SEPUCUK SURAT UNTUK FRANK CAPRIO

[Sudah beberapa bulan ini saya tidak menulis.  Tulisan “Setengah Abad” hidup saya pun bahkan belum sempat lagi saya tuntaskan.  Belakangan ini energi saya begitu cepat terkuras, baik lahir maupun batin.  Tapi ketika saya mendengar berita bahwa tanggal 20 Agustus 2025 lalu seorang hakim bernama Frank Caprio meninggal dunia, saya seperti mendapat tenaga dadakan untuk menulis lagi.

Ya, saya tidak tahan untuk tidak menulis tentang sesosok manusia yang bisa jadi merupakan perlambang kebaikan, kemuliaan hati dan kearifan di masa sekarang, setelah nama-nama seperti Bunda Theresa misalnya.  Juga, karena saya merupakan salah satu followers Frank Caprio di akun media sosial TikTok, dan cukup sering me-repost video-videonya.

Dan sekarang, saya ingin menuliskan sebuah ungkapan hati saya yang paling tulus untuk hakim yang oleh banyak orang—terutama orang-orang kecil seperti saya—dianggap sebagai hakim paling baik di dunia.]

(Picture courtesy of zazoom.it)

Kepada yang sangat saya hormati:

Judge Frank Caprio

Dear Judge,

Saya tahu kamu tidak mengenal saya, meskipun saya adalah pengagum beratmu, dan selalu mengikuti video-video di akun TikTok mu.  Melihatmu berbicara dengan mereka yang dibawa kepadamu di ruang sidang karena suatu kesalahan tertentu di kanal “Caught in Providence”-mu seperti melihat seorang bapak yang berbicara kepada anaknya, atau seorang Mahaguru yang berbicara kepada muridnya. Penuh kearifan, penuh kebijaksanaan, sarat empati, dan padat dengan kerendahan hati.  Padahal mereka adalah orang-orang yang bersalah di mata hukum, dan kamu adalah Sang Hakim yang punya referensi penuh tentang vonis apa yang harus dijatuhkan kepada mereka.

Aku mengagumimu (bahkan “pakai bangets” kalau kata anak-anak muda di negara saya Indonesia, untuk menggambarkan betapa saya amat sangat mengagumimu setulus hati).  Bahkan boleh dibilang, mengagumimu adalah salah satu hal termudah yang pernah kulakukan dalam hidupku.  Memang tidak sulit bagi siapapun yang normal dan berperasaan untuk mengagumi caramu menjatuhkan putusan, dan aku dapat melihat bahwa sekalipun mereka dihukum, raut wajah mereka menunjukkan sebuah kepuasan.  Kepuasan karena mereka dihukum secara adil, dan karena mereka diperlakukan sebagai manusia terhormat, sekalipun bersalah di mata hukum manusia.

Amerika harus berterima kasih kepadamu, karena ketika Amerika berkata “In God we trust”, rakyat kecil di sana benar-benar bisa percaya bahwa Tuhan benar-benar hadir dalam kehidupan mereka dalam wujud seorang hakim di Providence, Rhode Island bernama Frank Caprio.  Aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan Tuhan, tapi siapapun yang beriman mengamini bahwa keadilan sejati hanya ada pada Tuhan Yang Maha Adil.  Masyarakat Providence beruntung, keadilan sejati itu bisa mereka terima dari Tuhan melalui hambaNya: Frank Caprio.  Keadilan yang dijatuhkan melalui ketukan palu di meja hakim dengan tidak menyakiti, tidak menghina, tidak merendahkan, dan tidak terkontaminasi kepentingan apapun.  Keadilan yang diputuskan di atas empati, pengertian yang dalam, dan kata-kata penuh dengan penghargaan akan kemanusiaan.

Judge,

Aku menyukai video-videomu karena aku seperti mengikuti sebuah pelajaran berseri tentang kemanusiaan, kerendahan hati, dan kebijaksanaan ala para Nabi.  Sebuah pelajaran mahal, karena itu semua amat sangat langka akhir-akhir ini.  Video-videomu membangkitkan harapan dan gairah, karena aku melihat bahwa kemanusiaan dan kebaikan itu masih ada di luar sana, di tangan seorang hakim yang benar-benar layak dipanggil “Yang Mulia” di ruang sidang.  Aku menikmatinya detik demi detik, dan tidak pernah mau videomu berakhir.  Caramu menjatuhkan putusan membawaku ke dunia lain, dunia di mana ruang sidang sekalipun bisa menjadi tempat yang penuh dengan keakraban, saling memuji dan menghargai, serta penuh kehangatan.  Tempat di mana yang bersalah di mata hukum tetap dihormati dan tidak merasa terhakimi, dan Si Pengadil tidak sok berkuasa serta semena-mena.  Latar belakang karier militermu tidak membuatmu menjadi pribadi yang kaku, prosedural, yang hanya tahu “hitam” atau “putih”; namun justru membuatmu memahami dengan sangat baik apa arti penderitaan, kekurangan, kemiskinan, dan perasaan terpinggirkan.

(Picture shot from “Caught in Providence” video)

Aku membayangkan, sebaik dan seadil itulah Tuhan menghakimi kita, hanya saja dalam tingkat yang berbeda dan tidak dapat dipahami karena keilahiannya.  Kamu-lah “bench mark” seorang hakim yang sebenarnya sehingga sejak pengadilan pertama berdiri di dunia, seorang hakim dipanggil “Yang Mulia” di ruang sidang.  Pengadil yang betul-betul harus adil, tidak “text book”, mengadili dengan hati, dan bukan semata-mata dengan otak.  Aku membayangkan seandainya semua hakim di dunia ini seperti kamu, alangkah indahnya dunia kita.  Alangkah indahnya dunia ketika semua pencari keadilan dapat berharap pada para pengadil di ruang sidang tanpa harus mengeluarkan sepeser pun untuk “pelicin”.  Alangkah indahnya dunia ketika semua orang, apapun kelas sosialnya, dapat berharap banyak tentang keadilan, kepada orang-orang yang mereka sebut “Yang Mulia”.

Tapi sudahlah…dunia kita memang serba utopia. Tindakan sering kali tidak sama dengan kata-kata.  Kenyataan sering kali tak sama dengan harapan.  Itulah sebabnya, aku merasa kehilangan kamu, Judge.  Aku kehilangan sosok yang bisa meyakinkan aku bahwa jauh di luar sana, keadilan yang berbalut kebaikan hati itu ada dan nyata.  Aku cuma bisa melihat lagi video-videomu, dan membayangkan dirimu yang sedang tersenyum penuh damai melihat kebahagiaan orang-orang kecil yang kamu selamatkan hidupnya, juga keluarganya.  Orang-orang termarjinalkan yang kamu buat tersenyum sekalipun mereka berada di ruang sidang yang sakral.  Juga orang-orang yang terinspirasi oleh kebaikan hatimu seperti saya.  Percayalah Judge, surga menyambutmu dengan penuh suka cita karena mereka mendapatkan seorang penghuni baru yang benar-benar mulia seperti sebutannya di dunia.  Jutaan orang berduka, tapi doa semua orang yang berduka itulah yang akan melapangkan perjalananmu menghadap Tuhan, Sang Hakim Yang Maha Adil.  Aku berharap kelak bisa bertemu denganmu di tempat yang sama.

Selamat jalan, Judge.  Selamat beristirahat dalam damai, Sang Pengadil.

Jakarta, 22 Agustus 2025

MERASAKAN DIA (SEBUAH KESAKSIAN)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.  Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu bagiku bekerja memberi buah.  Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.”
(Filipi 1:21-22)

(Foto dari https://media.beliefnet.com)

Aku percaya bahwa semua keyakinan mengajarkan kita banyak hal yang sama, salah satunya adalah bahwa Tuhan (apapun kita menyebutnya) berkuasa penuh atas hidup kita, seperti soal rejeki, jodoh, umur, dan semua hal lainnya.  Namun, kita melihat bahwa meyakini dengan sepenuh hati kekuasaan Tuhan atas hidup kita, dalam banyak contoh, bukanlah hal mudah.  Ada kesenjangan kebijaksanaan yang sangat besar antara manusia dengan Penciptanya di sini, sehingga keterbatasan pengetahuan kita membuat kita tetap merasa cemas, khawatir, atau takut seiring banyaknya “ketidakpastian” yang kita rasakan dalam kehidupan kita.

Saat duduk di bangku SMP, salah seorang guru pernah berkata kepadaku: “Jon, setiap orang sudah punya ‘jatah’ umurnya masing-masing.  Ketika ‘jatah’ itu habis, maka selesailah kehidupan dunianya”.  Dalam satu hal inipun, aku yakin bahwa secara umum pandangan semua keyakinan atau agama juga sama, yaitu bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh hari demi hari itu pada hakekatnya adalah perjalanan menuju sebuah akhir, sekaligus sebuah awal.  Akhir dari kefanaan di dunia, dan awal dari sebuah keabadian.

Kita melihat hari ulang tahun sebagai rangkaian perjalanan dari titik awal kefanaan, yaitu berapa lama kita “sudah” berjalan sejak kita dilahirkan ke dalam dunia ini.  Itu karena tidak ada satupun manusia yang tahu kapan perjalanan itu akan berakhir, atau seberapa jauh lagi “garis finish” itu.  Ketika ada yang berulang tahun, kita selalu mengatakan “Semoga panjang umur”, yang sebenarnya kita mendoakan agar “garis finish”-nya masih jauh.  Namun, seberapapun masih jauhnya garis akhir itu, kita tetap berjalan mendekatinya, tanpa pernah tahu kapan kita akan tiba di sana, apakah lima menit lagi, satu hari lagi, tiga bulan lagi, sepuluh tahun lagi, atau kapan.  Di situlah Tuhan menggenggam erat dan menguasai rahasiaNya, sebuah rahasia Ilahiah.

Kebetulan aku adalah orang yang memilih untuk melihat bertambahnya usiaku sebagai perjalanan yang semakin mendekatkanku pada keabadianku, dengan peti matiku sebagai “garis start”-nya.  Kalaupun itu kulakukan dengan melihat ke belakang, kepada semua ingatanku akan apa yang terjadi dan kualami di masa-masa lalu sepanjang hidupku, itu lebih merupakan upayaku agar keyakinanku semakin kuat bahwa hingga akhir hidup duniaku kelak (yang aku tak tahu kapan), Tuhan akan tetap setia bersamaku, menjagaku, memeliharaku, dan menopangku.  Puji Tuhan, setidaknya hingga hari ini ketika sudah 47 tahun kutempuh langkah hidupku, aku dapat merasakan semakin tumbuhnya keyakinan akan kesetiaan Tuhan dalam hidupku.

Menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku bisa menjadi sebuah kisah panjang yang tidak berkesudahan, bahkan bisa lebih panjang daripada soal kehidupan itu sendiri.  Mengingat semua kemurahan Tuhan dalam perjalanan hidup ini bahkan bisa menjadi menit-menit hening yang penuh air mata dan rasa haru, karena semakin kuingat, semuanya terasa semakin luar biasa.  Hingga akhirnya aku sadar, bahwa mujizat itu dekat, hanya sejauh doa; keajaiban itu tidak jauh, hanya sejauh seruan hati.

Kesetiaan Tuhan nyata dan teruji dalam hidupku, meskipun dalam banyak hal, perlu waktu bagiku untuk menyadari kesetiaanNya itu. Sering sekali terjadi aku kecewa ketika sesuatu berjalan tak sesuai harapan, tapi Dia dengan caraNya yang luar biasa selalu menyingkap perlahan-lahan semua rahasiaNya.  Ketika tiba waktuNya (bukan waktuku), Dia membukakan tirai itu sehingga aku dapat melihat alasanNya untuk membiarkan sesuatu terjadi padaku, alasanNya membawaku melalui jalan berbatu dan penuh duri, atau mendaki bukit terjal yang tak pernah kukehendaki, atau melalui malam kelam yang penuh kejahatan.  Setelah tirai itu Dia buka, yang kulihat di depanku adalah sebuah terang yang hangat bersahabat, penuh limpahan berkat dan kebaikan.

Ketika kehidupan tidak selalu bersahabat dan menawarkan perjalanan yang sering kali terasa terlalu keras untukku, aku dapat merasakan tanganNya menopang kakiku sehingga aku tidak jatuh.  Ketika aku terlihat begitu lemah di hadapan sebuah badai ganas, aku dapat merasakan pelukanNya yang mendekapku erat dan badai itu hanya berlalu begitu saja.  Ketika jurang terlihat terlalu curam untuk kuturuni, aku dapat merasakan tanganNya menggenggam tangan lemahku sehingga aku tidak tergelincir.  Aku selalu merasakan Dia ada, hadir, bekerja dan melakukan campur tanganNya tanpa henti, dan tidak pernah terlambat.  Dalam banyak hal, Dia melakukan semua itu bahkan sebelum aku meminta.

(Foto dari https://wallpapers.com)

Aku bersyukur bahwa masa laluku membuat semua kebaikanNya itu begitu mudah untuk dilihat.  Ketika masa kecil harus dijalani dengan penuh kekurangan dan keterbatasan, dari satu titik rendah ke titik rendah yang lain, dari satu kesusahan ke kesusahan yang lain, Dia memeliharaku dan semua orang terkasihku, menjaga kami, menganugerahkan kami kesehatan, sehingga kami dikuatkan melalui semuanya. [Aku nyaris tidak bisa merasakan bangku SMA karena keadaan ekonomi keluarga, dan Dia menjawab doa-doa kami bukan dengan memberi keluarga kami uang, melainkan dengan memberiku SMA terbaik di Indonesia—saat itu—tanpa harus membayar alias gratis]

Masa remaja di SMA, Akabri hingga awal karier sebagai Perwira TNI juga bukan masa-masa yang berisi kemudahan-kemudahan.  Aku tidak punya “darah biru” atau “balung rojo”, dan semuanya harus kuusahakan sendiri.  Gaji—yang tidak seberapa—adalah satu-satunya penghasilan.  Membangun keluarga di usia yang masih amat muda juga merupakan bukit terjal lainnya.  Istriku dan aku hanyalah orang-orang biasa yang memperjuangkan segalanya sendiri, dan tak bisa berharap atau mengandalkan siapapun, termasuk keluarga besar kami, karena kami semua bukan berasal dari keluarga berada.  [Suatu hari saat jam istirahat siang di kantor, aku pernah pulang ke mess tempat kami berdua tinggal, dan hanya ada semangkuk mie instan yang bisa dimasak istriku yang saat itu sedang hamil anak pertama kami, karena gajiku sudah habis sebelum bulan berakhir]

Tapi itulah Tuhan, yang dengan kebaikanNya yang tidak pernah habis, setia menemani setiap hari perjuanganku, upaya-upayaku, jerih lelahku sekalipun hari-hari itu penuh air mata.  Ketika aku mulai mempertanyakan kebenaran jalan yang kupilih, Tuhan pada saat yang menurutNya tepat selalu bisa membuka mataku bahwa Dia ada bersamaku, tidak pernah meninggalkanku sendirian, atau berpaling dariku.  Dengan caraNya Dia membimbingku untuk melihat cahaya terang itu pada waktunya, menyingkap rahasia yang selama itu Dia simpan hingga aku melihat sendiri bahwa jalan yang Dia pilihkan tidak salah, bahwa rancanganNya bukanlah rancangan kegagalan, melainkan rancangan masa depan yang berlimpah kebaikan.

Gejolak-gejolak dalam hatiku tetap ada, semata-mata karena keterbatasan hikmatku sebagai manusia biasa.  Ketika kenyataan di hadapanku tidak seperti harapanku, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran jalan Tuhan itu selalu muncul.  Ketika waktuku tidak sama dengan waktuNya, ketika jalan berbatu dan badai kelam itu tetap muncul dalam wujud-wujud barunya, ketika pintu yang sudah terbuka tertutup lagi, aku selalu bertanya dan bertanya kembali: “apakah ini memang jalan yang tepat untukku?”, “mengapa Engkau membawaku ke sini?”, “mengapa tak Engkau ijinkan aku ke sana?” dan seterusnya.

Namun sekali lagi, Tuhan baik.  Sangat baik.  Ketika Dia mengatakan “tidak”, atau “nanti dulu” untuk sebuah doa dan permintaan, Dia akan tunjukkan alasannya, dengan cara dan waktuNya sendiri, dan aku selalu melihat bahwa waktuNya tidak pernah salah, rencanaNya tidak pernah gagal.  Aku berkali-kali dibohongi oleh manusia, diberi harapan-harapan palsu, janji-jani bodong, tapi Dia tidak pernah berbohong atas janji-janjiNya.  Aku tahu bahwa Dia tidak menjanjikan langit yang selalu biru, atau jalanan yang selalu tanpa hambatan.  JanjiNya adalah bahwa dalam langit yang paling kelam atau jalanan paling terjal sekalipun, Dia tidak akan meninggalkanku, selalu ada bersamaku, menyertaiku, menjagaku, memeliharaku, dan membimbingku hingga kuraih kemenanganku.

Empat puluh tujuh tahun perjalanan, tepat tanggal 13 Februari ini, telah semakin lebar membuka mataku akan kasih setiaNya yang tak berkesudahan, akan mujizatNya yang ada di setiap langkahku, akan dekapan hangatNya dalam setiap takutku, akan genggaman tanganNya dalam setiap lemahku, dan kuasa perlindunganNya yang bagaikan benteng pertahanan maha kokoh sehingga kejahatan-kejahatan tidak dapat menyentuhku.  Satu-satunya sahabat setia yang selalu dapat kuandalkan dan kupercaya.  Sumber segala berkat dan kebaikan dalam hidupku, segala karunia yang aku terima dan rasakan.  Penguasa Kehidupan yang kuasaNya tak berbatas, melampaui segala akal dan pengetahuan.  Aku berhutang terlalu banyak padaNya, hutang yang tidak pernah bisa aku bayar, sekalipun aku tahu cintaNya adalah cinta yang tak bersyarat.  Cinta yang tetap Dia berikan bahkan dalam keadaanku yang paling hina sekalipun.

(Foto dari https://www.messagemagazine.com)

Hari ini, aku kembali mengingat itu semua dalam ungkapan syukur, seraya berdoa padaNya agar Dia berkenan memberiku waktu yang lebih panjang di kehidupan sementara ini, sehingga aku punya ruang lebih banyak untuk dapat menyatakan kemuliaanNya di hadapan dunia, menjadi saluran berkatNya untuk lebih banyak orang, dan meninggikan Dia melalui kebaikan-kebaikan dalam setiap ucapan dan perbuatanku.  Itu permintaanku, yang mungkin akan Dia jawab dengan kata “tidak”.  Kalaupun itu yang terjadi, aku yakin bahwa semua adalah yang terbaik bagiku, dan bagi semua yang mengasihiku.  Aku hanya memohon bahwa ketika tiba waktuku untuk kehidupan abadiku, aku sudah layak di hadapan Dia.

Terima kasih Tuhanku, Sahabatku, Penolongku Yang Setia.

Bogor, 13 Februari 2022