Meskipun hidup kami penuh keterbatasan, nilai rapor saya lumayan bagus. Saya selalu masuk tiga besar di kelas saya. Namun biaya hidup di kota (termasuk sekolah saya dan adik-adik) sepertinya terlalu berat untuk Ayah dan Ibu, sehingga akhirnya keluarga kami pindah ke kebun yang diolah Ayah di Kabupaten Batang Hari. Rumah kami sebenarnya adalah gubuk yang selama ini dipakai Ayah untuk menjaga kebun, dan tempat bermalam Ayah bila tidak pulang ke Kota Jambi. Atapnya jerami, dindingnya papan, lantainya tanah (Ayah memanfaatkan kayu dari hutan di sekitar gubuk untuk tiang rumah kami). “Rumah” itu hanya terdiri dari 3 ruangan: ruang utama untuk kami makan, belajar, menerima tamu; ruang tidur yang berisi satu dipan panjang untuk kami berlima; dan dapur merangkap gudang untuk menyimpan pupuk serta alat-alat pertanian Ayah. Ibu memasak menggunakan kayu bakar (alias pawon). Tidak ada kamar mandi atau toilet; kami mandi di sumur sekitar 50 meter dari rumah, BAB di tengah kebun (yang penting ngga kelihatan orang lain hehehe…), BAK ya di sekitar rumah saja.

Kami bertiga meneruskan bersekolah di SD Negeri 70/I Kabupaten Batang Hari, jaraknya antara 3-4 kilometer dari rumah. Setiap hari kami jalan kaki ke dan dari sekolah, melewati hutan karet dan kebun-kebun milik warga sekitar. Kera/monyet yang bergelantungan di pohon atau kadang-kadang bermain-main di pinggir jalan, atau babi hutan yang melintas adalah pemandangan biasa buat kami bertiga. Teman-teman sekolah kami rata-rata juga anak-anak petani. Tampilan kami tergolong paling rapi dibandingkan teman-teman yang lain: seragam yang bersih, pakai sepatu dan kaos kaki (maklum, siswa pindahan dari kota hehehe…). Teman-teman kami banyak yang bersekolah tanpa alas kaki, dengan seragam sekolah yang sudah kusam.
Saya lulus SD tahun 1987, dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi di Kabupaten Batang Hari. Waktu itu belum ada sistem zonasi, sehingga saya bisa mendaftar SMP di wilayah Kota Jambi. Saat mendaftar di SMP Negeri 18 Kota Jambi, saya diterima dengan NEM tertinggi di antara para pendaftar. Di SMP ini latar belakang sosial para siswanya beragam: ada anak pegawai negeri atau swasta, anak petani atau pedagang, anak dokter dan sebagainya. Domisili mereka pun ada yang di wilayah Kota Jambi, ada juga yang di Kabupaten Batang Hari seperti saya. Saya punya banyak teman baik di sini, ditambah guru-guru yang baik dan sayang pada saya.
Hari Kamis 14 Januari 1988, keluarga kami terkena musibah. Rumah kami yang terbuat dari “bahan bakar” seperti jerami, papan dan kayu itu terbakar habis. Yang tersisa hanya baju yang kami pakai (kalau saya ya seragam sekolah saat itu) plus pakaian yang ada di jemuran. Kami memang tidak punya harta apa-apa, tapi kehilangan satu-satunya tempat berteduh yang di dalamnya ada dokumen-dokumen seperti akta lahir dan ijazah SD saya benar-benar membuat kami terpukul. Ayah tampak tenang saat itu, meskipun saya tahu beban pikirannya pasti berat sekali, sementara Ibu menangis histeris dan harus kami tenangkan. Saya merasa Tuhan sedang menguji kami lebih berat lagi, setelah kehidupan kami sehari-hari yang sebenarnya juga sudah berat. [Kelak pada waktunya, kami paham kenapa Tuhan membawa kami melalui semua ini…]
Kami menumpang di rumah Ketua RT selama sekitar satu bulan (kebetulan di sebelah rumahnya ada rumah kecil kosong). Setelahnya, Ayah meminjam sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah tak jauh dari rumah Ketua RT. Rumah itu juga tak jauh dari lahan yang baru dibuka Ayah bersama beberapa temannya (yang kelak menjadi tanah tempat tinggal Ayah sampai hari ini). Kami tinggal beberapa bulan di rumah itu sampai suatu hari si empunya tanah meminta kami meninggalkan rumah itu, dengan alasan adiknya akan menempati rumah itu sekaligus menjaga tanahnya. Karena Ayah belum punya cukup uang untuk membangun rumah permanen, Ayah memutuskan memanfaatkan dangau (gubuk untuk menjaga/mengawasi lahan pertanian Ayah) menjadi “rumah”. Dangau itu beratap jerami, dan Ayah menambah seng bekas sebagai dinding penutupnya. Itulah “rumah” kami selama lebih kurang tiga tahun ke depan, yang tidak jauh berbeda dengan rumah kami sebelumnya yang terbakar.

Dengan kondisi ekonomi keluarga yang terbatas, saya tidak punya gambaran apakah bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA (meskipun saya selalu meraih ranking satu selama di SMP hehehe…). Masih ada dua adik saya yang juga bersekolah (SMP dan SD), dan penghasilan Ayah dari bertanam semangka atau cabe di kebunnya sangat terbatas untuk membiayai tiga anak. Secara pribadi, saya sudah siap untuk tidak melanjutkan sekolah, dan membantu Ayah Ibu bertani atau mencari pekerjaan lainnya. Sampai suatu hari setelah selesai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) SMP, saya dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah. Jaman itu, dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah adalah sesuatu yang luar biasa, dan membuat setiap siswa deg-degan. Di ruangannya, beliau menunjukkan kepada saya brosur sebuah SMA baru bernama “SMA Taruna Nusantara”.
Beliau bertanya “Jon, kamu mau ngga sekolah di sini? Gratis, malah dapat uang saku. Tapi ada tesnya.” Saya yang masih serius membaca brosur itu bertanya balik “Ini sekolah tentara ya Pak?” yang kemudian dijawab beliau “Bukan, sekolah SMA swasta biasa, tapi yang mendirikan ABRI.” Saya lalu minta waktu untuk memberitahukan orang tua saya di rumah. Kepala Sekolah saya mengatakan bahwa kalau memang berminat, besok beliau sendiri yang akan mengantar saya mengikuti seleksi. Saat pulang ke rumah, saya ceritakan kepada Ibu, dan Ibu meminta saya mengikuti seleksinya. Saya segera menyiapkan semua dokumen seleksinya, dan esok harinya menghadap Kepala Sekolah lagi.
Kepala Sekolah saya, Bapak Subowo, mengantarkan saya menuju Korem 042/Garuda Putih dengan motor Vespa-nya. Tempat itu tidak asing bagi saya, karena terletak hanya beberapa puluh meter di seberang SD Adhyaksa I, tempat saya bersekolah pertama kali setelah pindah ke Jambi. Meskipun demikian, ada sedikit rasa takut ketika memasuki markas militer seperti itu. Saya masih ingat, nomor pendaftaran saya 001, artinya saya adalah pendaftar pertama hehehe… Itu karena kehebatan Pak Subowo, yang dengan Vespa-nya pagi-pagi sekali mengantar saya langsung ke Makorem 042. Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan beliau ini…
Seleksi masuk SMA TN adalah pertunjukan lainnya akan kehebatan Tuhan dalam hidup saya. Selama proses yang melelahkan untuk seorang anak ingusan yang baru akan lulus SMP seperti saya, Tuhan menunjukkan penyertaanNya dengan menghadirkan orang-orang baik yang mengajari, membimbing, dan mendukung saya. Orang-orang itu bahkan baru saya kenal saat seleksi sudah berjalan. Saya seperti “anak dari tengah hutan” yang merasa inferior ketika harus berhadapan dengan ratusan peserta seleksi dari berbagai SMP se-Provinsi Jambi, termasuk beberapa SMP favorit (kabarnya jumlah pendaftar mencapai 350-an orang saat itu). Namun karena orang-orang baik yang Tuhan hadirkan itu, “anak dari tengah hutan” ini bisa mendapatkan kepercayaan dirinya hingga akhir seleksi.
Singkat cerita, dari 350-an peserta yang diseleksi dengan sistem gugur, saya masuk empat besar. Nah, kuota Provinsi Jambi saat itu hanya tiga orang, jadi saya dinyatakan tidak lolos ke Magelang. Saya tentu saja kecewa, dan sudah membayangkan hari-hari saya bekerja di kebun, atau di bengkel orang, atau di tempat lainnya setelah lulus SMP. Namun sehari setelah pengumunan tingkat provinsi, seorang anggota Koramil Jambi Luar Kota datang ke rumah dan meminta saya (didampingi orang tua) untuk datang ke Makorem 042/Garuda Putih. Dalam kekecewaan saya setelah pengumunan sehari sebelumnya, saya datang ke Makorem didampingi Ayah. Di sana, seorang Perwira Korem menyampaikan bahwa karena ada beberapa provinsi lain (khususnya di Jawa) yang tidak dapat memenuhi kuota mereka (provinsi-provinsi di Jawa, karena kualitas pendidikan yang lebih baik dari pulau-pulau lainnya, mendapatkan kuota yang besar: ada yang 15 orang, 25 orang, dsb), maka sisa kuota tersebut dialihkan ke provinsi lainnya. Jambi mendapatkan jatah dua siswa lagi, yang berarti saya dan urutan lima akan ikut seleksi pusat di Magelang…
Tuhan itu memang luar biasa dan tidak terbatas. Ketika orang tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah saya, Tuhan tidak menjawabnya dengan uang, namun memberikan sekolah gratis. Ketika saya tidak masuk ke alokasi awal kuota Provinsi Jambi, Tuhan memberikan tambahan kuota yang memungkinkan saya dapat melanjutkan ke seleksi pusat di Magelang, Jawa Tengah, dengan caraNya sendiri yang ajaib. Saya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, di sebuah SMA yang tidak hanya gratis, namun juga merupakan SMA dengan fasilitas dan guru-guru terbaik di Indonesia pada saat itu…
[Untuk Pak drg. Sitepu (alm.), Pak Liyat Ginting, Pak Subowo, Pak Prayogo (alm.) dan semua guru SMP saya, terima kasih sudah mendukung dan membimbing saya, yang hanya anak seorang petani, tinggal di tengah hutan, hingga bisa sampai pada titik ini. Kalian adalah malaikat-malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untuk mengangkat hidup saya. Dalam doa-doa saya selalu ada nama kalian, orang-orang baik yang telah menjadi bagian dari cerita hidup saya. Sekali lagi, terima kasih…]
(BERSAMBUNG KE PART III…)