Buku “CATATAN TERSERAK SEORANG PRAJURIT UDARA”

IMG-20140117-00932

  1. Judul lengkap: CATATAN TERSERAK SEORANG PRAJURIT UDARA (Untuk Indonesia Yang Dicintainya)
  2. Penulis: J.K. Ginting, MMgtStud, qtc
  3. Penerbit: Smart Writing, Jogjakarta
  4. Tebal: 106 halaman
  5. ISBN: 978-602-7858-82-4
  6. Deskripsi: Sebuah antologi (kumpulan tulisan/naskah) tentang kepemimpinan, pertahanan, militer, dan anggaran negara.
  7. Harga: Rp. 25.000,- (plus ongkos kirim untuk luar Jawa)
  8. Pemesanan via SMS: 081586619363, email: kenedsky@yahoo.com, BB PIN: 27725FD7

BANGSA PENGHAKIM, NEGERI PRAGMATIS

Saya beberapa kali mendapat broadcast (BC) di Blackberry Messenger (BBM) saya yang isinya beragam: ada nasehat-nasehat, doa-doa, info-info, hingga ajakan untuk melakukan atau “promosi” sesuatu. Ada yang di-publish di grup, ada pula yang melalui pesan ke semua kontak si pengirim. Terakhir, BC yang saya terima berbunyi demikian: “Bila anda memahami dan bangga akan kejayaan masa lalu maritim kita, sebarkan ini pada semua kontak anda. Bila tidak, di sinilah cerminan bangsa kita: cuek & tdk peduli dengan masa depan bangsanya…. (berikutnya terdapat sebuah tautan/link yang berisi artikel di web-blog si pengirim)”.

Itu hanya salah satu contoh yang saya yakin ribuan bahkan jutaan pengguna smartphone saat ini juga pernah (atau masih) mengalaminya. Hmmmm….saya sempat “takut” dicap tidak nasionalis, tidak patriotis dan tidak peduli pada bangsa sendiri bila tidak menyebarkan BC itu. Tapi saya lebih terusik dengan sebuah persoalan lain: seberapa pantaskah kita menghakimi seseorang? Seberapa layakkah kita mengatakan orang lain “tidak nasionalis”, “tidak agamis”, “kurang kepedulian” dsb? Seberapa jauhkah si penghakim mengenal orang yang dihakiminya?

Lalu, saya membaca beberapa berita lokal di media online yang salah satu isinya belakangan ini adalah soal caci maki “Firaun” untuk Jokowi-Ahok. Lantas, saya teringat kembali soal BC-BC yang terus terang membuat tidak nyaman itu. Ah…sebegitu penghujatkah bangsa ini? Sebegitu gampangkah kita menghakimi seseorang atas dasar sesuatu yang belum kita pahami benar? Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sering menghadapi atau melihat situasi yang lebih kurang sama, di mana kita melihat seseorang membuat “cap” tertentu pada orang lain, dan mengajak orang lain untuk berpikir sama seperti dia.

Saya berharap dalam hal ini saya salah karena turut “menghakimi” dengan mengatakan bahwa negeri ini adalah negeri yang kebablasan pragmatisme-nya. Kita, kelompok masyarakat awam ini, benar-benar sudah tidak asing dengan pemandangan seseorang menghujat yang lain, menganggap dirinya benar, namun tak pernah memberi solusi. Ya, tentu saja kita familiar dengan fenomena itu, karena figur-figur “panutan” publiklah yang mempertontonkannya. Dengan teknologi informasi yang telah berkembang maju, mengakses berita menjadi hal yang sangat mudah sekarang. Thus, siapapun dapat terjejali dengan pengaruh, doktrin, dan cara pandang yang sama dengan si pembuat berita (apakah itu si subyek berita, penulis berita atau orang-orang “kuat” pemilik media).

Bangsa ini adalah bangsa penghakim (mudah-mudahan saya salah lagi). Karena figur panutan publik menunjukkan bagaimana caranya “berada di atas hukum”, maka masyarakatnya pun ikut-ikutan menjadi “hakim”: menghujat orang lain (contoh dengan analogi “Firaun” itu), menyerang karena tidak setuju dengan penilaian orang lain (contoh kejadian pertandingan tinju maut di Nabire), dan merasa sah melakukan keributan atas nama “hukum” yang mereka terjemahkan sendiri (seperti kelompok ormas yang mengatasnamakan ajaran suatu agama).

Kita adalah “korban” pragmatisme yang kebablasan. Sebagai sebuah konsep dan faham, pragmatisme tidaklah selalu buruk. Ada saat di mana ia relevan untuk memecahkan sebuah masalah yang memerlukan pendekatan praktis dan logis serta pengambilan keputusan yang cepat.  Namun, menggunakan pendekatan pragmatis untuk sebuah persoalan yang berkaitan dengan tata nilai, norma, dan kultur bangsa sebesar Indonesia adalah sebuah kesalahan fatal. Pejabat publik, yang berdiri atas nama Undang-Undang, semestinya tidak pragmatis karena apa yang mereka putuskan akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dan ingat, tujuan nasional bangsa Indonesia adalah rumusan yang digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur dan adiluhung bangsa kita yang bernama Pancasila.

Pragmatisme itulah yang telah meracuni denyut nadi bangsa ini sehingga banyak orang terlalu gampang menghakimi. Ketika sebuah persoalan tentang norma dan tata nilai diadu dengan logika-logika praktis, jelas hasilnya akan berbentuk keributan, saling serang, dan perpecahan. Para “hakim” yang memenuhi negeri ini (mungkin juga kita, termasuk saya) hanya membaca masalah dari kaca matanya sendiri tanpa mencoba memahami nilai-nilai yang lebih hakiki di balik masalah itu. Akibatnya, semua dilihat dalam perspektif logika praktis, yang jelas sulit untuk menghasilkan solusi jangka panjang. Padahal, hari ini kita sedang merajut apa yang akan kita wariskan dan tinggalkan untuk kehidupan anak cucu kita kelak.

Hmmmmm, mudah-mudahan saja “penghakiman” saya ini salah…

CATATAN DARI SARASEHAN PEMBINAAN MENTAL IDEOLOGI & KEJUANGAN TNI AU

ImagePada hari Rabu tanggal 26 Juni 2013 yang lalu, saya merasa beruntung dapat mengikuti sebuah kegiatan yang diinisiasi oleh jajaran Staf Personel TNI AU (Spersau) berupa Sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Kejuangan. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Mabesau Jakarta, diikuti oleh para pejabat serta komandan setingkat Kolonel dan Letnan Kolonel di jajaran TNI AU.  Sarasehan ini menampilkan tiga pembicara (narasumber), masing-masing Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (mantan Kasau), Prof. Dr. Mohammmad Mahfud M.D. (mantan Menhan dan Ketua Mahkamah Konstitusi), serta Brigjen TNI Djati Pontjo Oesodo, S.Sos (Kapusbintal TNI).

 

Tema kegiatan ini adalah “Melalui Sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Kejuangan Tahun 2013 Kita Tingkatkan Kualitas Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.  Atas dasar tema tersebut, para narasumber menyampaikan materi masing-masing yang dapat saya sarikan sebagai berikut:

 

a.         Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (Mantan Kasau):

 

1)         Judul: “Meningkatkan Peran TNI AU Dalam Sosialisasi Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.

 

2)         Mengutip amanat Bung Karno, bahwa Pancasila pada dasarnya adalah rumusan jiwa bangsa Indonesia (jiwa gotong royong, jiwa persaudaraan, dan jiwa kekeluargaan).

 

3)         Peran TNI AU dalam sosialisasi penghayatan dan pengamalan Pancasila melekat kepada hal-hal yang terkait dengan kedaulatan/kehormatan bangsa, patriotisme/nasionalisme, kebanggaan bernegara, dan wawasan kebangsaan.

 

4)         Dalam kaitannya dengan hal tersebut, perlu suatu Angkatan Udara yang kuat. Kekuatan Angkatan Udara yang sesungguhnya ada pada sumber daya manusianya (SDM).

 

5)         Dengan menggunakan metode analisa SWOT, dapat dicermati apa yang menjadi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan kendala (threat) pada potensi SDM TNI AU.

 

6)         Meningkatkan peran TNI AU dapat dilakukan dengan pertama kali mencermati kelemahan-kelemahan mendasar SDM Indonesia umumnya, dan TNI AU khususnya:

 

a)        Kelemahan dalam mengambil keputusan.

 

b)        Kelemahan dalam karakter:

 

(1)        Kepercayaan diri (jarang menggunakan 100% potensi kita)

 

(2)        Daya saing (baru memperbaiki diri setelah orang lain “mengalahkan” kita)

 

(3)        Mental pengemis (senang dengan “pemberian”)

 

(4)        Keteguhan pada prinsip (takut menjadi “berbeda”)

 

(5)        Kemampuan baca tulis (belum menjadikan baca tulis sebagai pilar menambah pengetahuan)

 

(6)        Can-do oriented (mudah mengatakan “tidak bisa”)

 

b.         Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D. (Mantan Ketua MK):

 

1)         Judul: “Kepemimpinan Berkarakter Pancasila”.

 

2)         Kepemimpinan merupakan salah satu penyebab kehancuran suatu bangsa:

 

a)         Tidak memegang teguh Pancasila

 

b)         Menjaga jarak dengan masyarakat

 

Akibatnya, banyak yang merindukan kepemimpinan lama.

 

3)         Pancasila mengajarkan bahwa “Kepemimpinan harus membangun masyarakat berbangsa dan bernegara sesuai tujuan negara yang terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila”.  Tujuan negara tersebut adalah: masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

 

4)         Mengutip Bung Karno, Pancasila digali dari budaya adiluhung bangsa yang berjiwa gotong royong (bukan saling serang).  Selain itu, Pancasila adalah fitrah bangsa, yang sadar akan adanya perbedaan namun ingin bersatu dalam tujuan bersama.

 

5)         Penerapan Kepemimpinan Pancasila adalah “Hasta Brata” (kristalisasi nilai-nilai budaya kepemimpinan), yang dilambangkan dengan: surya (matahari), candra (bulan), buwana (bumi), kartika (bintang), angkoso (angkasa), bayu (angin), banyu (air), dan geni (api).

 

6)         Kepemimpinan berkarakter Pancasila adalah kepemimpinan yang membimbing dan mengayomi, seperti ajaran Ki Hajar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani).

 

7)         Problem bangsa Indonesia saat ini adalah sulit ditemukannya pemimpin yang mempunyai integritas dan mencerminkan kepemimpinan Pancasila.

 

8)         Saat ini bangsa Indonesia mengalami “Disorientasi” yang mengakibatkan “Distrust” (ketidakpercayaan) yang diikuti dengan “Disobedience” (ketidakpatuhan), dan dapat berujung pada “Disintegrasi” (perpecahan).

 

9)         Tentang amandemen konstitusi dan demokrasi, ada yang menilai bahwa amandemen konstitusi dan demokrasi saat ini kebablasan. Hal ini ditandai dengan adanya perkembangan kurang baik seperti menguatnya gejala oligarki, anarki, lemahnya penegakan hukum, dan juga lambannya pengambilan keputusan.

 

10)       Meski demikian, patut diapresiasi adanya beberapa lompatan/pencapaian maju seperti: revolusi demokrasi, Pemilu yang aman dan damai, tidak adanya pelanggaran HAM berat, Pilpres/Pilkada yang langsung, adanya lembaga-lembaga seperti MK, KY dan sebagainya.

 

11)      Di sisi lain, ada kemunduran yang signifikan yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak berkarakter. Penyebabnya antara lain:

 

a)         Orientasi politik hanya pada kekuasaan.

 

b)         Oligarki politik (pemimpin lahir dari proses transaksional).

 

c)         Kompromi yang berbau kolutif (nepotisme).

 

d)         Lahirnya pemimpin-pemimpin karbitan.

 

12)      Kita harus kembali pada “Kepemimpinan Pancasila” yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 

a)         Harus berkarakter (sama antara ucapan dan tindakan).

 

b)         Menjadi teladan dan bersikap jujur.

 

c)         Mencerminkan “Hasta Brata”.

 

d)         Berani bertindak dan bersih (merah dan putih).

 

e)         Kuat dan tangguh dalam penegakan hukum.

 

13)      Karena setiap kita adalah pemimpin, maka:

 

a)         Bangunlah integritas dan karakter (berbuat seperti apa yang diucapkan).

 

b)         Hidupkan dan hayati kepemimpinan Pancasila yang adiluhung itu.

 

c.         Brigjen TNI Djati Pontjo Oesodo, S.Sos (Kapusbintal TNI):

 

1)         Pancasila merupakan salah satu dari empat pilar kebangsaan Indonesia.

 

2)         Di masa lalu telah terjadi beberapa peristiwa terkait pengingkaran terhadap Pancasila (PKI pimpinan Muso tahun 1948, sistem politik liberalisme yang tidak sesuai kepribadian masyarakat, pemberontakan APRA, RMS, DI/TII, PRRI/Permesta, dan G30S/PKI tahun 1965).

 

3)         Di masa kini juga terjadi beberapa peristiwa yang memalukan sekaligus memilukan seperti kasus-kasus SARA, korupsi, tawuran, perkosaan, maraknya sikap hedonisme masyarakat, dan lain-lain. Ironisnya, Pancasila tidak lagi menjadi pelajaran utama dalam dunia pendidikan Indonesia.

 

4)        Nilai-nilai dalam Pancasila:

 

a)         Nilai spiritual, yaitu nilai yang melekat pada setiap WNI dan menjadi “nilai dasar”.

 

b)         Nilai material, yang merupakan “nilai instrumen” (UU dan Peraturan).

 

c)         Nilai vital, yaitu tampilan dalam wujud kepatuhan dan ketaatan WNI terhadap norma kehidupan bernegara, dan tercermin dalam etika dan moral anak bangsa.

 

5)         Konsepsi pembinaan karakter adalah dari “mental spiritual” (ketaqwaan) yang mendasari “ideologi” (nasionalisme), dan menjadi landasan bagi “kejuangan” (militansi).  Ketiga elemen ini akan menciptakan karakter tangguh seseorang.

 

6)        Sebagai bagian dari “mental spiritual”, diperlukan strategi menciptakan kerukunan beragama di Indonesia yaitu:

 

a)         Selamatkan Pancasila sebagai dasar negara.

 

b)         Pertemuan dan dialog lintas agama.

 

c)         Pancasila harus didukung oleh konstitusi yang menjamin terselenggaranya Pancasila itu sendiri.

 

Dari ketiga narasumber, terlepas dari keragaman materi yang disampaikan, ada benang merah menarik yang dapat saya ambil, yaitu:

 

a.         Bahwa keberlangsungan sebuah kelompok, komunitas, bahkan suatu bangsa bergantung pada karakter manusia yang ada di dalamnya. Selama manusia yang ada di dalamnya berkarakter sesuai dengan nilai-nilai dasar yang disepakati oleh kelompok/komunitas atau bangsa tersebut, niscaya akan tercapai kemajuan. Sebaliknya bila tidak, maka akan terjadi kemunduran bahkan kehancuran.

 

b.         Pancasila adalah nilai hakiki bangsa Indonesia, yang membuat bangsa ini ada, sehingga mustahil bangsa Indonesia akan tetap tegak berdiri bila ia meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap tegaknya Pancasila di tengah berbagai ancaman dan rongrongan yang dialaminya sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

 

c.         Karena nilai-nilai Pancasila adalah nilai-nilai dasar bagi bangsa Indonesia (yang sudah teruji seiring perjalanan sejarah), maka segala aspek kehidupan harus berlandaskan nilai-nilai dasar tersebut. Ini juga berlaku bagi aspek kepemimpinan, yang merupakan salah satu penentu kelangsungan hidup suatu bangsa. Bila kepemimpinan—pada semua strata—dijalankan dengan meninggalkan nilai-nilai Pancasila, maka kelompok/komunitas atau bahkan bangsa Indonesia dapat mengarah kepada perpecahan/kehancuran.

 

d.         Bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk membangun jati diri serta karakternya sendiri, dengan cara mengembalikan nilai-nilai dasar dalam Pancasila menjadi bagian dari sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Sekarang tiba saatnya kita bertanya pada kita sendiri, menjadi bagian yang mana diri kita?  Menjadi bagian yang (cukup) Pancasilais dan membangun negeri ini menjadi lebih baik, atau memilih meninggalkan Pancasila untuk sebuah pragmatisme tertentu dan membawa negeri ini menuju kehancurannya?  Hanya diri kita sendiri yang dapat menjawabnya.

LEONARDO DA VINCI DAN 109 TAHUN PENERBANGAN

Leonardo-Da-Vinci

Tanggal 17 Desember 1903 antara pukul 10.30 dan tengah hari, umat manusia mencatat sejarah besar ketika Wright bersaudara mampu mewujudkan impian jutaan orang untuk mengangkasa di udara bagaikan burung.   Hari itu, dua montir sepeda dari Ohio bernama Wilbur Wright dan Orville Wright secara meyakinkan mampu terbang dengan mesin secara terkendali sejauh 36,5 meter setinggi 3 meter selama 12 detik di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.   Diawali hari bersejarah itu (yang kemudian dikenal sebagai Hari Penerbangan Sedunia), dunia penerbangan kemudian mencatat lompatan-lompatan teknologi yang fantastis sehingga manusia “hanya” butuh waktu 66 tahun untuk akhirnya mendarat di bulan pada tahun 1969.   Seakan tidak bisa berhenti, teknologi penerbangan terus meraih pencapaian yang mampu mengubah cara hidup manusia hingga seorang Alvin Toffler sekalipun sangat yakin bahwa setelah era informasi, akan datang “aerospace era”.   Namun tahukah anda bahwa impian manusia untuk terbang telah diawali sejak berabad-abad lampau ketika para pemikir, filosof, dan ilmuwan menggagas berbagai kemungkinan bagi manusia untuk terbang.   Nah, bila anda adalah pecinta bacaan detektif, konspirasi atau religi sekaligus serta tidak melewatkan bacaan kontroversial The da Vinci Code, anda boleh merasa surprised karena ternyata lukisan-lukisan seperti “Mona Lisa”, “The Last Supper”, atau “Madonna of the Rock” memiliki hubungan yang erat dengan dunia penerbangan.   Lho, kok bisa?   Ya, karena Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh yang memiliki sumbangsih besar bagi teknologi penerbangan ini.

Leonardo dilahirkan pada tanggal 15 April 1452 di Anchiano, dekat Vinci di kota Florence.   Ia putra dari pasangan seorang notaris, Ser Piero dan seorang wanita muda bernama Caterina (keduanya tidak menikah).  Salah satu karyanya yang terkenal (yang kemudian menjadi akar kontroversi dalam The da Vinci Code) “The Last Supper” (Perjamuan Terakhir) ia kerjakan sejak 1495 hingga selesai tiga tahun kemudian.   Karya terkenalnya yang lain, “Mona Lisa” ia kerjakan di Florence pada tahun 1504.   Sementara itu ia mempelajari ilmu anatomi, perencanaan kota, optik dan hydraulic engineering di Milan sejak 1508.   Ia meninggal dunia dengan segala kekayaan karyanya pada tanggal 2 Mei 1519 dan dikuburkan di Gereja Saint Valentine di Amboise.   Pada tanggal 23 April 1519 ia mewariskan seluruh karyanya yang berupa manuskrip, gambar-gambar dan berbagai instrumen serta peralatan kepada murid kesayangannya Francesco Melzi.   Sementara kepada muridnya yang lain, Salai, ia meninggalkan lukisan-lukisannya di studio, termasuk “Mona Lisa”.   Ketika Melzi kemudian meninggal dunia pada tahun 1579, warisan karya Leonardo mulai tercecer.

Kontribusi Da Vinci Bagi Dunia Penerbangan

Bagi dunia penerbangan dan kedirgantaraan, hasil pemikiran ilmuwan yang memiliki kelainan dyslexia (kesulitan untuk memahami bacaan, hitungan dan konsep secara normal) ini berjumlah sekitar 700 buah (dari sekitar 5000 halaman gambar-gambar dan catatan-catatan yang pernah dibuat sepanjang hidupnya), sebagian besar berupa coretan-coretan dan gambar yang belum sempat ia buat modelnya.   Pemikiran Leonardo tentang “terbang” meliputi konsep pesawat terbang itu sendiri, model sayap, pengukur kecepatan dan arah angin hingga instrumen-instrumen.  Pemikiran Leonardo tentang “terbang” ini terkumpul dalam Codex “On the Flight of Birds” yang disimpan di Biblioteca Reale Turin, Italia dan Codices of the Institut de France di Paris, Perancis. Gagasan Leonardo itu sebagian besar telah dituangkan dalam bentuk replika di National Museum of Science and Technology Leonardo da Vinci di Milan, Italia.   Dalam banyak dokumennya, ia menyertakan tulisan-tulisan yang ditulis secara terbalik (mirror image writing)—salah satu keistimewaan seorang dyslexic—yang menjelaskan arti atau kegunaan alat/instrumen yang digambarnya.

Apa saja yang telah digagas Leonardo da Vinci untuk mewujudkan impian manusia agar dapat terbang sebagaimana layaknya burung di udara?   Beberapa yang terpenting akan dijelaskan berikut ini.

1.         Kapal Terbang (Flying Ship).   Berbentuk sebuah kapal terbang kecil yang dilengkapi dengan sayap (flapping wings) dan helm.   Ini adalah salah satu gagasan paling imajinatif Leonardo tentang mesin terbang.   Kursi penerbangnya terletak di dalam cerukan berbentuk setengah tabung (seperti perahu) yang juga diisi semua sistem mekanis (screws, nut dan crank) yang mengendalikan dua sayap yang mirip sayap kelelawar.   Yang menarik khususnya adalah bentuk permukaan besar di bagian ekor, kemungkinan besar adalah sistem untuk menyesuaikan posisi terbang dan tentu saja arah dari kapal terbang itu sendiri.   Gambar kapal terbang ini tidak disertai catatan Leonardo dan mungkin dikerjakannya antara tahun 1486 dan 1490.   Gambar ini menarik karena untuk pertama kalinya gambar ini menjelaskan adanya bidang ekor yang besar untuk memberi kestabilan terbang dan mendarat serta adanya bentuk badan (fuselage).   Sayap dioperasikan dengan alat berupa screw dan nut-screw yang dirancang khusus untuk mengurangi stress dan terletak di pegangan tangan serta digerakkan oleh dua orang sebagai awak pesawatnya.

Kapal Terbang Da Vinci
Kapal Terbang Da Vinci

2.         Struktur Sayap.   Studi tentang struktur sayap menandai momen penting dan kritis bagi pencarian Leonardo untuk merancang sebuah mesin yang dapat menerbangkan manusia.   Gambar berikut menunjukkan sebuah bentuk sayap kelelawar dengan rangka kayu dan ranting yang dibalut serat.   Sayap ini, dengan ruas-ruas dan pelapisnya, terbuat dari poros kayu dengan roda penggerak kayu di bagian depannya.

Struktur Sayap Da Vinci
Struktur Sayap Da Vinci

Folio ini, yang diperkirakan dibuat antara tahun 1486 dan 1490, berisi gambar dengan pena, dengan beberapa garis dari pensil, dari sebuah sayap mekanis yang dilapisi kain dan digerakkan melalui pengangkat tuas (kanan bawah pada gambar).   Tidak ada keterangan pada gambar ini.   Mekanisme di atas dirancang untuk menggerakkan sayap melalui sebuah tuas, yang menggulung tali melalui pengungkit.

3.         Sayap Buatan (Articulated Wing).   Leonardo merancang alat ini, dilengkapi dengan mekanisme hambat dan puntir di bagian luarnya, dalam usahanya untuk secara sempurna menghasilkan struktur sebuah sayap burung.   Tujuan alat ini adalah untuk menjamin gerakan balik yang otomatis dari sayap yang dilenturkan.   Perhatian khusus diberikan dalam hal pegas dan sendi-sendi yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sayap tersebut.

'Articulated Wing' Da Vinci
‘Articulated Wing’ Da Vinci

Folio ini, yang kemungkinan dibuat sekitar tahun 1496, berisi studi tentang sebuah sayap buatan dan detil pada sendi-sendi penghubung serta pegas yang dipasang pada konstruksinya.   Gambar ini dibuat dengan pena dan pensil dan bertuliskan huruf-huruf  n-r-m-o-f , yang dibuat sebagai keterangan gambar.   Catatan berikut dibuat di bawah gambar besar sayap “kain linen berbentuk ekor merpati”, yang ditulis di tepi gambar : “Tolli n’iscambio di molla, fila di ferro sottili e temperate; le quali fila sieno di medesima grossezza e lunghezza infra le legature e arai le molli d’equal potenzia e resistenziam se le fila in ciascun sieno di pari numero” (mekanisme pegas menggunakan kabel tipis dan keras; bila bagian kabel di antara sendi-sendi memiliki ketebalan dan panjang yang sama dan bila tiap pegas memiliki jumlah bagian kabel yang sama, maka akan dihasilkan pegas-pegas dengan kekuatan dan ketahanan yang sama).

4.         Parasut.   Dalam catatannya, Leonardo menerangkan bahwa dengan kain yang dibentuk piramid dengan panjang rusuk 12 yard (sekitar 7 meter) menyilang dan sama panjang, bila tetap dalam keadaan terbuka, “ognuno si potrà gettare da qualsiasi altezza senza alcun rischio” (siapa saja dapat melompat dari ketinggian berapapun tanpa resiko sama sekali).

Parasut Da Vinci
Parasut Da Vinci

Folio tersebut berisi gambar-gambar yang berhubungan dengan studi tentang penerbangan mekanis, yang diselesaikan antara tahun 1483 dan 1486.   Di bagian atas folio, prinsip resiprositas aerodinamika diperkenalkan untuk pertama kalinya, seiring dengan konsep pembuatan parasut dengan penjelasan gambar sebagai berikut : “Se un uomo ha un padiglione di pannolino intasato che sia di 12 braccia per faccia e alto 12, potrà gittarsi d’ogni grande altezza senza danno di sé” (bila seseorang diberi kain yang dijahit rapat-dengan panjang 12 yard pada tiap sisinya dan tinggi 12 yard, ia dapat melompat dari ketinggian seberapapun tanpa mengalami cedera).   Karena ukuran “braccio” (yard) Florence saat itu setara dengan lebih kurang 60 cm, maka parasut Leonardo dapat dikatakan sebanding dengan sebuah piramid empat sisi dengan tinggi dan panjang sisi miringnya 7,2 meter.

5.         Glider dengan Manoeuverable Tips.   Ketika merasakan sulitnya mewujudkan impian terbang dengan mesin bertenaga manusia, Leonardo mulai mempelajari gliding flight (terbang meluncur tanpa mesin).   Dalam pesawat glider rancangannya, posisi penerbang diandaikan sedemikian rupa sehingga ia mudah menyeimbangkan dirinya dengan menggerakkan bagian bawah tubuh secukupnya.   Sayap glider ini, yang merupakan tiruan dari sayap kelelawar dan burung-burung besar, dipasangkan di bagian terdalam (terdekat dengan penerbangnya) dan dapat bergerak bebas di bagian luarnya.   Bagian luar ini bahkan dapat  ditekuk oleh si penerbang dengan kabel yang digerakkan melalui beberapa pegangan (handles).   Leonardo mengembangkan solusi ini setelah mempelajari struktur sayap burung dan mengamati bahwa bagian dalam sayap mereka bergerak lebih lambat daripada bagian luarnya dan oleh karenanya bagian ini berfungsi lebih untuk bertahan (tetap mengudara) daripada sekedar mendorong ke depan.

Gilder Da Vinci
Gilder Da Vinci

Gambar dibuat dengan pena.   Folio tersebut berisi tiga gambar sayap buatan yang digerakkan dengan sabuk yang diikatkan ke kaki dan badan si penerbang.   Leonardo membuat struktur sayapnya streamline dengan sayap yang terpasang langsung ke badan penerbang (ornithopter).   Catatan di tepi folio tidak mengacu pada gambarnya melainkan berisi catatan tentang gerakan air yang mengalir dari pegunungan.

6.         Anemometer.   Salah satu dari dua jenis anemometer yang digambar Leonardo adalah sebuah rancangan sederhana.   Terbuat dari rangka kayu bergerigi dengan bilah yang digerakkan oleh angin sehingga menunjukkan arah angin tersebut.   Alat ini dirancang untuk mempelajari kondisi cuaca, dengan tujuan menambah tingkat keamanan penerbangan.

Anemometer Da Vinci
Anemometer Da Vinci

Folio ini berisi berbagai gambar mesin terbang dan alat-alat lainnya dengan sifat yang beragam.   Gambar anemometer, yang bertanggal antara tahun 1483-1486, dilengkapi dengan sebuah keterangan menarik, yang di dalamnya Leonardo menekankan perlunya melengkapi alat tersebut dengan jam untuk mengukur dan mencatat kecepatan angin : “A misurare quanta via si vada per ora col corso d’un vento. Qui bisogna un orilogio che mostri l’ore, punti e minuti” (Untuk mengukur jarak yang dilalui per jam dengan kekuatan angin.   Jam penunjuk waktu diperlukan di sini).

7.         Inclinometer.   Alat ini digunakan untuk mengetahui posisi mesin terbang saat di udara.  Agar si mesin terbang mencapai posisi horisontal pada kondisi terbang tertentu, bola kecil dalam tabung berbentuk loceng harus berada tepat di tengah-tengah alat ini.   Kaca lonceng ini adalah untuk mencegah angin agar tak mempengaruhi bola.

Inclinometer Da Vinci
Inclinometer Da Vinci

Pada bagian atas folio tersebut ditunjukkan gambar yang berhubungan dengan berat yang diukur dengan timbangan, dan percobaan-percobaan untuk mengukur kekuatan sekrupnya.   Pada bagian bawah adalah gambar inclinometernya, yang bertanggal antara tahun 1483-1486.   Di sebelah gambar alat ini, yang digunakan untuk mengukur ketegakan (verticality) dan digunakan untuk terbang, adalah keterangan gambarnya “non ci vuol dare il vento” (pasti tidak ada angin) dan juga “Questa palla dentro al cerchio ha esser quella che ti farà guidare lo strumento diritto o torto, come vorrai, cioè quando vorrai andare pari, fa che la palla stia nel mezzo del cerchio, e la pruova te lo insegnerà” (bola di tengah lingkaran akan memungkinkan anda untuk mengarahkan mesin (terbang) anda.   Artinya, kapanpun anda ingin terbang secara horisontal, pastikan bola berada di tengah lingkaran.   Cobalah dan anda akan membuktikannya).

(Catatan penulis : dalam konfigurasi pesawat-pesawat sekarang, inclinometer ini diwujudkan secara modern dalam bentuk instrumen yang dikenal dengan nama Artificial Horizon (A/H)-untuk pesawat buatan Amerika, atau Artificial Directional Indicator (ADI)-untuk pesawat Eropa.   Dalam perangkat instrumen ini, terdapat sebuah bola besar dengan skala-skala yang berfungsi untuk menunjukkan attitude/sikap pesawat (miring ke kiri, kanan atau level) dan bola kecil di bawahnya untuk menunjukkan sikap lateral pesawat terhadap heading/arah yang ditempuhnya).

8.         Sekrup Terbang (Aerial Screw).   “Trovo, se questo strumento a vite sarà ben fatto, cioè fatto di tela lina, stopata i suoi pori con amido, e svoltata con prestezza, che detta vite si fa la femmina nell’aria e monterà in alto” (Saya percaya bahwa bila alat sekrup ini dibuat dengan benar, artinya dibuat dari kain (linen), pori-pori yang tertutup oleh kanji, dan bila alat ini diputar dengan cepat, sekrupnya akan mengaitkan gigi-giginya ketika berada di udara dan akan bergerak ke atas di ketinggian).   Ini adalah salah satu gambar Leonardo yang terkenal.   Beberapa ahli menyebutnya sebagai “nenek moyang” helikopter.   Satu-satunya gambar yang mengikuti catatan Leonardo adalah sketsa sebuah sekrup terbang dengan diameter 5 meter, terbuat dari serat tipis, kain linen dan kabel, (diperkirakan) digerakkan oleh empat orang yang mungkin saja berdiri di bagian tengah dan menghasilkan tekanan pada batang-batang di depannya dengan tangan mereka, sehingga membuat porosnya berputar.   Jadi, mesin yang kemudian dirancang ini kemungkinan tidak pernah terangkat atau digerakkan dari tanah; namun idenya tetap, bahwa bila ada kekuatan penggerak yang cukup, mesin ini akan terangkat dari tanah dan berputar di udara.

Sekrup Terbang Da Vinci
Sekrup Terbang Da Vinci

Gambar sekrup terbang ini dibuat sepanjang periode pertama Leonardo di Milan dan kemungkinan bertanggal antara 1483-1486.   Sekrup terbang ini berbeda dari mesin yang lain karena ia direncanakan untuk studi tentang efisiensi propeler dan bukan sebagai mesin terbang yang sesungguhnya.   Dalam catatan yang menyertai gambar ini, Leonardo bahkan menyarankan (dengan contoh) bahwa apa yang ia rancang dapat dicoba dengan menggunakan bahan kayu yang tipis dan lebar, lalu diputar dengan cepat di udara.   Akan terbukti bahwa lengan orang yang memutar batang poros sekrup akan tertarik ke atas ke arah poros itu sendiri.   Dalam catatan yang sama, Leonardo menyarankan memakai model dari kertas dan meluncurkannya dengan kumparan pegas yang dibalutkan di sekeliling sekrup.    Penyebutan yang spesifik tentang sekrup terbang ini memperkuat asumsi bahwa model ini sebenarnya adalah representasi dari permainan kincir (mungkin seperti gasing di Indonesia), sebuah permainan yang sudah populer di masa Leonardo.   Karena ukurannya yang kecil, mainan itu dapat dimainkan dengan pegas atau lebih baik lagi dengan tali kecil, yang cepat terbuka sehingga sekrup dapat berputar karenanya dan bergerak ke atas.   Ini bisa jadi sumber ilham bahwa mekanisme yang sama, yang lebih besar ukurannya dan diputar dengan kekuatan penggerak yang cukup, dapat terangkat dari tanah.

Masih terdapat beberapa gagasan lainnya yang menegaskan betapa Leonardo betul-betul memimpikan manusia suatu saat nanti dapat terbang seperti layaknya burung.   Leonardo sepertinya terobsesi dengan mekanisme kerja sayap burung atau kelelawar yang mampu menerbangkan mereka ke manapun mereka ingin.   Ini bisa dilihat dari coretan-coretannya tentang sayap dan peralatan-peralatan untuk membuat sayap ini bekerja seperti sayap burung/kelelawar.   Coretan-coretan itu antara lain: mesin sayap tekuk dengan bearing vertikal, struktur sayap dengan kemiringan yang adjustable, alat untuk menguji tekukan sayap, alat penekuk sayap dengan sistem sekrup, anemoscope, dan mesin pegas untuk kapal terbang.   Umumnya coretan-coretan ini belum sempat dibuat modelnya, apalagi diuji kinerjanya.   Dengan perkembangan ilmu pengetahuan aerodinamika dan fluida, akan nyata bahwa sebagian besar konsep Leonardo sulit untuk diharapkan bekerja seperti keinginannya.   Namun bagaimanapun, Leonardo telah merintis secara nyata apa yang diimpikan manusia sejak lama: terbang.   Rintisannya bukan sekedar mitos atau dongeng, melainkan terwujud dalam gambar-gambar serta tulisan-tulisan yang dapat kita lihat hingga kini.

ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

LAGU UNTUK KEHIDUPAN

Untuk semua dosa dan kesucian,

Untuk semua dusta dan kebenaran,

Ke manakah semua mengalir?

Seperti apa semua akan berakhir?

 

Untuk semua kejam dan kemurahan,

Untuk semua caci dan pujian,

Siapakah sesungguhnya raja?

Seperti apakah Sang Penguasa?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk semua keindahannya yang tragis,

Untuk semua tawa dan tangis,

Aku memberinya penghargaan tertinggi…

 

Ronanya penuh dera,

Warnanya penuh cabik,

Kilaunya penuh sayat,

Dan semuanya indah…

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk pelangi yang jadi jendelanya,

Untuk mentari yang adalah pintunya,

Dan langit atapnya yang setia…

 

Untuk semua pilu dan senyuman,

Untuk segala galau dan kepastian,

Yang manakah yang tetap hidup?

Siapakah Sang Tunggal?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Yang menjadikanku bintang…

CANTO ALLA VITA

Dedicato a chi colpevole o innocente
perso in questo mare
si è arreso alla corrente
chi non è mai stato vincente?

Dedicato a chi aspetta una speranza
davanti ad un dolore
nel freddo di una stanza

Dedicato a chi cerca la sua libertà

Canto alla vita
alla sua bellezza
ad ogni sua ferita
ogni sua bellezza

I sing to life and to it’s tragic beauty
To pain and to strife, but all that dances through me
The rise and the fall; I’ve lived through it all

Dedicato a chi la sente inaridita
come fosse sabbia asciutta fra le dita
e la sente già finita

Canto alla vita
negli occhi tuoi riflessa
fragile e infinita
terra a noi promessa

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama

Non dubitare mai
Non dubitare mai
Non lasciarla mai da sola
da sola
ancora …

Canto alla vita
alla sua bellezza

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama…