KONTESTASI GREAT POWERS DI KAWASAN ASEAN DAN DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Pertahanan (negara) adalah investasi.  Negara yang kuat pertahanannya, aman, terjadi iklim yang damai.

– Prabowo Subianto –

Tanggal 25 November 2020 yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang mengambil tema “Sentralitas ASEAN Dalam Kontestasi Great Powers di Kawasan Indo-Pasifik: Inisiatif Diplomasi Pertahanan Indonesia”.  FGD ini membahas hasil kajian yang dilakukan oleh Kemenkopolhukam RI bekerjasama dengan Parahyangan Center of International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Kesempatan berharga itu saya manfaatkan untuk menyampaikan beberapa pandangan saya terkait diplomasi pertahanan Indonesia, yang karena kesibukan baru bisa saya muat dalam bentuk artikel kali ini.

BEBERAPA FAKTA[1]

1.     Mengacu pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) April 2020, belanja militer di Asia Tenggara mengalami peningkatan 4,2% di tahun 2019 hingga mencapai 40,5 miliar Dollar AS, setelah sebelumnya mengalami penurunan 4,1% di tahun 2018.  Bila dihitung dalam satu dekade 2010-2019, peningkatannya mencapai 34%.

2.     Dari data di atas, tiga negara di kawasan ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar di tahun 2019 adalah Singapura (28% dari total belanja pertahanan kawasan), Indonesia (19%), dan Thailand (18%).  Beberapa negara di kawasan ASEAN meningkatkan belanja pertahanannya untuk memperkuat kemampuan angkatan perangnya sebagai reaksi atas klaim Tiongkok serta aktifitas mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).

3.     Masih dari data di atas, beberapa negara ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar dalam hal persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 antara lain: Singapura 11.2 miliar Dollar AS (3.2% PDB), Indonesia 7.7 miliar Dollar AS (0.7% PDB), Thailand 7.3 miliar Dollar AS (1.3% PDB).  Negara tetangga ASEAN, Australia mencatatkan belanja pertahanannya sebesar 25.9 miliar Dollar AS (1.9% PDB).

Table 1. World’s Defence Spending 2019 (source: SIPRI)

SI VIS PACEM, PARA BELLUM

Perang pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional.  Secara universal, dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional semua bangsa adalah keberlangsungan hidup (sustainment of life) atau lebih sederhananya: bertahan hidup (survival).  Mereka yang memiliki sedikit sumber daya untuk bertahan hidup akan merasa perlu memperjuangkan banyak hal bahkan hingga tingkat yang paling ekstrim yaitu dengan berperang.  Namun, mereka yang memiliki banyak sumber daya untuk bertahan hidup, tidak boleh merasa tidak ada atau tidak banyak yang perlu mereka perjuangkan hingga harus berperang.

Semua perang yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia seperti ekspansi Kerajaan Romawi, Perang Salib, ekspansi Kerajaan Mongol, dua kali Perang Dunia, bahkan Perang Dingin yang tidak melibatkan konfrontasi fisik senjata antara dua negara adikuasa saat itupun, terjadi karena ada kelompok/negara yang ingin menguasai kelompok/negara lain, yang tentu saja untuk menguasai sumber dayanya bagi kepentingan hidup kelompok/negaranya.  Fakta ini mengajarkan kepada kita bahwa memiliki sumber daya bukan berarti kita akan hidup dengan mudah, damai dan tenang.  Semakin melimpah sumber daya yang dimiliki sebuah bangsa, justru menghadirkan tantangan yang makin besar untuk mempertahankan sumber daya itu bagi kemakmuran bangsanya dari kemungkinan dirampas, dijarah, dan dikuasai orang lain.

KONTESTASI GREAT POWERS

Kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) secara umum didefinisikan sebagai kekuatan-kekuatan (dalam hal ini negara) yang dipandang memiliki kemampuan atau keahlian untuk menyebarkan atau menanamkan pengaruhnya pada tingkat global.[2]  Saat ini, dunia pada umumnya menganggap negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, Inggris, juga Jerman dan Perancis adalah mereka yang termasuk dalam kategori Great Powers tersebut.  Pengaruh yang disebarkan secara global ini bermacam-macam bentuknya: ekonomi (misalnya dalam wujud perdagangan dan perbankan), teknologi, sosial dan budaya, juga militer.  Penggunaan mata uang Dollar AS sebagai standar mata uang dunia, meluasnya konsumsi makanan cepat saji, penggunaan platform-platform media sosial, merupakan bentuk-bentuk pengaruh yang berasal dari Great Powers tadi.

Dari perspektif militer, fenomena Great Powers sebenarnya merupakan evolusi dari bipolarisasi kekuatan di era pasca Perang Dunia II atau Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet menjadi pusat kekuatan militer global.  Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, AS tampil sebagai satu-satunya orientasi kekuatan militer dunia.  Meskipun masih dianggap sebagai pusat kekuatan militer dunia, hegemoni AS perlahan-lahan mulai “tergerus” sejak akhir era 1990-an, ketika Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dan membangun militernya berbasis teknologi ciptaan mereka sendiri, serta Rusia yang mewarisi sebagian besar kapasitas industri pertahanan dari jaman Uni Soviet berusaha untuk membangun (kembali) pasar produk militernya.  Meski demikian, geliat Tiongkok dan Rusia belum terlalu signifikan mempengaruhi peta kekuatan militer dunia, karena pasar kedua negara tersebut umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara-negara dengan tata kelola yang buruk.

Di regional ASEAN, kontestasi Great Powers, setidaknya untuk saat ini, berpusat pada persaingan AS dan Tiongkok, terutama di kawasan ekonomi Laut Tiongkok Selatan (LTS).  Hal ini karena secara geografis, beberapa negara ASEAN secara langsung terdampak oleh kebijakan-kebijakan sepihak Pemerintah Tiongkok atas klaim mereka di LTS, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tentu saja Indonesia.  Persoalannya, seberapa mampu ASEAN sebagai sebuah entitas multilateral meminimalisir dampak manuver-manuver masif Tiongkok di kawasan tersebut?

Kembali pada filosofi dasar “sustainment of life” atau “survival” tadi, LTS menjadi menarik karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan nilai strategis dan ekonomi tinggi yang dapat membantu siapapun “bertahan hidup”.  Namun, LTS juga merupakan “jembatan”, baik secara fisik/geografis maupun politis/diplomatis bagi perluasan kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, yang tentu saja sangat mengganggu AS.  Sejarah mencatat, kawasan Asia Tenggara adalah salah satu “area of interest” AS sejak lama, bila kita melihat pada masa Perang Dunia II, pemberontakan-pemberontakan di Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1960-an sampai penggulingan Soekarno tahun 1966, Perang Vietnam, akuisisi Timor Timur oleh Indonesia, dan masih banyak lagi.  AS membangun pangkalan militer di Filipina sejak 1947 hingga 1992, dan masih memiliki akses untuk menggunakan pangkalan-pangkalan militer di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, dan tentu saja sekutu dekat mereka Australia.

PERAN ASEAN

https://asean.org/asean/asean-member-states/

Association of South East Asia Nations (ASEAN), sejak dibentuk tahun 1967 telah memainkan peran sentral sebagai sebuah komunitas menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan ini.  Keanggotaan yang awalnya terdiri atas lima negara pendiri, saat ini telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah lima negara berikutnya bergabung dalam periode antara 1984 hingga 1998.  Fokus kerja sama ASEAN adalah di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dan informasi.  Meskipun berdiri di atas prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, dan saling menghormati, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sejarah masing-masing negara anggotanya berpeluang memunculkan gesekan-gesekan khususnya di sektor pertahanan.

Heterogenitas negara-negara ASEAN menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dalam menyatukan visi di bidang pertahanan dan keamanan kawasan.  Keterikatan historis negara-negara anggotanya dengan beberapa negara besar di luar kawasan telah menghasilkan orientasi pembangunan pertahanan yang beragam di antara sesama anggota ASEAN.  Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam misalnya, mereka adalah bagian dari The Commonwealth yang dipimpin oleh Inggris.  Filipina, meskipun di bawah Presiden Rodrigo Duterte terlihat agak “menjaga jarak” dengan AS, namun pada faktanya sangat bergantung pada Pemerintah AS dalam memperkuat militernya—sekali lagi karena faktor historis.  Vietnam, terlepas dari konflik akhir-akhir ini dengan Tiongkok di LTS, membangun reformasi sosialisme mereka dengan belajar dari Tiongkok, lagi-lagi karena faktor historis.

Faktor historis membuat beberapa negara ASEAN memiliki apa yang disebut sebagai “floating multilateralism” atau multilaterisme mengambang yang memungkinkan beberapa negara ASEAN membangun koneksitas yang demi kepentingan pragmatis bisa saja melebihi koneksitas mereka dengan ASEAN itu sendiri.  Multilateralisme mengambang, bila dibawa ke ranah militer atau pertahanan negara, seperti koneksitas Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris, tentu menjadi sebuah tantangan dan ujian besar bagi “ASEAN Bersatu”.  Ujian ini pernah dialami ASEAN dalam sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang berujung pada lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI tahun 2002.

Dalam KTT ASEAN di Bangkok bulan Juni 2019, para pemimpin negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah konsep politik regional yang bertajuk “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”. Pandangan ASEAN ini berdasarkan pada prinsip-prinsip memperkuat sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusifitas ASEAN, kerangka kerja berbasis peraturan, good governance, penghormatan atas kedaulatan, non-intervensi, ketaatan terhadap kerangka kerjasama yang sudah ada, kesamaan, saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap hukum internasional seperti UN Charter, UNCLOS 1982 dan peraturan-peraturan internasional lainnya, serta ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan regional lainnya.[3]

Secara subyektif, saya melihat ASEAN Outlook ini sebagai sebuah paradoks: di satu sisi ASEAN Outlook on Indo Pacific berfokus kepada area kerjasama non-militer (Maritime Cooperation, Connectivity, UN Sustainable Development Goals 2030, Economic and other areas), namun di saat yang sama,     kontestasi Great Powers mengindikasikan eskalasi di sektor militer yang akan berdampak pada stabilitas kawasan.  Sengketa LTS adalah contoh di mana konflik militer di kawasan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun itu bukan antar negara ASEAN.  Namun sejarah mencatat bahwa hubungan militer di antara negara-negara anggota ASEAN layaknya “api dalam sekam”: dingin di permukaan, namun “panas” di dalam (contohnya sengketa wilayah Ambalat).

DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Kecenderungan eskalasi ketegangan di kawasan LTS tentu harus disikapi serius oleh ASEAN, tidak hanya untuk stabilitas kawasan, namun juga tak kalah pentingnya adalah untuk menjamin agar ASEAN sendiri tidak “terpecah”, karena meskipun secara kuantitatif musuh yang dihadapi sama (Tiongkok), namun secara kualitatif kepentingan tiap negara ASEAN yang terkait dengan LTS bisa saja berbeda.  Perbedaan kepentingan ini sangat berpeluang memunculkan orientasi pragmatis dalam pengembangan kekuatan militer tiap-tiap negara, dengan mengatasnamakan sengketa LTS.

Meskipun terkesan normatif dan sedikit naif, namun diplomasi pertahanan tetap menjadi sebuah upaya yang harus dilakukan demi tetap terjaganya stabilitas kawasan ASEAN.  ASEAN memiliki forum-forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM Plus yang melibatkan para Menteri Pertahanan dari delapan negara mitra ASEAN (AS, Tiongkok, Rusia, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).  Namun demikian, fakta masih terjadinya beberapa sengketa perbatasan, termasuk pelanggaran wilayah baik di darat, laut maupun udara di antara sesama anggota ASEAN menunjukkan bahwa diplomasi pertahanan bukan sebuah solusi tunggal.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita dalam hal diplomasi pertahanan ini, baik secara umum maupun khusus dalam konteks kontestasi Great Powers:

1.     Pada suatu titik ketika dampak kontestasi Great Powers sudah dipandang membahayakan kepentingan negara ASEAN tertentu, sebuah negara bisa mengambil langkah pragmatis.  Dalam kasus Filipina versus Tiongkok di Arbitrase LTS 2016 (The Hague) yang hasilnya diabaikan sama sekali oleh Tiongkok (meskipun mereka termasuk dalam UNCLOS 1982) misalnya, Filipina tentu merasa mereka tidak dapat mengandalkan ASEAN, dan bisa jadi lebih memilih untuk memanfaatkan floating multilateralism mereka dengan AS (yang tentu saja akan dimanfaatkan AS dengan senang hati).

2.     Diplomasi pertahanan, yang bertujuan mewujudkan perdamaian kawasan tetap harus didukung dengan “kesiapan berperang”. Si vis pacem, para bellum.  Diplomasi pertahanan Indonesia jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa itu adalah upaya Indonesia karena tidak siap berperang.  Fakta bahwa beberapa pelanggaran wilayah oleh kekuatan militer negara tetangga masih terjadi hingga saat ini (yang terlalu naif untuk dikatakan “tidak sengaja”) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum terlalu “dianggap”, bahkan di tingkat kawasan.

Mendiang Presiden AS John Fitzgerald Kennedy pernah berkata “It is an unfortunate fact that we can secure peace only by preparing for war”.  Itu berarti bahwa diplomasi pertahanan untuk tujuan stabilitas dan perdamaian (kawasan) juga harus diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan, atau kesiapan untuk berperang. Diplomasi pertahanan dan pembangunan kekuatan pertahanan layaknya dua sisi mata uang yang memberi keuntungan timbal balik: diplomasi pertahanan dapat meningkatkan kesiapan berperang; kesiapan berperang akan memperkuat posisi diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan harus dilihat sebagai suatu upaya atau tindakan yang sistematis, dan melibatkan semua elemen nasional.  Diplomasi pertahanan haruslah berupa pendekatan “kesisteman Indonesia”.  Belajar dari para Great Powers, kuatnya posisi diplomasi pertahanan mereka banyak ditentukan oleh kuatnya ekonomi, majunya industri (tidak hanya industri sektor pertahanan), kuatnya political will pemerintah, tingginya tingkat literasi atau keterdidikan masyarakat, mapannya tata kelola negara, dan faktor-faktor lainnya.

Di sisi lain, pembangunan kekuatan pertahanan agar “siap berperang” juga harus dilihat dengan pendekatan yang sama: “kesisteman Indonesia”.  Semua elemen harus terlibat, tidak hanya Kementerian Pertahanan atau TNI.  Pembangunan kekuatan pertahanan bukan semata-mata soal defence spending atau belanja pertahanan.  Membangun pertahanan untuk sebuah negara seluas Indonesia dengan mengandalkan defence spending, selain memerlukan biaya besar, juga tidak menjamin adanya daya gentar dalam jangka panjang.  Kita dapat melihat besarnya defence spending di beberapa negara kaya di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab atau Qatar, yang secara kualitatif tidak menghasilkan rasa takut atau segan negara-negara lainnya.

Diplomasi pertahanan Indonesia akan lebih kuat, berpengaruh, diperhitungkan dan dihormati di kawasan bila Indonesia secara serius menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten untuk membangun pertahanan negara yang tangguh, dengan mengubah paradigma dari defence spending ke defence investmentDefence investment adalah pembangunan dan pengembangan segenap sumber daya pertahanan: Alutsista, sumber daya manusia (SDM), research and development (R&D), industri pertahanan, serta tata kelola pertahanan negara berupa struktur, doktrin, strategi hingga taktik.  Bila ini dijalankan, dalam jangka panjang belanja pertahanan akan menjadi asset, bukan hanya beban atau liability.  Negara-negara seperti Iran dan India memiliki posisi diplomasi pertahanan yang bagus tidak hanya di kawasan mereka, namun juga di tingkat global, bukan semata-mata dengan defence spending, namun juga dengan kemandirian industri mereka dan kekuatan political will pemerintahnya.

Itulah tantangan pembangunan kekuatan diplomasi pertahanan kita, agar kita lebih disegani dan dihormati, setidaknya di kawasan ASEAN, di tengah perjuangannya menghadapi dampak kontestasi Great Powers.  Siapapun yang ingin hidup damai, tenang dan nyaman, harus siap untuk berperang.

Si vis pacem, para bellum.


[1] https://www.sipri.org/databases/milex, diunduh tanggal 21 November 2020

[2] https://www.webcitation.org/5kwqEr8pe, diunduh 30 Januari 2021

[3] https://asean.org/storage/2019/06/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf, diterjemahkan tanggal 24 November 2020.

MEMBANGUN DI ATAS KOMPETENSI MORAL

Foto dari islamindonesia.id

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri.  Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah melakukan perlawanan di berbagai daerah.  Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan” Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.

Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat” atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.  Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.  Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis untuk menjadi sebuah negara merdeka?  Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan?  Punya sumber daya untuk membiayai pembangunan?  Punya angkatan perang yang cukup kuat untuk melindungi negara?  Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.

Lantas kecakapan atau kompetensi apa yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka?  KOMPETENSI MORAL.  Kecakapan moral itulah yang membuat para tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka.  Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang, karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib Indonesia.  Mereka juga berpotensi dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan Jepang pasca menyerahnya Jepang.  Namun, kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.

JANGAN PERNAH LUPA PADA SEJARAH

Itu 75 tahun yang lalu.  Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”.  Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan dalam tata kelola bermasyarakat.  Adalah sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.

Kembali pada sejarah, setelah merdeka bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya.  Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an, hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI.  Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998, yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat ini.

Berbagai pencapaian telah diraih.  Pembangunan infrastruktur berjalan masif, Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”.  Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun).  Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi.  Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”

History is the foundation of a nation.  Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa.  Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.  Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng.  Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata para pendahulu kita.

KOMPETENSI MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA

Para pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama kita kompeten secara moral.  Apa yang dimaksud “kompeten secara moral” itu?  Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama, mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.

Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah proklamasi.  Kompetensi moral itu pulalah yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia yang masih berusia dini.  Juga pada diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia.  Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.  Diri dan keluarga merekapun berada di prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.

Tujuan pembangunan negara adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).  Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Cita-cita nasional hanya dapat diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.  Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.  Benchmark dari karakter bangsa ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita bernegara.  Artinya, kita perlu kembali lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami bagaimana kita harus melangkah ke depan.  Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia tahun 2003.

SEBERAPA KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?

Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai lembaga penegakan hukum sudah dibentuk.  Tidak sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat.  Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.

Kita bangga dengan pencapaian pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan nasional kita yang sudah maju.  Sebelum pandemi Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi di Pulau Jawa, yang nota bene satu pulau dengan Ibukota negara).  Saat pandemi, terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan sinyal dan akses internet yang stabil.  Masih banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.

Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.  Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir dan sikap moralnya.  Tidak mengherankan, karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka.  Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.

Pencapaian kita memang banyak di 75 tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, itu persoalan lain.  Menjawab pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta kepuasan diri sendiri.

Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini dibangun di atas kompetensi moral.

Selamat memaknai 75 tahun perjalanan, negeriku!

Dirgahayu, tanah airku!

MENDIDIK INDONESIA

Ilustrasi dari siedoo.com

Ketika saya berkesempatan menempuh pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary school) di kota Queanbeyan, NSW.  Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra.  Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu.  Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore.  Siswa di situ selalu mendapat PR setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.

Saya selalu membaca lembar kertas PR yang dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian saya.  PR itu hanya berupa 1 lembar kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran lain.  Matematikanya sangat gampang untuk ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di kelas II dan III di sekolahnya di Bogor.  Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.

Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website bla bla bla dot co dot au.  Jawab semua pertanyaan di dalamnya.  Bila ada yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”.  Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi ada juga yang tidak.  Semula anak saya meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.

Karakter, Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan

Suatu hari ketika menjemput anak saya di sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya.  Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia seperti anak Bapak.  Tapi dalam keyakinan kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis, dan berhitung.  Kalau cuma itu, selama anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal, mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung.  Itulah yang diberikan sekolah.  Tapi ketika membangun karakter, kita harus mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini.  Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami membangun tempat mendidik”.

“Maksudya?”, tanya saya.

“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang berisi tugas untuk membuka sebuah website dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.

“Ya, saya melihat itu”

“Nah, itulah sebenarnya intinya”

“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”

“Negara kami merancang model tugas yang seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak.  Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri.  Dia harus mengerjakan sendiri sebatas yang dia mampu.  Ketika ada hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas.  Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan bagaimana dia menjawab soal itu”

“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa menjawab soal itu?”

“Di situlah peran saya sebagai Guru”

Kejujuran, Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas

Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi.  Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan.  Yang saya lihat betul-betul membuat saya kagum.

Di dalam kelas seorang teman anak saya sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan.  Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu.  Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri dalam menjawab soal itu.  Akhirnya muncul diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.

Setelah diskusi selesai, semua siswa kembali duduk.  Lalu Bu Guru menjelaskan hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi.  Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas partisipasinya dalam diskusi.  Tidak ada satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu berbeda-beda.  Semua dihargai.

Satu hal menarik lagi adalah bahwa model bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan meja/mimbar Guru.  Di sekolah anak saya, susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang.  Susunan yang demikian membuat anak-anak saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun kohesi satu sama lain.  Menurut anak saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.

Pendidikan Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor

Guru lebih banyak berada di belakang kelas, membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu sama lain.  Tapi ini bukan berarti Guru tidak memantau perkembangan murid-muridnya.  Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.

Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”.  Intinya adalah menggambarkan pencapaian si anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas.  Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu.  Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.

Substansi rapornya pun sangat menggugah.  Sekolah selalu menghargai potensi anak, apapun itu.  Saya jadi teringat obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar bersekolah.  Itu sebabnya di lembar rapor tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking.  Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka, ranking, dan sebagainya.

Setiap anak punya potensinya sendiri, dan setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat di kemudian hari.  Anak yang susah memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh?  Mungkin memang potensinya bukan di hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu sosial (humaniora).  Apakah ilmu-ilmu itu tidak bermanfaat?  Anda tahu jawabannya.

Nah, masalahnya sistem pendidikan kita menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara seragam.  Nilai matematika minimal harus 75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik kelas.  Padahal potensinya memang bukan di situ.  Ketika dituntut sedemikian rupa, demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara, yang penting skornya nanti bagus.  Dia akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua misalnya), dan lain-lain.

Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”.  Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua, nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan seterusnya.  Lagi-lagi, ini membuat sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.

Pada akhirnya kita melihat sekolah justru menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik.  Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk lain dari mencuri.  Kebiasaan mencuri yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid.  Maka jangan heran ketika si murid ini suatu hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan pembunuh.  Itu karena sejak dia sekolah, dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri, dan tidak mau mengakui kekurangannya.  Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan “mentereng” di luar.

Pendidikan Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek

Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20% dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945.  Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang.  Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih di situ-situ saja”.

Alokasi APBN yang besar dan berasal dari uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu pengetahuan.  Karakter yang berisi kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan mencintai bangsanya.  Pendidikan karakter jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif.   Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus dimulai sejak dini.

Kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme.  Membuat model pendidikan yang seperti itu jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin maju.  Jadi anggaran pendidikan tidak habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa cetak buku atau modul baru secara nasional.  Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.

Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga pendidik.  Jadi penambahan kesejahteraan materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.  Bukan sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli muridnya bisa atau ngga, yang penting jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.

Anggaran pendidikan yang besar juga harus menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau terluar di negeri ini.  Pendidikan harus murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada.  Infrastruktur harus tersedia secara memadai, jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada hujan atau angin besar.  Infrastruktur itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah, atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.

Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita.  Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi hancur oleh dirinya sendiri.

Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional, Indonesia!

Bogor, 2 Mei 2020

PERUBAHAN: Titipan Pesan Dari Semesta…

Earth globe
www.depositphotos.com

Beberapa hari terakhir, bangsa ini tenggelam dalam euforia demokrasi setelah Presiden ke-7 Republik Indonesia dilantik tanggal 20 Oktober lalu. Saya prajurit yang tidak berpolitik, dan tidak soal bagi saya siapapun yang menjadi presiden. Namun, saya cukup senang dengan berbagai perkembangan ini, yang berjalan dengan penuh damai, serta mengucapkan selamat atas dilantiknya Bapak Ir. Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019.

Fenomena ini adalah sebuah momentum yang layak kita tangkap dan cermati. Banyak dari kita yang lupa, tidak tahu, atau pura-pura lupa dan pura-pura tidak tahu. Siapapun yang berkeyakinan, beriman, dan mengamini kebesaran Tuhan pastilah paham, bahwa Tuhan melalui alam semesta punya kehendakNya sendiri, yang tak seorangpun akan sanggup membendungnya. Dunia kita sesungguhnya telah menghadirkan banyak sekali pesan melalui beragam fenomena, kejadian-kejadian monumental, dan peristiwa-peristiwa yang sarat peringatan. Persoalannya sekarang, cukup cerdas dan pekakah kita untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh semesta itu?

Pesan Pertama: Tuhan Maha Adil.

Kita sering mengucapkan premis ini: “Tuhan Maha Adil”. Namun faktanya, banyak dari kita yang lebih memilih bersikap dan bertindak pragmatis kala situasi di sekeliling kita tampak “tak bersahabat”. Bahkan mereka yang terbiasa bekerja keras pun panik ketika melihat berbagai perkembangan yang terjadi, dan berganti haluan mengambil “jalan pintas”. Hampir tak ada yang percaya bahwa “semua yang baik akan mendapatkan yang baik”, “semua yang bekerja keras akan menuai hasil kerja kerasnya”, “siapa yang busuk akan menjadi bangkai dengan kebusukannya”, “siapa yang jahat akan dihukum”, dan sebagainya. Kita sering tak sabar menunggu Tuhan menunjukkan keadilanNya, tak mau berlama-lama menanti semesta menunjukkan kearifannya untuk menghargai mereka yang baik, atau menghukum mereka yang jahat. Fenomena Jokowi, sekali lagi, bukan sesuatu yang luar biasa. Begitulah Tuhan dengan keadilanNya, Dia tahu bagaimana memberi imbalan kepada seorang yang jujur, bekerja keras, dan tak lupa pada bumi tempatnya berpijak.

Pesan Kedua: Kodrat alam “Pemimpin” adalah untuk “Yang Dipimpin”.

Secara harfiah saja, “pemimpin” mengandung makna “orang yang memimpin”. Artinya, ia ada karena ada yang (harus) dipimpin. Jadi, pemimpin bukanlah ia yang ingin menjadikan tampuk kepemimpinannya untuk kepentingan dirinya sendiri atau segelintir orang dekatnya. Ia didaulat untuk memperjuangkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, bagi saya kemenangan Jokowi sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa, karena itu sebenarnya hanya sebuah fase di mana alam semesta mengembalikan sesuatu kepada kodratnya semula. Juga, bagi saya tidak mengejutkan melihat lautan manusia sepanjang Jl. Soedirman dan Jl. Thamrin hingga ke Istana Merdeka sesaat setelah ia dilantik di Senayan. Semua yang sesuai dengan kehendak semesta pasti diterima banyak orang, itu inti pesannya.

Pesan Ketiga: Alam semesta bisa merasa muak akan kebebalan manusia.

Seperti cerita tentang tenggelamnya orang-orang yang mencela Nabi Nuh yang membuat bahtera di atas gunung, sebenarnya semesta juga telah banyak mengingatkan manusia bahwa kehendak manusia tak pernah mampu berhadapan dengan kehendak semesta. Ketika sekelompok manusia diperlakukan tidak adil hanya karena warna kulitnya, semesta membungkam mereka dengan tampilnya seorang pria kulit hitam sebagai presiden di sebuah negara adidaya. Fenomena Jokowi juga sebuah petunjuk bahwa tak ada seorang manusiapun yang pantas untuk diinjak-injak atau ditutup kesempatannya untuk menjadi yang terdepan. Para politisi boleh merasa bahwa deretan nama besar, kekuatan uang, partai politik dan lain-lain bisa menentukan segalanya, namun kala semesta muak dengan arogansi manusia, semesta akan menghukum keangkuhan itu dengan caranya sendiri.

Pesan Keempat: Jangan pernah berpikir bahwa anda tahu semuanya.

Pragmatisme manusia umumnya didasari oleh pemahamannya sendiri yang dangkal. Orang melihat situasi hari ini begini, lalu menganggap “semuanya akan terus begini sehingga saya harus mengambil langkah ini”. Ada sekelompok orang yang merasa ia akan “baik-baik saja” di masa depan karena hari ini mereka menikmati sekian banyak hak-hak istimewa karena kebobrokan sistem. Mereka membangun keangkuhan atas pemahaman bahwa karena hari ini kelompok mereka “berjaya”, mereka akan terus berjaya. Patutlah kita belajar dari fenomena Jokowi ini, yang kira-kira lima tahun lalupun, tak ada yang berpikir bahwa ia akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sekali lagi, kita tidak tahu apa-apa. Tuhan yang tahu semuanya, kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk berbagai ketidakpastian itu.

Tuhan melalui alam semesta telah menitipkan jutaan pesan untuk kita. Jaman akan menuntut sesuatu yang kodrati dengan caranya sendiri, sehingga orang-orang bijak akan memahami bahwa perubahan adalah keniscayaan. Siapapun yang tak mau merubah dirinya sendiri akan diubah oleh alam semesta; caranya pasti tidak enak. Siapapun yang menganggap perubahan tidak akan terjadi, alias mereka yang tidak menyiapkan dirinya untuk perubahan, akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.

The only certainty in life is uncertainty

Profil Satuan Pemeliharaan 16 (Air Force 16 Maintenance Unit Profile)

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=M2DudyIBbH8]

Making the helicopters ready to combat. It’s what we do everyday.

We work with COURAGE, step our feet upon HONESTY, and keep fighting for HONOUR.

“QUALITY” is our middle name.

NON SIBI SED PATRIAE (NOT FOR SELF, BUT FOR COUNTRY).

[Untuk para kebanggaanku, kala waktu tak mampu menghentikanku untuk tetap mengingatmu…]

I can only say THANK YOU: The Testimony

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8z6FDL47Yrk&feature=youtu.be]

Bukan aku yang telah memberi; kalianlah yang telah berbuat.

Bukan aku yang berbeda; kalianlah yang istimewa.

Aku sadar, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa.

Untuk semuanya, aku hanya bisa berkata: TERIMA KASIH…!

SURAT UNTUK PARA SAHABAT…

Hore1Dear sahabat-sahabatku,

Aku ingin meluangkan sedikit waktu untuk mengatakan beberapa hal yang tak sempat terucapkan saat aku masih bersama kalian, karena bibirku tak sanggup melakukannya. Aku meminta maaf bila waktu kalian tersita untuk membaca surat ini.

Aku hanya ingin berterima kasih atas kebersamaan yang luar biasa indahnya selama satu tahun empat bulan terakhir. Baru dua hari tak bersama kalian lagi–terus terang saja–telah menyiksaku dengan jutaan kerinduan. Aku mengingat lagi rutinitasku setiap pagi memarkir mobil di depan ruang kerjaku, lalu mendengar satu-dua dari kalian yang melintas meneriakkan “Selamat pagi, Komandan…!” sambil menghormat. Bukan penghormatan itu yang aku rindukan, karena aku yakin sampai sekarangpun aku tak kehilangan itu semua. Aku kehilangan senyuman di wajah kalian; senyuman yang memancarkan semangat dan ketulusan untuk bekerja denganku membangun satuan kita. Ketulusan yang kini hanya bisa kuingat dan kukenang tapi tak bisa kulihat lagi, dan hanya dalam hati saja akan menjadi bagian dari hari-hariku ke depan.

Sahabat-sahabatku,

Ketahuilah bahwa aku begitu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberiku waktu untuk mengenal kalian. Aku telah menjalin kebersamaan dengan banyak orang di Bogor dan Jakarta sebelum bersama kalian, dengan rentang waktu yang lebih panjang dari kebersamaan kita. Namun, meski paling singkat dibandingkan dengan yang lain, kebersamaan dengan kalianlah yang paling berkesan dan paling dalam meninggalkan bekas di relung hatiku. Itu karena pada awalnya aku begitu angkuh dan naif “menolak” kebersamaan ini, dan begitu ingin segera pergi meninggalkan kalian. Tapi pada 12 Agustus malam kemarin, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada kalian semua, pada satuan yang kita banggakan bersama ini. Malam itu aku menyesali keangkuhanku, setelah aku sadar bahwa amat berat meninggalkan kalian semua.

Aku juga bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku sebuah sikap mental profesional untuk bekerja sebaik-baiknya di manapun berada, sekalipun itu tak kusukai. Itulah yang mendorongku untuk menghabiskan waktuku berpikir dan bekerja agar kalian semua tidak salah berbuat, tidak gagal, dan tidak tersesat. Hanya hal sederhana itu yang aku lakukan satu tahun empat bulan ini, dan Puji Tuhan, kalian bisa memahami serta menerimanya. Dari situlah kusadari kenaifan serta kebodohanku, karena pada akhirnya aku menyadari apa maksud Tuhan menempatkanku di tengah-tengah kalian.

Sahabatku warga Satuan Pemeliharaan 16,

Terima kasih telah memberikan pundak kalian untuk menjadi tempatku berdiri, sehingga banyak orang melihatku tinggi, dan aku penuh dengan puja-puji. Terima kasih telah menopangku dengan tulus, meski aku tak pernah memberi kalian apa-apa. Terima kasih telah menemaniku berjuang membangun satuan kita, membuatnya lebih bersih, lebih tertib, lebih maju, dan lebih bermartabat. Terima kasih telah memahami visiku untuk mewujudkan sebuah satuan yang bisa dibanggakan, dan membuat semua mata mengarah pada kita. Terima kasih, karena telah membuat semua orang melihat kita berbeda. Sadarilah, bukan aku yang berbeda. Semua itu bisa terjadi karena kalianlah yang berbeda, alias tidak sama dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak henti-hentinya membanggakan kalian, dan semangatku menjadi tak pernah putus untuk bekerja bagi satuan kita.

Maafkan aku karena tak ada yang mahal yang bisa kuberikan. Aku hanya bisa memberikan waktu, energi, pikiran, serta hatiku untuk kalian. Maaf juga karena telah merepotkan kalian menjemput atau mengantar istri dan anak-anakku, serta keperluan pribadi lain yang sebenarnya kalian tak punya kewajiban untuk itu. Aku mengingat semua itu dengan mata berkaca-kaca, karena aku melihat kalian tetap melakukannya dengan berjuta ketulusan. Juga, maafkan aku untuk segala hal yang tak bisa kupenuhi bagi kalian, serta segala upayaku yang mungkin belum sesuai harapan kalian. Aku tetaplah manusia biasa yang penuh kekurangan.

Sahabat-sahabatku yang selalu kukenang,

Ini suratku untuk kalian semua, 61 orang hebat yang telah Tuhan hadirkan dalam hidupku. Aku selalu mengingat senyumanmu, ketulusanmu, serta semangatmu bekerja bersamaku. Aku mengenang serah terima jabatan tanggal 13 Agustus kemarin yang begitu luar biasa, dan aku yakin belum pernah ada di belahan Indonesia manapun sebelumnya. Itulah sebabnya kutulis surat ini, karena saat berdiri untuk terakhir kalinya di depan kalian semua saat itu, mulutku seakan terkunci untuk berbicara banyak. Meski demikian aku sadar, beribu pujian serta ungkapan terima kasihku tak akan pernah sepadan dengan jutaan ketulusan yang telah kalian berikan untukku.

Teruslah berkarya, sahabat-sahabatku. Tingkatkan kualitas dirimu, karena itu yang akan menentukan seberapa nilai dan hargamu kelak.  Tegakkan jati diri kalian, jaga kebanggaan satuan kita, dan pelihara semua yang telah kita bangun bersama. Hingga akhir hayatku, aku akan selalu membanggakan dan mengingat kalian semua. Aku berdoa Tuhan selalu menyertai kalian, dan sudi memberiku waktu untuk melepas rinduku pada kalian suatu saat nanti.

Bogor, 15 Agustus 2014

Hormat dan Banggaku,

Jon K. Ginting

P.S.:

Terima kasih juga untuk:

1.  Tuhan Yesus Kristus, atas teladan kepemimpinanNya yang menginspirasiku.

2.  Akademi Angkatan Udara, atas edukasi kepemimpinan saat aku menjadi seorang Taruna.

3.  Baret Mabes TNI, yang menguatkanku untuk tidak meneteskan air mata saat mengucap kata perpisahan dengan para sahabatku.

SEKOLAH BERNAMA “KEHIDUPAN” (SEBUAH SURAT)

images

Lelaki itu terpaku penuh haru di kursi ruang kerjanya. Ia menatap satu persatu apapun yang ada di ruangan itu, ruangan yang telah menjadi tempatnya bekerja selama lebih kurang 14 bulan terakhir. Tempat yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun perlahan tapi pasti telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Cinta yang lahir laksana cinta seorang bapak kepada anak-anaknya; sebuah cinta kepada orang-orang yang bekerja di sekelilingnya. Sesaat rasa harunya memuncak menjadi tetesan air mata, ketika ia mengingat betapa luar biasanya Tuhan telah memelihara dia dalam hidupnya.

Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun lalu, ketika ia masih seorang anak kecil yang kurus kering, dan duduk di bangku SD di Jambi. Ia mengenang masa di mana ia harus “mengemis” uang 8500 rupiah kepada pamannya untuk membayar uang bulanan sekolahnya (SPP). Ia juga mengingat masa di kala ia dan Ibunya harus menjadi “babu” saat ada acara-acara keluarga besar Ayahnya. Berjongkok di dapur, dan baru makan bila ada sisa-sisa makanan yang dikembalikan ke dapur, sementara keluarga besar yang lain berpesta di ruang tengah rumah pamannya. Ya, Ayahnya yang hanya seorang petani yang mengolah tanah pamannya “tidak dianggap” oleh keluarganya yang lain yang jauh lebih berada.

Ia seorang anak SD yang hanya bisa “bengong” melihat teman-temannya bermain bulutangkis, karena orang tuanya tak mampu membelikan ia raket yang ia minta. Keramaian acara-acara di sekolahnya ia lalui dengan “menonton” teman-temannya yang berkali-kali membeli jajanan, karena uang jajannya terlalu sedikit untuk membeli makanan atau minuman, dan itupun ia pilih untuk disimpan. Hari-harinya di rumah ia lalui dengan membantu Ibunya menjaga warung kecil di teras kontrakannya, sambil makan nasi bertabur garam (agar tak terlalu hambar). Bila sedikit beruntung dan ada sedikit cabe di rumah, Ibunya membuatkan sambal yang kemudian ia aduk-aduk di nasinya agar terlihat merah seperti nasi goreng—sebuah kenangan yang membuatnya sekarang begitu menyukai nasi goreng.

Karena tak sanggup membiayai kehidupan di kota Jambi, keluarganya pindah ke tanah pamannya yang dikelola sang Ayah, 20-an kilometer dari kota. Tiga tahun di tempat itu, rumah kecilnya yang berdinding papan, berlantai tanah dan beratap jerami terbakar tanpa sisa. Ia dan keluarganya pun merasakan hidup menumpang di rumah Pak RT selama lebih kurang 3 bulan, sebelum Ayahnya berhasil mendapatkan sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah. Tak sampai satu tahun di situ, keluarganya “diusir” karena rumah itu akan digunakan oleh si pemilik tanah. Dalam situasi terdesak, Ayahnya pun menjadikan gubuk/dangau tempat istirahatnya di ladang menjadi rumah, dengan membalut gubuk itu dengan seng bekas, begitu pula atapnya. Keluarganya merasakan rangkaian siang yang amat panas, dan malam yang amat dingin. Di tempat itu pulalah si lelaki kecil itu pertama kali mengenal malaria.

Selain obat dari Puskesmas desa, saat terkena malaria itu Ibunya selalu mengolesi tubuhnya dengan spiritus yang mereka gunakan di lampu petromax untuk mendinginkan badannya yang mengejang karena panas. Begitulah, ia menjalani keseharian dengan sangat sederhana (mandi di sumur yang berjarak 50-an meter dari rumah, buang air besar di tengah ladang dengan selalu membawa cangkul Ayahnya—untuk menggali tanah, dan seember kecil air), sehingga ia nyaris tak pernah bermimpi untuk bisa meneruskan sekolah ke SMA. Dua adiknya juga butuh biaya, dan orang tuanya hanya petani miskin. Seketika ia menjadi begitu dewasa, dan merelakan dirinya untuk bekerja membantu orang tua di ladang (atau bekerja dengan orang lain), agar adik-adiknya tetap bisa sekolah.

Tapi sepertinya ia lelaki yang ditakdirkan untuk mengalami berbagai “keajaiban” dalam hidupnya. Prestasinya di SMP (yang selalu ranking pertama sejak semester I hingga semester VI dan Ebtanas, dan dua tahun menjadi Ketua OSIS) mempesona sang Kepala Sekolah yang lalu menawarinya mendaftar ke sebuah unggulan yang baru akan dibuka. Gratis, itulah alasan ia mau menerima tawaran itu dan memberanikan diri mendaftar ke Komando Resort Militer (Korem) di Jambi, ditemani Kepala Sekolahnya. Ia harus bersaing dengan 350-an siswa-siswa hebat lainnya se-antero Provinsi Jambi, memperebutkan jatah tiga kursi untuk duduk di kampus SMA itu di Magelang, Jawa Tengah. Itu mungkin “kompetisi” berat pertama dalam hidupnya, sebuah pertaruhan untuk jalan menuju masa depan yang telah Tuhan bukakan untuknya.

Ia belajar, berlari sekencang-kencangnya saat ujian jasmani, dan menjalani ujian renang hingga nyaris tenggelam (karena terlalu memaksakan diri). Ia lolos ujian demi ujian, dengan jumlah peserta yang makin hari makin sedikit. Di hari pengumuman, iapun harus terduduk lemas karena ia hanya peringkat keempat, dan dinyatakan tidak berangkat ke Magelang karena kuota yang hanya tiga. Dengan segala berkas dan pakaian kotor di tangannya, iapun pulang, menangis karena impian merasakan bangku SMA-nya kandas. Tapi itulah, keajaiban mendatanginya lagi. Dua hari berselang seorang anggota Komando Rayon Militer (Koramil) datang ke rumahnya, meminta dia dan Ayahnya untuk datang ke Korem. Dengan angkutan umum, mereka berangkat untuk menerima sebuah berita baik: kuota Jambi ditambah dua orang karena ada daerah/provinsi lain yang tak sanggup memenuhi kuota mereka sehingga “jatah” itu dialihkan. Impian SMA-nya pun terwujud; sebuah sekolah unggulan, tanpa biaya pula.

Itu tak berarti ia bebas dari segala polemik. Tiga tahun ia jalani tanpa sekalipun orang tuanya datang ke kampusnya, karena ketiadaan biaya. Lagi-lagi, saat banyak rekannya berbagi waktu dengan orang tua mereka saat hari libur di kampus, ia hanyalah penonton, dan malah menghabiskan waktunya untuk belajar di kamar. Itulah awal segala kemandiriannya, hidup untuk dirinya sendiri, mengatur semua sendiri, dan “bertarung” sendiri untuk masa depannya. Iapun memutuskan sendiri untuk bergabung ke Akabri, lagi-lagi karena itu gratis. Tiga tahun di Akabri Udara Yogyakarta berlalu dengan nyaris sama dengan masa SMA-nya: sendiri. Orang tuanya baru bisa datang dari Jambi (dengan sedikit memaksakan) saat ia dilantik menjadi perwira di Istana Negara.

Ah, lamunan laki-laki itu menjadi terlalu panjang, dan perlu sebuah ketukan di pintu ruangannya untuk menyadarkannya. Seorang anak buahnya menghadap, meminta ijin untuk mengantar anaknya ke rumah sakit.

“Kamu pakai apa ke rumah sakit?”, ia bertanya pada si anak buah.

“Siap pakai motor, Komandan”, jawab si anak buah.

“Pakai mobil dinas saya, biar anakmu ngga kena angin di jalan. Lagi sakit kok kamu kenain panas sama angin”

“Siap tidak apa-apa, Komandan”

“Pakai mobil. Ini perintah!”

“Siap Komandan!”

Percakapan berakhir di situ, dan tak lama kemudian ia melihat dari jendela ruangannya mobil dinas Taruna-nya bergerak dari tempat parkir. Ia kembali teringat ketika harus ke Puskesmas saat ia terkena malaria, dengan dibonceng sepeda onthel oleh Ayahnya—satu-satunya kendaraan yang mereka punya. Rasa dingin dan lemas membuat sepeda itu beberapa kali oleng di jalan, karena ia nyaris jatuh dari kursi belakang. Kini, ia memberikan mobil dinasnya untuk membawa siapapun anggotanya (atau keluarga mereka) yang sakit, karena itulah satu-satunya mobil yang layak di satuannya. “Saya bisa pakai mobil saya sendiri”, itu yang selalu ia katakan pada anak buahnya.

Itulah antara lain yang sekarang ia pahami dari kehendak Tuhan menempatkannya di sini, tempat yang tak ia harapkan. Lahirnya rasa cinta ketika ia melihat satu persatu wajah anak buahnya, dan menempatkan mereka di hatinya sama seperti anak-anaknya sendiri. Ia prihatin dengan tempat kerja mereka, dan merombaknya sedikit demi sedikit agar lebih nyaman. Ia bahkan nyaris lupa pada ruang kerjanya sendiri, yang akhirnya ia percantik dengan rangkaian wallpaper yang ia tempel sendiri. Keterbatasan sumber daya membuat kepalanya berdenyut setiap hari, ketika harus mencari jalan keluar untuk sesuatu yang ingin ia perbaiki buat anak buahnya.

Hari ini, hampir 14 bulan ia di sini, dan sudah ada perintah baginya untuk menduduki jabatan yang baru di Jakarta. Dan di ruangan ini, ia akhirnya tersenyum ketika mengingat kembali apa yang ia katakan saat apel pagi di hadapan para prajuritnya:

Pahamilah, bahwa Tuhan merancang hidupmu dengan sempurna. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang Dia rencanakan bagimu. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kamu yakin bahwa itu memang jalan yang sudah Tuhan gariskan. Saya belajar bahwa hidup kita adalah ‘sekolah’ yang sempurna, yang memberi kita banyak pelajaran hebat. Dari pelajaran-pelajaran hidup itulah, saya bisa melepaskan diri dari rasa takut, khawatir, cemas atau apapun istilahnya. Saya berani berhadapan dengan apa dan siapa saja, karena saya tahu Tuhan ada bersama saya. Saya tahu itu, meskipun saya belum pernah melihat Tuhan. Tapi hidup saya membuktikan, ribuan kali Tuhan menunjukkan kehebatanNya melepaskan saya dari apapun yang saya anggap sudah tidak mungkin. Hargai hidupmu, karena itulah ‘sekolah’ terbaikmu.”

==============================

Kepada Yth:

Tuhanku, yang untuk melukiskan kebaikanNya aku belum menemukan kata-kata yang tepat.

Tembusan:

1. Ayah dan Ibuku, yang melalui mereka aku bisa merasakan Tuhan itu ada.

2. Mbah Sadi dan Mbah Trinem di surga, kuingin kalian tahu bahwa aku begitu merindukan kalian.

3. Istri dan anak-anakku, yang begitu membuatku selalu ingin pulang ke rumah.

4. Para prajuritku, yang telah memberikan pundaknya sebagai tempatku berdiri semakin tinggi dari hari ke hari.

MESKI AKU TAK INGIN…

ImageBanyak hal yang tak kuingini dalam hidup, salah satunya adalah mengemban apa yang (akhirnya) menjadi kewajibanku lebih dari setahun ini. Ketika pada 12 April 2013 aku harus menerima tugas, wewenang, dan tanggung jawabku memimpin satuanku sekarang, aku hanya melakukannya semata-mata karena aku seorang prajurit yang terikat sumpah untuk “Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan”. Sekarang, setahun lebih telah berlalu, dan aku belajar bahwa ada banyak hal yang tak mampu kupahami dari apa yang menjadi kehendak Tuhan atas hidupku.

Meski aku tak ingin, tugas dan kewajiban ini tetap harus aku emban. Standarku selalu tinggi dalam menjalankan tugas, dan sekali lagi, meski tak kuingini, tugas itu harus aku laksanakan dengan standar yang sama tinggi dengan sebelumnya. Akhirnya aku menemukan banyak hal yang ternyata “asyik”, meski stagnansi tugas ini tetap saja membuatku gampang jenuh, dan tetap berkeinginan untuk tidak berlama-lama ada di sini.

Image Aku bangga pada para prajuritku, yang ternyata memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada yang selama ini diperkirakan orang-orang. Aku teringat sebuah adagium Jenderal George Patton dari Angkatan Darat Amerika Serikat, yang mengatakan “Jangan katakan pada anak buahmu BAGAIMANA mereka harus melakukan sesuatu. Katakan saja APA yang kamu ingin untuk mereka capai, dan mereka akan mengejutkanmu dengan kecerdasan mereka”. Damn, it works…!! Akhirnya kudapati bahwa yang mereka tidak punya selama ini bukan potensi, melainkan ruang untuk berkembangnya potensi itu.

Meski aku tak ingin di sini, standarku dalam bekerja telah membawa mereka melangkah dengan kecepatan yang lebih tinggi dari yang biasa mereka jalani sebelumnya. Mereka sudah tahu bagaimana menjadi pemenang; mereka sudah bisa berjalan dengan kepala tegak; dan mereka bisa dengan bangga mengumandangkan nama satuan mereka di depan orang lain. Itu karena sebuah hal sederhana yang kuberikan pada mereka: ruang untuk mengembangkan potensi.

Kini, satu tahun sembilan hari semuanya telah berjalan, dan kemanusiaanku berharap agar tak lama lagi aku berada di sini. Aku sudah bersyukur, bahwa aku diterima. Aku bersyukur, bahwa tak sedikitpun mereka sakit hati saat aku marah. Dan aku bersyukur, bahwa pendewasaan yang kuberikan tidak mereka salah gunakan. Intinya, aku belajar bahwa ukuran segala sesuatu adalah niat: marah bila dengan niat yang baik untuk membangun, imbal baliknya akan baik; diam bila diniatkan untuk menjatuhkan, hasilnya akan buruk. Seberapapun sadarnya aku bahwa menjadi pemimpin itu tidak enak dan tidak mudah, kusyukuri bahwa tangan Tuhan telah membimbingku dengan luar biasa.

Meski aku tak ingin, keberadaanku di sini tetap kusyukuri, karena bagiku ini adalah berkat besar dari Tuhan yang dikemas dengan cara berbeda dari yang kuharapkan. Aku bisa membanggakan para prajuritku, yang mulai mengerti makna “berpikir dan bertindak berbeda” (think and act outside the box). Aku bangga dan bersyukur bahwa mereka memahami itu karena mereka melakukannya sendiri dan melihat hasilnya dengan mata kepala mereka.

Aku percaya, bahwa semua berasal dari Sang Pencipta Hidup; aku hanya perlu menerima dan mengikutinya. Dengan menerima dan mengikuti itulah aku belajar, aku menemukan, dan aku bisa menyingkap satu demi satu rahasia Ilahi dalam hidupku. Itu semata-mata karena Dia tahu apa yang terbaik untukku, dan hanya yang terbaiklah yang Dia berikan padaku.   Mengandalkan Dia tak pernah salah dan tak pernah mengecewakan, meski aku hidup tanpa mendengarkan atau menyaksikan satupun acara pembangkitan motivasi. Aku hanya perlu serangkaian nasehat baik, yang telah disediakan oleh Kitab Suci dan tak akan habis hingga akhir jaman.

Meski aku tak ingin di sini, aku telah mendapatkan banyak hal yang tak ternilai dengan apapun…

Image

ANGIN, AIR, DAN PEMIMPIN

Saya pernah menulis tentang “Bagaimana Pesawat Bisa Terbang”, dan dari sana dapat dilihat bahwa pesawat justru dapat terbang dengan baik serta aman karena ia melawan arah angin (relative wind).  “Menerjang” udara yang bergerak memberikan keuntungan bagi struktur airfoil berupa dihasilkannya gaya-gaya aerodinamis, salah satunya gaya angkat (lift) yang membuat pesawat meninggalkan daratan dan terbang makin tinggi. Di sisi lain, pesawat juga dibekali sistem propulsi berupa mesin (engine) yang dapat mendorong pesawat bergerak ke depan atau maju.

Bagi saya, konsep terbang ini adalah sebuah filosofi bagus namun sedikit berbeda dari pemahaman umum dalam kehidupan kita sehari-hari.  “Melawan arah angin” adalah suatu hal yang takut dilakukan oleh orang-orang, dan mereka lebih memilih untuk “pergi ke mana angin berhembus”.  “Menentang arus” banyak dihindari oleh sebagian besar dari kita, dan kita lebih memilih untuk “ikut ke mana air mengalir”. Wajar, karena “melawan arah angin” dan “menentang arus” berpeluang menghadapkan kita pada resiko tidak aman, kehilangan zona nyaman, terlihat “berbeda”, dan terbuang.  Paradigma inilah yang membentuk orang-orang malas, miskin inovasi, minim kreatifitas, dan menciptakan komunitas yang stagnan serta status quo.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak paham, bahwa setiap jaman memiliki tuntutan dan tantangannya sendiri.  Sebagian dari kita beranggapan bahwa situasi saat ini sama saja seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu.  Lalu kita menilai dan mencoba mengantisipasi tantangan lima atau sepuluh tahun ke depan dengan menggunakan parameter saat ini.  Sikap tidak adaptif seperti inilah yang dihasilkan dari paradigma “ke mana angin berhembus” dan “ke mana air mengalir” itu tadi. Pada pesawat, melaju di landasan searah dengan arah angin justru akan membuatnya sulit menghasilkan gaya angkat.  Di sungai, ikan yang pasrah kepada aliran air justru akan membuatnya menabrak bebatuan.

Pesawat juga tidak “mentah-mentah” menentang arah angin. Ia dilengkapi dengan sistem propulsi yang dapat mendorongnya ke depan dan “mengalahkan” beban dari berat pesawat itu sendiri, bahkan dengan kecepatan yang tinggi.  Begitu juga dengan ikan. Ia dibekali dengan sirip-sirip yang memampukannya bernavigasi serta mengendalikan arah lajunya agar tidak menabrak batu atau ikan lainnya. Artinya, melawan arus atau arah angin selalu bisa dilakukan dengan “bekal” yang cukup, pertimbangan yang matang, kalkulasi yang tepat, serta komitmen yang kuat.

Saya mencoba mengadopsi filosofi ini ke dalam aspek kepemimpinan. Banyak pemimpin yang tidak adaptif terhadap perkembangan jaman, dan tidak peka membaca perubahan-perubahan.  Dalam setiap pergantian pimpinan atau regenerasi, sering muncul anggapan bahwa segala sesuatunya “begitu-begitu saja”, sehingga pola-pola lama masih bisa digunakan.  Dulu, bawahan mungkin “manut-manut” saja alias menuruti apa yang digariskan oleh pemimpinnya, sekalipun mereka tahu itu salah.  Kondisi itu sangat memungkinkan terjadi, salah satunya karena perkembangan teknologi informasi belum sepesat sekarang.  Bawahan memiliki akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan informasi serta kebenaran, karena belum ada handphone, internet, dan sebagainya.  Sekarang, siapapun bisa tahu dengan cepat dan mudah mana yang salah serta mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Informasi yang komprehensif dan nyaris utuh dapat dengan mudah diperoleh hanya dengan menekan tombol-tombol telepon genggam atau komputer.

Paradigma lama yang digunakan sebagai pendekatan pemimpin untuk menghadapi situasi di era sekarang jelas banyak menimbulkan kontra-produktif. Saat bawahan tidak punya ruang untuk mempertanyakan atau memperdebatkan sebuah kebijakan (karena kultur organisasi yang ketat, hirarki yang kuat, dan sebagainya), maka mereka akan dengan mudah mencari “ruang” lain.  Ruang itu justru jauh lebih luas, lebih terbuka, dan memungkinkan siapa saja dan di mana saja untuk melihat apa yang terjadi.  Hasilnya adalah citra si pemimpin yang tercoreng, kredibilitas organisasi yang tercemar, serta hilangnya kehormatan si pemimpin.  Inilah yang dihasilkan dari dipeliharanya paradigma “ikut arah angin” atau “ikut arus” tadi.  Ya, angin atau arus kebijakan umum yang dihembuskan oleh para atasan si pemimpin, atau oleh mereka yang berada di lingkar dalam (inner circle) yang berusaha melanggengkan zona nyamannya.

Itulah sebabnya, saya tidak heran dengan “fenomena Jokowi” yang menjadi tren kepemimpinan era sekarang.  Dalam bahasa yang lebih mudah dapat kita katakan “Sekarang memang jamannya pemimpin harus seperti itu”.  Meski bukan warga Jakarta, saya paham bahwa Jokowi-Ahok pasti berhadapan dengan angin yang sangat kencang menerpanya, serta arus deras yang menghantamnya.  Tapi karena duet ini memiliki “sistem propulsi” berupa tingkat kepercayaan yang besar serta rekam jejak yang baik di masa lalu, mereka menjadi orang-orang yang berani untuk “melawan arah angin” atau “menentang arus”.  Mereka pasti melihat bagaimana pemimpin-pemimpin Jakarta masa lalu, kemudian bagaimana pemimpin-pemimpin nasional saat ini.  Duduk di belakang meja, menerima laporan-laporan dari staf, menerima tamu-tamu, dan hari-hari yang penuh acara seremonial.  Staf mereka pasti ada yang memberi masukan “Sudah Pak, Bapak tenang aja di kantor.  Nanti saya bereskan dan laporkan ke Bapak.”   Seperti itulah “angin” atau “arus”-nya.  Itulah paradigmanya.

Paradigma kepemimpinan seperti itulah yang membuat Jakarta seperti yang kita kesankan selama ini: macet, semrawut, dan kumuh.  Karena leadership Jokowi-Ahok yang melawan arah angin atau arus, permasalahan riil di bawah bisa cepat dipetakan, dan solusi kongkret bisa diwujudkan.  Setidaknya, itulah yang dapat kita lihat sekarang di Pasar Tanah Abang, Waduk Pluit, Kompleks Senayan, dan akan menyusul kawasan-kawasan “kacau” lainnya.  Belum lagi bagaimana attitude masyarakat Jakarta sekarang terhadap birokrasi dan aparat Pemda: Satpol PP yang tidak lagi dimusuhi, kantor-kantor camat atau lurah yang tidak lagi dipandang sinis, dan sebagainya.  Belum genap satu tahun, Jakarta telah sedikit demi sedikit menjadi “lebih manusiawi”—suatu hal yang berpuluh-puluh tahun dan gonta ganti gubernur tidak mampu diwujudkan.

Fenomena Jokowi-Ahok hanya sebuah contoh, bahwa menjadi berbeda tidaklah buruk. Era sekarang memang menuntut banyak hal harus diselesaikan dengan cara berbeda, cara yang tidak lazim atau outside the box.  Kalau pendekatannya “begitu-begitu saja”, ya hasilnya akan “begitu-begitu saja” alias tidak ada perubahan.  Fenomena ini adalah sebuah contoh dan model bagus untuk semua ranah kepemimpinan, di institusi apapun serta di level manapun (konsepnya sama, hanya mungkin prakteknya yang berbeda sesuai aturan atau kultur setempat).  Seperti halnya pesawat, ia justru terangkat ketika menerjang angin, dan ikan justru selamat ketika ia sesekali melawan arus dengan sirip kemudinya.  (Teringat cerita seorang teman, bahwa ikan salmon bahkan sanggup berenang dari laut ke hulu sungai dengan terus melawan arus, mendaki jeram, dan melewati jebakan beruang demi sampai ke sumber mata air yang jernih.)

Hanya ikan mati saja yang selalu mengikuti arus…