Setiap bulan Agustus, saya selalu mengingat kebaikan Tuhan dalam salah satu babak penting kehidupan saya: hari pernikahan. Mengingat penyertaan Tuhan yang luar biasa saat saya bersama istri mulai membangun fondasi sebuah keluarga—menjalani hidup dengan “modal” seadanya (hanya mengandalkan gaji yang sudah kena potongan sana sini), benar-benar tidak punya apa-apa—semakin membuat saya merasa bahwa Tuhan itu nyata, bukan sekedar dongeng atau retorika agama. Kebaikan Tuhan dalam menyertai kehidupan rumah tangga kami dari benar-benar nol hingga saat ini hanyalah rangkaian dari kebaikan Tuhan yang tidak pernah berhenti mengalir sejak saya hadir ke dunia sekitar 48 tahun silam. Kebaikan itu terasa makin sempurna ketika Dia menitipkan kepada kami dua buah hati yang ganteng (Si Sulung) dan cantik (Si Bungsu). Tuhan juga menghadirkan orang-orang baik di sekeliling keluarga kami, antara lain asisten rumah tangga kami (Si Mbak).
Agustus tahun 2023 ini, saya merasa ada beberapa sentuhan emosional yang lebih istimewa…
Si Bungsu
Kebaikan Tuhan itu datang lagi dan lagi. Kali ini, sebuah berita baik bagi keluarga kami karena anak kami yang kedua (si bungsu) diterima di sebuah universitas ternama di Malang, Jawa Timur. Itu adalah perguruan tinggi negeri (PTN) favoritnya, kotanya juga kota yang ia suka. Yang menyentuh bagi saya adalah, keberhasilannya masuk PTN ini diperoleh setelah serangkaian kegagalan yang dia alami dalam beberapa ujian masuk PTN sebelumnya (mungkin ada empat atau lima PTN, baik lewat jalur rapor, UTBK maupun mandiri). Rangkaian ketidakberhasilan itu sempat membuatnya “down” dan saya bahkan harus setengah memaksanya untuk mengambil kesempatan terakhir yang terbuka saat itu, dan ternyata di sanalah Tuhan memberi jawaban yang melebihi harapannya: fakultas dan jurusan yang menjadi passion-nya, dan di kelas internasional.
Karena hal ini, istri bersama anak sulung saya harus menghabiskan waktu beberapa hari berada di Malang untuk mempersiapkan banyak hal, terutama kost dan kelengkapannya. Naluri seorang Ibu yang sangat mengkhawatirkan anak perempuannya membuat mereka bolak balik kesana kemari mencari kelengkapan sehari-hari untuk si bungsu. Istri saya dibantu juga oleh seorang temannya yang ikut dari Bogor dan tidak kalah capeknya menyiapkan ini itu untuk anak saya. Saya sempat menyusul di akhir pekan (Sabtu dan Minggu) untuk sedikit membantu mereka, dan harus kembali Minggu malam ke Jakarta karena masuk kantor lagi hari Senin-nya. Saya dapat melihat raut kebahagiaan di wajah anak saya karena ia mendapatkan lebih dari yang ia harapkan.
Si Sulung
Agustus ini juga, anak sulung saya sudah sekitar empat bulan berada di rumah, setelah menyelesaikan kuliahnya di sebuah kampus di Australia. Dia harus kembali ke Australia, karena ia harus mengurus visa baru setelah ia selesai kuliah ini (graduate visa). Saya bersyukur, sebelum ia kembali ke sana, ia sudah sempat menemani ibu dan adiknya mempersiapkan kuliah si adik di Malang.
Seminggu sebelum ia kembali ke Australia, saya mendapat perintah (mendadak) untuk mendampingi pimpinan dalam sebuah kunjungan dinas ke Amerika Serikat. Bagi saya, ini bukan timing yang tepat karena saya ingin menghabiskan satu minggu ke depan untuk banyak berbincang dengan si sulung, sebelum ia terbang ke Australia dan tidak tahu berapa lama lagi kami akan bertemu dengan dia secara langsung. Tapi saya adalah seorang prajurit, dan sebuah perintah tetaplah sebuah perintah, apapun kondisinya.
Istri dan anak sulung saya mengantar saya ke bandara Soekarno-Hatta, dan saya menyampaikan beberapa pesan secara singkat untuk anak saya sebelum ia kembali ke Australia minggu depannya. Ada sebuah keengganan untuk beranjak ke dalam terminal bandara, ketika saya merasa bahwa seminggu terakhir bersama anak sulung saya “terenggut” dari kehidupan saya. Tapi saya sadar, ini mungkin salah satu bentuk pengabdian saya kepada negara, meski mata saya terus melihat keluar ketika sudah berada di dalam terminal keberangkatan, memastikan bahwa mobil yang membawa istri dan anak sulung saya sudah meninggalkan titik penurunan penumpang (drop-off point).
Si “Mbak”
Karena perjalanan ke Amerika Serikat adalah sebuah perjalanan yang panjang, saya membeli paket Wi-Fi di pesawat yang saya tumpangi, sehingga saya tetap bisa berkomunikasi selama penerbangan yang panjang itu. Lalu saya sempatkan membuka WhatsApp (aplikasi percapakan favorit banyak orang hehehe…) dan saya melihat story atau status WhatsApp si “Mbak” yang sehari-hari membantu kami membersihkan dan beres-beres di rumah. Si “Mbak” mengunggah sebuah foto dirinya dan kakaknya (yang sehari-hari ikut membantu dia di rumah kami) yang mengapit anak bungsu saya. Foto itu saya yakin diambil sesaat sebelum istri dan kedua anak saya berangkat ke Malang untuk mempersiapkan keperluan kuliah si bungsu.
Dalam keterangan (caption) di bawah fotonya, si “Mbak” menulis kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: “Sudah ngga ada lagi yang minta rujak sama mie goreng. Ngga lagi menyiapkan bekal. Kehilangan, karena kuliahnya jauh. Semoga sehat-sehat selalu, dikelilingi sama orang-orang baik, dimudahkan segala urusannya, dan kelak bisa jadi orang (sukses). Amin…” Anak bungsu saya memang hobi makan, dan rujak serta mie goreng adalah favoritnya, dan ia selalu minta si “Mbak” untuk membuatkan untuknya. Setiap pagi selama si bungsu sekolah di SMA, si “Mbak” setia menyiapkan bekal makanan untuk dibawa ke sekolah (dan anak saya pernah bercerita bahwa bekalnya adalah yang “terlengkap” dibandingkan bekal teman-temannya karena selalu ada lauk, sayur dan buah selain nasi. Lauknya bahkan bisa lebih dari satu macam). Si “Mbak” sudah memperlakukan dia seperti anaknya sendiri.
Tuhan
Status atau story WhatsApp si “Mbak” itu memicu rangkaian ingatan saya akan momen-momen di bulan Agustus 2023 ini: penyertaan Tuhan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kami, kebaikanNya untuk anak bungsu saya, waktu yang Dia berikan untuk berbagi kebersamaan dengan anak sulung saya, serta orang baik dan tulus yang ada bersama keluarga kami sehari-hari. Mengingat kembali semuanya itu membuat saya meneteskan air mata di tengah gelapnya kabin pesawat A-380 yang membawa saya ke Amerika Serikat. Saya meneteskan air mata bukan sekedar karena teringat akan kedua anak saya atau membaca status WhatsApp si “Mbak”, namun lebih dari itu, karena mengingat begitu luar biasanya kebaikan Tuhan dalam hidup saya.
Tuhan menyertai dan memelihara keluarga kami, yang kami rintis dengan tertatih-tatih dalam segala keterbatasan dan ketidakpunyaan. Kami dapat membuktikan kasih setia Tuhan yang nyata, yang tanganNya tidak membiarkan kami terjatuh serta membawa kami dapat hidup seperti sekarang ini. Tuhan baik dalam kehidupan anak-anak kami: menyertai si sulung menyelesaikan kuliahnya di Australia dengan predikat “First Class Honours” (setara cum laude), membuka pintu bagi si bungsu untuk belajar di kampus dan kota favoritnya. Yang tidak kalah penting, Tuhan sangat baik dalam kehidupan keluarga kami dengan menghadirkan orang-orang baik seperti teman istri saya dan si “Mbak” yang membuat banyak urusan keluarga kami menjadi mudah.
Saya melihat sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan saya, sesuatu yang sebenarnya bukan hal baru karena sudah ada sejak saya lahir ke dunia: kebaikan Tuhan. Mulai dari kedua orang tua yang luar biasa, adik-adik yang baik, dan banyak kebaikan lagi sepanjang hidup saya bersama orang-orang terkasih. Meskipun bukan hal baru, tetap saja saya terkesima dengan begitu baiknya Tuhan dalam kehidupan saya. Sang Pencipta Yang Maha Kasih, yang selalu baik dengan caraNya, yang menjawab harapan saya pada waktuNya, dan memberi saya lebih dari apa yang layak saya terima.
Jakarta, 29 Agustus 2023, 17.27