SETENGAH ABAD (PART II)

Meskipun hidup kami penuh keterbatasan, nilai rapor saya lumayan bagus.  Saya selalu masuk tiga besar di kelas saya.  Namun biaya hidup di kota (termasuk sekolah saya dan adik-adik) sepertinya terlalu berat untuk Ayah dan Ibu, sehingga akhirnya keluarga kami pindah ke kebun yang diolah Ayah di Kabupaten Batang Hari.  Rumah kami sebenarnya adalah gubuk yang selama ini dipakai Ayah untuk menjaga kebun, dan tempat bermalam Ayah bila tidak pulang ke Kota Jambi.  Atapnya jerami, dindingnya papan, lantainya tanah (Ayah memanfaatkan kayu dari hutan di sekitar gubuk untuk tiang rumah kami).  “Rumah” itu hanya terdiri dari 3 ruangan: ruang utama untuk kami makan, belajar, menerima tamu; ruang tidur yang berisi satu dipan panjang untuk kami berlima; dan dapur merangkap gudang untuk menyimpan pupuk serta alat-alat pertanian Ayah.  Ibu memasak menggunakan kayu bakar (alias pawon).  Tidak ada kamar mandi atau toilet; kami mandi di sumur sekitar 50 meter dari rumah, BAB di tengah kebun (yang penting ngga kelihatan orang lain hehehe…), BAK ya di sekitar rumah saja.

Sekolah Dasar tempat saya belajar tahun 1985 s.d. 1987. Waktu itu namanya SDN 70/I Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari. Sekarang, seiring dengan pemekaran wilayah dan penambahan kabupaten di Provinsi Jambi, namanya menjadi SDN 23/IX Desa Pondok Meja Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi. Foto diambil tanggal 28 Desember 2024. [Foto koleksi pribadi]

Kami bertiga meneruskan bersekolah di SD Negeri 70/I Kabupaten Batang Hari, jaraknya antara 3-4 kilometer dari rumah.  Setiap hari kami jalan kaki ke dan dari sekolah, melewati hutan karet dan kebun-kebun milik warga sekitar.   Kera/monyet yang bergelantungan di pohon atau kadang-kadang bermain-main di pinggir jalan, atau babi hutan yang melintas adalah pemandangan biasa buat kami bertiga.  Teman-teman sekolah kami rata-rata juga anak-anak petani.  Tampilan kami tergolong paling rapi dibandingkan teman-teman yang lain: seragam yang bersih, pakai sepatu dan kaos kaki (maklum, siswa pindahan dari kota hehehe…).  Teman-teman kami banyak yang bersekolah tanpa alas kaki, dengan seragam sekolah yang sudah kusam.

Saya lulus SD tahun 1987, dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi di Kabupaten Batang Hari.  Waktu itu belum ada sistem zonasi, sehingga saya bisa mendaftar SMP di wilayah Kota Jambi.  Saat mendaftar di SMP Negeri 18 Kota Jambi, saya diterima dengan NEM tertinggi di antara para pendaftar.  Di SMP ini latar belakang sosial para siswanya beragam: ada anak pegawai negeri atau swasta, anak petani atau pedagang, anak dokter dan sebagainya.  Domisili mereka pun ada yang di wilayah Kota Jambi, ada juga yang di Kabupaten Batang Hari seperti saya. Saya punya banyak teman baik di sini, ditambah guru-guru yang baik dan sayang pada saya.

Hari Kamis 14 Januari 1988, keluarga kami terkena musibah.  Rumah kami yang terbuat dari “bahan bakar” seperti jerami, papan dan kayu itu terbakar habis.  Yang tersisa hanya baju yang kami pakai (kalau saya ya seragam sekolah saat itu) plus pakaian yang ada di jemuran.  Kami memang tidak punya harta apa-apa, tapi kehilangan satu-satunya tempat berteduh yang di dalamnya ada dokumen-dokumen seperti akta lahir dan ijazah SD saya benar-benar membuat kami terpukul.  Ayah tampak tenang saat itu, meskipun saya tahu beban pikirannya pasti berat sekali, sementara Ibu menangis histeris dan harus kami tenangkan.  Saya merasa Tuhan sedang menguji kami lebih berat lagi, setelah kehidupan kami sehari-hari yang sebenarnya juga sudah berat.  [Kelak pada waktunya, kami paham kenapa Tuhan membawa kami melalui semua ini…]

Kami menumpang di rumah Ketua RT selama sekitar satu bulan (kebetulan di sebelah rumahnya ada rumah kecil kosong).  Setelahnya, Ayah meminjam sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah tak jauh dari rumah Ketua RT.  Rumah itu juga tak jauh dari lahan yang baru dibuka Ayah bersama beberapa temannya (yang kelak menjadi tanah tempat tinggal Ayah sampai hari ini).  Kami tinggal beberapa bulan di rumah itu sampai suatu hari si empunya tanah meminta kami meninggalkan rumah itu, dengan alasan adiknya akan menempati rumah itu sekaligus menjaga tanahnya.  Karena Ayah belum punya cukup uang untuk membangun rumah permanen, Ayah memutuskan memanfaatkan dangau (gubuk untuk menjaga/mengawasi lahan pertanian Ayah) menjadi “rumah”.  Dangau itu beratap jerami, dan Ayah menambah seng bekas sebagai dinding penutupnya.  Itulah “rumah” kami selama lebih kurang tiga tahun ke depan, yang tidak jauh berbeda dengan rumah kami sebelumnya yang terbakar.

Ini lokasi rumah kami yang terbakar tahun 1988 (foto diambil 28 Desember 2024). Beberapa rumah di latar belakang foto ini dulunya adalah kebun yang dikelola Ayah saat memulai hidup di Jambi. Ayah pernah berkebun pisang, cabe dan semangka selama mengolah tanah ini, yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami. [Foto koleksi pribadi]

Dengan kondisi ekonomi keluarga yang terbatas, saya tidak punya gambaran apakah bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA (meskipun saya selalu meraih ranking satu selama di SMP hehehe…).  Masih ada dua adik saya yang juga bersekolah (SMP dan SD), dan penghasilan Ayah dari bertanam semangka atau cabe di kebunnya sangat terbatas untuk membiayai tiga anak.  Secara pribadi, saya sudah siap untuk tidak melanjutkan sekolah, dan membantu Ayah Ibu bertani atau mencari pekerjaan lainnya.  Sampai suatu hari setelah selesai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) SMP, saya dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah.  Jaman itu, dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah adalah sesuatu yang luar biasa, dan membuat setiap siswa deg-degan.  Di ruangannya, beliau menunjukkan kepada saya brosur sebuah SMA baru bernama “SMA Taruna Nusantara”.

Beliau bertanya “Jon, kamu mau ngga sekolah di sini? Gratis, malah dapat uang saku.  Tapi ada tesnya.”  Saya yang masih serius membaca brosur itu bertanya balik “Ini sekolah tentara ya Pak?” yang kemudian dijawab beliau “Bukan, sekolah SMA swasta biasa, tapi yang mendirikan ABRI.”  Saya lalu minta waktu untuk memberitahukan orang tua saya di rumah.  Kepala Sekolah saya mengatakan bahwa kalau memang berminat, besok beliau sendiri yang akan mengantar saya mengikuti seleksi.  Saat pulang ke rumah, saya ceritakan kepada Ibu, dan Ibu meminta saya mengikuti seleksinya.  Saya segera menyiapkan semua dokumen seleksinya, dan esok harinya menghadap Kepala Sekolah lagi.

Kepala Sekolah saya, Bapak Subowo, mengantarkan saya menuju Korem 042/Garuda Putih dengan motor Vespa-nya.  Tempat itu tidak asing bagi saya, karena terletak hanya beberapa puluh meter di seberang SD Adhyaksa I, tempat saya bersekolah pertama kali setelah pindah ke Jambi.  Meskipun demikian, ada sedikit rasa takut ketika memasuki markas militer seperti itu.  Saya masih ingat, nomor pendaftaran saya 001, artinya saya adalah pendaftar pertama hehehe… Itu karena kehebatan Pak Subowo, yang dengan Vespa-nya pagi-pagi sekali mengantar saya langsung ke Makorem 042. Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan beliau ini…

Seleksi masuk SMA TN adalah pertunjukan lainnya akan kehebatan Tuhan dalam hidup saya.  Selama proses yang melelahkan untuk seorang anak ingusan yang baru akan lulus SMP seperti saya, Tuhan menunjukkan penyertaanNya dengan menghadirkan orang-orang baik yang mengajari, membimbing, dan mendukung saya.  Orang-orang itu bahkan baru saya kenal saat seleksi sudah berjalan.  Saya seperti “anak dari tengah hutan” yang merasa inferior ketika harus berhadapan dengan ratusan peserta seleksi dari berbagai SMP se-Provinsi Jambi, termasuk beberapa SMP favorit (kabarnya jumlah pendaftar mencapai 350-an orang saat itu).  Namun karena orang-orang baik yang Tuhan hadirkan itu, “anak dari tengah hutan” ini bisa mendapatkan kepercayaan dirinya hingga akhir seleksi.

Singkat cerita, dari 350-an peserta yang diseleksi dengan sistem gugur, saya masuk empat besar.  Nah, kuota Provinsi Jambi saat itu hanya tiga orang, jadi saya dinyatakan tidak lolos ke Magelang.  Saya tentu saja kecewa, dan sudah membayangkan hari-hari saya bekerja di kebun, atau di bengkel orang, atau di tempat lainnya setelah lulus SMP.  Namun sehari setelah pengumunan tingkat provinsi, seorang anggota Koramil Jambi Luar Kota datang ke rumah dan meminta saya (didampingi orang tua) untuk datang ke Makorem 042/Garuda Putih.  Dalam kekecewaan saya setelah pengumunan sehari sebelumnya, saya datang ke Makorem didampingi Ayah.  Di sana, seorang Perwira Korem menyampaikan bahwa karena ada beberapa provinsi lain (khususnya di Jawa) yang tidak dapat memenuhi kuota mereka (provinsi-provinsi di Jawa, karena kualitas pendidikan yang lebih baik dari pulau-pulau lainnya, mendapatkan kuota yang besar: ada yang 15 orang, 25 orang, dsb), maka sisa kuota tersebut dialihkan ke provinsi lainnya.  Jambi mendapatkan jatah dua siswa lagi, yang berarti saya dan urutan lima akan ikut seleksi pusat di Magelang…

Tuhan itu memang luar biasa dan tidak terbatas. Ketika orang tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah saya, Tuhan tidak menjawabnya dengan uang, namun memberikan sekolah gratis.  Ketika saya tidak masuk ke alokasi awal kuota Provinsi Jambi, Tuhan memberikan tambahan kuota yang memungkinkan saya dapat melanjutkan ke seleksi pusat di Magelang, Jawa Tengah, dengan caraNya sendiri yang ajaib.  Saya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, di sebuah SMA yang tidak hanya gratis, namun juga merupakan SMA dengan fasilitas dan guru-guru terbaik di Indonesia pada saat itu…

[Untuk Pak drg. Sitepu (alm.), Pak Liyat Ginting, Pak Subowo, Pak Prayogo (alm.) dan semua guru SMP saya, terima kasih sudah mendukung dan membimbing saya, yang hanya anak seorang petani, tinggal di tengah hutan, hingga bisa sampai pada titik ini.  Kalian adalah malaikat-malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untuk mengangkat hidup saya.  Dalam doa-doa saya selalu ada nama kalian, orang-orang baik yang telah menjadi bagian dari cerita hidup saya.  Sekali lagi, terima kasih…]

(BERSAMBUNG KE PART III…)

SETENGAH ABAD (PART I)

“Waktu” adalah sebuah kata atau terminologi yang amat sangat umum dan akrab di telinga setiap orang.  Kita berbicara “waktu” ketika kita bercerita tentang sebuah event atau peristiwa, rentang periode; mungkin soal bertahun-tahun, berbulan-bulan, berjam-jam atau bahkan hanya soal beberapa detik.  Meskipun “waktu” sudah seperti sesuatu di alam bawah sadar manusia, “waktu” sudah menarik banyak ilmuwan untuk mendefinisikannya lebih jauh dari sudut pandang sains.  Yang paling terkenal tentu saja Albert Einstein, dengan Teori Relativitas-nya.

Saya tidak akan berbicara soal waktu secara ilmiah, karena saya merasa tidak cukup cerdas untuk sampai ke sana. Saya mau melihat waktu dari sudut pandang kehidupan saya sendiri. Sebuah kehidupan yang tampak biasa dan bukan apa-apa, tapi bagi saya luar biasa dan penuh dengan cerita kebaikan Tuhan.

[Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang kebaikan Tuhan, namun tulisan kali ini sedikit berbeda dalam hal sudut padang]

Tugu Muda dan Lawang Sewu, 2 ikon Kota Semarang (foto koleksi pribadi)

Tahun 1975-1980

Ada sebuah kawasan di kota Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, bernama Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara.  Salah satu kampung yang ada di kelurahan itu bernama Kampung Barutikung, yang terletak di tepi sungai Boom Lama. Semarang Utara, secara umum seperti halnya wilayah-wilayah di kawasan pelabuhan, terkenal sebagai kawasan yang “keras”.  Setiap kelurahan yang ada di kecamatan Semarang Utara punya kampung “ikon” yang terkenal dengan tingkat kekerasan sosial dan kriminalitasnya. Nah, untuk wilayah Kelurahan Bandarharjo, Kampung Barutikung adalah kampung “ikon” itu.

Saya lahir di kampung ini, tanggal 13 Februari. Saat itu kondisi ekonomi keluarga boleh dikatakan bagus, karena Ayah bekerja di sebuah perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dengan penghasilan yang lumayan untuk saat itu.  Tidak jauh dari rumah kami, di kampung yang sama, tinggal juga Pak Dhe dan Bu Dhe saya, namun karena usianya yang sudah tua, saya memanggil mereka “Mbah” alih-alih Pak Dhe atau Bu Dhe. Karena Ayah sering melaut, dan Ibu masih harus mengurus dua adik saya (yang lahir tahun 1976 dan 1979), saya sering dititipkan ke rumah Mbah.  Kebetulan Mbah (atau Pak Dhe/Bu Dhe) tidak punya anak, jadi saya diperlakukan dan disayang selayaknya anak mereka sendiri.

Selama lima tahun pertama hidup saya, saya tumbuh di Kampung Barutikung, dengan segala kondisi sosial dan stigma yang melekat padanya.  Namun, itu justru membuat saya dapat bersaksi hari ini, bahwa kampung dengan stigma buruk itulah tempat saya pertama kali mengenal cinta, kasih dan sayang: dari orang tua saya, kedua Mbah saya, dan orang-orang di kampung itu. Di kampung itu, panggilan akrab untuk saya adalah Eddy (karena nama saya Jon Keneddy hehehe…).  Saya punya banyak teman masa kecil di sana, dengan berbagai cerita: bermain petasan saat malam takbiran atau Tahun Baru, bermain di sungai yang kotor, ke laut atau pelabuhan, main air saat kampung kena “rob” (naiknya permukaan air saat laut pasang, umumnya di sore menjelang malam hari), nonton layar tancap, ikut takbiran keliling dengan truk, dan banyak lagi.

Kampung Barutikung, yang selalu termarjinalkan dalam strata sosial masyarakat Semarang, yang sering dicap sebagai “kampung begal”, “kampung preman”, “daerah hitam”, dan lain-lain, adalah kampung yang telah memberi warna awal pada kertas kosong hidup saya; dan bukan warna yang buruk seperti stigmanya, justru warna yang penuh kasih, kohesi yang kuat antar sesama warganya, dan solidaritas yang tinggi.

Tahun 1980-1984

Ayah menyadari bahwa kampung ini pada dasarnya kurang baik untuk perkembangan anak-anaknya dalam jangka panjang. Kemungkinan juga ada pertimbangan yang lain dari Ayah, sehingga keluarga kami kemudian pindah ke wilayah Kalibanteng, Semarang Barat.  Tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani, kampung baru ini boleh dibilang jauh lebih tenang, kalem, jauh dari kesan “keras” ala daerah pelabuhan, dan masyarakatnya relatif lebih berpendidikan.  Geografinya lebih berbukit-bukit, termasuk jalan ke rumah kami adalah jalan menanjak, yang dari puncaknya, kita dapat melihat Bandara Ahmad Yani dari kejauhan.

Saya masuk Taman Kanak-Kanak di TK Siliwangi, di kawasan Bundaran Kalibanteng.  Saya langsung dimasukkan Ayah ke kelas “Nol Besar” tahun 1980-1981.  Tahun 1981, saya masuk ke Sekolah Dasar di SD Siliwangi II, di kompleks sekolahan yang sama dengan TK saya.  Tidak banyak kenangan yang saya ingat di masa-masa sekolah saat itu; mungkin karena saya masih terlalu kecil waktu itu.  Kenangan yang masih membekas sampai hari ini adalah, kalau di sekolah saya dapat nilai “K” (Kurang), saya tidak berani pulang ke rumah karena pasti sabetan rotan Ayah sudah menanti hahaha

Saya harus dirayu pulang oleh Mas Doyo, tetangga rumah di Kalibanteng yang oleh Ibu sering dimintai tolong untuk mengantar jemput saya ke/dari sekolah.  Sampai rumah, belum ganti baju, belum makan siang, saya harus berdiri di depan papan tulis yang Ayah siapkan untuk belajar kami, mengulangi soal-soal yang tadi saya dapat di sekolah.  Setiap jawaban salah yang saya tulis dengan kapur tulis di papan hitam itu akan langsung diganjar Ayah dengan rotan di pantat saya. Kalau sudah begini, Ibulah yang tampil menjadi penyelamat saya hehehe

Namun, Kampung Barutikung tetap jadi favorit saya saat libur sekolah.  Libur apapun (libur kenaikan kelas, Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari libur lainnya), saya selalu habiskan di Barutikung, bersama Mbah yang begitu mencintai saya, dan teman-teman kecil saya di sana.  Di antara kami bertiga (saya dan kedua adik saya), hanya sayalah yang kerasan tinggal di Barutikung.  Adik-adik saya tidak tahan dengan hawa panasnya, dan nyamuk yang sangat banyak karena kumuhnya kawasan itu.  Bagi saya, tempat itu adalah sorga karena saya sangat dimanja oleh Mbah, yang dalam keterbatasan ekonominya selalu berusaha untuk memenuhi apapun permintaan saya.

[Mbah Sadi bekerja sebagai juru parkir di Rumah Sakit Tentara (RST) Semarang, sedangkan Mbah Trinem adalah seorang ART di sebuah rumah mewah di Perumahan Tanjung Mas Estate]

Tahun 1983, ekonomi keluarga kami mulai menurun karena perusahaan tempat Ayah bekerja ditutup, dan Ayah sempat menganggur beberapa bulan.  Ayah akhirnya mencoba peruntungan dengan menjadi petani di Jambi, menerima tawaran Abangnya (paman saya) yang memiliki tanah di sana.  Selama Ayah merantau di Jambi, kami tinggal berempat di Kalibanteng (Ibu, saya dan dua adik saya).  Setiap bulan Ayah selalu mengirim uang via wesel pos kepada Ibu untuk hidup kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak.  Itu berlangsung sampai menjelang akhir tahun 1984.

Bulan November 1984, Ayah pulang ke Semarang untuk menjemput kami pindah ke Jambi.  Itulah hari-hari terakhir yang begitu berat untuk kami, membayangkan hidup di Pulau Sumatera, meninggalkan kehidupan kota Semarang yang penuh dengan kenangan dan cerita.  Mbah Trinem ikut dengan kami ke Jambi, menempuh perjalanan 2 hari 2 malam menggunakan bis “Labana Express” (Labex).  Di Jambi, untuk sementara kami tinggal di rumah paman saya (dalam adat Karo, saya dan adik-adik memanggilnya “Pak Tengah”).  Dia seorang birokrat, rumahya termasuk mewah untuk ukuran saat itu.

Tahun 1985-1990

Di Jambi, saya bersekolah di sebuah SD swasta, SD Adhyaksa I Kota Jambi, meneruskan kelas IV.  SD Adhyaksa I berisi anak-anak orang berada, entah itu anak pegawai, dokter, atau pengusaha.  Masih teringat di benak saya, saat Ibu mendaftarkan saya dan adik saya Juli di kantor sekolah, dan pegawai di situ menanyakan profesi Ayah, yang dijawab Ibu dengan “tani” (maksudnya petani), si pegawai tidak percaya dan bertanya “Maksud Ibu TNI?”, lalu Ibu menjawab “Bukan pak, petani”.  Si pegawai akhirnya menulis dengan sedikit tidak percaya, bahwa ada anak petani masuk ke sekolah seperti ini hehehe

Perbedaan strata dengan siswa-siswa lainnya membuat adaptasi sosial saya agak sulit di sekolah baru ini.  Saat jam istirahat misalnya, mereka berkumpul jajan di kantin, sementara saya dan adik saya perlu berpikir berulang-ulang karena uang saku kami hanya cukup untuk beli es lilin.  Juga ketika ada acara-acara sekolah, ketika mereka semua diantar orang tua mereka dengan mobil atau sepeda motor, kami harus berjalan kaki atau naik angkot; dan orang tua kami tidak pernah ikut acara-acara sekolah itu. Beberapa bulan menumpang di rumah Pak Tengah, kami pindah ke sebuah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Pak Tengah, di Lorong “TAC”.  Rumah kami nyaris tanpa perabotan.  Tamu duduk di lantai, kami juga tidur di kasur yang dibentangkan di lantai.  Kami sempat punya televisi hitam putih, namun tak lama televisi itu dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Ayah tinggal sendiri di kebun milik Pak Tengah yang diolahnya, jaraknya kira-kira 20 kilometer dari rumah, di Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari.  Ayah pulang ke kota Jambi 2-3 hari sekali untuk menghemat biaya bensin motornya.  Sementara itu, Ibu mencoba membantu Ayah dengan berjualan sayur di Pasar TAC tak jauh dari rumah; pernah juga mencoba berjualan pecel di teras rumah.

(BERSAMBUNG KE PART II…..)

NATAL YANG MEMBERI

Photo courtesy of https://www.2ndcongregationalchurchvt.org/

Circa 1985-1990.

Sebuah keluarga kecil menghabiskan satu hari di tanggal 25 Desember sebagaimana mereka menjalani hari-hari lainnya.  Bedanya, tiga anak dalam keluarga tersebut tidak ke sekolah sekalipun itu bukan hari Minggu (saat itu hari sekolah adalah Senin sampai Sabtu).  Sang Ayah tetap pergi ke kebun sejak pagi.  Sang Ibu menyiapkan makanan untuk dibawa ke kebun buat sarapan Sang Ayah.  Ketiga anaknya membersihkan rumah sambil membantu Ibu menyiapkan makanan ke dalam rantang susun, kopi hitam panas ke dalam termos, dan radio transistor untuk dibawa ke kebun.

Rumah kecil keluarga ini berdinding papan, beratap jerami, dan beralaskan tanah, persis seperti lirik sebuah lagu dari kelompok “God Bless”-nya Ahmad Albar.  Hanya ada tiga ruangan di rumah kecil itu: ruang depan untuk makan, belajar anak-anak sekaligus menerima tamu, kamar dengan dipan kayu panjang untuk tidur berlima, dan dapur sekaligus gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian Sang Ayah termasuk untuk menyimpan pupuk.  Tidak ada toilet ataupun kamar mandi.  Mereka mandi di sumur yang digali Sang Ayah sekitar 30 meter dari rumah.

Pada saat libur sekolah, anak-anak selalu ikut membantu orang tua mereka di kebun.  Membersihkan rumput-rumput liar di sekeliling tanaman cabe atau semangka (tergantung musim saat itu), memupuk tanaman di lubang-lubang yang sudah digali Sang Ayah atau Ibu lalu menimbunnya kembali, atau menyiram tanaman dengan air yang disedot oleh pompa dari sungai, berteman sebuah radio transistor bertenaga enam baterai yang sesekali dipindah sesuai lokasi mereka bekerja di kebun.  Itu rutinitas libur mereka, termasuk ketika libur Natal 25 Desember, saat keluarga Kristiani lainnya pergi ke gereja dan setelahnya merayakan Natal bersama keluarga.

Bagi keluarga ini, 25 Desember hanyalah sekedar tanggal merah biasa seperti tanggal merah lainnya di kalender.  Hari ketika anak-anak tidak perlu pergi ke sekolah dan bisa membantu orang tuanya di kebun.  Tidak ada perayaan, tidak ada baju baru, tidak ada kado, tidak ada pohon terang.  Gereja terdekat berjarak cukup jauh untuk ditempuh berlima, ketika alat transportasi yang mereka miliki hanya sebuah sepeda motor tua dan sepeda onthel.  Kadang-kadang ada tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat Natal, dan setiap ditanya mengapa tidak ke gereja atau jalan-jalan, Sang Ayah selalu memiliki jawabannya sendiri.

Bagi keluarga ini, hidup sudah terlalu berat untuk dijalani bahkan dengan standar sekedar “normal”.  Bisa makan tiga kali sehari dan anak-anak bisa tetap bisa sekolah sudah menjadi sebuah pencapaian besar bagi Sang Ayah sebagai kepala keluarga.  So, 25th of December is just another day, another day-off.

========================================

Keluarga di atas adalah keluarga pemilik website ini, penulis tulisan ini.  Keluargaku di Jambi.  Aku adalah anak tertua dari tiga anak di atas, dengan satu adik perempuan dan satu adik laki-laki (adik termudaku sekarang belum lahir saat itu).

Aku—dan kami semua—sangat akrab dengan semua lagu Natal sejak kecil, termasuk saat kami menjalani kehidupan di tengah kebun (lebih tepatnya di tengah hutan karena secara harfiah, rumah kami memang dikelilingi hutan, yang sebagian di antaranya sudah dibuka oleh Ayahku untuk menjadi kebunnya).  Saat itu, lagu Natal hanyalah kumandang yang kami dengar di radio, sambil membayangkan pohon Natal yang dihujani salju ala Eropa.  Lamunan kami yang tipikal ini membawa kami pada bayangan-bayangan lainnya: keluarga yang sedang berkumpul di bawah pohon terang, membuka kado dari orang-orang tercinta, mengenakan topi Sinterklas, lalu menikmati makanan dan minuman istimewa bersama keluarga mereka.  Sekedar lamunan, yang kami tidak tahu kapan akan merasakannya.

24 Desember 2021.

Aku tiba di kantorku di Jakarta sekitar pukul 06.00, berdoa sebentar seperti biasa, lalu menyalakan smart TV mencari lagu-lagu Natal di Youtube.  Aku melamun lagi, tapi bedanya, aku tidak membayangkan pohon terang yang dihujani salju (aku sudah beberapa kali merasakannya di beberapa negara Eropa dan Amerika hehehe…).  Lamunanku jauh ke masa lalu ketika Natal selalu kami isi dengan membantu Ayah dan Ibu di kebun.  Ketika Natal hanyalah sebuah tanggal merah biasa yang membebaskan kami dari sekolah.

Masa lalu itu telah membangun bagiku sebuah perspektif baru tentang Natal.  Aku tahu bahwa hingga saat ini, masih ada ribuan keluarga Kristiani yang melihat Natal sama seperti kami melihat Natal di sekitar tahun 1985 sampai 1990-an itu.  Mereka yang masih berjuang dengan hidupnya, yang bahkan belum tahu apakah mereka bisa makan tiga kali hari ini, atau apakah mereka bisa makan besok, dan seterusnya.  Natal yang mungkin saja jutsru menjadi “derita” bagi mereka karena tidak bisa merayakan, tidak bisa pulang ke kampung halaman karena tidak punya uang, dan pada saat yang sama mereka melihat banyak keluarga bergembira dengan segala kecukupannya.

Aku bersyukur karena dari masa lalu Tuhan mengingatkanku tentang makna Natal yang sesungguhnya.  Tentang sukacita yang dibawa oleh Tuhan ke bumi melalui bayi kecil bernama Yesus Kristus.  Masa lalu telah membangun pemahamanku saat ini bahwa Natal adalah tentang berbagi cinta kasih, berbagi sukacita, dan berbagi damai sejahtera.  Itulah yang dilakukan oleh Tuhan sendiri ketika Dia memberi sukacita, cinta kasih dan damai sejahtera kepada mahluk ciptaanNya melalui seorang anak yang dikirimkanNya ke bumi, agar mereka semua terbebas dari dosa, dan bisa merasakan kerajaan Surga.

Bagiku, Natal adalah tentang memberi, karena Natal itu sendiri adalah wujud pemberian Tuhan berupa keselamatan untuk semua umat manusia dari segala kuasa dosa dan kegelapan.  Natal adalah tentang empati atas penderitaan orang lain, atas kekurangan mereka, atau rasa kehilangan mereka.  Natal bukan tentang kemewahan, kado, pohon terang, baju baru atau jalan-jalan.

Yesus Kristus lahir di sebuah palungan di kandang domba, dan yang menjenguk bayi Yesus pertama kali adalah para gembala.  Kisah itu saja sudah cukup menggambarkan bagaimana Natal sangat lekat dengan kesederhanaan, kebersahajaan, dan ketulusan.  Natal adalah milik semua orang, seperti para gembala yang nota bene masyarakat biasa ikut bersukacita menyambut hadirnya Sang Juru Selamat ke dunia.

Di tengah alunan lagu Natal yang kudengar saat menulis ini, aku mengingat mereka semua yang tengah berduka, yang tengah bersedih, yang sedang berjuang untuk hidupnya, sama seperti yang kami sekeluarga rasakan setiap mendengar lagu Natal di tahun 1985 sampai 1990-an. Aku mengingat semua yang merasa termarjinalkan karena keadaan, terpinggirkan karena status sosial, dan terasing karena kemiskinan.  Percayalah, Natal ini juga hadir untuk kalian semua, maka bersukacitalah.  Ingatlah bahwa kita semua punya alasan yang sama untuk bersukacita, bukan karena kita punya baju baru, mendapat banyak kado atau bisa jalan-jalan, melainkan karena Tuhan memberikan kepada kita semua keselamatan melalui anakNya.

Ketika memaknai Natal sebagai sebuah karunia atau pemberian Tuhan, aku lebih senang untuk menjadikan setiap hariku sebagai hari Natal, ketika hidup kujalani dengan sebuah prinsip bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dia punya, melainkan oleh apa yang dia perbuat atau berikan bagi sekitarnya.  Menjadi berkat bagi banyak orang.  Berbagi sukacita sehingga siapapun ikut merasakan sukacita kita, dan menguatkan mereka yang bersedih.

Photo courtesy of https://forgodandjesus.wordpress.com/

Pada akhirnya, alunan lagu Natal ini mengingatkanku pada kasih Tuhan yang luar biasa dan tidak pernah habis dalam hidupku.  Aku merenungkan kembali ketika Dia menghadirkan bagiku seorang pria dan seorang wanita hebat dalam wujud Ayah dan Ibuku, adik-adik yang baik, istri dan anak-anak yang setia, dan banyak orang baik yang ada di sekelilingku.  Juga ketika Dia membukakan banyak pintu bagi kehidupanku yang semakin baik dari waktu ke waktu, dan ketika Dia dengan caraNya yang luar biasa membawa kami keluar dari berbagai kesulitan.  Sukacita Natalku adalah karena perjalanan yang kurangkai bersama Tuhan yang tanganNya selalu menuntunku agar aku tidak terjatuh dan merasa terlindungi, serta kasihNya yang setia menjawab semua pergumulanku.  Sebuah sukacita karena aku tahu Tuhan tidak pernah gagal dan tidak pernah terlambat membuktikan cintaNya kepada semua orang.

Selamat Natal, Ayah dan Ibu terkasih.

Selamat Natal, adik-adikku tersayang.

Selamat Natal, istri dan anak-anakku tercinta.

Selamat Natal, semuanya.

JOGJAKARTA: KETIKA KUTEMUKAN RUMAH

(Foto koleksi pribadi)

Pertengahan November lalu saya bersama keluarga berkesempatan menikmati beberapa hari berada di Jogjakarta.  Kebetulan ada suatu keperluan keluarga, plus dua hari keperluan dinas memenuhi undangan dari sebuah instansi Pemerintah.

Bagi saya, Jogjakarta selalu bisa menjadi cerita.  Seperti lirik sebuah lagu, selalu ada sesuatu di sana. Ia mungkin dikenal sebagai kota pelajar, kota perjuangan, atau kota sejarah.  Ia juga mungkin dikenal dengan angkringannya, Keraton-nya, atau Jalan Malioboro-nya.  Bagi saya Jogjakarta lebih dari semua itu.  Jogjakarta juga lebih dari sekedar jutaan kenangan.  Jogjakarta adalah sebuah filosofi, kehidupan, dan jiwa.

(Foto koleksi pribadi)

Meskipun “resminya” saya hidup di kota ini hanya sekitar tiga tahun (selama saya menjadi Taruna Akademi Angkatan Udara), tapi pesona dan aura kota ini telah membuat saya jatuh hati. Saya medapatkan banyak hal dari tempat ini, terlebih ketika saat ini hari-hari saya dihabiskan dengan suasana yang penuh kepalsuan, basa basi, pemenuhan ego, dan “kasak kusuk” para pemburu ambisi. Jogjakarta selalu bisa memberi saya kepuasan atas dahaga saya akan ketenangan, kedamaian, kesejukan jiwa, dan perenungan untuk “kembali pada diri sendiri”.

Sebagian besar orang yang pernah ke kota ini pasti merasakan bagaimana tempat ini begitu bersahabat, bersahaja, dan menenangkan di setiap sudutnya.  Keramahan adalah jiwa dari kota ini.  Persahabatan adalah roh yang melekat di tiap denyut nadinya.  Itulah sebabnya saya sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar duduk sambil menikmati wedang jahe, kopi, atau gorengan di angkringan yang bertebaran di sana, sembari menyaksikan bagaimana kebersahajaan itu lalu lalang di hadapan saya: dalam diri para penjual angkringan, para penarik becak atau delman, atau para penjaja gudeg dan sate dengan bakul dagangan di pundak atau kepala mereka.

Jogjakarta adalah rumah bagi saya.  Bukan semata-mata karena saya merasa nyaman berada di dalamnya, melainkan karena saya selalu bisa menemukan “rumah” bagi batin saya: diri saya sendiri.  Jogjakarta adalah sebuah ruang besar bagi kontemplasi saya, ketika saya merasa sangat penat, lelah dan terkuras lahir batin oleh Jakarta.  Jogjakarta selalu menyajikan saya presentasi nyata tentang kesetaraan kita sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, tentang penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, dan tentang pengharapan yang selalu ada dalam keadaan seperti apapun.  Saya melihat itu semua tanpa buku, tanpa power point slides, tanpa teori atau pengantar dari siapapun.  Jogjakarta menghadirkan semuanya secara “live” di depan mata saya, dan menancapkan semua tontonan itu dalam nurani saya.

Saya melihat dan merasakan sebuah perjalanan kembali pada diri saya sendiri dari kota ini, bukan dari para wisatawan atau pelancong, melainkan justru dari warganya yang lahir, dibesarkan atau hidup dari kota ini.  Dari momen ketika kemewahan yang dibawa dan dipertontonkan para wisatawan di hadapan mereka yang berjuang dengan mengayuh becak, mengemudikan delman, menjajakan makanan, atau memainkan musik jalanan itulah saya melihat bagaimana kota ini memberi sebuah pelajaran berharga, yang bagaikan mata air bagi dahaga batin saya.  Pelajaran yang mengatakan kepada saya betapa kecilnya kita sebagai manusia, dan betapa lemahnya kita dalam perjuangan mengalahkan musuh terberat kita: diri kita sendiri.

(Foto koleksi pribadi)

Dari mereka yang tampak “biasa” di mata sesama manusia, saya justru belajar tentang sebuah kebesaran jiwa, penerimaan tulus terhadap apa yang Tuhan beri kepada mereka, yang selalu mereka syukuri, dan mereka pakai untuk memelihara asa akan kehidupan hari esok yang lebih baik. Dalam skala tertentu, saya merasa melihat Tuhan bersemayam dalam batin mereka—sebuah keadaan yang sangat saya rindukan, ketika diri ini bisa menyisihkan sedikit ruang untuk Tuhan dapat berdiam di dalamnya.

Ketika hati kecil selalu bertanya apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini, Jogjakarta hadir sebagai sebuah ruang besar di mana mahluk kecil seperti saya dapat menikmati sebuah perenungan yang berisi perjalanan menuju rumah saya sesungguhnya: diri saya sendiri.  Rumah yang menyediakan sebuah ruang bagi Sang Penguasa dan Pencipta Hidup untuk berdiam di dalamnya.

Manunggaling Kawula Gusti.

SEKOLAH BERNAMA “KEHIDUPAN” (SEBUAH SURAT)

images

Lelaki itu terpaku penuh haru di kursi ruang kerjanya. Ia menatap satu persatu apapun yang ada di ruangan itu, ruangan yang telah menjadi tempatnya bekerja selama lebih kurang 14 bulan terakhir. Tempat yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun perlahan tapi pasti telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Cinta yang lahir laksana cinta seorang bapak kepada anak-anaknya; sebuah cinta kepada orang-orang yang bekerja di sekelilingnya. Sesaat rasa harunya memuncak menjadi tetesan air mata, ketika ia mengingat betapa luar biasanya Tuhan telah memelihara dia dalam hidupnya.

Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun lalu, ketika ia masih seorang anak kecil yang kurus kering, dan duduk di bangku SD di Jambi. Ia mengenang masa di mana ia harus “mengemis” uang 8500 rupiah kepada pamannya untuk membayar uang bulanan sekolahnya (SPP). Ia juga mengingat masa di kala ia dan Ibunya harus menjadi “babu” saat ada acara-acara keluarga besar Ayahnya. Berjongkok di dapur, dan baru makan bila ada sisa-sisa makanan yang dikembalikan ke dapur, sementara keluarga besar yang lain berpesta di ruang tengah rumah pamannya. Ya, Ayahnya yang hanya seorang petani yang mengolah tanah pamannya “tidak dianggap” oleh keluarganya yang lain yang jauh lebih berada.

Ia seorang anak SD yang hanya bisa “bengong” melihat teman-temannya bermain bulutangkis, karena orang tuanya tak mampu membelikan ia raket yang ia minta. Keramaian acara-acara di sekolahnya ia lalui dengan “menonton” teman-temannya yang berkali-kali membeli jajanan, karena uang jajannya terlalu sedikit untuk membeli makanan atau minuman, dan itupun ia pilih untuk disimpan. Hari-harinya di rumah ia lalui dengan membantu Ibunya menjaga warung kecil di teras kontrakannya, sambil makan nasi bertabur garam (agar tak terlalu hambar). Bila sedikit beruntung dan ada sedikit cabe di rumah, Ibunya membuatkan sambal yang kemudian ia aduk-aduk di nasinya agar terlihat merah seperti nasi goreng—sebuah kenangan yang membuatnya sekarang begitu menyukai nasi goreng.

Karena tak sanggup membiayai kehidupan di kota Jambi, keluarganya pindah ke tanah pamannya yang dikelola sang Ayah, 20-an kilometer dari kota. Tiga tahun di tempat itu, rumah kecilnya yang berdinding papan, berlantai tanah dan beratap jerami terbakar tanpa sisa. Ia dan keluarganya pun merasakan hidup menumpang di rumah Pak RT selama lebih kurang 3 bulan, sebelum Ayahnya berhasil mendapatkan sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah. Tak sampai satu tahun di situ, keluarganya “diusir” karena rumah itu akan digunakan oleh si pemilik tanah. Dalam situasi terdesak, Ayahnya pun menjadikan gubuk/dangau tempat istirahatnya di ladang menjadi rumah, dengan membalut gubuk itu dengan seng bekas, begitu pula atapnya. Keluarganya merasakan rangkaian siang yang amat panas, dan malam yang amat dingin. Di tempat itu pulalah si lelaki kecil itu pertama kali mengenal malaria.

Selain obat dari Puskesmas desa, saat terkena malaria itu Ibunya selalu mengolesi tubuhnya dengan spiritus yang mereka gunakan di lampu petromax untuk mendinginkan badannya yang mengejang karena panas. Begitulah, ia menjalani keseharian dengan sangat sederhana (mandi di sumur yang berjarak 50-an meter dari rumah, buang air besar di tengah ladang dengan selalu membawa cangkul Ayahnya—untuk menggali tanah, dan seember kecil air), sehingga ia nyaris tak pernah bermimpi untuk bisa meneruskan sekolah ke SMA. Dua adiknya juga butuh biaya, dan orang tuanya hanya petani miskin. Seketika ia menjadi begitu dewasa, dan merelakan dirinya untuk bekerja membantu orang tua di ladang (atau bekerja dengan orang lain), agar adik-adiknya tetap bisa sekolah.

Tapi sepertinya ia lelaki yang ditakdirkan untuk mengalami berbagai “keajaiban” dalam hidupnya. Prestasinya di SMP (yang selalu ranking pertama sejak semester I hingga semester VI dan Ebtanas, dan dua tahun menjadi Ketua OSIS) mempesona sang Kepala Sekolah yang lalu menawarinya mendaftar ke sebuah unggulan yang baru akan dibuka. Gratis, itulah alasan ia mau menerima tawaran itu dan memberanikan diri mendaftar ke Komando Resort Militer (Korem) di Jambi, ditemani Kepala Sekolahnya. Ia harus bersaing dengan 350-an siswa-siswa hebat lainnya se-antero Provinsi Jambi, memperebutkan jatah tiga kursi untuk duduk di kampus SMA itu di Magelang, Jawa Tengah. Itu mungkin “kompetisi” berat pertama dalam hidupnya, sebuah pertaruhan untuk jalan menuju masa depan yang telah Tuhan bukakan untuknya.

Ia belajar, berlari sekencang-kencangnya saat ujian jasmani, dan menjalani ujian renang hingga nyaris tenggelam (karena terlalu memaksakan diri). Ia lolos ujian demi ujian, dengan jumlah peserta yang makin hari makin sedikit. Di hari pengumuman, iapun harus terduduk lemas karena ia hanya peringkat keempat, dan dinyatakan tidak berangkat ke Magelang karena kuota yang hanya tiga. Dengan segala berkas dan pakaian kotor di tangannya, iapun pulang, menangis karena impian merasakan bangku SMA-nya kandas. Tapi itulah, keajaiban mendatanginya lagi. Dua hari berselang seorang anggota Komando Rayon Militer (Koramil) datang ke rumahnya, meminta dia dan Ayahnya untuk datang ke Korem. Dengan angkutan umum, mereka berangkat untuk menerima sebuah berita baik: kuota Jambi ditambah dua orang karena ada daerah/provinsi lain yang tak sanggup memenuhi kuota mereka sehingga “jatah” itu dialihkan. Impian SMA-nya pun terwujud; sebuah sekolah unggulan, tanpa biaya pula.

Itu tak berarti ia bebas dari segala polemik. Tiga tahun ia jalani tanpa sekalipun orang tuanya datang ke kampusnya, karena ketiadaan biaya. Lagi-lagi, saat banyak rekannya berbagi waktu dengan orang tua mereka saat hari libur di kampus, ia hanyalah penonton, dan malah menghabiskan waktunya untuk belajar di kamar. Itulah awal segala kemandiriannya, hidup untuk dirinya sendiri, mengatur semua sendiri, dan “bertarung” sendiri untuk masa depannya. Iapun memutuskan sendiri untuk bergabung ke Akabri, lagi-lagi karena itu gratis. Tiga tahun di Akabri Udara Yogyakarta berlalu dengan nyaris sama dengan masa SMA-nya: sendiri. Orang tuanya baru bisa datang dari Jambi (dengan sedikit memaksakan) saat ia dilantik menjadi perwira di Istana Negara.

Ah, lamunan laki-laki itu menjadi terlalu panjang, dan perlu sebuah ketukan di pintu ruangannya untuk menyadarkannya. Seorang anak buahnya menghadap, meminta ijin untuk mengantar anaknya ke rumah sakit.

“Kamu pakai apa ke rumah sakit?”, ia bertanya pada si anak buah.

“Siap pakai motor, Komandan”, jawab si anak buah.

“Pakai mobil dinas saya, biar anakmu ngga kena angin di jalan. Lagi sakit kok kamu kenain panas sama angin”

“Siap tidak apa-apa, Komandan”

“Pakai mobil. Ini perintah!”

“Siap Komandan!”

Percakapan berakhir di situ, dan tak lama kemudian ia melihat dari jendela ruangannya mobil dinas Taruna-nya bergerak dari tempat parkir. Ia kembali teringat ketika harus ke Puskesmas saat ia terkena malaria, dengan dibonceng sepeda onthel oleh Ayahnya—satu-satunya kendaraan yang mereka punya. Rasa dingin dan lemas membuat sepeda itu beberapa kali oleng di jalan, karena ia nyaris jatuh dari kursi belakang. Kini, ia memberikan mobil dinasnya untuk membawa siapapun anggotanya (atau keluarga mereka) yang sakit, karena itulah satu-satunya mobil yang layak di satuannya. “Saya bisa pakai mobil saya sendiri”, itu yang selalu ia katakan pada anak buahnya.

Itulah antara lain yang sekarang ia pahami dari kehendak Tuhan menempatkannya di sini, tempat yang tak ia harapkan. Lahirnya rasa cinta ketika ia melihat satu persatu wajah anak buahnya, dan menempatkan mereka di hatinya sama seperti anak-anaknya sendiri. Ia prihatin dengan tempat kerja mereka, dan merombaknya sedikit demi sedikit agar lebih nyaman. Ia bahkan nyaris lupa pada ruang kerjanya sendiri, yang akhirnya ia percantik dengan rangkaian wallpaper yang ia tempel sendiri. Keterbatasan sumber daya membuat kepalanya berdenyut setiap hari, ketika harus mencari jalan keluar untuk sesuatu yang ingin ia perbaiki buat anak buahnya.

Hari ini, hampir 14 bulan ia di sini, dan sudah ada perintah baginya untuk menduduki jabatan yang baru di Jakarta. Dan di ruangan ini, ia akhirnya tersenyum ketika mengingat kembali apa yang ia katakan saat apel pagi di hadapan para prajuritnya:

Pahamilah, bahwa Tuhan merancang hidupmu dengan sempurna. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang Dia rencanakan bagimu. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kamu yakin bahwa itu memang jalan yang sudah Tuhan gariskan. Saya belajar bahwa hidup kita adalah ‘sekolah’ yang sempurna, yang memberi kita banyak pelajaran hebat. Dari pelajaran-pelajaran hidup itulah, saya bisa melepaskan diri dari rasa takut, khawatir, cemas atau apapun istilahnya. Saya berani berhadapan dengan apa dan siapa saja, karena saya tahu Tuhan ada bersama saya. Saya tahu itu, meskipun saya belum pernah melihat Tuhan. Tapi hidup saya membuktikan, ribuan kali Tuhan menunjukkan kehebatanNya melepaskan saya dari apapun yang saya anggap sudah tidak mungkin. Hargai hidupmu, karena itulah ‘sekolah’ terbaikmu.”

==============================

Kepada Yth:

Tuhanku, yang untuk melukiskan kebaikanNya aku belum menemukan kata-kata yang tepat.

Tembusan:

1. Ayah dan Ibuku, yang melalui mereka aku bisa merasakan Tuhan itu ada.

2. Mbah Sadi dan Mbah Trinem di surga, kuingin kalian tahu bahwa aku begitu merindukan kalian.

3. Istri dan anak-anakku, yang begitu membuatku selalu ingin pulang ke rumah.

4. Para prajuritku, yang telah memberikan pundaknya sebagai tempatku berdiri semakin tinggi dari hari ke hari.

KETIKA PETI MATIKU MAKIN DEKAT…

Image

Kemarin malam dalam perbincangan telepon dengan putri kecilku, ia bertanya, “Papa besok ulang tahun ya?”  Aku hanya tertawa—semata-mata karena suara dan nadanya yang selalu terdengar lucu dan membuat kangen.  Akupun tak berniat membicarakan soal itu lebih jauh, karena lebih menyenangkan bagiku untuk mendengar cerita-ceritanya tentang pelajaran sekolahnya, teman sekelasnya, gurunya, komentar dia tentang abangnya, atau celotehnya tentang dua ekor kelinci yang kami pelihara di rumah.

Banyak hal yang membuatku tak menaruh perhatian apapun pada tanggal kelahiranku (sesuai KTP-ku).  Tanggal yang dalam bahasa kerennya disebut “ulang tahun” itu tak berbeda dengan 30 angka lainnya dalam satu bulan.  Hari itupun bagiku tak berbeda dengan 364 hari lainnya dalam setahun. Barangkali karena seingatku, tak pernah aku merayakan itu (karena kondisi ekonomi orang tua yang tak memungkinkan).  Itulah yang akhirnya membuatku abai dari tahun ke tahun. Semuanya biasa saja.

Tapi itu bukan sebab utama. Aku layak bersyukur pada Tuhan karena seiring waktu, Dia mengijinkanku melihat dan merenungkan banyak hal.  Meski banyak hal pula yang masih belum dapat kupahami setelah 39 tahun mengenyam hidup, setidaknya ada beberapa hal yang dapat mencerahkan, mengingatkan, dan menyadarkanku.  Satu yang paling menarik bagiku adalah “Berapa lamakah aku akan berada di dunia?”  Interpretasi lain untuk pertanyaan ini adalah “Berapa jatah usia yang Tuhan berikan untukku?”

Aku pernah mendengar sebuah dongeng bijak dari budaya China tentang bagaimana Tuhan memberi jatah umur pada kuda, kerbau, monyet, dan manusia.  Tapi bukan karena dongeng itu aku berpikir dan bertanya seperti tadi.  Dalam keterbatasanku sebagai manusia biasa, aku melihat konsep ini logis. Ada saat di mana kita akan mengakhiri perjalanan fana ini untuk beralih ke dunia yang jauh lebih kekal, dan agama atau keyakinan apapun percaya bahwa Tuhan telah mengetahui kapan itu akan terjadi pada tiap-tiap orang.  Kita hanya bisa menyebutnya “Rahasia Ilahi”.

Kemanusiaanku jelas tak akan pernah menjangkau keilahian Tuhan. Karena itu, aku cuma bisa mengajukan pertanyaan yang telah kusebutkan sebelumnya. Aku tahu, bila kuserukan pertanyaan itu pada Tuhan, Dia mungkin akan tertawa terbahak-bahak (meski Tuhan tak akan balas bertanya “Mau tau aja atau mau tau banget? Kepo banget sih elo”).  Tuhan adalah Maha Bijaksana, yang akan menjawab setiap tanya kita dengan caraNya sendiri yang luar biasa.  Pun demikian, kadang aku merasa tak cukup layak mempertanyakan itu padaNya, sehingga kutanyakan saja pada diriku sendiri meski tak pernah berjawab.

Di titik ini, aku serasa berada di antara “Venus” dan “Mars” dalam simbolisasi dua piramida terbalik ala ahli simbologi Robert Langdon dalam “The Da Vinci Code” karangan Dan Brown.  Bukan soal “wanita vs pria”-nya, melainkan soal kedua paramida yang saling berlawanan namun menyatu itu. Satu paramidaku adalah ungkapan syukur bahwa sejauh ini Tuhan telah memimpinku dalam hidup, hingga aku sehat walafiat jasmani dan rohani. Syukur karena aku berlimpah karunia dalam berbagai wujudnya: istri yang setia, anak-anak yang manis, karier, dan jutaan anugerah lainnya.  Syukur karena Dia tak membiarkanku jatuh di tengah hantaman dunia dan serangan mereka yang memusuhiku.

Paramidaku yang lain adalah rasa khawatir akan kematian. Saat Sang Pencipta itu telah menggariskan sekian tahun waktu bagiku untuk merasakan kehidupan dunia, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun yang berlalu telah menggerusnya. Layaknya jam pasir, sebagian dari pasir itu telah berada di ceruk bawah (aku tak tahu apakah itu sebagian kecil atau sebagian besar).  Kelak seluruh pasir itu akan berada di bawah, waktu habis.  Marjin sisa usiaku makin kecil, aku makin dekat ke penghujung.  Meski aku menyadari bahwa hidup di dunia adalah perjalanan menuju ke kehidupan yang kekal, tetap gelap bagiku kapan kehidupan yang abadi itu akan kumulai.

Umurku bertambah, pemahamanku akan kehidupan dunia juga bertambah, pun juga kekuatanku untuk menghadapi ribuan kepalsuan dunia. Namun, peti matiku makin dekat. Aku tak tahu kapan aku akan dibaringkan ke dalamnya, dan ragaku diantar untuk menyatu dengan bumi tempatku berpijak selama aku bernyawa.  Entah sudah dibuat atau belum, aku tahu peti mati untukku ada atau akan ada di suatu tempat di muka bumi ini.  Itu kepastian untukku, juga untuk manusia lainnya. Setelah 39 tahun, tak tahu berapa lama lagi akan kutempuh perjalanan ini untuk akhirnya terbaring di dalamnya.

Aku tak bermaksud menghibur diri, tapi sah-sah saja aku menguatkan hati. Kapanpun aku akan masuk ke peti mati itu, dan di manapun itu akan terjadi, aku ingin berbaring di dalamnya dalam kedamaian.  Aku ingin rebah di situ dengan tersenyum.  Tersenyum karena aku mengawali kehidupan kekalku sebagai sebuah pribadi yang telah memenangkan pertempuran di dunia semu melawan musuh terberatku: diriku sendiri.

Tuhanku Yang Maha Baik, ijinkan semua itu terjadi atasku, seperti halnya Engkau ijinkan aku berlayar di tengah samudera karuniaMu yang tak bertepi dalam kehidupan duniaku…hingga detik ini.

[Bandung, 13 Februari 2014]