Prinsip atau teori terbang pesawat konvensional barangkali sudah kita ketahui atau bahkan pahami. Bagaimana dengan helikopter? Mungkin ada baiknya kita sedikit melihat tentang bagaimana perkembangan teknologi helikopter. Mudah-mudahan pengetahuan ini akan membuat pembaca memiliki sedikit gambaran tentang pesawat yang dikenal dengan “sayap putar” (rotary-wing) ini. Pesawat ini memang tidak konvensional, meskipun sebenarnya sejarahnya sendiri tidak kalah tua dari pesawat sayap tetap (fixed-wing). Leonardo da Vinci, ilmuwan Italia sudah membuat coretan kecil tentang pesawat bersayap putar pada tahun 1483. Lalu Paul Cornu dari Perancis berhasil menerbangkan rancangannya yang berbentuk “sepeda helikopter” pada 13 November 1907, sekalipun hanya 20 detik dan setinggi 30 cm dari tanah. Helikopter praktis pertama yang meyakinkan manusia untuk terbang vertikal adalah Focke Achgelis Fa 61 yang dikembangkan oleh Nazi Jerman pada tahun 1936. Namun cikal bakal helikopter masa depan yang terbang dengan performa lengkap dan standar adalah VS-300, yang diciptakan oleh Igor Ivanovich Sikorsky, seorang Ukaraina yang karena Revolusi Bolshevik “hijrah” ke Eropa lalu Amerika. Ini terjadi pada tahun 1939.
Mula-mula helikopter adalah moda transportasi udara murni, lalu sejak 1942 mulai dikembangkan untuk keperluan militer, itupun baru sebatas evakuasi medis bagi korban-korban perang. Persenjataan baru “ditempelkan” pada helikopter sekitar tahun 1959 saat helikopter S-61 Sea King milik AL AS dipersenjatai guna memburu kapal selam. Selanjutnya perkembangan tekonolgi helikopter sebagai “lethal weapon” tak terbendung, sama pesatnya dengan kemajuan teknologi pesawat sayap tetap. Kita tentu sudah mengenal nama-nama seperti AH-64 Apache, Mi-24 Hind, UH-60 Blackhawk, Ka-50 Hokum, EC-665 Tiger dan sederetan nama-nama seram yang punya kemampuan membunuh luar biasa. Tak hanya membabat habis sasaran-sasaran di darat dan laut, merekapun siap berduel dengan pesawat tempur!
Itu karena tekonologi memang terus maju, sehingga standar kemampuan pesawat terbangpun semakin tinggi—dan semakin kabur batasannya. Pesawat tempur konvensional bisa terbang dan mendarat vertikal seperti heli, sebaliknya helipun punya kemampuan manuver seperti pesawat tempur. Tapi, tahukah pembaca bagaimana helikopter bisa terbang?
Secara umum prinsip aerodinamis helikopter sama dengan pesawat fixed-wing. Bila aliran udara (airflow) pada pesawat konvensional mengalir melalui aerofoil yang ada pada sayap, maka pada helikopter airflow mengalir melalui baling-baling (yang berfungsi sebagai sayap) yang berputar. Itulah yang membuat helikopter dikenal juga sebagai rotary wing aircraft (pesawat sayap putar).
Baling-baling utama (main rotor blades-selanjutnya disingkat M/R blades) memiliki profil aerofoil sebagaimana halnya wing pada pesawat konvensional. Sehingga, udara akan mengalir dengan pola dan mekanisme aliran yang sama dengan sayap tetap. Aerodynamic flow sayap tetap sudah sering dijelaskan sehingga tidak perlu diuraikan lagi di sini.
Bila M/R blades berputar dengan kecepatan tinggi, akan terbentuk M/R disc (piringan baling-baling utama) yang berpusat pada M/R shaft (poros baling-baling utama). Saat berputar inilah baling-baling menghasilkan gaya aerodinamis yang besarnya berbeda di setiap titik sepanjang baling-baling utama. Gaya angkat (lift) terbesar dihasilkan di ujung baling-baling (blade tip). Inilah yang membuat putaran baling-baling utama helikopter membentuk seperti kerucut terbalik saat helikopter terangkat (bagian terluar M/R disc—yang tidak lain adalah blade tip—menghasilkan lift terbesar dibandingkan bagian dalamnya).
Saat berputar itu pula, M/R disc membentuk sudut dengan garis horisontal yang dikenal dengan pitch angle. Pitch bisa dibuat sama untuk seluruh bidang M/R disc (kolektif), bisa juga tidak. Bila tidak sama, helikopter akan bergerak ke arah yang pitch-nya lebih kecil (ke depan, kiri, kanan,dll), namun bila sama helikopter hanya bisa naik atau turun.
Mengarahkan helikopter sebenarnya—secara sederhana—adalah mengarahkan M/R disc ini. Bila M/R disc diarahkan ke kanan, pesawat akan ke kanan dan seterusnya. Lebih jauh lagi, yang diarahkan ini sebenarnya adalah resultan gaya aerodinamis yang dihasilkan putaran baling-baling utama tersebut, sebut saja FN. Secara skematis, letak FN ini ada di sepanjang M/R shaft. Kemudi yang digunakan untuk mengubah arah FN ini adalah (cyclic) stick yang terletak di depan pilot.
Bagaimana dengan besarnya FN ? Besarnya FN dapat diubah-ubah dengan menggunakan collective (pitch control), yang umumnya terdapat di sebelah kiri pilot. Bila collective diangkat, FN makin besar, begitu pula sebaliknya.
(Catatan : FN adalah resultan gaya yang secara vektoral dihasilkan dari penjumlahan lift dan thrust yang dihasilkan oleh airflow yang melalui putaran baling-baling utama, jadi FN belum tentu sama dengan lift. FN = L dalam kondisi vertical take off, di mana tidak ada thrust sehingga hanya ada lift yang juga resultan gaya alias FN. Jangan mengasosiasikan FN dengan lift.)
Nah, sekarang ingat Hukum II Newton tentang aksi-reaksi. Pada saat M/R blades berputar, tentu badan pesawat akan bereaksi dengan berputar pada kecepatan yang sama namun berlawanan arah dengan putaran M/R blades tadi. Kalau itu terjadi, tidak ada orang yang mau naik helikopter! Itulah yang dikenal dengan torque effect (efek puntir) akibat putaran M/R blades. Untuk menghilangkannya (anti-torque effect), diciptakanlah baling-baling ekor (tail rotor blades—selanjutnya disingkat T/R blades) yang didesain akan menghasilkan gaya yang sama besar dengan torque badan pesawat namun arahnya melawan arah torque tersebut. Sama halnya dengan M/R blades, T/R blades yang berputar juga membentuk T/R disc yang FN –nya adalah anti-torque tersebut. Hasilnya, badan pesawat tetap diam sekalipun M/R blades berputar sangat cepat.
Posisi T/R blades tidak masalah ditempatkan di kiri atau kanan badan pesawat, yang penting mampu memberi anti-torque effect. Sebagai contoh, M/R blades pesawat AS-332 Super Puma berputar searah jarum jam (bila dilihat dari atas), maka sesuai Hukum II Newton, badan pesawat akan bereaksi berlawanan arah jarum jam. Maka, T/R blades Super Puma didesain untuk berputar dan menghasilkan gaya yang besarnya sama dengan torque badan pesawat namun arahnya searah jarum jam, supaya badan Super Puma itu diam saat baling-baling utamanya berputar (pada badan pesawat bekerja 2 gaya yang sama besar namun berlawanan arah). Karena baling-baling ekor Super Puma diletakkan di kanan badan pesawat, maka ia menghasilkan anti torque yang sifatnya push (mendorong badan pesawat untuk melawan torque-nya). Seandainya Eurocopter (si pabrik) menempatkan di kiri badan/ekor pesawat, bisa saja. Tetapi T/R blades harus menghasilkan anti torque yang sifatnya pull (menarik badan pesawat untuk melawan torque-nya).
Baling-baling ekor sendiri dikendalikan oleh 2 rudder pedal guna menstabilkan attitude pesawat. Prinsip kegunaannya sama dengan kegunaan rudder pada fixed wing. Jadi, kombinasinya sederhana : bila akan mengangkat pesawat, naikkan collective. Lalu untuk mendorongnya ke depan, dorong saja stick. Bosan lurus terus, dorong stick ke kanan/kiri sambil mainkan pedal, maka pesawat akan belok ke kanan/kiri. Ingin turun, turunkan collective perlahan-lahan. Selamat mencoba, have a nice chopper flight!