MEMBANGUN DI ATAS KOMPETENSI MORAL

Foto dari islamindonesia.id

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri.  Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah melakukan perlawanan di berbagai daerah.  Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan” Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.

Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat” atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.  Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.  Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis untuk menjadi sebuah negara merdeka?  Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan?  Punya sumber daya untuk membiayai pembangunan?  Punya angkatan perang yang cukup kuat untuk melindungi negara?  Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.

Lantas kecakapan atau kompetensi apa yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka?  KOMPETENSI MORAL.  Kecakapan moral itulah yang membuat para tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka.  Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang, karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib Indonesia.  Mereka juga berpotensi dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan Jepang pasca menyerahnya Jepang.  Namun, kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.

JANGAN PERNAH LUPA PADA SEJARAH

Itu 75 tahun yang lalu.  Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”.  Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan dalam tata kelola bermasyarakat.  Adalah sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.

Kembali pada sejarah, setelah merdeka bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya.  Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an, hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI.  Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998, yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat ini.

Berbagai pencapaian telah diraih.  Pembangunan infrastruktur berjalan masif, Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”.  Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun).  Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi.  Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”

History is the foundation of a nation.  Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa.  Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.  Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng.  Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata para pendahulu kita.

KOMPETENSI MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA

Para pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama kita kompeten secara moral.  Apa yang dimaksud “kompeten secara moral” itu?  Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama, mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.

Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah proklamasi.  Kompetensi moral itu pulalah yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia yang masih berusia dini.  Juga pada diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia.  Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.  Diri dan keluarga merekapun berada di prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.

Tujuan pembangunan negara adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).  Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Cita-cita nasional hanya dapat diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.  Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.  Benchmark dari karakter bangsa ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita bernegara.  Artinya, kita perlu kembali lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami bagaimana kita harus melangkah ke depan.  Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia tahun 2003.

SEBERAPA KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?

Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai lembaga penegakan hukum sudah dibentuk.  Tidak sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat.  Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.

Kita bangga dengan pencapaian pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan nasional kita yang sudah maju.  Sebelum pandemi Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi di Pulau Jawa, yang nota bene satu pulau dengan Ibukota negara).  Saat pandemi, terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan sinyal dan akses internet yang stabil.  Masih banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.

Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.  Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir dan sikap moralnya.  Tidak mengherankan, karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka.  Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.

Pencapaian kita memang banyak di 75 tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, itu persoalan lain.  Menjawab pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta kepuasan diri sendiri.

Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini dibangun di atas kompetensi moral.

Selamat memaknai 75 tahun perjalanan, negeriku!

Dirgahayu, tanah airku!

MESKI AKU TAK INGIN…

ImageBanyak hal yang tak kuingini dalam hidup, salah satunya adalah mengemban apa yang (akhirnya) menjadi kewajibanku lebih dari setahun ini. Ketika pada 12 April 2013 aku harus menerima tugas, wewenang, dan tanggung jawabku memimpin satuanku sekarang, aku hanya melakukannya semata-mata karena aku seorang prajurit yang terikat sumpah untuk “Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan”. Sekarang, setahun lebih telah berlalu, dan aku belajar bahwa ada banyak hal yang tak mampu kupahami dari apa yang menjadi kehendak Tuhan atas hidupku.

Meski aku tak ingin, tugas dan kewajiban ini tetap harus aku emban. Standarku selalu tinggi dalam menjalankan tugas, dan sekali lagi, meski tak kuingini, tugas itu harus aku laksanakan dengan standar yang sama tinggi dengan sebelumnya. Akhirnya aku menemukan banyak hal yang ternyata “asyik”, meski stagnansi tugas ini tetap saja membuatku gampang jenuh, dan tetap berkeinginan untuk tidak berlama-lama ada di sini.

Image Aku bangga pada para prajuritku, yang ternyata memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada yang selama ini diperkirakan orang-orang. Aku teringat sebuah adagium Jenderal George Patton dari Angkatan Darat Amerika Serikat, yang mengatakan “Jangan katakan pada anak buahmu BAGAIMANA mereka harus melakukan sesuatu. Katakan saja APA yang kamu ingin untuk mereka capai, dan mereka akan mengejutkanmu dengan kecerdasan mereka”. Damn, it works…!! Akhirnya kudapati bahwa yang mereka tidak punya selama ini bukan potensi, melainkan ruang untuk berkembangnya potensi itu.

Meski aku tak ingin di sini, standarku dalam bekerja telah membawa mereka melangkah dengan kecepatan yang lebih tinggi dari yang biasa mereka jalani sebelumnya. Mereka sudah tahu bagaimana menjadi pemenang; mereka sudah bisa berjalan dengan kepala tegak; dan mereka bisa dengan bangga mengumandangkan nama satuan mereka di depan orang lain. Itu karena sebuah hal sederhana yang kuberikan pada mereka: ruang untuk mengembangkan potensi.

Kini, satu tahun sembilan hari semuanya telah berjalan, dan kemanusiaanku berharap agar tak lama lagi aku berada di sini. Aku sudah bersyukur, bahwa aku diterima. Aku bersyukur, bahwa tak sedikitpun mereka sakit hati saat aku marah. Dan aku bersyukur, bahwa pendewasaan yang kuberikan tidak mereka salah gunakan. Intinya, aku belajar bahwa ukuran segala sesuatu adalah niat: marah bila dengan niat yang baik untuk membangun, imbal baliknya akan baik; diam bila diniatkan untuk menjatuhkan, hasilnya akan buruk. Seberapapun sadarnya aku bahwa menjadi pemimpin itu tidak enak dan tidak mudah, kusyukuri bahwa tangan Tuhan telah membimbingku dengan luar biasa.

Meski aku tak ingin, keberadaanku di sini tetap kusyukuri, karena bagiku ini adalah berkat besar dari Tuhan yang dikemas dengan cara berbeda dari yang kuharapkan. Aku bisa membanggakan para prajuritku, yang mulai mengerti makna “berpikir dan bertindak berbeda” (think and act outside the box). Aku bangga dan bersyukur bahwa mereka memahami itu karena mereka melakukannya sendiri dan melihat hasilnya dengan mata kepala mereka.

Aku percaya, bahwa semua berasal dari Sang Pencipta Hidup; aku hanya perlu menerima dan mengikutinya. Dengan menerima dan mengikuti itulah aku belajar, aku menemukan, dan aku bisa menyingkap satu demi satu rahasia Ilahi dalam hidupku. Itu semata-mata karena Dia tahu apa yang terbaik untukku, dan hanya yang terbaiklah yang Dia berikan padaku.   Mengandalkan Dia tak pernah salah dan tak pernah mengecewakan, meski aku hidup tanpa mendengarkan atau menyaksikan satupun acara pembangkitan motivasi. Aku hanya perlu serangkaian nasehat baik, yang telah disediakan oleh Kitab Suci dan tak akan habis hingga akhir jaman.

Meski aku tak ingin di sini, aku telah mendapatkan banyak hal yang tak ternilai dengan apapun…

Image

ANGIN, AIR, DAN PEMIMPIN

Saya pernah menulis tentang “Bagaimana Pesawat Bisa Terbang”, dan dari sana dapat dilihat bahwa pesawat justru dapat terbang dengan baik serta aman karena ia melawan arah angin (relative wind).  “Menerjang” udara yang bergerak memberikan keuntungan bagi struktur airfoil berupa dihasilkannya gaya-gaya aerodinamis, salah satunya gaya angkat (lift) yang membuat pesawat meninggalkan daratan dan terbang makin tinggi. Di sisi lain, pesawat juga dibekali sistem propulsi berupa mesin (engine) yang dapat mendorong pesawat bergerak ke depan atau maju.

Bagi saya, konsep terbang ini adalah sebuah filosofi bagus namun sedikit berbeda dari pemahaman umum dalam kehidupan kita sehari-hari.  “Melawan arah angin” adalah suatu hal yang takut dilakukan oleh orang-orang, dan mereka lebih memilih untuk “pergi ke mana angin berhembus”.  “Menentang arus” banyak dihindari oleh sebagian besar dari kita, dan kita lebih memilih untuk “ikut ke mana air mengalir”. Wajar, karena “melawan arah angin” dan “menentang arus” berpeluang menghadapkan kita pada resiko tidak aman, kehilangan zona nyaman, terlihat “berbeda”, dan terbuang.  Paradigma inilah yang membentuk orang-orang malas, miskin inovasi, minim kreatifitas, dan menciptakan komunitas yang stagnan serta status quo.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak paham, bahwa setiap jaman memiliki tuntutan dan tantangannya sendiri.  Sebagian dari kita beranggapan bahwa situasi saat ini sama saja seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu.  Lalu kita menilai dan mencoba mengantisipasi tantangan lima atau sepuluh tahun ke depan dengan menggunakan parameter saat ini.  Sikap tidak adaptif seperti inilah yang dihasilkan dari paradigma “ke mana angin berhembus” dan “ke mana air mengalir” itu tadi. Pada pesawat, melaju di landasan searah dengan arah angin justru akan membuatnya sulit menghasilkan gaya angkat.  Di sungai, ikan yang pasrah kepada aliran air justru akan membuatnya menabrak bebatuan.

Pesawat juga tidak “mentah-mentah” menentang arah angin. Ia dilengkapi dengan sistem propulsi yang dapat mendorongnya ke depan dan “mengalahkan” beban dari berat pesawat itu sendiri, bahkan dengan kecepatan yang tinggi.  Begitu juga dengan ikan. Ia dibekali dengan sirip-sirip yang memampukannya bernavigasi serta mengendalikan arah lajunya agar tidak menabrak batu atau ikan lainnya. Artinya, melawan arus atau arah angin selalu bisa dilakukan dengan “bekal” yang cukup, pertimbangan yang matang, kalkulasi yang tepat, serta komitmen yang kuat.

Saya mencoba mengadopsi filosofi ini ke dalam aspek kepemimpinan. Banyak pemimpin yang tidak adaptif terhadap perkembangan jaman, dan tidak peka membaca perubahan-perubahan.  Dalam setiap pergantian pimpinan atau regenerasi, sering muncul anggapan bahwa segala sesuatunya “begitu-begitu saja”, sehingga pola-pola lama masih bisa digunakan.  Dulu, bawahan mungkin “manut-manut” saja alias menuruti apa yang digariskan oleh pemimpinnya, sekalipun mereka tahu itu salah.  Kondisi itu sangat memungkinkan terjadi, salah satunya karena perkembangan teknologi informasi belum sepesat sekarang.  Bawahan memiliki akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan informasi serta kebenaran, karena belum ada handphone, internet, dan sebagainya.  Sekarang, siapapun bisa tahu dengan cepat dan mudah mana yang salah serta mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Informasi yang komprehensif dan nyaris utuh dapat dengan mudah diperoleh hanya dengan menekan tombol-tombol telepon genggam atau komputer.

Paradigma lama yang digunakan sebagai pendekatan pemimpin untuk menghadapi situasi di era sekarang jelas banyak menimbulkan kontra-produktif. Saat bawahan tidak punya ruang untuk mempertanyakan atau memperdebatkan sebuah kebijakan (karena kultur organisasi yang ketat, hirarki yang kuat, dan sebagainya), maka mereka akan dengan mudah mencari “ruang” lain.  Ruang itu justru jauh lebih luas, lebih terbuka, dan memungkinkan siapa saja dan di mana saja untuk melihat apa yang terjadi.  Hasilnya adalah citra si pemimpin yang tercoreng, kredibilitas organisasi yang tercemar, serta hilangnya kehormatan si pemimpin.  Inilah yang dihasilkan dari dipeliharanya paradigma “ikut arah angin” atau “ikut arus” tadi.  Ya, angin atau arus kebijakan umum yang dihembuskan oleh para atasan si pemimpin, atau oleh mereka yang berada di lingkar dalam (inner circle) yang berusaha melanggengkan zona nyamannya.

Itulah sebabnya, saya tidak heran dengan “fenomena Jokowi” yang menjadi tren kepemimpinan era sekarang.  Dalam bahasa yang lebih mudah dapat kita katakan “Sekarang memang jamannya pemimpin harus seperti itu”.  Meski bukan warga Jakarta, saya paham bahwa Jokowi-Ahok pasti berhadapan dengan angin yang sangat kencang menerpanya, serta arus deras yang menghantamnya.  Tapi karena duet ini memiliki “sistem propulsi” berupa tingkat kepercayaan yang besar serta rekam jejak yang baik di masa lalu, mereka menjadi orang-orang yang berani untuk “melawan arah angin” atau “menentang arus”.  Mereka pasti melihat bagaimana pemimpin-pemimpin Jakarta masa lalu, kemudian bagaimana pemimpin-pemimpin nasional saat ini.  Duduk di belakang meja, menerima laporan-laporan dari staf, menerima tamu-tamu, dan hari-hari yang penuh acara seremonial.  Staf mereka pasti ada yang memberi masukan “Sudah Pak, Bapak tenang aja di kantor.  Nanti saya bereskan dan laporkan ke Bapak.”   Seperti itulah “angin” atau “arus”-nya.  Itulah paradigmanya.

Paradigma kepemimpinan seperti itulah yang membuat Jakarta seperti yang kita kesankan selama ini: macet, semrawut, dan kumuh.  Karena leadership Jokowi-Ahok yang melawan arah angin atau arus, permasalahan riil di bawah bisa cepat dipetakan, dan solusi kongkret bisa diwujudkan.  Setidaknya, itulah yang dapat kita lihat sekarang di Pasar Tanah Abang, Waduk Pluit, Kompleks Senayan, dan akan menyusul kawasan-kawasan “kacau” lainnya.  Belum lagi bagaimana attitude masyarakat Jakarta sekarang terhadap birokrasi dan aparat Pemda: Satpol PP yang tidak lagi dimusuhi, kantor-kantor camat atau lurah yang tidak lagi dipandang sinis, dan sebagainya.  Belum genap satu tahun, Jakarta telah sedikit demi sedikit menjadi “lebih manusiawi”—suatu hal yang berpuluh-puluh tahun dan gonta ganti gubernur tidak mampu diwujudkan.

Fenomena Jokowi-Ahok hanya sebuah contoh, bahwa menjadi berbeda tidaklah buruk. Era sekarang memang menuntut banyak hal harus diselesaikan dengan cara berbeda, cara yang tidak lazim atau outside the box.  Kalau pendekatannya “begitu-begitu saja”, ya hasilnya akan “begitu-begitu saja” alias tidak ada perubahan.  Fenomena ini adalah sebuah contoh dan model bagus untuk semua ranah kepemimpinan, di institusi apapun serta di level manapun (konsepnya sama, hanya mungkin prakteknya yang berbeda sesuai aturan atau kultur setempat).  Seperti halnya pesawat, ia justru terangkat ketika menerjang angin, dan ikan justru selamat ketika ia sesekali melawan arus dengan sirip kemudinya.  (Teringat cerita seorang teman, bahwa ikan salmon bahkan sanggup berenang dari laut ke hulu sungai dengan terus melawan arus, mendaki jeram, dan melewati jebakan beruang demi sampai ke sumber mata air yang jernih.)

Hanya ikan mati saja yang selalu mengikuti arus…