasaan penjajah.

Kata “merdeka” secara harfiah berarti “bebas”. Kata ini diambil dari bahasa Sansekerta “maharddhika” yang berarti “kaya, sejahtera, dan kuat”. Dalam konteks situasi dan kondisi Indonesia saat itu, kebebasan memang tidak ada, kekayaan dan kesejahteraan hanya milik mereka yang bersedia menjual diri dan bangsanya kepada penjajah, sedangkan kekuatan adalah milik penjajah. Dengan menyerahnya Jepang pada Sekutu, terjadi kevakuman aktifitas Jepang di Indonesia, dan momentum ini dimanfaatkan oleh Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Nah, dalam konteks sekarang, dengan kondisi Indonesia dan dunia yang sudah banyak berbeda dengan tahun 1945, apakah kata “merdeka” itu tepat? Dengan kata lain, apakah saat ini kita—bangsa Indonesia—benar-benar sudah merdeka?  Mari kita urai beberapa aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk dapat melihat apakah kita memang merdeka.  Secara ideologi, pandangan hidup bangsa yang bernama Pancasila memang sudah terbukti kokoh di tengah berbagai upaya untuk menjatuhkannya. Namun kita juga tidak boleh naif, bahwa saat ini ideologi luhur ini masih sangat rawan terhadap ancaman. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (khususnya teknologi informasi/TI) telah menyebarkan virus liberalisme akut. [Ingat bahwa seorang tokoh nasional bahkan pernah menyodorkan wacana “Negara Federasi Indonesia” seperti Amerika Serikat].  Pancasila—yang memberi hak serta ruang yang sama bagi keyakinan apapun di bumi Indonesia sesuai sila pertamanya—juga tengah dirongrong oleh upaya-upaya untuk mendiskrimasikan keyakinan tertentu yang dilindungi serta disahkan oleh Undang-Undang.

Secara politik, bangsa ini belum bisa membebaskan dirinya dari ancaman tergerusnya keseimbangan di antara elemen-elemen politik: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.  Kita mengklaim diri sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensiil, namun faktanya lembaga legislatif justru lebih (ingin) menunjukkan dominasinya dalam pengambilan kebijakan nasional. Lembaga yudikatif tidak asing dengan intervensi eksekutif, dan legislatif kita—yang notabene adalah “wakil rakyat”—tidak menunjukkan kejelasan mewakili rakyat yang mana.

Secara ekonomi, kemerdekaan bahkan tampak masih jauh. Apa yang didapat bangsa ini dari kekayaan alamnya yang konon berlimpah ruah itu? Tanah yang subur ternyata tidak mampu menghindarkan negeri ini dari impor beras, gandum, dan sebagainya. Alih-alih memberi kekayaan bagi negara, tambang emas dan tembaga di Papua bahkan tidak mampu menyejahterakan masyarakat Papua sendiri. Begitu juga di tempat-tempat lain.  Kekayaan laut yang berlimpah juga tidak mampu membebaskan para nelayan dari kemiskinan. Belum lagi penjajahan korporasi multi-nasional (Multinational Corporation atau MNC) yang membuat rupiah Indonesia mengalir deras ke negara-negara lain melalui restoran-restoran cepat saji, wholesale, dealer-dealer otomotif, serta waralaba-waralaba yang berbasis di luar Indonesia (yang sukses menindas pasar tradisional yang sejatinya dapat menjadi salah satu perekat komunitas).

Secara sosial, dunia pendidikan kita ditindas dengan sekularisme, sehingga anak-anak menjadi “dewasa” sebelum waktunya. Nilai-nilai keindonesiaan nyaris lenyap di sekolah-sekolah, yang menggilas patriotisme dan nasionalise generasi muda. Dalam aspek budaya, masyarakat Indonesia telah terjajah oleh kultur asing dalam wujud film-film Hollywood dan karya seni asing lainnya ketimbang memberikan ruang serta membangun karya anak bangsa sendiri. Orang lebih suka mengejar impian ke ibukota negara ketimbang membangun kampung halamannya sendiri, karena mereka ingin menjadi pria-pria berjas dan berdasi, serta wanita-wanita dengan penampilan cantik dan “smart” ala selebriti atau wanita karier. Hedonisme telah mengangkangi pola pikir masyakarat yang mengukur kesuksesan mereka dengan frekwensi berbelanja di mall, makan di restoran asing, menghabiskan waktu di kafe dan klub malam, atau banyaknya mobil yang ada di garasi serta banyaknya gadget yang menjadi pegangan anggota keluarga. Individualisme dan egoisme merebak di mana-mana, sehingga tidak heran bila korupsi terjadi di semua lini, segala strata, dan masif.   Apapun caranya adalah halal, yang haram adalah menjadi miskin dan tidak punya apa-apa.

Di bidang pertahanan, bangsa ini “menikmati” dirinya dijadikan tempat sampah untuk barang-barang bekas orang lain.  Hebatnya lagi, sudah dijadikan tempat pembuangan, kita harus membayar pula dalam jumlah yang tidak kecil. Kita bahkan tidak berdaulat terhadap ruang udara kita sendiri, dan memasrahkan pengendalian ruang udara di sebagian wilayahnya kepada negara yang besarnya hanya se-“jempol kaki”. Kitapun tetap happy menjual pasir kepada negara kecil itu yang membuat wilayah teritorialnya makin luas, dan batas laut kita makin menyusut. Kita hanya bisa “melongo” ketika puluhan penerbangan gelap melintasi wilayah udara kita setiap tahunnya.  Bangsa ini juga tak berkutik ketika ia diwajibkan untuk terus membeli dan bergantung pada produk asing, dan tak berdaya ketika orang lain tak “mengijinkannya” mengembangkan industrinya sendiri.

Itu baru dalam perspektif kita dengan “kekuatan” asing. Di kalangan sesama anak bangsa, penjajahan itu juga terjadi. Ribuan orang harus kehilangan “kehidupan”-nya di Porong, Sidoarjo akibat ulah salah satu perusahaan—yang diindikasikan—pengemplang pajak yang menenggelamkan rumah-rumah mereka dalam lumpur. Hebatnya, salah satu bos perusahaan itu tenang-tenang saja menikmati jabatannya di pemerintahan saat ribuan rakyat menderita.  Di beberapa daerah, sebagian penganut agama/keyakinan tertentu masih harus berjuang keras untuk mendapatkan kebebasan menjalankan keyakinannya (misalnya memperoleh ijin mendirikan rumah ibadah).  Di beberapa kota besar seperti Jakarta, pedagang harus membayar “upeti” kepada para preman, baik preman bertampang kasar maupun mereka yang berbalut seragam aparat. Masyarakat juga masih asing dengan pengurusan berbagai dokumen administratif (KTP, SIM, IMB, dsb) yang bebas pungutan liar. Pagar makan tanaman, bapak mencaplok anaknya sendiri, dan kakak menindas adiknya—seperti itulah gambarannya.

Semua yang saya sebutkan di atas hanya sebagian contoh. Garis besarnya: kita sama sekali belum bisa membebaskan diri dari ancaman, tekanan, dan pengaruh asing dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sama dengan ketidakmampuan kita membebaskan diri dari tekanan penjajah sebelum tahun 1945.  Lantas, kapan kita merdeka?  Nanti, ketika bangsa ini (terutama para pemimpinnya) bisa membebaskan alam pikirnya dari penjajahan para dajjal, lucifer atau apapun namanya. Saat kita benar-benar merdeka, uang tak lagi berada di atas akhlak, kekuasaan tak lagi menginjak-injak hukum, dan modernisasi tak lagi mengabaikan nilai-nilai moral.

Maharddhika” alias “kaya, sejahtera, dan kuat” itu masih jauh.  Enam puluh delapan tahun sejak 17 Agustus 1945, bangsa ini baru sekedar (belajar) bernegara, BUKAN merdeka…

PREMAN SEKOLAH ATAU SEKOLAH PREMAN?

Soal preman lagi, hehehe… Setelah tanggal 5 Agustus lalu saya menulis sebuah surat terbuka untuk memberi dukungan moril bagi sahabat saya AKBP Hengki Haryadi (dan segenap jajaran Polri c.q. Polda Metro) dalam menumpas preman-preman ibukota, saya jadi bertanya-tanya: mengapa premanisme bisa sebegitu merajalela di negeri ini? Ya, negeri yang katanya sudah merdeka hampir 68 tahun; yang didirikan di atas perjuangan dan pengorbanan mahal para pendirinya? Logikanya, pendiri negara manapun adalah orang-orang hebat dengan ketulusan hati serta komitmen yang teguh untuk dapat melihat negara yang dirintisnya berkembang maju menjadi sebuah negara yang besar. Jadi, pendiri negara tidak mungkin para preman, dan tak satupun pendiri negara rela memberikan ruang untuk premanisme di negaranya, karena mereka tak ingin negara yang dibangunnya dengan susah payah hancur akibat premanisme.

Thus, mengapa sekarang bangsa ini seolah tak asing dengan premanisme? Premanisme sudah seperti “bagian hidup”, karena kita sudah sangat terbiasa dengan hal-hal seperti pungutan liar (pungli), sogok menyogok, wani piro, pemberian ‘komisi’ kepada otoritas tertentu, dan sebagainya. Itulah premanisme sistemik dalam filosofi saya, yaitu sebuah situasi di mana kekuatan uang, status sosial, senjata, dan fisik berada di atas peraturan dan hukum untuk menyelesaikan suatu masalah. Premanisme ada di semua lini dan terjelmakan dalam berbagai wujud: mulai dari buruh kasar sampai mereka yang sehari-hari berjas dan dasi atau berseragam. Saking sistemiknya, upaya pemberantasan premanisme di Indonesia (dalam perkiraan saya) akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan pemberantasan mafioso di Italia, atau pembasmian kekuasaan para kartel narkoba di Amerika Selatan. Nah, barangkali pertanyaan “mengapa” ini akan sedikit berkontribusi dalam menguak akar premanisme sistemik di negeri tempat kita hidup sekarang. Layaknya tanaman, bila kita babat hingga ke akar, maka tanaman itu akan mati.

Fenomena Dunia Pendidikan Indonesia

Siapapun maklum, bahwa lingkungan pendidikan adalah dunia di mana sebuah bangsa dapat berharap untuk memiliki generasi penerus yang dapat melanjutkan kelangsungan masa depan bangsanya. Artinya, keluaran atau hasil didik dari lingkungan ini haruslah mereka yang tidak hanya cerdas dan berwawasan, namun jauh lebih penting adalah generasi yang berkarakter. Hanya dengan memiliki generasi penerus yang berkarakter, sebuah bangsa dapat terjamin kelangsungannya. Hanya oleh generasi yang berkarakter pulalah sebuah bangsa akan terus maju, berkembang, dan sejahtera. Persoalannya, sudah cukup percayakah kita pada dunia pendidikan Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus yang sedemikian?

Saat ini, jangankan para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya—apakah itu di SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi—anak-anak yang notabene adalah (bakal) obyek didik pun sudah mahfum bahwa bayar membayar untuk bisa masuk ke sekolah tertentu itu biasa. Anak saya yang bersekolah di salah satu SMP negeri di Bogor juga pernah bercerita kepada saya, bahwa beberapa temannya menceritakan tentang orang tua mereka yang harus menggelontorkan sejumlah uang sehingga mereka bisa masuk ke sekolah itu. Itulah salah satu fenomena sosial dunia pendidikan kita: ada uang, selesai masalah (meskipun anak kita sebenarnya tak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah itu).

Bila di sekolah-sekolah negeri (yang notabene dikelola negara dan dibiayai dengan APBN) fenomena itu bisa terjadi, tak perlu kita tanyakan bagaimana di sekolah-sekolah swasta. Mungkin tidak semua juga, artinya pengeluaran uang oleh orang tua murid memang proporsional sebagai biaya untuk mendidik anak-anak mereka di sana. Tapi naif juga untuk tidak mengatakan bahwa itu tidak terjadi sama sekali. Dalam logika sederhana saya, lha wong di sekolah negeri yang dibiayai negara saja orang tua bisa “dipalakin”, apalagi di sekolah swasta, yang operasional pendidikannya memang bergantung pada pemasukan dari orang tua siswa (atau calon siswa)?

Selain premanisme dalam bentuk uang, dunia pendidikan kita juga akrab dengan premanisme dalam manifesto yang lain.  Misalnya: kebiasaan menyontek, mencuri soal ujian, atau jual beli bocoran soal/jawaban. Benang merah semua perilaku itu sama: mencuri. Mencuri itu juga perilaku preman to? Nah, perilaku preman itu yang diperkenalkan secara telanjang dan tanpa tedeng aling-aling kepada para murid, dalam beberapa kasus malah difasilitasi oleh sekolah atau oknum guru. Sekolah tidak ingin siswanya banyak yang gagal dalam ujian nasional misalnya, sehingga berbagai cara dilakukan agar siswanya lulus semua (sehingga sekolah itu akan dinilai sebagai sekolah yang hebat/bagus). Seorang guru atau wali kelas juga tidak mau dibilang bodoh dan tidak bisa membina kelasnya dengan baik, sehingga ia dengan “ikhlas” memberikan bocoran soal agar siswa-siswa di kelasnya lulus ujian semua. Para pengawas ujian, karena sudah mendapat “sesuatu” dari pihak sekolah yang diawasinya, akhirnya membiarkan peserta ujian menyontek satu sama lain (yang penting ngga ribut atau gaduh di kelas hehehe…).

Belum lagi kalau kita bicara soal materi pendidikan. Mengapa sampai ada buku pegangan siswa yang isinya cerita-cerita berbau porno? Gambar-gambar artis atau bahkan bintang film syur seperti Miyabi? Ya, karena buku-buku itu kan ada penyedianya, si pemenang tender alias kontrak pengadaan buku ajaran untuk sekolah. Selama mereka mampu memberikan kompensasi yang “menggiurkan” kepada otoritas atau oknum terkait, sensor pasti menjadi longgar. Pengendalian kualitas kendor.  Hasilnya, muncullah gambar-gambar atau cerita-cerita “dewasa” di buku untuk siswa SD atau SMP. Sekali lagi, tidak semua sekolah atau daerah kondisinya seperti itu. Tapi saya juga naif bila mengatakan fenomena itu tidak ada sama sekali. Itulah sebabnya, kita juga tidak asing dengan pemandangan tawuran antar pelajar, atau siswa-siswa yang keluyuran di luar sekolah saat masih jam pelajaran. Mereka beranggapan bahwa masuk sekolah dan belajar itu ngga penting, toh nanti waktunya ujian mereka akan dapat bocoran soal. Kalau ngga dapat secara cuma-cuma, ya tinggal bayar. Kalau ketahuan dan akan diperkarakan, bayar lagi ke otoritas yang lebih tinggi agar kasusnya tidak diteruskan.  Selesai perkara.

Premanisme Dalam Pengelolaan Sekolah Unggulan

Saya cukup “takjub”, bahwa fenomena seperti itu ternyata juga (bisa) terjadi di sekolah-sekolah unggulan. Cukup masuk akal pada akhirnya, bila kita memahami bahwa orang tua manapun ingin anaknya bisa masuk sekolah unggulan, dan lulus dari sana. Thus, hasrat para orang tua ini yang “ditangkap” oleh pengelola sekolah unggulan, yang sayangnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sekolah-sekolah unggulan (yang umumnya swasta, dengan fasilitas pendidikan yang wah, berasrama, menawarkan berbagai kurikulum khusus sebagai nilai tambah) memerlukan biaya operasional pendidikan yang tinggi, dan itu dilimpahkan kepada biaya yang harus dibayar oleh para orang tua siswa. Meskipun beberapa sekolah unggulan juga menawarkan program bea siswa untuk mereka yang berprestasi namun kurang mampu secara finansial, sekolah unggulan tetap saja lekat dengan predikat “sekolah orang kaya”.

Bila stigma ini benar, maka terbukalah pintu bagi premanisme dalam pengelolaan pendidikan. Lagi-lagi logika sederhana saja: para pengelola sekolah unggulan (swasta) berpikir bahwa mereka tidak dibiayai dengan uang negara, tidak menggunakan APBN. Thus, tidak akan ada kerugian negara. Di sisi lain, para orang tua berlomba-lomba mengupayakan anaknya dapat dididik dan menjadi lulusan sekolah unggulan itu, karena dengan menjadi lulusan sebuah sekolah unggulan, akan ada suatu kebanggan tersendiri, prestise, serta status sosial tertentu bagi lingkungannya. Betul, dan itu yang menjadi “gayung bersambut” bagi para pengelola sekolah unggulan.

Maka tidaklah aneh bila di sebuah sekolah unggulan yang sudah punya “nama besar”, yang didirikan untuk menghasilkan generasi penerus yang diharapkan membawa negeri ini menjadi bangsa yang besar serta mendunia (seperti contoh almamater saya sendiri, sebuah sekolah menengah atas di Magelang), premanisme seperti inipun mendapat ruang yang “nyaman” untuk berkembang biak. Bayangkan, siswa-siswanya ada yang anak pejabat negara, anak jenderal, anak pengusaha kaya, anak dokter kepresidenan, dan anak orang-orang hebat lainnya. Para orang tua yang seperti itu adalah mereka-mereka yang sama sekali tidak punya masalah dengan uang pangkal atau uang pembangunan yang paling tidak 30 juta rupiah, lalu biaya bulanan (SPP), serta biaya-biaya lainnya yang digit-nya sampai delapan (dan bila ditotal selama tiga tahun SMA bisa mencapai sembilan atau bahkan sepuluh digit).  Belum lagi “kontribusi khusus” dari orang tua yang bersedia memberikan komitmen tertentu pada pengelola sekolah. Di sisi lain, ada siswa penerima bea siswa, yaitu mereka yang benar-benar berprestasi namun orang tuanya tidak mampu secara finansial. Sederhananya, biaya pendidikan mereka ditutup dari uang yang dibayarkan oleh para orang tua yang mampu.

Thus, bola ada di tangan pengelola sekolah. Idealnya, aturan tetap harus di atas segala-galanya. Begitu masuk, semua siswa punya hak dan kewajiban yang sama untuk berpegang pada peraturan serta kode etik sekolah itu. Siswa dari kalangan mampu (finansial) tidak lantas berhak untuk berbuat seenaknya, sementara siswa bea siswa harus benar-benar taat aturan. Apa bisa? Ya bisa saja, selama pengelola sekolah adalah orang-orang berjiwa luhur, berhati bersih, serta berpegang pada komitmen dan cita-cita luhur para pendiri sekolah. Tapi bila pengelola sekolah unggulan ini justru memanfaatkan antusiasme dan semangat para orang tua murid, ya jadilah sekolah itu dikelola dengan cara-cara preman. Misalnya: bila si murid melanggar sebuah kode etik siswa (menyontek, mencuri soal, atau pelanggaran lainnya) dan guru memproses pelanggaran ini sesuai prosedur, pengelola sekolah justru “bernegosisasi” dengan orang tua si murid. Setelah ada deal-deal tertentu, hasil akhirnya si murid tidak dikeluarkan dari sekolah (bahkan tidak mendapat sanksi sama sekali).

Saya hanya berpikir begini: si murid semata-mata obyek didik, dia justru “korban” dari premanisme sistematik itu; sementara orang tua wajib berusaha agar anaknya mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Nah, pengelola sekolah-lah yang seyogyanya menjamin bahwa si obyek didik mendapatkan pendidikan terbaik sesuai harapan orang tuanya. Lembaga pengelola sekolah harus bisa menjadi filter terakhir saat murid dan orang tua melakukan penyimpangan. Lembaga itu harus menjadi last barrier kala si murid tidak tahu bahwa privilege untuknya hanyalah racun bagi dirinya sendiri, dan kala orang tua murid tidak menyadari bahwa pemanjaan terhadap anak-anak mereka adalah penjerumusan bagi masa depan si anak. Bila ketidakpahaman si orang tua (ketika mereka berusaha “mengamankan” perilaku buruk si anak) justru dimanfaatkan oleh pengelola sekolah untuk kepentingannya sendiri, itulah saatnya sekolah justru sedang mendidik para preman masa depan. Ya, para preman yang telah diajari bagaimana mencuri, berbohong, dan membuat kepalsuan. Di sekolah mereka mencuri soal atau menyontek (dan aman-aman saja), kelak kemudian hari, merekalah para pencuri uang rakyat, uang negara.

Pengelolaan sekolah dengan mekanisme sogok menyogok, deal-deal di luar aturan baku, serta pengabaian terhadap kesetaraan hak adalah sama dengan premanisme, yang menempatkan uang atau kekuasaan di atas aturan. Hari-hari terakhir ini kita dijejali cukup banyak berita soal pemberantasan preman di ibukota. Sayang sekali, saat premanisme di negeri ini sedang dibabat habis di tataran praktis, di saat yang sama kita justru sedang menanti lahirnya preman-preman baru, yaitu hasil didik sekolah-sekolah (unggulan) yang dikelola dengan pendekatan premanisme. Layaknya iceberg phenomenon, sekarang kita sedang membabat apa yang muncul di permukaan. Bila kita tidak membabat juga preman-preman pengelola lembaga pendidikan itu (apalagi yang berlabel sekolah unggulan), maka kita sedang membiarkan gunung es itu muncul kembali…dan bisa jadi, lebih besar dan lebih biadab dari preman-preman sebelumnya.

Ahhh…sedih sekali rasanya bila benar itu terjadi di almamater saya sendiri.

Surat Terbuka untuk AKBP Hengki Haryadi, Kasatreskrim Polrestro Jakarta Barat

Dear brother,

Maaf saya menulis surat ini di tengah kesibukanmu beberapa waktu belakangan. Niat saya semata-mata sangat sederhana: mendukungmu.  Beberapa hari terakhir, saya membaca serta mendengar berita di berbagai media soal Hercules, dan selalu namamu disebut-sebut karena kamu adalah Kasatreskrim Polrestro Jakarta Barat yang bertanggungjawab atas semua penanganan perkara kriminal di wilayah hukum Jakbar. Kalau soal Hercules yang pesawat angkut hebat dari Amerika Serikat itu, saya mungkin bisa bicara banyak bro, tapi kalau Hercules yang satu ini…hehehe, you know it much better than I do.

Ada suatu kebanggaan tersendiri mengetahui bahwa kamu in-charge di lapangan menangani preman yang satu ini, seperti juga preman-preman lainnya yang pernah atau sedang kamu hadapi. Saya bangga, bahwa saya punya seorang teman se-almamater yang setia pada komitmen, berdedikasi tinggi, dan teguh pada pendirian yang benar. Saya bangga bahwa kita pernah bersama-sama dididik di sebuah SMA yang hebat di Lembah Tidar, dan bersama-sama melanjutkan pendidikan di Akabri yang penuh kebanggaan itu (meski berbeda kampus: kamu di Semarang, saya di Yogyakarta). Saya bangga karena kamu bisa memelihara komitmen dan janji mulia almamater kita dalam pengabdianmu kepada masyarakat.

Sahabatku,

Siapapun tahu bahwa premanisme dalam bentuk dan atas nama apapun adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Itulah sebabnya saya heran membaca dan mendengar komentar-komentar yang sinis, apatis, bahkan mencela apa yang kamu dan institusimu lakukan terhadap Hercules. Kamu adalah representasi institusi Polri yang sedang mengerjakan apa yang memang menjadi tugas alamiah Polri: memberikan rasa aman dan mewujudkan ketertiban di masyarakat. Saya miris bahwa sudah terlalu banyak dari kita yang “sakit jiwa” sehingga tidak senang bila ketertiban ditegakkan dan rasa aman itu diwujudkan. Tapi saya juga tidak naif bro, bahwa ada segelintir orang yang merasa “zona nyaman”-nya terganggu dengan apa yang kamu dan anak buahmu lakukan akhir-akhir ini.

Karenanya saya menduga (ini cuma dugaan saya lho), bahwa kamu pasti berhadapan juga dengan hal-hal lain yang ngga kalah “menyeramkan” dengan tampang si preman sendiri. Misalnya, pasti ada yang datang atau telepon kamu dan minta agar kasus ini tidak diteruskan; atau ada yang menawari kamu “sesuatu” untuk damai (dan saya menduga nominalnya tidak main-main hehehe…); atau kamu menghadapi bentuk premanisme yang lain berupa intimidasi. Wah…kalau mengintimidasi seorang Kasatreskrim sebuah Polres Metro dengan pangkat AKBP berarti dia pasti ”somebody” alias bukan orang sembarangan donk hehehe… Mudah-mudahan dugaan saya salah, meski hati kecil saya mengatakan mustahil hal-hal seperti itu tidak terjadi di negeri yang katanya merdeka tapi seperti baru berdiri ini.

Anyway bro, saya mengenalmu dengan baik karena tiga tahun kita habiskan bersama di Magelang, meski sejak masuk Akabri dan berdinas kita relatif jarang bertemu. Saya tahu kamu menyadari betul apa yang menjadi tugas Polri, dan kamu selalu berusaha menjaga citra baik institusi mulia ini. Itulah sebabnya saya juga menghargai keputusan pimpinan Polri yang menempatkan orang-orang terbaik seperti kamu di salah satu satuan jajaran Polda Metro. Jakarta adalah ibukota negara, yang juga simbolisasi derajat dan martabat negeri ini di mata dunia. Bayangkan kalau di ibukota negara (yang di situ ada kepala negara, pemimpin-pemimpin nasional, wakil rakyat, kedutaan-kedutaan negara sahabat dan sebagainya) preman merajalela dan seenaknya sendiri mengangkangi hukum, bagaimana di daerah-daerah lain yang jauh dari pusat negara? Bagaimana pula dunia internasional memandang bangsa kita? Apa kita ngga malu dibilang negara yang dikuasai preman? Saya yakin, kamu memahami ini semua dengan baik, demikian juga institusi Polri. Bila tidak, maka tidak akan ada berita-berita seperti yang kita lihat akhir-akhir ini.

Percayalah kepada hukum alam, sahabatku. Semesta hanya mendukung mereka yang mengabdikan diri untuk kebaikan, apakah itu dalam pikiran, ucapan, maupun tindakan mereka. Tak seorangpun bisa menghindar atau “bernegosisasi” dengan hukum yang paling hakiki ini, apapun pangkat, jabatan, status atau seberapapun kekayaannya. Semua yang dilandasi dengan niat baik pasti berbuah baik, dan semua yang dilandasi dengan kebusukan akan berakhir dengan busuk pula. Saya yakin, pasti ada yang menuduhmu punya motif-motif tertentu di balik semua yang kamu kerjakan. Jangan pedulikan. Tuhan jauh lebih tahu mana yang benar dan salah, mana yang baik atau buruk. Jadi, maju terus, dan biarkan kuasa Tuhan yang bekerja membimbingmu serta melindungimu dan anak buahmu menjalankan tugas mulia ini. Tak hanya saya yang memang sudah mengenalmu, jutaan warga Indonesia (khususnya warga Jakarta) pun mendukungmu, setidaknya dalam doa-doa mereka.

Kawanku yang kubanggakan,

Seandainya kita bisa masuk ke alam kubur dan melihat para pendiri bangsa kita yang telah menghadap Tuhan, pasti mereka semua sedang menangis saat ini, karena melihat sebuah bangsa besar yang mereka dirikan dan perjuangkan dengan susah payah, dengan pengorbanan darah dan air mata, telah menjadi bangsa yang kehilangan martabatnya sendiri, dan membiarkan dirinya dikuasai oleh preman-preman dalam berbagai wujud. Kita sama-sama dididik untuk tidak membiarkan semua itu terjadi bro, dan mengembalikan harkat, derajat, serta martabat bangsa ini ke bentuk yang seharusnya seperti yang tertuang dalam dasar negara kita Pancasila. Ya, sebuah bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berpihak pada rakyat, dan berkeadilan sosial. Yang sedang kamu lakukan sekarang adalah bagian kecil untuk mewujudkan itu; dan itu sebabnya saya tulis surat ini untuk mendukungmu, serta meyakinkanmu bahwa kamu melakukan hal yang benar.

Ah…surat saya terlalu panjang dan saya takut mengganggu waktumu terlalu banyak. Last but not least, maju terus bersama dengan kebenaran bro. Percayalah bahwa di tengah banyaknya sinisme, cercaan, makian bahkan intimidasi terhadapmu, jauh lebih banyak orang yang mendukungmu, setidaknya dalam doa mereka. Saya hanya salah satunya, karena kebetulan saya mengenalmu.

Maju terus Polri, Polda Metro, dan Polrestro Jakarta Barat. Pantang mundur, kawanku Hengki. Tuhan besertamu.

Bandung, 5 Agustus 2013

Sahabatmu,

JKG

APA SIH ENAKNYA JADI PEMIMPIN???

Image

Judul di atas, bagi sebagian besar orang, adalah sebuah pertanyaan bodoh. Ya, saya mungkin demikian (bodoh). Tapi saya memang tidak mampu menahan rasa heran saya akan banyak hal seputar “menjadi pemimpin”.  Contoh, berita akhir-akhir ini penuh dengan gonjang-ganjing menjelang tahun Pemilu 2014 (yang tujuannya memilih pemimpin negara) dan diisi dengan kabar soal manuver sana sini mereka yang merasa dirinya layak memimpin negeri ini.  Kemudian, sebagai seorang yang berdinas di sebuah lembaga pemerintah, saya juga sering menghadiri acara serah terima jabatan (tentu saja, itu jabatan pemimpin) dan selalu mendengar kata “Alhamdullilah” atau “Puji Tuhan”, “Puji Syukur” dan sejenisnya dari si pemimpin baru. Ungkapan syukur itu merefleksikan kebahagiaannya, kegembiraannya, serta kebanggaannya bahwa ia sekarang adalah pemimpin. Sebuah fenomena yang mengherankan saya….

Apa sih enaknya jadi pemimpin? Ada apa gerangan sehingga banyak orang mau berkorban apa saja untuk mendapat legitimasi memimpin? Apa yang membuat orang-orang tega mengkhiananti temannya sendiri, menekan bawahannya, serta menyembah-nyembah kepada atasannya agar ia mendapat kedudukan untuk memimpin? Ada beberapa jawaban klasik yang sering kita dengar, seperti: “Saya ingin mengabdikan diri saya untuk kepentingan rakyat/masyarakat”, “Saya ingin membawa negeri ini menjadi lebih baik”, “Saya ingin memperjuangkan perubahan”, dan beragam kalimat bombastis lainnya. Sebenarnya apa definisi pemimpin dalam kamus kita? Apa iya, untuk melakukan semua keinginan itu seseorang harus jadi pemimpin?

Logika sederhana saya mengatakan, makna “pemimpin” itu amat luas.  Semua orang adalah pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Atau yang sedikit lebih besar, ada pemimpin keluarga. Keinginan menjadi pemimpin yang marak di semua golongan dan segala strata terjadi karena banyak orang lupa bahwa mereka sebenarnya sudah jadi pemimpin. Hal lain lagi yang mereka lupa adalah bahwa yang paling sulit justru memimpin diri sendiri, bukan memimpin orang lain. Secara akademis, dalam Teori Kebutuhan Abraham Maslow memang ada tahapan di mana seseorang memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (salah satunya dengan menjadi pemimpin dan figur bagi banyak orang), namun harap diingat bahwa ada elemen lain yang universal bagi pemimpin di manapun dan dalam tingkatan apapun: amanah.

Kalau yang dilihat dari jabatan atau kedudukan pemimpin adalah fasilitas yang didapat, tunjangan, rasa hormat dan kemudahan-kemudahan lainnya, memang kelihatannya enak menjadi pemimpin. Tapi saya lebih suka untuk melihat dari sisi sebaliknya, yaitu apa yang menyebabkan semua privilege itu diberikan untuk seorang pemimpin. Itulah “amanah”, yang bila dipahami, diresapi, dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah mudah. Kita lihat yang sederhana saja: seorang pemimpin bernama “kepala keluarga”. Apakah ia seorang Ayah atau Ibu, kepala keluarga punya tanggung jawab untuk membuat keluarganya tetap hidup. Ia harus menjamin istri dan anak-anaknya bisa makan setiap hari, anak-anaknya harus bisa bersekolah dan tumbuh sebagai pribadi yang baik, harus memastikan bahwa kebutuhan rumah tangganya tercukupi dan sebagainya. Itu sebabnya mereka berusaha untuk mempunyai penghasilan, bekerja siang malam, dan mengorbankan banyak hal agar semua kebutuhan terpenuhi.

Nilai tanggung jawab itu tetap sama, sekalipun lingkup dan stratanya berbeda. Artinya, ketika kita memimpin, kita harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang kita pimpin tercukupi kebutuhannya, dan lembaga/instansi atau negara yang kita pimpin terjamin keberlangsungannya. Semakin besar yang kita pimpin, kebutuhannya jelas semakin besar pula. Semakin banyak orang yang kita pimpin, jelas masalahnya semakin banyak pula. Dan sekali diberi amanah memimpin, siapapun harus menjamin bahwa semua masalah itu dapat diselesaikan. Sekarang, bila kita gunakan nalar dan akal sehat, bukankah menjadi pemimpin itu melelahkan?  Bukankah itu menguras banyak hal, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang?  Kembali kepada kelompok kecil bernama keluarga, apakah seorang kepala keluarga yang baik akan membiarkan keluarganya tidak makan karena uang belanja habis, dan bersikeras menyisihkan uang untuknya sendiri? Tentu tidak, dan ia akan menggunakan uang yang semestinya ia simpan untuknya sendiri demi membeli beras untuk makan keluarganya. Apakah ia akan membiarkan anaknya mempertanggungjawabkan kenakalannya sendiri pada temannya/ orang lain?  Tentu tidak, dan ia akan meminta maaf atau “pasang badan” di hadapan pihak yang berwajib.

Logika yang sama berlaku dalam kepemimpinan di skala yang lebih besar, apakah itu perusahaan, lembaga/instansi atau negara. Pengemban amanah yang sesungguhnya harus siap mengorbankan waktunya bersama keluarga, harus rela merogoh koceknya sendiri, harus mau mengurangi jam istirahatnya, dan mempertanggungjawabkan apapun kesalahan yang dilakukan anak buahnya.  Nah, kalau kita memahami apa dan bagaimana amanah itu diimplementasikan, lantas apa enaknya menjadi pemimpin?  Lain halnya bila kita memandang jabatan atau kedudukan pemimpin sebagai sarana untuk memperkaya diri dan menikmati masa indah dengan segala fasilitas dan kemudahan, maka tak mengherankan bila kedudukan dan status pemimpin itu diperebutkan serta diperjuangkan setengah mati dengan berbagai cara.

Akhirnya, saya teringat ketika tahun lalu dalam sebuah kesempatan saya berbincang dengan seorang purnawirawan Jenderal yang juga pernah menjadi RI-2. Beliau mengatakan,”Dik, pada saat Presiden menunjuk saya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (tahun 1986), saya terdiam. Malamnya, waktu shalat tahajud saya menangis. Saya istighfar, dan saya tanya sama Tuhan: mengapa saya? Ini berat buat saya. Sama Dik, waktu Presiden mengangkat saya jadi Pangab, saya begitu lagi…”  Sayapun terdiam saat beliau ceritakan itu, dan tersenyum getir saat dalam setiap acara pisah sambut saya mendengar kata “Alhamdullilah”, atau “Puji Tuhan” dari si pemimpin baru. Ironis…

(Catatan: Sekalipun saya seorang Kristen, hingga detik ini saya tak mengucapkan “Puji Tuhan” ketika diharuskan memimpin satuan saya sekarang—tak bermaksud “men-copas” beliau, semata-mata karena saya sadar bahwa amanah itu tidak ringan.  Saya baru akan mengucapkannya ketika di saat meninggalkan satuan ini, semua amanah itu bisa saya pikul dengan baik.)

BANGSA PENGHAKIM, NEGERI PRAGMATIS

Saya beberapa kali mendapat broadcast (BC) di Blackberry Messenger (BBM) saya yang isinya beragam: ada nasehat-nasehat, doa-doa, info-info, hingga ajakan untuk melakukan atau “promosi” sesuatu. Ada yang di-publish di grup, ada pula yang melalui pesan ke semua kontak si pengirim. Terakhir, BC yang saya terima berbunyi demikian: “Bila anda memahami dan bangga akan kejayaan masa lalu maritim kita, sebarkan ini pada semua kontak anda. Bila tidak, di sinilah cerminan bangsa kita: cuek & tdk peduli dengan masa depan bangsanya…. (berikutnya terdapat sebuah tautan/link yang berisi artikel di web-blog si pengirim)”.

Itu hanya salah satu contoh yang saya yakin ribuan bahkan jutaan pengguna smartphone saat ini juga pernah (atau masih) mengalaminya. Hmmmm….saya sempat “takut” dicap tidak nasionalis, tidak patriotis dan tidak peduli pada bangsa sendiri bila tidak menyebarkan BC itu. Tapi saya lebih terusik dengan sebuah persoalan lain: seberapa pantaskah kita menghakimi seseorang? Seberapa layakkah kita mengatakan orang lain “tidak nasionalis”, “tidak agamis”, “kurang kepedulian” dsb? Seberapa jauhkah si penghakim mengenal orang yang dihakiminya?

Lalu, saya membaca beberapa berita lokal di media online yang salah satu isinya belakangan ini adalah soal caci maki “Firaun” untuk Jokowi-Ahok. Lantas, saya teringat kembali soal BC-BC yang terus terang membuat tidak nyaman itu. Ah…sebegitu penghujatkah bangsa ini? Sebegitu gampangkah kita menghakimi seseorang atas dasar sesuatu yang belum kita pahami benar? Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sering menghadapi atau melihat situasi yang lebih kurang sama, di mana kita melihat seseorang membuat “cap” tertentu pada orang lain, dan mengajak orang lain untuk berpikir sama seperti dia.

Saya berharap dalam hal ini saya salah karena turut “menghakimi” dengan mengatakan bahwa negeri ini adalah negeri yang kebablasan pragmatisme-nya. Kita, kelompok masyarakat awam ini, benar-benar sudah tidak asing dengan pemandangan seseorang menghujat yang lain, menganggap dirinya benar, namun tak pernah memberi solusi. Ya, tentu saja kita familiar dengan fenomena itu, karena figur-figur “panutan” publiklah yang mempertontonkannya. Dengan teknologi informasi yang telah berkembang maju, mengakses berita menjadi hal yang sangat mudah sekarang. Thus, siapapun dapat terjejali dengan pengaruh, doktrin, dan cara pandang yang sama dengan si pembuat berita (apakah itu si subyek berita, penulis berita atau orang-orang “kuat” pemilik media).

Bangsa ini adalah bangsa penghakim (mudah-mudahan saya salah lagi). Karena figur panutan publik menunjukkan bagaimana caranya “berada di atas hukum”, maka masyarakatnya pun ikut-ikutan menjadi “hakim”: menghujat orang lain (contoh dengan analogi “Firaun” itu), menyerang karena tidak setuju dengan penilaian orang lain (contoh kejadian pertandingan tinju maut di Nabire), dan merasa sah melakukan keributan atas nama “hukum” yang mereka terjemahkan sendiri (seperti kelompok ormas yang mengatasnamakan ajaran suatu agama).

Kita adalah “korban” pragmatisme yang kebablasan. Sebagai sebuah konsep dan faham, pragmatisme tidaklah selalu buruk. Ada saat di mana ia relevan untuk memecahkan sebuah masalah yang memerlukan pendekatan praktis dan logis serta pengambilan keputusan yang cepat.  Namun, menggunakan pendekatan pragmatis untuk sebuah persoalan yang berkaitan dengan tata nilai, norma, dan kultur bangsa sebesar Indonesia adalah sebuah kesalahan fatal. Pejabat publik, yang berdiri atas nama Undang-Undang, semestinya tidak pragmatis karena apa yang mereka putuskan akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dan ingat, tujuan nasional bangsa Indonesia adalah rumusan yang digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur dan adiluhung bangsa kita yang bernama Pancasila.

Pragmatisme itulah yang telah meracuni denyut nadi bangsa ini sehingga banyak orang terlalu gampang menghakimi. Ketika sebuah persoalan tentang norma dan tata nilai diadu dengan logika-logika praktis, jelas hasilnya akan berbentuk keributan, saling serang, dan perpecahan. Para “hakim” yang memenuhi negeri ini (mungkin juga kita, termasuk saya) hanya membaca masalah dari kaca matanya sendiri tanpa mencoba memahami nilai-nilai yang lebih hakiki di balik masalah itu. Akibatnya, semua dilihat dalam perspektif logika praktis, yang jelas sulit untuk menghasilkan solusi jangka panjang. Padahal, hari ini kita sedang merajut apa yang akan kita wariskan dan tinggalkan untuk kehidupan anak cucu kita kelak.

Hmmmmm, mudah-mudahan saja “penghakiman” saya ini salah…

“ICARUS SYNDROME” : KEJATUHAN KARENA PENGABAIAN TATA NILAI

Image

Icarus, dalam mitologi Yunani kuno dikenal sebagai putra seorang pengrajin dari Athena bernama Daedalus.  Daedalus, dalam rasa sayangnya kepada sang anak, berkenan membuatkannya sayap dari bulu-bulu burung yang direkatkan dengan lilin (wax).   Mereka adalah orang-orang yang berkeinginan untuk terbang, dan Icarus, sangat ingin menjangkau Kreta (sebuah pulau indah di Yunani) dengan sayap buatan ayahnya itu.  Mitologi ini juga bercerita bahwa sang ayah telah memperingatkan anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari.  Sayangnya, Icarus mengabaikan peringatan sang ayah, dan tetap terbang mendekati matahari.  Perekat lilin itupun meleleh karena panas, dan bulu-bulu pada sayap Icarus rontok berjatuhan.  Icarus terhempas jatuh dan tenggelam di lautan.

Fenomena dalam mitologi Icarus adalah rangkaian cerita yang sarat nilai-nilai moral.  Dalam “duet”-nya dengan sang ayah (Daedalus), mereka adalah simbolisasi komunitas yang secara batin sinergis satu sama lain, punya kohesi yang kuat, namun miskin pengetahuan.  Ini dilambangkan dengan kesalahan mereka mengidentifikasi sebuah masalah, dalam hal ini adalah “bagaimana kita bisa terbang?”.  Kesalahan identifikasi itu menghasilkan kesimpulan yang salah, yang berdampak pada pengambilan tindakan yang salah pula: membuat sayap.   Peringatan Daedalus pada anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari adalah representasi sebuah prevensi berupa nasehat, masukan, saran atau apapun namanya yang pada gilirannya tidak digubris oleh Icarus.

Keinginan Icarus untuk mendekati matahari adalah simbolisasi ambisi, yang tidak didukung dengan pengetahuan serta nalar yang memadai (dalam hal ini pengetahuan untuk memahami karakter lilin yang akan meleleh bila terpapar panas).  Kejatuhan Icarus (secara harfiah), adalah perlambang sebuah akibat atau hasil (outcome) dari serangkaian proses yang sejak awal telah dibuka dengan “kesalahan”.

Fenomena Icarus Dalam Perspektif Realis

Bagi sebagian orang, mitos tetaplah mitos.  Di sekeliling kitapun banyak mitos-mitos dalam berbagai legenda.  Namun, patut untuk dipahami bahwa realisme cerita tak lebih dari sekedar bingkai, dan lebih baik untuk mencoba melihat nilai-nilai apa yang terpagari oleh bingkai itu.  Demikian pula terhadap mitologi Icarus, yang dalam pandangan saya tak hanya sarat pesan moral, namun juga merupakan fenomena yang justru sedang booming di sekeliling kita akhir-akhir ini.

“Icarus” dapat dipandang sebagai suatu individu, namun lebih tepat bila kita pandang sebagai sebuah entitas.  Kohesi “Icarus-Daedalus” dapat dipandang sebagai kohesi antar individu dalam satu kelompok/komunitas, dapat juga dilihat sebagai mutual interface antar komunitas.  Perspektif itu menjadi tidak penting lagi saat kita melihat sejumlah norma serta tata nilai yang terkandung jauh di dalam entitas-entitas itu:

1. Keinginan/cita-cita, yang adalah sebuah kewajaran bagi siapapun yang hidup.  Itu adalah karunia, karena keinginan akan sesuatu itulah awal dari setiap usaha.

2. Ambisi, yang merupakan keinginan/hasrat yang berkembang dan menjadi obsesi dalam hidup setiap mahluk, yang bila tak terkendali justru merupakan awal dari kejatuhan.

3. Usaha, yang merupakan norma wajib bagi siapapun yang berharap keinginan/ambisinya tercapai.

4. Pengetahuan/kecerdasan, yang selayaknya menjadi penopang bagi siapapun yang berusaha menggapai keinginannya.

5. Nasehat, yang berisi serangkaian pesan baik bagi kepentingan pemenuhan keinginan, penunjang perjuangan, serta pelindung dari kejatuhan yang tidak diharapkan.

Semua dalam tata nilai itu adalah norma yang melekat dalam kehidupan kita, nilai-nilai yang sangat manusiawi, dan siapapun berhak serta bisa memilikinya.  Pada intinya, kita semua hidup dalam semua tatanan itu.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana nilai-nilai itu “di-struktur-kan” dalam hidup setiap individu, dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas, serta bagaimana nilai-nilai itu dipadupadankan satu sama lain.

Keinginan, ambisi, usaha, pengetahuan, dan nasehat seperti apapun baiknya tak akan berguna bagi siapapun bila mereka berdiri sendiri-sendiri, dan tidak terbingkai serta terintegrasi secara sinergis. Keinginan akan tetap menjadi keinginan bila anda tak berusaha.  Usaha apapun akan sia-sia bila anda tak punya pengetahuan yang cukup.  Pengetahuan yang diagung-agungkan secara berlebihan justru akan membuat kita abai terhadap nasehat, dan seterusnya.  Di sinilah setiap manusia harus mengingat bahwa alam semesta sendiri sejatinya adalah sebuah sinergi, yang memadukan berbagai unsur secara proporsional, dan bergerak dengan derap yang sama.  Adalah naif bagi siapapun yang mengatakan bahwa teorema alam semesta berbeda dengan mekanisme hidup individu. Bukankah kita adalah bagian kecil dari semesta raya ini?

Tentu saja, siapapun berharap Icarus hanya hadir dalam mitologi Yunani itu.  Sayangnya, saat ini kita justru hidup berkelilingkan banyak “Icarus”, dan bisa jadi kitalah salah satu “Icarus” itu.  Kita menyaksikan orang-orang yang terkubur oleh ambisinya sendiri, jatuh karena minimnya pengetahuan/kecerdasan, gagal karena tidak berusaha cukup kuat, tujuan-tujuan yang tidak tercapai karena kesalahan identifikasi masalah, dan negara yang terhantam krisis/resesi ekonomi karena penghamburan anggaran yang tidak tepat.  Inilah akibat masif dari sebuah sindrom: “Sindrom Icarus” (Icarus Syndrome)[1], yang dapat kita lihat di berbagai strata komunitas.

Sindrom Icarus Pada Sebuah Negara

Sindrom ini dapat mendera sebuah negara, yang ditandai dengan “ambisi” yang tertuang dalam program-program pembangunan yang besar, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mewujudkannya.  Negara-negara ini membangun infrastruktur, namun tidak membangun pengetahuan bagi warga negaranya berupa “pengetahuan akan dirinya sendiri”.  Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang akan menyadarkan setiap individu tentang jati diri mereka, dan karakter khas bangsa mereka.  Negara-negara ini membungkus “kemakmuran” dalam kemasan pertumbuhan ekonomi makro, deretan gedung pencakar langit di kota-kotanya, jalanan beraspal beserta ribuan mobil yang memenuhinya tiap hari, dan sebagainya.

Negara-negara ini—layaknya Icarus—lupa pada nasehat bijak nenek moyang bahwa tiang-tiang yang menjadi tumpuan keberlangsungan mereka adalah generasi mudanya.  Akibatnya, negara-negara inipun lupa pada inti pembangunan yang paling utama, yakni membangun generasi muda.  Negara-negara ini merasa sudah “membangun pendidikan” dengan cara mendirikan ribuan sekolah, tapi tak acuh pada materi pendidikannya.  Mereka juga lupa bahwa dari dunia pendidikan itulah sebagian besar karakter komunitas itu akan terbentuk: apakah mereka kelak akan menjadi nasionalis, patriotis, sosialis, liberalis, kapitalis, materialis, atau bahkan komunis.

Juga, negara-negara ini merasa telah berhasil membangun ekonominya karena ada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), tapi lupa bahwa pelaku ekonomi terbesar pada dasarnya adalah masyarakat, bukan para pengusaha atau penanam modal.  Pertumbuhan ekonomi tingkat makro yang tak menyentuh sendi-sendi ekonomi masyarakat selaku pelaku ekonomi terbesar hanya akan menyuburkan pengangguran, kriminalitas, dan berbagai ekses sosial lainnya.  Negara-negara ini merasa berhasil membangun sistem politiknya dengan banyaknya partai-partai politik yang berdiri, namun abai membangun budaya politik dalam dunia pendidikannya.  Akibatnya, sistem politik hanya menjadi tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatis, dan wahana untuk memenuhi ambisi pribadi-pribadi tertentu, entah itu kedudukan atau materi.  Sistem politik—yang seharusnya merupakan “etalase” kemajuan peradaban sebuah kelompok masyarakat—justru menjadi ruang yang dipandang dengan skeptis, acuh tak acuh, dan sikap apatisme masyarakatnya.

Negara-negara yang terserang virus Sindrom Icarus akut membanggakan ketertiban nasionalnya dengan banyaknya peraturan dan undang-undang.  Namun karena negara-negara ini tidak cukup paham dan berpengetahuan dalam membangun karakter penegak hukumnya, sederetan buku peraturan perundang-undangan itu justru menjadi “sampah”, dan dimanfaatkan sebagai ajang pemenuhan kepentingan.  Negara-negara ini merasa telah menunaikan kewajibannya setelah membuat peraturan, tapi lupa menumbuhkan kesadaran masyarakatnya bahwa mereka membutuhkan sebuah tatanan yang tertib, solid, dan gagal menjamin bahwa siapapun berkedudukan sama di muka hukum.  Ya, karena negara-negara ini lupa pada sebuah nasehat bijak yang lain bahwa “A disorder country is a country in which there are many laws”.

Sindrom Icarus Pada Institusi/Lembaga

Sebuah institusi, lembaga, organisasi, atau apapun namanya juga sangat rentan terserang virus Sindrom Icarus ini.  Mereka adalah lembaga-lembaga yang menggebu-gebu “membangun” dirinya, namun sekali lagi, tak punya cukup pengetahuan untuk memelihara kesinambungan pencapaian tujuannya.  Mereka bangga pada wujud struktur yang besar, namun abai pada efektifitas fungsi, dan lupa pada efisiensi sumber daya.  Mereka sibuk mengembangkan diri, memekarkan organisasi, dengan dalih pencapaian tujuan.

Lembaga-lembaga ini membanggakan kebesaran mereka dengan infrastruktur kantor yang megah, perangkat sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, serta profil organigram yang menjulang dan lebar.  Mereka bangga karena cabang atau perwakilan mereka ada di mana-mana, dengan segala perangkat pendukungnya.  Mereka lupa bahwa institusi/organisasi adalah bentuk pelembagaan sebuah sistem, dan yang terpenting dari sebuah sistem adalah bagaimana ia mampu merubah suatu masukan (input) menjadi sebuah keluaran (output) yang lebih berdayaguna daripada sebelumnya. Jadi ibarat mesin, yang terpenting bukan dimensi fisik mesinnya, melainkan efektifitas elemen-elemen di dalamnya dalam mengolah masukan-masukan itu.

Virus Icarus pada lembaga-lembaga ini pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih bersifat “cost driver” ketimbang “profit maker”.  Bila mereka lembaga pemerintah yang dibiayai dengan anggaran negara, maka mereka adalah penyedot keuangan negara.  Bila mereka lembaga swasta atau independen, maka mereka berpotensi untuk jatuh prematur karena kebangkrutan.  Sekali lagi, inilah buah ambisi yang tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai, atau, inilah buah dari kegagalan membangun “pengetahuan akan diri sendiri”, yang menghasilkan “konseptor” manajemen pragmatis yang lebih mementingkan pemenuhan ambisinya sendiri ketimbang membangun lembaga dan atau negaranya.

Mencegah Infeksi “Virus Icarus”

Kini saatnya kita melihat koneksitas dari serangkaian nilai-nilai di atas, sebagai upaya awal untuk menghindari infeksi virus Icarus ini.  Sekali lagi, adalah wajar untuk memiliki keinginan, cita-cita, atau ambisi.  Namun tanpa pengetahuan yang cukup, semua itu justru akan membawa siapapun pada kejatuhannya sendiri.  Pengetahuan itu sendiri adalah sebuah entitas maha luas, sangat infinitum, dan tak akan habis hingga akhir hayat.  Itulah sebabnya semesta memberi kita pelajaran tentang “simbiosis”, sebuah sinergi satu sama lain.  Di hadapan pengetahuan, tak ada seorangpun yang lebih pintar dari orang lain, tak seorangpun lebih superior dari sekelilingnya.  Di sinilah semua orang patut untuk mendengar nasehat dari siapapun, selama itu bersifat konstruktif.  Pengabaian terhadap nasehat-nasehat baik sama halnya dengan pengabaian terhadap tata nilai itu sendiri, dan juga perintisan jalan menuju jurang kegagalan.

Usaha yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang baik.  Perencanaan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan identifikasi yang tepat atas sebuah masalah.  Untuk itu semua orang harus belajar, menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, serta mendengarkan masukan-masukan demi pemahaman yang lebih baik atas suatu persoalan.  Pemahaman masalah yang komprehensif itulah yang akan membuat identifikasi masalah kita menjadi tepat (right to the bull’s eye).  Dengan identifikasi masalah yang tepat, siapapun dapat merencanakan usaha atau langkah-langkah secara tepat, dan pada gilirannya menyelesaikan masalah secara mantik, tanpa harus membuat masalah-masalah atau ekses-ekses baru.

Ini sama halnya dengan penanganan sebuah penyakit dalam dunia medis.  Seseorang yang mengalami panas badan tinggi, belum dapat diketahui apakah dia menderita demam biasa, typus, demam berdarah, atau malaria.  Harus ada orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi gejala itu, dalam hal ini dokter.  Seorang dokter yang arif tidak akan mendasarkan diagnosanya semata-mata karena pengalaman (bentuk pengagungan terhadap pengetahuan yang berlebihan).  Akan lebih baik bila ia mencari “nasehat”, dalam hal ini masukan dari laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah si pasien.  Dari hasil laboratorium inilah si dokter akan memiliki pengetahuan komprehensif tentang penyakit pasiennya, dan ia akan mampu mengidentifikasi dalam bentuk diagnosa yang tepat.  Dengan diagnosa yang tepat, ia dapat mengambil langkah yang tepat pula: memberi resep yang sesuai, memutuskan apakah pasien dirawat inap atau tidak, dan sebagainya.

Siapapun wajib membangun dirinya, dan siapapun punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kelompok/komunitasnya, institusinya, dan negaranya.  Ketika hak-hak individu dikekang, dan kewajiban pada individu dibebankan secara tidak proporsional, maka kita telah menepikan pengetahuan serta mengabaikan nasehat.  Di situlah virus Icarus telah menginfeksi kita, dan hanya soal waktu kapan kita jatuh terhempas dan tenggelam.

[1]  Diinspirasi dari Buku “The Icarus Syndrome: A History of American Hubris”, karya Paul Beinart, terbitan Harper 2010.

ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

LAGU UNTUK KEHIDUPAN

Untuk semua dosa dan kesucian,

Untuk semua dusta dan kebenaran,

Ke manakah semua mengalir?

Seperti apa semua akan berakhir?

 

Untuk semua kejam dan kemurahan,

Untuk semua caci dan pujian,

Siapakah sesungguhnya raja?

Seperti apakah Sang Penguasa?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk semua keindahannya yang tragis,

Untuk semua tawa dan tangis,

Aku memberinya penghargaan tertinggi…

 

Ronanya penuh dera,

Warnanya penuh cabik,

Kilaunya penuh sayat,

Dan semuanya indah…

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk pelangi yang jadi jendelanya,

Untuk mentari yang adalah pintunya,

Dan langit atapnya yang setia…

 

Untuk semua pilu dan senyuman,

Untuk segala galau dan kepastian,

Yang manakah yang tetap hidup?

Siapakah Sang Tunggal?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Yang menjadikanku bintang…

CANTO ALLA VITA

Dedicato a chi colpevole o innocente
perso in questo mare
si è arreso alla corrente
chi non è mai stato vincente?

Dedicato a chi aspetta una speranza
davanti ad un dolore
nel freddo di una stanza

Dedicato a chi cerca la sua libertà

Canto alla vita
alla sua bellezza
ad ogni sua ferita
ogni sua bellezza

I sing to life and to it’s tragic beauty
To pain and to strife, but all that dances through me
The rise and the fall; I’ve lived through it all

Dedicato a chi la sente inaridita
come fosse sabbia asciutta fra le dita
e la sente già finita

Canto alla vita
negli occhi tuoi riflessa
fragile e infinita
terra a noi promessa

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama

Non dubitare mai
Non dubitare mai
Non lasciarla mai da sola
da sola
ancora …

Canto alla vita
alla sua bellezza

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama…