SETENGAH ABAD (PART II)

Meskipun hidup kami penuh keterbatasan, nilai rapor saya lumayan bagus.  Saya selalu masuk tiga besar di kelas saya.  Namun biaya hidup di kota (termasuk sekolah saya dan adik-adik) sepertinya terlalu berat untuk Ayah dan Ibu, sehingga akhirnya keluarga kami pindah ke kebun yang diolah Ayah di Kabupaten Batang Hari.  Rumah kami sebenarnya adalah gubuk yang selama ini dipakai Ayah untuk menjaga kebun, dan tempat bermalam Ayah bila tidak pulang ke Kota Jambi.  Atapnya jerami, dindingnya papan, lantainya tanah (Ayah memanfaatkan kayu dari hutan di sekitar gubuk untuk tiang rumah kami).  “Rumah” itu hanya terdiri dari 3 ruangan: ruang utama untuk kami makan, belajar, menerima tamu; ruang tidur yang berisi satu dipan panjang untuk kami berlima; dan dapur merangkap gudang untuk menyimpan pupuk serta alat-alat pertanian Ayah.  Ibu memasak menggunakan kayu bakar (alias pawon).  Tidak ada kamar mandi atau toilet; kami mandi di sumur sekitar 50 meter dari rumah, BAB di tengah kebun (yang penting ngga kelihatan orang lain hehehe…), BAK ya di sekitar rumah saja.

Sekolah Dasar tempat saya belajar tahun 1985 s.d. 1987. Waktu itu namanya SDN 70/I Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari. Sekarang, seiring dengan pemekaran wilayah dan penambahan kabupaten di Provinsi Jambi, namanya menjadi SDN 23/IX Desa Pondok Meja Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi. Foto diambil tanggal 28 Desember 2024. [Foto koleksi pribadi]

Kami bertiga meneruskan bersekolah di SD Negeri 70/I Kabupaten Batang Hari, jaraknya antara 3-4 kilometer dari rumah.  Setiap hari kami jalan kaki ke dan dari sekolah, melewati hutan karet dan kebun-kebun milik warga sekitar.   Kera/monyet yang bergelantungan di pohon atau kadang-kadang bermain-main di pinggir jalan, atau babi hutan yang melintas adalah pemandangan biasa buat kami bertiga.  Teman-teman sekolah kami rata-rata juga anak-anak petani.  Tampilan kami tergolong paling rapi dibandingkan teman-teman yang lain: seragam yang bersih, pakai sepatu dan kaos kaki (maklum, siswa pindahan dari kota hehehe…).  Teman-teman kami banyak yang bersekolah tanpa alas kaki, dengan seragam sekolah yang sudah kusam.

Saya lulus SD tahun 1987, dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi di Kabupaten Batang Hari.  Waktu itu belum ada sistem zonasi, sehingga saya bisa mendaftar SMP di wilayah Kota Jambi.  Saat mendaftar di SMP Negeri 18 Kota Jambi, saya diterima dengan NEM tertinggi di antara para pendaftar.  Di SMP ini latar belakang sosial para siswanya beragam: ada anak pegawai negeri atau swasta, anak petani atau pedagang, anak dokter dan sebagainya.  Domisili mereka pun ada yang di wilayah Kota Jambi, ada juga yang di Kabupaten Batang Hari seperti saya. Saya punya banyak teman baik di sini, ditambah guru-guru yang baik dan sayang pada saya.

Hari Kamis 14 Januari 1988, keluarga kami terkena musibah.  Rumah kami yang terbuat dari “bahan bakar” seperti jerami, papan dan kayu itu terbakar habis.  Yang tersisa hanya baju yang kami pakai (kalau saya ya seragam sekolah saat itu) plus pakaian yang ada di jemuran.  Kami memang tidak punya harta apa-apa, tapi kehilangan satu-satunya tempat berteduh yang di dalamnya ada dokumen-dokumen seperti akta lahir dan ijazah SD saya benar-benar membuat kami terpukul.  Ayah tampak tenang saat itu, meskipun saya tahu beban pikirannya pasti berat sekali, sementara Ibu menangis histeris dan harus kami tenangkan.  Saya merasa Tuhan sedang menguji kami lebih berat lagi, setelah kehidupan kami sehari-hari yang sebenarnya juga sudah berat.  [Kelak pada waktunya, kami paham kenapa Tuhan membawa kami melalui semua ini…]

Kami menumpang di rumah Ketua RT selama sekitar satu bulan (kebetulan di sebelah rumahnya ada rumah kecil kosong).  Setelahnya, Ayah meminjam sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah tak jauh dari rumah Ketua RT.  Rumah itu juga tak jauh dari lahan yang baru dibuka Ayah bersama beberapa temannya (yang kelak menjadi tanah tempat tinggal Ayah sampai hari ini).  Kami tinggal beberapa bulan di rumah itu sampai suatu hari si empunya tanah meminta kami meninggalkan rumah itu, dengan alasan adiknya akan menempati rumah itu sekaligus menjaga tanahnya.  Karena Ayah belum punya cukup uang untuk membangun rumah permanen, Ayah memutuskan memanfaatkan dangau (gubuk untuk menjaga/mengawasi lahan pertanian Ayah) menjadi “rumah”.  Dangau itu beratap jerami, dan Ayah menambah seng bekas sebagai dinding penutupnya.  Itulah “rumah” kami selama lebih kurang tiga tahun ke depan, yang tidak jauh berbeda dengan rumah kami sebelumnya yang terbakar.

Ini lokasi rumah kami yang terbakar tahun 1988 (foto diambil 28 Desember 2024). Beberapa rumah di latar belakang foto ini dulunya adalah kebun yang dikelola Ayah saat memulai hidup di Jambi. Ayah pernah berkebun pisang, cabe dan semangka selama mengolah tanah ini, yang menjadi sumber penghidupan keluarga kami. [Foto koleksi pribadi]

Dengan kondisi ekonomi keluarga yang terbatas, saya tidak punya gambaran apakah bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA (meskipun saya selalu meraih ranking satu selama di SMP hehehe…).  Masih ada dua adik saya yang juga bersekolah (SMP dan SD), dan penghasilan Ayah dari bertanam semangka atau cabe di kebunnya sangat terbatas untuk membiayai tiga anak.  Secara pribadi, saya sudah siap untuk tidak melanjutkan sekolah, dan membantu Ayah Ibu bertani atau mencari pekerjaan lainnya.  Sampai suatu hari setelah selesai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) SMP, saya dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah.  Jaman itu, dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah adalah sesuatu yang luar biasa, dan membuat setiap siswa deg-degan.  Di ruangannya, beliau menunjukkan kepada saya brosur sebuah SMA baru bernama “SMA Taruna Nusantara”.

Beliau bertanya “Jon, kamu mau ngga sekolah di sini? Gratis, malah dapat uang saku.  Tapi ada tesnya.”  Saya yang masih serius membaca brosur itu bertanya balik “Ini sekolah tentara ya Pak?” yang kemudian dijawab beliau “Bukan, sekolah SMA swasta biasa, tapi yang mendirikan ABRI.”  Saya lalu minta waktu untuk memberitahukan orang tua saya di rumah.  Kepala Sekolah saya mengatakan bahwa kalau memang berminat, besok beliau sendiri yang akan mengantar saya mengikuti seleksi.  Saat pulang ke rumah, saya ceritakan kepada Ibu, dan Ibu meminta saya mengikuti seleksinya.  Saya segera menyiapkan semua dokumen seleksinya, dan esok harinya menghadap Kepala Sekolah lagi.

Kepala Sekolah saya, Bapak Subowo, mengantarkan saya menuju Korem 042/Garuda Putih dengan motor Vespa-nya.  Tempat itu tidak asing bagi saya, karena terletak hanya beberapa puluh meter di seberang SD Adhyaksa I, tempat saya bersekolah pertama kali setelah pindah ke Jambi.  Meskipun demikian, ada sedikit rasa takut ketika memasuki markas militer seperti itu.  Saya masih ingat, nomor pendaftaran saya 001, artinya saya adalah pendaftar pertama hehehe… Itu karena kehebatan Pak Subowo, yang dengan Vespa-nya pagi-pagi sekali mengantar saya langsung ke Makorem 042. Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan beliau ini…

Seleksi masuk SMA TN adalah pertunjukan lainnya akan kehebatan Tuhan dalam hidup saya.  Selama proses yang melelahkan untuk seorang anak ingusan yang baru akan lulus SMP seperti saya, Tuhan menunjukkan penyertaanNya dengan menghadirkan orang-orang baik yang mengajari, membimbing, dan mendukung saya.  Orang-orang itu bahkan baru saya kenal saat seleksi sudah berjalan.  Saya seperti “anak dari tengah hutan” yang merasa inferior ketika harus berhadapan dengan ratusan peserta seleksi dari berbagai SMP se-Provinsi Jambi, termasuk beberapa SMP favorit (kabarnya jumlah pendaftar mencapai 350-an orang saat itu).  Namun karena orang-orang baik yang Tuhan hadirkan itu, “anak dari tengah hutan” ini bisa mendapatkan kepercayaan dirinya hingga akhir seleksi.

Singkat cerita, dari 350-an peserta yang diseleksi dengan sistem gugur, saya masuk empat besar.  Nah, kuota Provinsi Jambi saat itu hanya tiga orang, jadi saya dinyatakan tidak lolos ke Magelang.  Saya tentu saja kecewa, dan sudah membayangkan hari-hari saya bekerja di kebun, atau di bengkel orang, atau di tempat lainnya setelah lulus SMP.  Namun sehari setelah pengumunan tingkat provinsi, seorang anggota Koramil Jambi Luar Kota datang ke rumah dan meminta saya (didampingi orang tua) untuk datang ke Makorem 042/Garuda Putih.  Dalam kekecewaan saya setelah pengumunan sehari sebelumnya, saya datang ke Makorem didampingi Ayah.  Di sana, seorang Perwira Korem menyampaikan bahwa karena ada beberapa provinsi lain (khususnya di Jawa) yang tidak dapat memenuhi kuota mereka (provinsi-provinsi di Jawa, karena kualitas pendidikan yang lebih baik dari pulau-pulau lainnya, mendapatkan kuota yang besar: ada yang 15 orang, 25 orang, dsb), maka sisa kuota tersebut dialihkan ke provinsi lainnya.  Jambi mendapatkan jatah dua siswa lagi, yang berarti saya dan urutan lima akan ikut seleksi pusat di Magelang…

Tuhan itu memang luar biasa dan tidak terbatas. Ketika orang tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah saya, Tuhan tidak menjawabnya dengan uang, namun memberikan sekolah gratis.  Ketika saya tidak masuk ke alokasi awal kuota Provinsi Jambi, Tuhan memberikan tambahan kuota yang memungkinkan saya dapat melanjutkan ke seleksi pusat di Magelang, Jawa Tengah, dengan caraNya sendiri yang ajaib.  Saya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, di sebuah SMA yang tidak hanya gratis, namun juga merupakan SMA dengan fasilitas dan guru-guru terbaik di Indonesia pada saat itu…

[Untuk Pak drg. Sitepu (alm.), Pak Liyat Ginting, Pak Subowo, Pak Prayogo (alm.) dan semua guru SMP saya, terima kasih sudah mendukung dan membimbing saya, yang hanya anak seorang petani, tinggal di tengah hutan, hingga bisa sampai pada titik ini.  Kalian adalah malaikat-malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan untuk mengangkat hidup saya.  Dalam doa-doa saya selalu ada nama kalian, orang-orang baik yang telah menjadi bagian dari cerita hidup saya.  Sekali lagi, terima kasih…]

(BERSAMBUNG KE PART III…)

SETENGAH ABAD (PART I)

“Waktu” adalah sebuah kata atau terminologi yang amat sangat umum dan akrab di telinga setiap orang.  Kita berbicara “waktu” ketika kita bercerita tentang sebuah event atau peristiwa, rentang periode; mungkin soal bertahun-tahun, berbulan-bulan, berjam-jam atau bahkan hanya soal beberapa detik.  Meskipun “waktu” sudah seperti sesuatu di alam bawah sadar manusia, “waktu” sudah menarik banyak ilmuwan untuk mendefinisikannya lebih jauh dari sudut pandang sains.  Yang paling terkenal tentu saja Albert Einstein, dengan Teori Relativitas-nya.

Saya tidak akan berbicara soal waktu secara ilmiah, karena saya merasa tidak cukup cerdas untuk sampai ke sana. Saya mau melihat waktu dari sudut pandang kehidupan saya sendiri. Sebuah kehidupan yang tampak biasa dan bukan apa-apa, tapi bagi saya luar biasa dan penuh dengan cerita kebaikan Tuhan.

[Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang kebaikan Tuhan, namun tulisan kali ini sedikit berbeda dalam hal sudut padang]

Tugu Muda dan Lawang Sewu, 2 ikon Kota Semarang (foto koleksi pribadi)

Tahun 1975-1980

Ada sebuah kawasan di kota Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah, bernama Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara.  Salah satu kampung yang ada di kelurahan itu bernama Kampung Barutikung, yang terletak di tepi sungai Boom Lama. Semarang Utara, secara umum seperti halnya wilayah-wilayah di kawasan pelabuhan, terkenal sebagai kawasan yang “keras”.  Setiap kelurahan yang ada di kecamatan Semarang Utara punya kampung “ikon” yang terkenal dengan tingkat kekerasan sosial dan kriminalitasnya. Nah, untuk wilayah Kelurahan Bandarharjo, Kampung Barutikung adalah kampung “ikon” itu.

Saya lahir di kampung ini, tanggal 13 Februari. Saat itu kondisi ekonomi keluarga boleh dikatakan bagus, karena Ayah bekerja di sebuah perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dengan penghasilan yang lumayan untuk saat itu.  Tidak jauh dari rumah kami, di kampung yang sama, tinggal juga Pak Dhe dan Bu Dhe saya, namun karena usianya yang sudah tua, saya memanggil mereka “Mbah” alih-alih Pak Dhe atau Bu Dhe. Karena Ayah sering melaut, dan Ibu masih harus mengurus dua adik saya (yang lahir tahun 1976 dan 1979), saya sering dititipkan ke rumah Mbah.  Kebetulan Mbah (atau Pak Dhe/Bu Dhe) tidak punya anak, jadi saya diperlakukan dan disayang selayaknya anak mereka sendiri.

Selama lima tahun pertama hidup saya, saya tumbuh di Kampung Barutikung, dengan segala kondisi sosial dan stigma yang melekat padanya.  Namun, itu justru membuat saya dapat bersaksi hari ini, bahwa kampung dengan stigma buruk itulah tempat saya pertama kali mengenal cinta, kasih dan sayang: dari orang tua saya, kedua Mbah saya, dan orang-orang di kampung itu. Di kampung itu, panggilan akrab untuk saya adalah Eddy (karena nama saya Jon Keneddy hehehe…).  Saya punya banyak teman masa kecil di sana, dengan berbagai cerita: bermain petasan saat malam takbiran atau Tahun Baru, bermain di sungai yang kotor, ke laut atau pelabuhan, main air saat kampung kena “rob” (naiknya permukaan air saat laut pasang, umumnya di sore menjelang malam hari), nonton layar tancap, ikut takbiran keliling dengan truk, dan banyak lagi.

Kampung Barutikung, yang selalu termarjinalkan dalam strata sosial masyarakat Semarang, yang sering dicap sebagai “kampung begal”, “kampung preman”, “daerah hitam”, dan lain-lain, adalah kampung yang telah memberi warna awal pada kertas kosong hidup saya; dan bukan warna yang buruk seperti stigmanya, justru warna yang penuh kasih, kohesi yang kuat antar sesama warganya, dan solidaritas yang tinggi.

Tahun 1980-1984

Ayah menyadari bahwa kampung ini pada dasarnya kurang baik untuk perkembangan anak-anaknya dalam jangka panjang. Kemungkinan juga ada pertimbangan yang lain dari Ayah, sehingga keluarga kami kemudian pindah ke wilayah Kalibanteng, Semarang Barat.  Tidak jauh dari Bandara Ahmad Yani, kampung baru ini boleh dibilang jauh lebih tenang, kalem, jauh dari kesan “keras” ala daerah pelabuhan, dan masyarakatnya relatif lebih berpendidikan.  Geografinya lebih berbukit-bukit, termasuk jalan ke rumah kami adalah jalan menanjak, yang dari puncaknya, kita dapat melihat Bandara Ahmad Yani dari kejauhan.

Saya masuk Taman Kanak-Kanak di TK Siliwangi, di kawasan Bundaran Kalibanteng.  Saya langsung dimasukkan Ayah ke kelas “Nol Besar” tahun 1980-1981.  Tahun 1981, saya masuk ke Sekolah Dasar di SD Siliwangi II, di kompleks sekolahan yang sama dengan TK saya.  Tidak banyak kenangan yang saya ingat di masa-masa sekolah saat itu; mungkin karena saya masih terlalu kecil waktu itu.  Kenangan yang masih membekas sampai hari ini adalah, kalau di sekolah saya dapat nilai “K” (Kurang), saya tidak berani pulang ke rumah karena pasti sabetan rotan Ayah sudah menanti hahaha

Saya harus dirayu pulang oleh Mas Doyo, tetangga rumah di Kalibanteng yang oleh Ibu sering dimintai tolong untuk mengantar jemput saya ke/dari sekolah.  Sampai rumah, belum ganti baju, belum makan siang, saya harus berdiri di depan papan tulis yang Ayah siapkan untuk belajar kami, mengulangi soal-soal yang tadi saya dapat di sekolah.  Setiap jawaban salah yang saya tulis dengan kapur tulis di papan hitam itu akan langsung diganjar Ayah dengan rotan di pantat saya. Kalau sudah begini, Ibulah yang tampil menjadi penyelamat saya hehehe

Namun, Kampung Barutikung tetap jadi favorit saya saat libur sekolah.  Libur apapun (libur kenaikan kelas, Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari libur lainnya), saya selalu habiskan di Barutikung, bersama Mbah yang begitu mencintai saya, dan teman-teman kecil saya di sana.  Di antara kami bertiga (saya dan kedua adik saya), hanya sayalah yang kerasan tinggal di Barutikung.  Adik-adik saya tidak tahan dengan hawa panasnya, dan nyamuk yang sangat banyak karena kumuhnya kawasan itu.  Bagi saya, tempat itu adalah sorga karena saya sangat dimanja oleh Mbah, yang dalam keterbatasan ekonominya selalu berusaha untuk memenuhi apapun permintaan saya.

[Mbah Sadi bekerja sebagai juru parkir di Rumah Sakit Tentara (RST) Semarang, sedangkan Mbah Trinem adalah seorang ART di sebuah rumah mewah di Perumahan Tanjung Mas Estate]

Tahun 1983, ekonomi keluarga kami mulai menurun karena perusahaan tempat Ayah bekerja ditutup, dan Ayah sempat menganggur beberapa bulan.  Ayah akhirnya mencoba peruntungan dengan menjadi petani di Jambi, menerima tawaran Abangnya (paman saya) yang memiliki tanah di sana.  Selama Ayah merantau di Jambi, kami tinggal berempat di Kalibanteng (Ibu, saya dan dua adik saya).  Setiap bulan Ayah selalu mengirim uang via wesel pos kepada Ibu untuk hidup kami sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak.  Itu berlangsung sampai menjelang akhir tahun 1984.

Bulan November 1984, Ayah pulang ke Semarang untuk menjemput kami pindah ke Jambi.  Itulah hari-hari terakhir yang begitu berat untuk kami, membayangkan hidup di Pulau Sumatera, meninggalkan kehidupan kota Semarang yang penuh dengan kenangan dan cerita.  Mbah Trinem ikut dengan kami ke Jambi, menempuh perjalanan 2 hari 2 malam menggunakan bis “Labana Express” (Labex).  Di Jambi, untuk sementara kami tinggal di rumah paman saya (dalam adat Karo, saya dan adik-adik memanggilnya “Pak Tengah”).  Dia seorang birokrat, rumahya termasuk mewah untuk ukuran saat itu.

Tahun 1985-1990

Di Jambi, saya bersekolah di sebuah SD swasta, SD Adhyaksa I Kota Jambi, meneruskan kelas IV.  SD Adhyaksa I berisi anak-anak orang berada, entah itu anak pegawai, dokter, atau pengusaha.  Masih teringat di benak saya, saat Ibu mendaftarkan saya dan adik saya Juli di kantor sekolah, dan pegawai di situ menanyakan profesi Ayah, yang dijawab Ibu dengan “tani” (maksudnya petani), si pegawai tidak percaya dan bertanya “Maksud Ibu TNI?”, lalu Ibu menjawab “Bukan pak, petani”.  Si pegawai akhirnya menulis dengan sedikit tidak percaya, bahwa ada anak petani masuk ke sekolah seperti ini hehehe

Perbedaan strata dengan siswa-siswa lainnya membuat adaptasi sosial saya agak sulit di sekolah baru ini.  Saat jam istirahat misalnya, mereka berkumpul jajan di kantin, sementara saya dan adik saya perlu berpikir berulang-ulang karena uang saku kami hanya cukup untuk beli es lilin.  Juga ketika ada acara-acara sekolah, ketika mereka semua diantar orang tua mereka dengan mobil atau sepeda motor, kami harus berjalan kaki atau naik angkot; dan orang tua kami tidak pernah ikut acara-acara sekolah itu. Beberapa bulan menumpang di rumah Pak Tengah, kami pindah ke sebuah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Pak Tengah, di Lorong “TAC”.  Rumah kami nyaris tanpa perabotan.  Tamu duduk di lantai, kami juga tidur di kasur yang dibentangkan di lantai.  Kami sempat punya televisi hitam putih, namun tak lama televisi itu dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Ayah tinggal sendiri di kebun milik Pak Tengah yang diolahnya, jaraknya kira-kira 20 kilometer dari rumah, di Desa Pondok Meja Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari.  Ayah pulang ke kota Jambi 2-3 hari sekali untuk menghemat biaya bensin motornya.  Sementara itu, Ibu mencoba membantu Ayah dengan berjualan sayur di Pasar TAC tak jauh dari rumah; pernah juga mencoba berjualan pecel di teras rumah.

(BERSAMBUNG KE PART II…..)