Aku menulis surat ini untuk hari istimewamu,
ketika kamu memasuki sebuah masa yang menurut banyak orang adalah masa-masa
kamu mencari jati dirimu, menjadi seorang remaja.
Pahamilah anakku, bahwa tujuh belas
(tahun) hanyalah sekedar angka. Ia tidak melambangkan atau mewakili apapun. Representasi
dirimu adalah semua pikiranmu, tutur katamu, dan segala perbuatanmu. Semua itu tidak dapat diwakili oleh
angka-angka, dan tak berbatas usia.
Ketahuilah bahwa setiap langkah kecil
yang kamu buat hari demi hari, adalah batu demi batu yang kamu susun untuk
membangun “rumahmu”. Seperti apa itu
semua terlihat nantinya, itulah hasil dari usahamu membangun. Membangun jati dirimu, karaktermu, dan semua
yang akan dilihat dunia tentang kamu.
Apapun langkah yang kamu ambil sekarang, kamu sedang membangun dirimu
sendiri.
(Foto koleksi pribadi)
Cantikku,
Jadilah dirimu sendiri, karena Tuhan
menciptakanmu bukan untuk memenuhi apa yang menjadi kehendak orang lain, atau
menjadi seperti orang lain. Tataplah dan hadapi dunia dengan kepala tegak,
jangan sekali-kali tertunduk.
Menundukkan kepalamu ketika menghadapi dunia hanya akan menghilangkan
batas cakrawalamu dalam melihat kemenangan, yang meskipun masih jauh tapi pasti
bisa kamu capai.
Kalahkan dirimu terlebih dulu sebelum
kamu berniat mengalahkan dunia. Kalahkan
semua egomu, nafsumu, dan semua keinginan duniawimu, karena semua itu hanya
akan membawamu menjauh dari kemenangan sejati. Musuh terberat kita adalah diri
sendiri, bukan orang lain.
Jadikan dirimu tempat yang nyaman untuk
Tuhan berdiam di dalamnya. Semua orang
memiliki hati kecil yang adalah ruang untuk Tuhan bersemayam, tapi kebanyakan orang
tidak merawat hati kecilnya dengan baik, sehingga Tuhan pun keluar dari
situ. Ketika Tuhan tak ada dalam dirimu,
jangan pernah bermimpi menjadi pemenang.
Sering-seringlah berbicara dengan hati kecilmu, agar kamu dapat
mendengar suara Tuhan yang pasti akan menuntunmu pada semua kebaikan.
(Foto koleksi pribadi)
Bidadari kecilku,
Jangan pernah takut menghadapi
kegagalan, karena dari kegagalan kamu dapat belajar menjadi lebih baik, dan
melompat lebih tinggi. Jangan takut
menjadi tidak sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta. Jangan takut jatuh, karena saat jatuh itulah
kamu akan mengingat bumi tempatmu berpijak.
Yang membedakan kamu dengan yang lainnya adalah bagaimana kamu tetap
berdiri tegak saat kamu gagal, menghargai dirimu sendiri dengan segala
kekuranganmu, dan bangkit setelah terjatuh.
Semua pemenang atau orang-orang hebat yang kamu kenal adalah orang-orang
yang mampu melakukan semua itu.
Lambungkan cita-citamu setinggi angkasa
biru, tapi letakkan hatimu sedalam dasar lautan. Jangan biarkan kegagalan
menghancurkanmu, dan jangan biarkan kemenangan memabukkanmu. Tetaplah tersenyum di tengah semua beban
hidupmu, dan tetaplah rendah hati di tengah semua kelimpahan yang kamu
terima. Jadikan dirimu berkat bagi
banyak orang, karena itulah yang kelak akan menjadi bekalmu menghadap Yang Maha
Kuasa. Nilaimu adalah apa yang kamu
berikan selama hidupmu, bukan apa yang kamu punya.
Carmenita-ku,
Ketahuilah bahwa hadirmu adalah karunia indah bagi keluarga kecil kita. Menerimamu sebagai amanat dari Tuhan adalah sebuah kehormatan bagiku, sebuah kebanggaan yang tak tergambar dengan bahasa apapun, dan sebuah kebahagiaan yang tak tertebus dengan uang berapapun. Ketika karena langkah-langkahmu, seluruh dunia meninggalkan kamu, ketahuilah bahwa ada Tuhan yang tidak akan meninggalkanmu, dan seorang laki-laki yang cintanya kepadamu melebihi cinta pada dirinya sendiri: Papamu.
Gegara COVID-19, sudah sekitar 3 minggu
saya bekerja dari rumah alias Work From
Home (WFH), meski sempat beberapa kali ke kantor karena ada hal yang
mengharuskan kehadiran fisik di tempat kerja.
Saat sedang tidak ada pekerjaan dari kantor yang harus saya kerjakan di
rumah, salah satu kesibukan yang saya pilih adalah belajar menggambar 3-dimensi
(3D drawing). Di Youtube,
channel yang mengajarkan cara
menggambar 3D kebetulan banyak, jadi ngga
susah buat belajar.
Manfaatnya lumayan juga. Selain sebagai pengisi waktu luang, kemampuan
kognitif dan motorik saya terjaga, lalu dengan goresan-goresan pensil dan
spidol di secarik kertas polos saya bisa belajar sesuatu yang baru, dan
hasilnya cukup bisa memuaskan mata untuk ukuran seorang pemula yang masih
sekedar menirukan apa yang dikerjakan oleh para ahli di berbagai channel itu. Bisa sedikit “pamer” juga ke anak-anak dan
memperoleh apresiasi mereka (walaupun mungkin terpaksa karena itu bikinan Bapaknya hehehe…).
==========================
Mereka yang paham atau minimal pernah menggambar
3D tentu mengerti bahwa ilusi 3 dimensi dari sebuah gambar yang sebenarnya 2
dimensi dan dilukis di atas sebidang kertas itu diperoleh ketika gambar tersebut
dilihat dari satu sudut padang tertentu.
Artinya, gambar itu akan terlihat 3 dimensi hanya dari satu perspektif
yang tepat. Sebuah huruf yang mengambang
misalnya, hanya akan terlihat mengambang dari satu angle. Dari angle yang lain, ia hanya akan terlihat
seperti gambar sebuah huruf biasa dengan sedikit arsiran di dekatnya (yang
menjadi “bayangan” huruf itu ketika terlihat 3 dimensi). Ilusi yang dimunculkannya adalah persoalan
perspektif.
“Perspektif” sebenarnya bukan sesuatu yang
asing bagi manusia dan kehidupan yang sudah ribuan tahun ada di bumi ini. Setiap hari kita lekat dengan
perspektif. Apa yang kita pikirkan tentang sesuatu
sebenarnya adalah perspektif kita, yang berbuah pada tindakan kita atas sesuatu
itu. Ketika sesuatu yang sama dilihat
oleh orang lain secara berbeda, artinya perspektif orang itu juga berbeda. Dengan kata lain, ia melihat sesuatu dari
sudut pandang yang berbeda. Alhasil,
tindakannya atas sesuatu itu juga tidak akan sama dengan tindakan kita.
Dalam konteks sosial, perspektif layaknya
pelangi. Ia berpola sama, tapi warnanya
macam-macam: merah, jingga, kuning, hijau, dan sebagainya. Artinya, semua orang punya perspektif
terhadap satu hal yang sama, tapi hasilnya bisa berbeda. Perspektif adalah sebuah heterogenitas yang
abstrak, ngga keliatan di mata tapi
terasa dampaknya. Perspektif bukan
sebuah keragaman yang bisa dilihat kasat mata seperti suku, agama, warna kulit,
etnis, pangkat, jabatan dan sebagainya.
Sangat abstrak, tapi tidak semu.
Kembali ke contoh gambar huruf mengambang
tadi (yang saya jadikan ilustrasi tulisan ini), dari sudut mana seseorang
melihat gambar itulah yang akan menghasilkan interpretasi di pikirannya. Tindakan yang mungkin muncul adalah sebuah
kesimpulan verbal ketika seseorang akan berkata “Ah, itu gambar huruf biasa”
atau “Oh, itu huruf yang mengambang di udara”.
==========================
Sejarah umat manusia pada dasarnya juga
dibentuk dan ditentukan oleh perspektif-perspektif. Adam dan Hawa menjadi berdosa dalam
perspektif Tuhan karena mereka melihat sesuatu dari sudut pandang iblis,
sehingga Tuhan marah dan menghukum mereka (setidaknya itu yang diajarkan dalam
keyakinan yang saya anut). Perang Dunia
II dipicu oleh perspektif seorang Adolf Hitler terhadap bangsa Yahudi. Kebangkitan nasional Indonesia tahun 1908
didasari pada sebuah perspektif kebangsaan dari seorang Dr. Soetomo, begitu
pula Sumpah Pemuda 1928 oleh kelompok-kelompok pemuda Indonesia.
Perspektif membentuk cara berpikir. Cara berpikir membentuk cara bertindak atau
melakukan sesuatu. Cara bertindak
membentuk budaya, dan budaya membentuk peradaban. Perspektif pada dasarnya adalah akar dari
semua mekanisme, metodologi, dan cara-cara kita menjalani kehidupan hari ini,
mulai dari yang paling simple sampai
yang paling rumit. Perspektif jugalah
dasar dari segala keputusan yang kita ambil; dengan perspektif yang tepat,
keputusan kita pasti tepat. Demikian
juga sebaliknya. Perspectives make what we are today.
Apa yang manusia lihat dalam kehidupan saat
ini mungkin sudah baik dan memuaskan, dalam arti kita memperoleh banyak
kemudahan, keleluasaan, dan lain-lain.
Sebaliknya, sebagian orang masih melihat banyak yang belum ada, yang
perlu diubah, diperbaiki, dan sebagainya.
Itulah yang menghasilkan perbedaan di antara umat manusia. Perbedaan yang oleh sebagian orang dimaknai
sebagai keragaman, kekayaan, atau warna kehidupan, tapi oleh sebagian yang lain
dipahami sebagai pertentangan.
==========================
Perspektif adalah bagian yang melekat atau inherent dengan manusia dan kehidupan
itu sendiri. Perspektif adalah salah
satu anugerah terbesar Tuhan karena itulah yang membentuk kemanusiaan
kita. Manusia tanpa perspektif hanyalah
seonggok daging yang bernyawa, tapi sejatinya tidak “hidup”. Jadi, bersyukurlah ketika sebagai seorang
manusia, anda punya perspektif terhadap sesuatu, sekalipun itu berbeda dari
perspektif orang lain.
Kehadiran perspektif tidak pernah
salah. Yang salah—dan berbahaya—adalah
ketika perspektif itu menjadi sebuah “keyakinan” yang mati. Perspektif yang seperti itu yang kita lihat
dalam bentuk “fanatisme” yang justru menghasilkan kerusuhan, keributan,
pertikaian, bahkan perang. Sejarah kita
juga sudah membuktikan dengan banyak contoh: dua kali perang dunia, perang
lokal di berbagai negara atau wilayah negara, terbunuhnya pemimpin negara,
pemberontakan-pemberontakan, sampai kerusuhan antar kampung yang kerap terjadi.
Perspektif itu sendiri dinilai atau ditakar
kebenarannya oleh karakteristik sosial masyarakat tempat manusia itu berada. Artinya begini: perspektif si A bisa
dikatakan “salah” ketika norma-norma dalam karakteristik sosial di tempat si A
berada tidak bisa menerima perspektif itu.
Di tempat lain dengan karakteristik sosial yang berbeda, mungkin
perspektif si A bisa diterima atau dianggap benar. Begitulah kira-kira.
==========================
Perspektif yang “salah” atau “tidak sehat”
itu bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Namun, seperti apapun anatomi sosial masyarakat, saya melihat faktor
keterdidikan masyarakat menjadi hal terpenting agar perspektif yang “salah”
bisa diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
Kalaupun ada, ya masih bisa
dikendalikan. Keterdidikan yang saya
maksud adalah keterdidikan yang bersifat holistik, madani, membangun moralitas,
dan membentuk kemanusiaan manusia. Bukan
keterdidikan yang semata-mata disimbolkan dengan gelar akademis atau riwayat
sekolah yang panjangnya dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan.
Kejadian penolakan terhadap jenasah seorang
perawat yang meninggal karena terinfeksi Covid-19 setelah ia berjuang
menyelamatkan sekian pasien yang sudah terjangkit di sebuah rumah sakit di Jawa
Tengah misalnya, adalah contoh bagaimana tingkat keterdidikan menjadi penentu
terbentuknya sebuah perspektif yang “salah”.
Para provokator yang sudah jadi tersangka itu adalah tokoh masyarakat di
desa tersebut, yang saya yakin pendidikan akademisnya lumayan lah.
Alasan mereka (tindakan verbal menyatakan penolakan) lahir dari satu
perspektif: jenasah tersebut terjangkit virus Corona.
Keterdidikan yang dibentuk dari pengetahuan
yang minim tentang wabah ini membutakan mata mereka terhadap pemahaman yang
tidak sekedar bersifat medis (bahwa jenasah positif Corona yang sudah
diperlakukan dengan protokol penanganan virus tersebut tidak berbahaya bila
sudah terkubur) namun juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Orang-orang bodoh itu telah melihat dari
perspektif yang salah. Seandainya mereka
melihat dari angle yang lain,
misalnya bahwa di perawat ini sudah berjasa besar menyelamatkan nyawa
orang-orang yang dinyatakan terjangkit—yang mungkin juga berasal dari kampung
mereka—maka penilaian verbalnya akan mengatakan “Dia seorang pahlawan, mari
kita sambut dan doakan agar dia beristirahat dalam damai”. Perspektif konyol mereka telah membunuh
moralitas, nilai kemanusiaan, dan pada akhirnya “mengorbankan” masyarakat
mereka sendiri.
==========================
Bagaimana kita membiasakan diri
memanfaatkan perspektif atau cara memandang sesuatu dalam hidup kita pada
akhirnya menjadi benih yang membentuk diri, derajat, martabat, dan kehormatan
kita. Orang-orang yang bijaksana dan
luhur budi pekertinya pastilah orang-orang yang terbiasa melihat sesuatu dari
berbagai perspektif berbeda. Mereka
adalah orang-orang yang ingin mendapatkan gambaran utuh tentang suatu hal, dan
selalu percaya bahwa ada sesuatu yang baik dari apa yang terlihat tidak
baik. Orang-orang yang selalu positif,
optimis, namun tetap menjejakkan kakinya di atas realitas. Yang jelas, mereka pasti bukan para
perundung, pengeluh, atau pencaci, melainkan orang-orang yang hidupnya dipenuhi
ungkapan syukur kepada Sang Pencipta Kehidupan.
Seperti gambar 3D tadi, dari satu sisi ia hanya terlihat seperti sebuah huruf biasa yang tidak istimewa, yang bisa dibuat siapa saja. Tapi ketika dilihat dari sisi yang berbeda, ia akan terlihat sebagai sebuah karya seni, yang perlu waktu, tenaga serta keterampilan untuk membuatnya. Di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19 seperti sekarang, ketika segala sesuatu seolah memudar dan suram, mari kita melihat dari perspektif yang lain, dari sudut pandang yang berbeda. Saya yakin, ada maksud Tuhan yang masih tersembunyi untuk kita ungkap…….tentu saja melalui perspektif yang tepat.
One of or all those above words might be used
by future generations to mark one among many that has happened in human
civilization. Later in our grandchildren or grand grandchildren school books,
those words will refer to “a milestone” marking a change in how life is run up
to their time.
Well, our world is no stranger to
change. Our civilization evolves from
time to time for various reasons: war, disease, and technology are among others.
Every generation has its own way of
living, and some “lucky” generations like us—aged 40 to 60 years today—have
gone through more than one living style.
What
has changed today?
This Covid-19 outbreak has by far changed
some parts of our life. Now everyone is
forced to get even closer to their gadgets.
We recently avoid shaking hands, and introduce new styles of saying
hello to others. Students and office
workers are more familiar to teleconference, remote classes, and many
more. Lately also, we are getting used
to keep physical distance with others.
Things we never thought before that we will have to go through those
today.
Historically, this phenomenon is not
strange, once again, but the ratio between the scale versus the speed of the spread
is. Our new “habits” are formed in just
a matter of months, instead of years or generations. Driven by panic and little knowledge of what
actually happens and how to deal with it, we tend to accept what is told, be it
by authorities, friends, or even somebody we only know in our social media. “We have to change things”, that’s all we
know…and then do.
Let’s look deeper at a simple
instance. By working from home, parents
will get closer to children—who are also studying from home. This will elevate the quality as well as
quantity of interaction, and in turns give parents new perspectives on how
their children struggle in their studies.
Also resulted from this so called “WFH” is necessity for parents to
understand a little deeper how social media work, otherwise they will not be
able to perform their job. Fathers will
go more frequently to kitchen—at least now they do dishwashing even better than
mothers do.
The use of network data increases
significantly, so does consumption of clean water. The use of bio-fuel, on the other hand,
declines as cars are retreated home.
Neighborhoods become cleaner and quieter, since people stay at
home. However, level of anxiety raises:
anxious of being infected, worry of not having enough daily supplies, and of
course, anxious of how life can be sustained when you stop working.
What
will this outbreak bring for our future?
Despite all the hardships humankind have
to get through these days, this unexpected outbreak might lead us to many good
deeds in the future. Healthy living is
just one example: hand-washing habit, greater care to environment and personal
cleanness, and many more. The rise of
empathy to others is also a good value this outbreak brings. Stronger family ties is another one to
mention. Anyone of you might have your
own to say to make this a long list to read.
We can also expect to have some new
models in doings things. Some offices
might find working from home is quite effective: it reduces daily operational
cost, saves electricity consumption, etc.
Some schools might also find studying from home is not a bad idea. One challenge in doing so, perhaps, is
availability of network. A network not
only sufficient to support connection from different distant places, but also
with good sustainability.
The mankind will also find an increasing
need of clean water. This will raise nation
awareness, as well as global challenge, of sustaining clean water resources for
the future. Consequently, researches on
natural resources will also be broaden to find alternatives of providing clean
water for people. Rivers will be cleaned
up, and reservoirs will be built more or widened. Cities will also be built with better
guarantee to clean water access.
Will
the change be always good?
Basically, a new civilization replaces
the old one. However, we can find many
example on how people can maintain good values from time to time, regardless
how civilization changes for ages. In
Indonesia for example, there are many areas in which we can see local wisdoms
are maintained while at the same time we trust our mobile phones more than we
do to ourselves. Japan is also a good
example in how modern technologies live side by side with traditional
philosophy or belief that has last for thousands of years.
My highlight is this: we expect changes
in many aspects of our life. However,
this Covid-19 is something different in terms of changing how people can mingle
with each other. We might see that
handshaking will not be common anymore, let alone cheek-kissing and hugging. Greeting someone with “Namaste” style gesture
might be more visible in the future. We
might also find keeping reasonable physical distance during talks or meetings
makes us feel safer, even with someone we know in day-to-day basis.
Is it good? It depends, I believe. Moreover, the more substantial issue is not
whether it is good. The challenge for us
is how to maintain good spirit in social relationship regardless how we should
or would behave in physical terms. Yes,
the danger this outbreak can bring for us is negativity in seeing others. When we see people sick for example, we might
easily think “Be careful, he might be infected!” Negativity is what we have to deal with—and
overcome—when we live post this outbreak.
Well, we might have a stronger internet
connection as we will work more from home than from office, or better water
supplies, or better network-based methodologies in doing things, or many other
things. But when our thoughts are
occupied with negativity, our core of civilization i.e. social cohesion will be
in danger. I have written before (in
Bahasa Indonesia) that when we are mistaken in dealing with this issue, it is
not simply human fatalities that we have to face, but more importantly, the
death of civilization.
Humans are created social beings. That’s what makes communities, societies, and
nations. That’s what makes the world we
are living in. That’s what makes us
today. Cohesion among individuals is
what forms the way we live, the way we behave, the way we treat ourselves and
others. That’s what this outbreak will
hit and defeat, if we welcome negativity to our minds.
Now, it’s time to learn to appreciate life, and what it has given to us. Time to learn to support and care of each other, or to do so more than before. Indeed, everything will not be the same again, but let’s stay positive. That’s what makes us still human beings.
Wabah virus Corona (COVID-19) sudah tidak
asing lagi di mata dan telinga kita belakangan ini. Sekarang semua orang melihat bahwa wabah yang
oleh WHO sudah ditetapkan sebagai pandemik ini benar-benar tak pandang
bulu. Mulai dari orang kebanyakan,
dokter, pejabat negara, perwira militer, atlet profesional sampai selebriti
Hollywood sudah ada dalam daftar panjang mereka yang positif terinfeksi. Sebuah kasus yang luar biasa.
Saya tidak akan bicara soal wabah ini,
karena jelas ini bukan kompetensi saya.
Sayapun tidak akan menyodorkan statistik-statistik, data apalagi analisa
akademis soal COVID-19. Jelas saya awam
sekali soal itu. Saya—seperti
biasa—hanya akan melihat ini dari perspektif psikologi sosial, dan mengingatkan
kita semua bahwa menyikapi isu ini secara tidak terkendali, baik sebagai
individu maupun sebagai komunitas, akan membawa kita pada bahaya yang jauh
lebih besar dan mematikan.
Wabah ini sudah jelas menimbulkan kepanikan
masif di berbagai belahan dunia. Di
Indonesia orang-orang jahat tega menimbun masker untuk dijual dengan harga
puluhan bahkan ratusan kali lipat. Lalu
pasar juga kehabisan jahe merah, yang konon bagus untuk menangkal Corona. Di Australia, orang kehabisan tisu toilet,
pasta dan keju. Di Italia semua kegiatan
olahraga (termasuk Serie A yang kesohor itu) dihentikan, atau dimainkan tanpa
penonton. Amerika Serikat sudah melarang
pendatang masuk dari Eropa (kecuali Inggris).
Dan masih banyak lagi.
Belum lagi apa yang ada di media sosial
(medsos). Berbagai postingan muncul di berbagai lini massa, apakah itu berupa tips
menangkal Corona, meme-meme ngeledek,
foto-foto dan video yang belum jelas kebenarannya, hingga berbagai teori
konspirasi tentang siapa yang sebenarnya berada di balik wabah ini. (Saya membayangkan betapa besarnya keuntungan
para provider jasa telekomunikasi di
tengah wabah dunia ini hehehe…). Semua
soal Corona, Corona, dan Corona.
——————–
Perjalanan sejarah dunia kita sudah tidak
asing dengan yang namanya wabah penyakit (sebagai catatan: istilah “quarantine” atau “karantina” justru muncul
gegara wabah penyakit pes atau “black
death” yang mematikan jutaan orang di Venesia, Italia pada abad ke-13). Sekarang kita bisa menyebutkan beberapa
contoh wabah dengan gampang: kolera, TBC, malaria, demam berdarah, HIV AIDS,
Ebola, SARS, MERS, H5N1. Semuanya sudah
membunuh ribuan bahkan jutaan orang.
Artinya, wabah seperti halnya Corona bukan sesuatu yang baru bagi
peradaban ini.
Barangkali persoalannya menjadi berbeda
ketika penyakit-penyakit itu muncul di jaman atau generasi yang berbeda. Ketika pes atau kolera muncul, teknologi
transportasi dan komunikasi jelas belum seperti sekarang. Informasi datang dengan sangat lambat dari
satu komunitas ke komunitas lain di tempat yang berbeda, sehingga tidak muncul
kepanikan di tempat yang jauh dari area yang terinfeksi (karena mereka belum
tahu). Arus migrasi (baik permanen
maupun sementara) juga perlu waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk
bisa sampai ke kota atau negara yang berbeda (sehingga kalaupun ada yang
terkontaminasi, mereka sudah mati di perjalanan dan jasadnya langsung dibuang
ke laut).
Mungkin itu sedikit pembenaran untuk
kepanikan yang terjadi saat ini, ketika informasi tersebar begitu cepat hanya
dengan satu “klik” di ujung jari kita, dan ketika kemajuan teknologi
transportasi memungkinkan kita sarapan pagi di negara A, lalu makan siang di
negara B, dan menghadiri undangan makan malam di negara C dalam satu hari yang
sama. Hasilnya: ketakutan yang membuat
ribuan orang berbondong-bondong menyerbu pusat-pusat belanja, dan sebagian di
antara mereka bahkan memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri tanpa peduli
kesusahan orang lain. Panik, takut,
cemas, khawatir atau apalah istilahnya.
Wabah-wabah ini juga punya era atau jamannya
sendiri. Hingga hari ini, masih banyak
orang mati karena TBC, malaria, demam berdarah atau AIDS. Tapi era wabah-wabah itu sudah lewat,
sehingga media tidak tertarik lagi bicara soal wabah-wabah itu (kecuali
korbannya luar biasa besar seperti demam berdarah yang sekarang melanda
saudara-saudara kita di Nusa Tenggara Timur).
Dampaknya, tidak ada kepanikan karena wabah-wabah tadi meskipun masih
terjadi. Ini berarti satu hal: kita
merespon apa yang kita ketahui, bukan
apa yang sedang terjadi.
Akhirnya kita tiba pada sebuah fenomena
bahwa pengetahuan kita akan sesuatu, dan cara kita bersikap atas apa yang kita
ketahui itu layaknya dua sisi mata uang.
Di titik inilah kekhawatiran saya mulai muncul, karena dinamika
sosiokultural kita pada akhirnya sangat ditentukan oleh apa yang diketahui
masyarakat, meskipun pengetahuan itu belum tentu benar …….. dan lebih celaka
lagi bila kita bersikap terhadap sesuatu yang sebenarnya bahkan tidak ada sama
sekali.
——————–
Dulu, para penemu dan pengembang teknologi
informasi dan transportasi mendedikasikan temuannya untuk memperkuat fondasi
komunitas kita, yang semakin hari semakin berkembang. Sekarang, kita melihat sebuah paradoks ketika
perkembangan teknologi itu malah menjadi kerentanan terbesar umat manusia. Bagaimana perkembangan itu berdampak sangat
bergantung pada “siapa” yang memegang kendali.
Di tangan orang baik, informasi yang kurang enak didengar pun akan tetap
menenangkan; sebaliknya di tangan orang jahat, informasi yang terdengar sejuk
pun bisa mematikan.
Peradaban kita menjadi ditentukan oleh
bagaimana kita bersikap. Bagaimana kita
bersikap ditentukan oleh seberapa bijaksana diri kita. Kebijaksanaan kita ditentukan oleh seberapa
terdidiknya kita; bukan terdidik dalam artian akademis, namun terdidik secara
emosional dan spiritual. Keterdidikan
yang ditentukan oleh seberapa mampu kita mengalahkan diri kita sendiri.
Penderita yang cerdas emosinya akan jujur
pada diri sendiri meskipun harus mengakui bahwa mereka terinfeksi, hanya agar
semua orang sadar bahwa wabah ini berbahaya dan semua harus waspada. Penderita yang bodoh akan diam saja karena malu
dan takut di-bully, meskipun
ketidakjujuran itu akan membahayakan banyak orang. Pada sisi yang lain, masyarakat yang emosinya
cerdas akan berempati, dan masyarakat yang emosinya dangkal akan mencari
keuntungan sendiri, lalu menyalahkan sana sini.
Peradaban kita sedang dalam pertaruhan
besar, sama seperti yang telah dialami umat manusia berkali-kali sejak ribuan
tahun silam. Berempati bukan berarti
abai dan tidak menjaga diri, tetapi perilaku memojokkan dan menyalahkan orang
lain atas nama “sikap protektif” atau “menjaga diri” justru akan menghasilkan perpecahan
dan kehancuran. Kita sedang ditunggu
oleh bahaya yang jauh lebih besar dari sekedar kematian fisik: matinya sebuah
peradaban.
——————–
Saya teringat berbagai teori konspirasi
yang merebak di media sosial soal asal muasal virus Corona ini. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, saya
hanya berharap dan berdoa bahwa kejadian ini memberi kita hikmah, menjadikan
banyak orang semakin bijaksana, dan menyadarkan banyak negara betapa pentingnya
mencerdaskan masyarakat secara hakiki. Masyarakat
yang bukan semata-mata cerdas otaknya (karena sejarah dunia membuktikan
berbagai kehancuran justru dibuat oleh orang-orang yang hanya cerdas otaknya),
melainkan juga cerdas hati dan jiwanya. Masyarakat
yang berisi individu-individu yang mampu mengalahkan musuh terberat mereka:
diri mereka sendiri.
Sudah lewat tengah malam rupanya. Saatnya raga dan jiwa diistirahatkan, dan menjemput
mimpi akan sebuah dunia yang penuh damai dan menyejahterakan semua yang ada di
dalamnya.
Saya tidak mengenal kamu, atau bahkan sekedar
mendengar namamu, sebelum berita kematian tragismu memenuhi media massa. Perhatian saya semakin menjauh dari penuhnya
berita tentang wabah virus Corona saat saya membaca berita-berita lain
tentangmu, hidupmu, deritamu, dan sedihnya lagi: cita-citamu……yang pernah kamu
tulis dalam catatan harianmu.
Jujur saja, saya membangun kesan tentang
kamu sepenuhnya dari media daring yang saya baca. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi
saat kematian menjemputmu selain soal uang untuk study tour SMP-mu, apalagi soal keseharian, kondisi keluarga, dan
lain-lain tentang kamu. Semua yang saya
tahu tentangmu hanya apa yang berita-berita itu tuliskan, dan saya berharap berita-berita
itu tidak menambah atau mengurangi apapun tentang kamu.
Ananda Delis,
Saya menulis surat ini semata-mata
karena saya seorang Ayah yang juga punya anak perempuan seumuran kamu. Anak saya tak jauh beda dengan kamu: punya
cita-cita, punya harapan membahagiakan orang tua, ingin punya banyak teman, dan
juga pernah minta uang untuk study tour
sekolahnya hehehe…
Sebagai seorang Ayah, berita tentang kematianmu
di tangan ayah kandungmu sendiri karena uang untuk study tour itu betul-betul merobek hati. Bukan soal uang yang tidak dapat diberikan
ayahmu yang menghancurkan perasaan saya, melainkan apa yang harus kamu alami
setelah itu. Di usiamu yang baru 13 tahun,
kamu harus menjemput mautmu dalam perjalananmu menggapai cita-cita mulia yang
pernah kamu tulis, di tangan seseorang yang kamu tidak punya kuasa untuk
memilih apakah dia layak atau tidak menjadi ayahmu…..dan itu membuat saya
menangis.
Ayahmu sama sekali bukan representasi
seorang ayah—kamu pasti paham itu. Saya
mungkin juga bukan representasi seorang Ayah yang baik, apalagi sempurna. Namun dalam ukuran saya yang jauh dari
sempurna inipun, apa yang ayahmu perbuat kepadamu adalah sangat biadab; bahkan
seekor hewanpun tidak akan melakukan itu pada anaknya sendiri.
Ananda Delis,
Sudahlah…..bagaimanapun kamu sudah
berada di alam sana, dan saya berdoa kamu tenang dan damai bersama Sang Maha
Pencipta, yang sesungguhnya adalah Ayah sekaligus Ibu kita semua dalam hidup
kekal yang akan kita jalani setelah semua kefanaan dunia ini.
Tapi bolehlah kita berbicara sedikit
tentang apa yang kamu pernah tulis dalam catatan harianmu atau apapun itu. Oh iya, saya sempat membaca sebagian
tulisanmu di sebuah media daring yang memuat foto penggalan catatanmu (dan itu
cukup untuk membuat pilu hati seorang Ayah seperti saya).
Kamu bilang kamu ingin jadi Polwan untuk
“memberantas kejahatan sehingga kejahatan berkurang”. Sebuah cita-cita hebat yang kamu ungkapkan
dalam ketulusan dan kepolosanmu yang menyentuh hati. Dunia kita memang penuh orang-orang jahat,
baik dalam arti harfiah maupun dalam artian yang lain. Kejahatan yang ditunjukkan apa adanya di
rumah, di jalan, di berbagai tempat, maupun kejahatan yang dibungkus
kebaikan-kebaikan atau kata-kata bijak, yang dilakukan oleh mereka yang merasa
dirinya “pintar” atau “penting”. Seandainya
kamu punya kesempatan menggapai cita-cita itu (menjadi seorang Polwan), kamu
pasti akan tahu apa yang saya maksud.
Kamu bilang ingin masuk SMPN 6 karena “dekat
dari rumah, sehingga tidak perlu buang-buang uang untuk ongkos angkutan umum”. Betapa mulianya hatimu Nak, yang bisa
memahami kondisi orang tuamu (Ibumu) dan tidak mau membebaninya. Saya melihat kecerdasan emosional yang luar
biasa dari seorang anak 13 tahun, yang bahkan mereka yang sudah “dewasa”-pun
belum tentu punya. Saya berdoa kiranya ini
kelak bisa membimbing Ibumu menuju surga karena memiliki dan membesarkan anak
yang solehah seperti kamu. Amin…
Kamu bilang bahwa kamu ingin masuk SMPN
6 karena “ingin mendapatkan ilmu pengetahuan dan mendapatkan banyak teman”. Lalu kamu juga bilang bahwa kamu “akan
belajar belajar dengan tekun agar cita-citamu tercapai”, dan “akan mengerjakan
tugas dari Bu Guru dengan senang hati agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat”. Ah….semangat seperti itu yang negeri ini
butuhkan sekarang. Semangat untuk belajar
dan bekerja keras, semangat untuk meraih sesuatu yang lebih baik, semangat
untuk berbuat semua hal yang bermanfaat.
Entah kamu sempat melihat atau tidak, negeri ini penuh dengan
orang-orang yang selalu skeptis, pesimis, atau sebaliknya kelewat optimis dan merasa sudah pintar sehingga tidak perlu
belajar lagi. Saat berbuat, yang
diperbuat justru hal-hal yang tidak bermanfaat, mengganggu kenyamanan orang
lain, bahkan merusak.
Ananda Delis di Surga,
Berita-berita yang saya baca juga
menyebutkan bahwa kamu sering di-bully
di sekolah oleh teman-temanmu, yang menyebut kamu “bau lepet (lontong)”, karena
Ibumu sehari-harinya berjualan lontong. Hatimu
tidak sendirian merasa sakit, Nak. Hati
sayapun sakit mendengar hal-hal semacam itu.
Tapi itulah potret pendidikan kita selama ini, yang tidak pernah
diarahkan untuk membangun karakter, watak serta kepribadian yang baik, dan hanya
melulu soal “angka”, “nilai”, “rangking”, “skor” bla…bla…bla… Dunia pendidikan yang malah mencetak para
perundung, penghina, pencaci, bahkan pembunuh.
Begitulah kalau pendidikan semata-mata dijadikan “proyek”. Yang penting 20% APBN tiap tahun itu terserap;
hasil didik nggak penting.
Saya merasa bahwa secara tidak langsung
kamu adalah korban dari sistem buruk pendidikan kita. Selain bully
itu, kegiatan-kegiatan seperti study tour—yang
akhirnya memicu ajalmu—dalam banyak kasus justru menjadi beban bagi orang tua
murid. Banyak sekolah yang tidak
memahami kondisi psikososial murid-muridnya, yang datang dengan latar belakang
beragam. Ujung-ujungnya, banyak sekolah
yang justru jadi ajang pamer harta, adu status sosial orang tua, dan di sisi
lain menjadi lembah derita bagi mereka yang kurang mampu. Singkatnya, dunia pendidikan kita belum
menjadi tempat yang mendidik manusia secara hakiki dan mampu menjadi dirinya
sendiri.
Berita yang saya baca juga mengatakan
bahwa kamu adalah siswi yang pintar. Tidak
mengherankan buat saya, karena catatan yang kamu tulis saat kelas 6 SD itu
sudah menunjukkan betapa cerdasnya kamu, dan betapa mulianya hatimu. Tapi Tuhan memiliki rencana lain dalam
hidupmu, yang saya yakin semata-mata karena Dia menyayangimu. Saya membayangkan seandainya kamu punya waktu
mewujudkan cita-citamu, kamu pasti akan jadi seorang Polwan yang baik, cerdas,
dan kita akan melihat sebuah dunia yang damai karena minimnya kejahatan. Sekarang saya hanya berharap ada banyak anak
lagi dengan semangat yang sama dengan kamu, yang menjalani hidupnya untuk
sebuah cita-cita luhur demi kebahagiaan orang tuanya, dan kemaslahatan orang
banyak.
Ananda Delis,
Sepertinya tulisan saya sudah terlalu
panjang untuk ukuran sebuah surat. Mohon
maaf menyita waktumu untuk membacanya, tapi sekali lagi, saya hanya seorang Ayah
dari seorang anak perempuan sebaya kamu yang betul-betul sedih, teriris dan
tidak dapat menerima perlakuan orang terhadapmu, terutama ayahmu yang biadab
dan tidak bertanggung jawab itu. Biarlah
Tuhan dan alam semesta menghukumnya secara setimpal.
Rasa hormat saya yang tulus untuk Ibumu,
yang dengan segala keterbatasannya berusaha yang terbaik untuk membesarkan kamu. Beliau seorang wanita yang luar biasa.
Semoga kelak dari alam sana kamu akan
melihat dunia yang kamu cita-citakan dalam tulisan tanganmu. Selamat beristirahat dalam damai, Delis.
Jakarta, 28 Februari 2020
*(Tulisan ini merujuk kepada berbagai berita tentang kematian Delis Sulistina, seorang siswi SMPN 6 Tasikmalaya)
Welcome to my website. Here I share my thoughts and ideas, and you might find differences from yours. Let’s take this a beauty of life-a thinking I live with. Please enjoy as you wish.