Saya pernah menulis tentang “Bagaimana Pesawat Bisa Terbang”, dan dari sana dapat dilihat bahwa pesawat justru dapat terbang dengan baik serta aman karena ia melawan arah angin (relative wind). “Menerjang” udara yang bergerak memberikan keuntungan bagi struktur airfoil berupa dihasilkannya gaya-gaya aerodinamis, salah satunya gaya angkat (lift) yang membuat pesawat meninggalkan daratan dan terbang makin tinggi. Di sisi lain, pesawat juga dibekali sistem propulsi berupa mesin (engine) yang dapat mendorong pesawat bergerak ke depan atau maju.
Bagi saya, konsep terbang ini adalah sebuah filosofi bagus namun sedikit berbeda dari pemahaman umum dalam kehidupan kita sehari-hari. “Melawan arah angin” adalah suatu hal yang takut dilakukan oleh orang-orang, dan mereka lebih memilih untuk “pergi ke mana angin berhembus”. “Menentang arus” banyak dihindari oleh sebagian besar dari kita, dan kita lebih memilih untuk “ikut ke mana air mengalir”. Wajar, karena “melawan arah angin” dan “menentang arus” berpeluang menghadapkan kita pada resiko tidak aman, kehilangan zona nyaman, terlihat “berbeda”, dan terbuang. Paradigma inilah yang membentuk orang-orang malas, miskin inovasi, minim kreatifitas, dan menciptakan komunitas yang stagnan serta status quo.
Sayangnya, banyak dari kita yang tidak paham, bahwa setiap jaman memiliki tuntutan dan tantangannya sendiri. Sebagian dari kita beranggapan bahwa situasi saat ini sama saja seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu. Lalu kita menilai dan mencoba mengantisipasi tantangan lima atau sepuluh tahun ke depan dengan menggunakan parameter saat ini. Sikap tidak adaptif seperti inilah yang dihasilkan dari paradigma “ke mana angin berhembus” dan “ke mana air mengalir” itu tadi. Pada pesawat, melaju di landasan searah dengan arah angin justru akan membuatnya sulit menghasilkan gaya angkat. Di sungai, ikan yang pasrah kepada aliran air justru akan membuatnya menabrak bebatuan.
Pesawat juga tidak “mentah-mentah” menentang arah angin. Ia dilengkapi dengan sistem propulsi yang dapat mendorongnya ke depan dan “mengalahkan” beban dari berat pesawat itu sendiri, bahkan dengan kecepatan yang tinggi. Begitu juga dengan ikan. Ia dibekali dengan sirip-sirip yang memampukannya bernavigasi serta mengendalikan arah lajunya agar tidak menabrak batu atau ikan lainnya. Artinya, melawan arus atau arah angin selalu bisa dilakukan dengan “bekal” yang cukup, pertimbangan yang matang, kalkulasi yang tepat, serta komitmen yang kuat.
Saya mencoba mengadopsi filosofi ini ke dalam aspek kepemimpinan. Banyak pemimpin yang tidak adaptif terhadap perkembangan jaman, dan tidak peka membaca perubahan-perubahan. Dalam setiap pergantian pimpinan atau regenerasi, sering muncul anggapan bahwa segala sesuatunya “begitu-begitu saja”, sehingga pola-pola lama masih bisa digunakan. Dulu, bawahan mungkin “manut-manut” saja alias menuruti apa yang digariskan oleh pemimpinnya, sekalipun mereka tahu itu salah. Kondisi itu sangat memungkinkan terjadi, salah satunya karena perkembangan teknologi informasi belum sepesat sekarang. Bawahan memiliki akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan informasi serta kebenaran, karena belum ada handphone, internet, dan sebagainya. Sekarang, siapapun bisa tahu dengan cepat dan mudah mana yang salah serta mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Informasi yang komprehensif dan nyaris utuh dapat dengan mudah diperoleh hanya dengan menekan tombol-tombol telepon genggam atau komputer.
Paradigma lama yang digunakan sebagai pendekatan pemimpin untuk menghadapi situasi di era sekarang jelas banyak menimbulkan kontra-produktif. Saat bawahan tidak punya ruang untuk mempertanyakan atau memperdebatkan sebuah kebijakan (karena kultur organisasi yang ketat, hirarki yang kuat, dan sebagainya), maka mereka akan dengan mudah mencari “ruang” lain. Ruang itu justru jauh lebih luas, lebih terbuka, dan memungkinkan siapa saja dan di mana saja untuk melihat apa yang terjadi. Hasilnya adalah citra si pemimpin yang tercoreng, kredibilitas organisasi yang tercemar, serta hilangnya kehormatan si pemimpin. Inilah yang dihasilkan dari dipeliharanya paradigma “ikut arah angin” atau “ikut arus” tadi. Ya, angin atau arus kebijakan umum yang dihembuskan oleh para atasan si pemimpin, atau oleh mereka yang berada di lingkar dalam (inner circle) yang berusaha melanggengkan zona nyamannya.
Itulah sebabnya, saya tidak heran dengan “fenomena Jokowi” yang menjadi tren kepemimpinan era sekarang. Dalam bahasa yang lebih mudah dapat kita katakan “Sekarang memang jamannya pemimpin harus seperti itu”. Meski bukan warga Jakarta, saya paham bahwa Jokowi-Ahok pasti berhadapan dengan angin yang sangat kencang menerpanya, serta arus deras yang menghantamnya. Tapi karena duet ini memiliki “sistem propulsi” berupa tingkat kepercayaan yang besar serta rekam jejak yang baik di masa lalu, mereka menjadi orang-orang yang berani untuk “melawan arah angin” atau “menentang arus”. Mereka pasti melihat bagaimana pemimpin-pemimpin Jakarta masa lalu, kemudian bagaimana pemimpin-pemimpin nasional saat ini. Duduk di belakang meja, menerima laporan-laporan dari staf, menerima tamu-tamu, dan hari-hari yang penuh acara seremonial. Staf mereka pasti ada yang memberi masukan “Sudah Pak, Bapak tenang aja di kantor. Nanti saya bereskan dan laporkan ke Bapak.” Seperti itulah “angin” atau “arus”-nya. Itulah paradigmanya.
Paradigma kepemimpinan seperti itulah yang membuat Jakarta seperti yang kita kesankan selama ini: macet, semrawut, dan kumuh. Karena leadership Jokowi-Ahok yang melawan arah angin atau arus, permasalahan riil di bawah bisa cepat dipetakan, dan solusi kongkret bisa diwujudkan. Setidaknya, itulah yang dapat kita lihat sekarang di Pasar Tanah Abang, Waduk Pluit, Kompleks Senayan, dan akan menyusul kawasan-kawasan “kacau” lainnya. Belum lagi bagaimana attitude masyarakat Jakarta sekarang terhadap birokrasi dan aparat Pemda: Satpol PP yang tidak lagi dimusuhi, kantor-kantor camat atau lurah yang tidak lagi dipandang sinis, dan sebagainya. Belum genap satu tahun, Jakarta telah sedikit demi sedikit menjadi “lebih manusiawi”—suatu hal yang berpuluh-puluh tahun dan gonta ganti gubernur tidak mampu diwujudkan.
Fenomena Jokowi-Ahok hanya sebuah contoh, bahwa menjadi berbeda tidaklah buruk. Era sekarang memang menuntut banyak hal harus diselesaikan dengan cara berbeda, cara yang tidak lazim atau outside the box. Kalau pendekatannya “begitu-begitu saja”, ya hasilnya akan “begitu-begitu saja” alias tidak ada perubahan. Fenomena ini adalah sebuah contoh dan model bagus untuk semua ranah kepemimpinan, di institusi apapun serta di level manapun (konsepnya sama, hanya mungkin prakteknya yang berbeda sesuai aturan atau kultur setempat). Seperti halnya pesawat, ia justru terangkat ketika menerjang angin, dan ikan justru selamat ketika ia sesekali melawan arus dengan sirip kemudinya. (Teringat cerita seorang teman, bahwa ikan salmon bahkan sanggup berenang dari laut ke hulu sungai dengan terus melawan arus, mendaki jeram, dan melewati jebakan beruang demi sampai ke sumber mata air yang jernih.)
Hanya ikan mati saja yang selalu mengikuti arus…