KONTESTASI GREAT POWERS DI KAWASAN ASEAN DAN DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Pertahanan (negara) adalah investasi.  Negara yang kuat pertahanannya, aman, terjadi iklim yang damai.

– Prabowo Subianto –

Tanggal 25 November 2020 yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang mengambil tema “Sentralitas ASEAN Dalam Kontestasi Great Powers di Kawasan Indo-Pasifik: Inisiatif Diplomasi Pertahanan Indonesia”.  FGD ini membahas hasil kajian yang dilakukan oleh Kemenkopolhukam RI bekerjasama dengan Parahyangan Center of International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Kesempatan berharga itu saya manfaatkan untuk menyampaikan beberapa pandangan saya terkait diplomasi pertahanan Indonesia, yang karena kesibukan baru bisa saya muat dalam bentuk artikel kali ini.

BEBERAPA FAKTA[1]

1.     Mengacu pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) April 2020, belanja militer di Asia Tenggara mengalami peningkatan 4,2% di tahun 2019 hingga mencapai 40,5 miliar Dollar AS, setelah sebelumnya mengalami penurunan 4,1% di tahun 2018.  Bila dihitung dalam satu dekade 2010-2019, peningkatannya mencapai 34%.

2.     Dari data di atas, tiga negara di kawasan ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar di tahun 2019 adalah Singapura (28% dari total belanja pertahanan kawasan), Indonesia (19%), dan Thailand (18%).  Beberapa negara di kawasan ASEAN meningkatkan belanja pertahanannya untuk memperkuat kemampuan angkatan perangnya sebagai reaksi atas klaim Tiongkok serta aktifitas mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).

3.     Masih dari data di atas, beberapa negara ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar dalam hal persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 antara lain: Singapura 11.2 miliar Dollar AS (3.2% PDB), Indonesia 7.7 miliar Dollar AS (0.7% PDB), Thailand 7.3 miliar Dollar AS (1.3% PDB).  Negara tetangga ASEAN, Australia mencatatkan belanja pertahanannya sebesar 25.9 miliar Dollar AS (1.9% PDB).

Table 1. World’s Defence Spending 2019 (source: SIPRI)

SI VIS PACEM, PARA BELLUM

Perang pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional.  Secara universal, dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional semua bangsa adalah keberlangsungan hidup (sustainment of life) atau lebih sederhananya: bertahan hidup (survival).  Mereka yang memiliki sedikit sumber daya untuk bertahan hidup akan merasa perlu memperjuangkan banyak hal bahkan hingga tingkat yang paling ekstrim yaitu dengan berperang.  Namun, mereka yang memiliki banyak sumber daya untuk bertahan hidup, tidak boleh merasa tidak ada atau tidak banyak yang perlu mereka perjuangkan hingga harus berperang.

Semua perang yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia seperti ekspansi Kerajaan Romawi, Perang Salib, ekspansi Kerajaan Mongol, dua kali Perang Dunia, bahkan Perang Dingin yang tidak melibatkan konfrontasi fisik senjata antara dua negara adikuasa saat itupun, terjadi karena ada kelompok/negara yang ingin menguasai kelompok/negara lain, yang tentu saja untuk menguasai sumber dayanya bagi kepentingan hidup kelompok/negaranya.  Fakta ini mengajarkan kepada kita bahwa memiliki sumber daya bukan berarti kita akan hidup dengan mudah, damai dan tenang.  Semakin melimpah sumber daya yang dimiliki sebuah bangsa, justru menghadirkan tantangan yang makin besar untuk mempertahankan sumber daya itu bagi kemakmuran bangsanya dari kemungkinan dirampas, dijarah, dan dikuasai orang lain.

KONTESTASI GREAT POWERS

Kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) secara umum didefinisikan sebagai kekuatan-kekuatan (dalam hal ini negara) yang dipandang memiliki kemampuan atau keahlian untuk menyebarkan atau menanamkan pengaruhnya pada tingkat global.[2]  Saat ini, dunia pada umumnya menganggap negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, Inggris, juga Jerman dan Perancis adalah mereka yang termasuk dalam kategori Great Powers tersebut.  Pengaruh yang disebarkan secara global ini bermacam-macam bentuknya: ekonomi (misalnya dalam wujud perdagangan dan perbankan), teknologi, sosial dan budaya, juga militer.  Penggunaan mata uang Dollar AS sebagai standar mata uang dunia, meluasnya konsumsi makanan cepat saji, penggunaan platform-platform media sosial, merupakan bentuk-bentuk pengaruh yang berasal dari Great Powers tadi.

Dari perspektif militer, fenomena Great Powers sebenarnya merupakan evolusi dari bipolarisasi kekuatan di era pasca Perang Dunia II atau Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet menjadi pusat kekuatan militer global.  Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, AS tampil sebagai satu-satunya orientasi kekuatan militer dunia.  Meskipun masih dianggap sebagai pusat kekuatan militer dunia, hegemoni AS perlahan-lahan mulai “tergerus” sejak akhir era 1990-an, ketika Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dan membangun militernya berbasis teknologi ciptaan mereka sendiri, serta Rusia yang mewarisi sebagian besar kapasitas industri pertahanan dari jaman Uni Soviet berusaha untuk membangun (kembali) pasar produk militernya.  Meski demikian, geliat Tiongkok dan Rusia belum terlalu signifikan mempengaruhi peta kekuatan militer dunia, karena pasar kedua negara tersebut umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara-negara dengan tata kelola yang buruk.

Di regional ASEAN, kontestasi Great Powers, setidaknya untuk saat ini, berpusat pada persaingan AS dan Tiongkok, terutama di kawasan ekonomi Laut Tiongkok Selatan (LTS).  Hal ini karena secara geografis, beberapa negara ASEAN secara langsung terdampak oleh kebijakan-kebijakan sepihak Pemerintah Tiongkok atas klaim mereka di LTS, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tentu saja Indonesia.  Persoalannya, seberapa mampu ASEAN sebagai sebuah entitas multilateral meminimalisir dampak manuver-manuver masif Tiongkok di kawasan tersebut?

Kembali pada filosofi dasar “sustainment of life” atau “survival” tadi, LTS menjadi menarik karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan nilai strategis dan ekonomi tinggi yang dapat membantu siapapun “bertahan hidup”.  Namun, LTS juga merupakan “jembatan”, baik secara fisik/geografis maupun politis/diplomatis bagi perluasan kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, yang tentu saja sangat mengganggu AS.  Sejarah mencatat, kawasan Asia Tenggara adalah salah satu “area of interest” AS sejak lama, bila kita melihat pada masa Perang Dunia II, pemberontakan-pemberontakan di Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1960-an sampai penggulingan Soekarno tahun 1966, Perang Vietnam, akuisisi Timor Timur oleh Indonesia, dan masih banyak lagi.  AS membangun pangkalan militer di Filipina sejak 1947 hingga 1992, dan masih memiliki akses untuk menggunakan pangkalan-pangkalan militer di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, dan tentu saja sekutu dekat mereka Australia.

PERAN ASEAN

https://asean.org/asean/asean-member-states/

Association of South East Asia Nations (ASEAN), sejak dibentuk tahun 1967 telah memainkan peran sentral sebagai sebuah komunitas menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan ini.  Keanggotaan yang awalnya terdiri atas lima negara pendiri, saat ini telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah lima negara berikutnya bergabung dalam periode antara 1984 hingga 1998.  Fokus kerja sama ASEAN adalah di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dan informasi.  Meskipun berdiri di atas prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, dan saling menghormati, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sejarah masing-masing negara anggotanya berpeluang memunculkan gesekan-gesekan khususnya di sektor pertahanan.

Heterogenitas negara-negara ASEAN menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dalam menyatukan visi di bidang pertahanan dan keamanan kawasan.  Keterikatan historis negara-negara anggotanya dengan beberapa negara besar di luar kawasan telah menghasilkan orientasi pembangunan pertahanan yang beragam di antara sesama anggota ASEAN.  Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam misalnya, mereka adalah bagian dari The Commonwealth yang dipimpin oleh Inggris.  Filipina, meskipun di bawah Presiden Rodrigo Duterte terlihat agak “menjaga jarak” dengan AS, namun pada faktanya sangat bergantung pada Pemerintah AS dalam memperkuat militernya—sekali lagi karena faktor historis.  Vietnam, terlepas dari konflik akhir-akhir ini dengan Tiongkok di LTS, membangun reformasi sosialisme mereka dengan belajar dari Tiongkok, lagi-lagi karena faktor historis.

Faktor historis membuat beberapa negara ASEAN memiliki apa yang disebut sebagai “floating multilateralism” atau multilaterisme mengambang yang memungkinkan beberapa negara ASEAN membangun koneksitas yang demi kepentingan pragmatis bisa saja melebihi koneksitas mereka dengan ASEAN itu sendiri.  Multilateralisme mengambang, bila dibawa ke ranah militer atau pertahanan negara, seperti koneksitas Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris, tentu menjadi sebuah tantangan dan ujian besar bagi “ASEAN Bersatu”.  Ujian ini pernah dialami ASEAN dalam sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang berujung pada lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI tahun 2002.

Dalam KTT ASEAN di Bangkok bulan Juni 2019, para pemimpin negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah konsep politik regional yang bertajuk “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”. Pandangan ASEAN ini berdasarkan pada prinsip-prinsip memperkuat sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusifitas ASEAN, kerangka kerja berbasis peraturan, good governance, penghormatan atas kedaulatan, non-intervensi, ketaatan terhadap kerangka kerjasama yang sudah ada, kesamaan, saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap hukum internasional seperti UN Charter, UNCLOS 1982 dan peraturan-peraturan internasional lainnya, serta ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan regional lainnya.[3]

Secara subyektif, saya melihat ASEAN Outlook ini sebagai sebuah paradoks: di satu sisi ASEAN Outlook on Indo Pacific berfokus kepada area kerjasama non-militer (Maritime Cooperation, Connectivity, UN Sustainable Development Goals 2030, Economic and other areas), namun di saat yang sama,     kontestasi Great Powers mengindikasikan eskalasi di sektor militer yang akan berdampak pada stabilitas kawasan.  Sengketa LTS adalah contoh di mana konflik militer di kawasan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun itu bukan antar negara ASEAN.  Namun sejarah mencatat bahwa hubungan militer di antara negara-negara anggota ASEAN layaknya “api dalam sekam”: dingin di permukaan, namun “panas” di dalam (contohnya sengketa wilayah Ambalat).

DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Kecenderungan eskalasi ketegangan di kawasan LTS tentu harus disikapi serius oleh ASEAN, tidak hanya untuk stabilitas kawasan, namun juga tak kalah pentingnya adalah untuk menjamin agar ASEAN sendiri tidak “terpecah”, karena meskipun secara kuantitatif musuh yang dihadapi sama (Tiongkok), namun secara kualitatif kepentingan tiap negara ASEAN yang terkait dengan LTS bisa saja berbeda.  Perbedaan kepentingan ini sangat berpeluang memunculkan orientasi pragmatis dalam pengembangan kekuatan militer tiap-tiap negara, dengan mengatasnamakan sengketa LTS.

Meskipun terkesan normatif dan sedikit naif, namun diplomasi pertahanan tetap menjadi sebuah upaya yang harus dilakukan demi tetap terjaganya stabilitas kawasan ASEAN.  ASEAN memiliki forum-forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM Plus yang melibatkan para Menteri Pertahanan dari delapan negara mitra ASEAN (AS, Tiongkok, Rusia, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).  Namun demikian, fakta masih terjadinya beberapa sengketa perbatasan, termasuk pelanggaran wilayah baik di darat, laut maupun udara di antara sesama anggota ASEAN menunjukkan bahwa diplomasi pertahanan bukan sebuah solusi tunggal.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita dalam hal diplomasi pertahanan ini, baik secara umum maupun khusus dalam konteks kontestasi Great Powers:

1.     Pada suatu titik ketika dampak kontestasi Great Powers sudah dipandang membahayakan kepentingan negara ASEAN tertentu, sebuah negara bisa mengambil langkah pragmatis.  Dalam kasus Filipina versus Tiongkok di Arbitrase LTS 2016 (The Hague) yang hasilnya diabaikan sama sekali oleh Tiongkok (meskipun mereka termasuk dalam UNCLOS 1982) misalnya, Filipina tentu merasa mereka tidak dapat mengandalkan ASEAN, dan bisa jadi lebih memilih untuk memanfaatkan floating multilateralism mereka dengan AS (yang tentu saja akan dimanfaatkan AS dengan senang hati).

2.     Diplomasi pertahanan, yang bertujuan mewujudkan perdamaian kawasan tetap harus didukung dengan “kesiapan berperang”. Si vis pacem, para bellum.  Diplomasi pertahanan Indonesia jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa itu adalah upaya Indonesia karena tidak siap berperang.  Fakta bahwa beberapa pelanggaran wilayah oleh kekuatan militer negara tetangga masih terjadi hingga saat ini (yang terlalu naif untuk dikatakan “tidak sengaja”) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum terlalu “dianggap”, bahkan di tingkat kawasan.

Mendiang Presiden AS John Fitzgerald Kennedy pernah berkata “It is an unfortunate fact that we can secure peace only by preparing for war”.  Itu berarti bahwa diplomasi pertahanan untuk tujuan stabilitas dan perdamaian (kawasan) juga harus diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan, atau kesiapan untuk berperang. Diplomasi pertahanan dan pembangunan kekuatan pertahanan layaknya dua sisi mata uang yang memberi keuntungan timbal balik: diplomasi pertahanan dapat meningkatkan kesiapan berperang; kesiapan berperang akan memperkuat posisi diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan harus dilihat sebagai suatu upaya atau tindakan yang sistematis, dan melibatkan semua elemen nasional.  Diplomasi pertahanan haruslah berupa pendekatan “kesisteman Indonesia”.  Belajar dari para Great Powers, kuatnya posisi diplomasi pertahanan mereka banyak ditentukan oleh kuatnya ekonomi, majunya industri (tidak hanya industri sektor pertahanan), kuatnya political will pemerintah, tingginya tingkat literasi atau keterdidikan masyarakat, mapannya tata kelola negara, dan faktor-faktor lainnya.

Di sisi lain, pembangunan kekuatan pertahanan agar “siap berperang” juga harus dilihat dengan pendekatan yang sama: “kesisteman Indonesia”.  Semua elemen harus terlibat, tidak hanya Kementerian Pertahanan atau TNI.  Pembangunan kekuatan pertahanan bukan semata-mata soal defence spending atau belanja pertahanan.  Membangun pertahanan untuk sebuah negara seluas Indonesia dengan mengandalkan defence spending, selain memerlukan biaya besar, juga tidak menjamin adanya daya gentar dalam jangka panjang.  Kita dapat melihat besarnya defence spending di beberapa negara kaya di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab atau Qatar, yang secara kualitatif tidak menghasilkan rasa takut atau segan negara-negara lainnya.

Diplomasi pertahanan Indonesia akan lebih kuat, berpengaruh, diperhitungkan dan dihormati di kawasan bila Indonesia secara serius menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten untuk membangun pertahanan negara yang tangguh, dengan mengubah paradigma dari defence spending ke defence investmentDefence investment adalah pembangunan dan pengembangan segenap sumber daya pertahanan: Alutsista, sumber daya manusia (SDM), research and development (R&D), industri pertahanan, serta tata kelola pertahanan negara berupa struktur, doktrin, strategi hingga taktik.  Bila ini dijalankan, dalam jangka panjang belanja pertahanan akan menjadi asset, bukan hanya beban atau liability.  Negara-negara seperti Iran dan India memiliki posisi diplomasi pertahanan yang bagus tidak hanya di kawasan mereka, namun juga di tingkat global, bukan semata-mata dengan defence spending, namun juga dengan kemandirian industri mereka dan kekuatan political will pemerintahnya.

Itulah tantangan pembangunan kekuatan diplomasi pertahanan kita, agar kita lebih disegani dan dihormati, setidaknya di kawasan ASEAN, di tengah perjuangannya menghadapi dampak kontestasi Great Powers.  Siapapun yang ingin hidup damai, tenang dan nyaman, harus siap untuk berperang.

Si vis pacem, para bellum.


[1] https://www.sipri.org/databases/milex, diunduh tanggal 21 November 2020

[2] https://www.webcitation.org/5kwqEr8pe, diunduh 30 Januari 2021

[3] https://asean.org/storage/2019/06/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf, diterjemahkan tanggal 24 November 2020.

MEMBANGUN DI ATAS KOMPETENSI MORAL

Foto dari islamindonesia.id

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri.  Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah melakukan perlawanan di berbagai daerah.  Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan” Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.

Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat” atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.  Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.  Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis untuk menjadi sebuah negara merdeka?  Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan?  Punya sumber daya untuk membiayai pembangunan?  Punya angkatan perang yang cukup kuat untuk melindungi negara?  Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.

Lantas kecakapan atau kompetensi apa yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka?  KOMPETENSI MORAL.  Kecakapan moral itulah yang membuat para tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka.  Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang, karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib Indonesia.  Mereka juga berpotensi dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan Jepang pasca menyerahnya Jepang.  Namun, kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.

JANGAN PERNAH LUPA PADA SEJARAH

Itu 75 tahun yang lalu.  Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”.  Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan dalam tata kelola bermasyarakat.  Adalah sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.

Kembali pada sejarah, setelah merdeka bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya.  Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an, hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI.  Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998, yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat ini.

Berbagai pencapaian telah diraih.  Pembangunan infrastruktur berjalan masif, Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”.  Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun).  Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi.  Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”

History is the foundation of a nation.  Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa.  Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.  Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng.  Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata para pendahulu kita.

KOMPETENSI MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA

Para pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama kita kompeten secara moral.  Apa yang dimaksud “kompeten secara moral” itu?  Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama, mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.

Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah proklamasi.  Kompetensi moral itu pulalah yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia yang masih berusia dini.  Juga pada diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia.  Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.  Diri dan keluarga merekapun berada di prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.

Tujuan pembangunan negara adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).  Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Cita-cita nasional hanya dapat diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.  Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.  Benchmark dari karakter bangsa ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita bernegara.  Artinya, kita perlu kembali lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami bagaimana kita harus melangkah ke depan.  Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia tahun 2003.

SEBERAPA KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?

Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai lembaga penegakan hukum sudah dibentuk.  Tidak sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat.  Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.

Kita bangga dengan pencapaian pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan nasional kita yang sudah maju.  Sebelum pandemi Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi di Pulau Jawa, yang nota bene satu pulau dengan Ibukota negara).  Saat pandemi, terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan sinyal dan akses internet yang stabil.  Masih banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.

Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.  Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir dan sikap moralnya.  Tidak mengherankan, karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka.  Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.

Pencapaian kita memang banyak di 75 tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, itu persoalan lain.  Menjawab pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta kepuasan diri sendiri.

Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini dibangun di atas kompetensi moral.

Selamat memaknai 75 tahun perjalanan, negeriku!

Dirgahayu, tanah airku!

WEBINAR PERTAHANAN #1 LEMBAGA “KERIS”

Terima kasih atas kehormatan bagi saya untuk berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan. Untuk anda yang tidak sempat mengikuti Webinar Pertahanan Lembaga KERIS tentang Satelit Pertahanan dan Kemandirian Satelit Indonesia, Jumat, 7 Agustus 2020, berikut tautannya:

Thank you for the honor to contribute in the world of science. For those unable to attend Lembaga KERIS’ Defence Webinar on Defence Satellite and Indonesia Satellite Independence, Friday, 7 August 2020, you can click the link below:

https://www.youtube.com/watch?v=Qe25xkEcDJI&t=10s

MENDIDIK INDONESIA

Ilustrasi dari siedoo.com

Ketika saya berkesempatan menempuh pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary school) di kota Queanbeyan, NSW.  Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra.  Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu.  Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore.  Siswa di situ selalu mendapat PR setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.

Saya selalu membaca lembar kertas PR yang dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian saya.  PR itu hanya berupa 1 lembar kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran lain.  Matematikanya sangat gampang untuk ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di kelas II dan III di sekolahnya di Bogor.  Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.

Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website bla bla bla dot co dot au.  Jawab semua pertanyaan di dalamnya.  Bila ada yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”.  Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi ada juga yang tidak.  Semula anak saya meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.

Karakter, Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan

Suatu hari ketika menjemput anak saya di sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya.  Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia seperti anak Bapak.  Tapi dalam keyakinan kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis, dan berhitung.  Kalau cuma itu, selama anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal, mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung.  Itulah yang diberikan sekolah.  Tapi ketika membangun karakter, kita harus mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini.  Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami membangun tempat mendidik”.

“Maksudya?”, tanya saya.

“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang berisi tugas untuk membuka sebuah website dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.

“Ya, saya melihat itu”

“Nah, itulah sebenarnya intinya”

“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”

“Negara kami merancang model tugas yang seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak.  Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri.  Dia harus mengerjakan sendiri sebatas yang dia mampu.  Ketika ada hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas.  Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan bagaimana dia menjawab soal itu”

“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa menjawab soal itu?”

“Di situlah peran saya sebagai Guru”

Kejujuran, Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas

Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi.  Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan.  Yang saya lihat betul-betul membuat saya kagum.

Di dalam kelas seorang teman anak saya sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan.  Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu.  Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri dalam menjawab soal itu.  Akhirnya muncul diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.

Setelah diskusi selesai, semua siswa kembali duduk.  Lalu Bu Guru menjelaskan hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi.  Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas partisipasinya dalam diskusi.  Tidak ada satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu berbeda-beda.  Semua dihargai.

Satu hal menarik lagi adalah bahwa model bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan meja/mimbar Guru.  Di sekolah anak saya, susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang.  Susunan yang demikian membuat anak-anak saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun kohesi satu sama lain.  Menurut anak saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.

Pendidikan Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor

Guru lebih banyak berada di belakang kelas, membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu sama lain.  Tapi ini bukan berarti Guru tidak memantau perkembangan murid-muridnya.  Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.

Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”.  Intinya adalah menggambarkan pencapaian si anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas.  Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu.  Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.

Substansi rapornya pun sangat menggugah.  Sekolah selalu menghargai potensi anak, apapun itu.  Saya jadi teringat obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar bersekolah.  Itu sebabnya di lembar rapor tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking.  Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka, ranking, dan sebagainya.

Setiap anak punya potensinya sendiri, dan setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat di kemudian hari.  Anak yang susah memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh?  Mungkin memang potensinya bukan di hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu sosial (humaniora).  Apakah ilmu-ilmu itu tidak bermanfaat?  Anda tahu jawabannya.

Nah, masalahnya sistem pendidikan kita menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara seragam.  Nilai matematika minimal harus 75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik kelas.  Padahal potensinya memang bukan di situ.  Ketika dituntut sedemikian rupa, demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara, yang penting skornya nanti bagus.  Dia akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua misalnya), dan lain-lain.

Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”.  Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua, nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan seterusnya.  Lagi-lagi, ini membuat sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.

Pada akhirnya kita melihat sekolah justru menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik.  Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk lain dari mencuri.  Kebiasaan mencuri yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid.  Maka jangan heran ketika si murid ini suatu hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan pembunuh.  Itu karena sejak dia sekolah, dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri, dan tidak mau mengakui kekurangannya.  Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan “mentereng” di luar.

Pendidikan Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek

Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20% dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945.  Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang.  Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih di situ-situ saja”.

Alokasi APBN yang besar dan berasal dari uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu pengetahuan.  Karakter yang berisi kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan mencintai bangsanya.  Pendidikan karakter jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif.   Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus dimulai sejak dini.

Kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme.  Membuat model pendidikan yang seperti itu jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin maju.  Jadi anggaran pendidikan tidak habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa cetak buku atau modul baru secara nasional.  Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.

Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga pendidik.  Jadi penambahan kesejahteraan materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.  Bukan sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli muridnya bisa atau ngga, yang penting jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.

Anggaran pendidikan yang besar juga harus menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau terluar di negeri ini.  Pendidikan harus murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada.  Infrastruktur harus tersedia secara memadai, jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada hujan atau angin besar.  Infrastruktur itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah, atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.

Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita.  Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi hancur oleh dirinya sendiri.

Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional, Indonesia!

Bogor, 2 Mei 2020

Profil Satuan Pemeliharaan 16 (Air Force 16 Maintenance Unit Profile)

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=M2DudyIBbH8]

Making the helicopters ready to combat. It’s what we do everyday.

We work with COURAGE, step our feet upon HONESTY, and keep fighting for HONOUR.

“QUALITY” is our middle name.

NON SIBI SED PATRIAE (NOT FOR SELF, BUT FOR COUNTRY).

[Untuk para kebanggaanku, kala waktu tak mampu menghentikanku untuk tetap mengingatmu…]

I can only say THANK YOU: The Testimony

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8z6FDL47Yrk&feature=youtu.be]

Bukan aku yang telah memberi; kalianlah yang telah berbuat.

Bukan aku yang berbeda; kalianlah yang istimewa.

Aku sadar, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa.

Untuk semuanya, aku hanya bisa berkata: TERIMA KASIH…!

SURAT UNTUK PARA SAHABAT…

Hore1Dear sahabat-sahabatku,

Aku ingin meluangkan sedikit waktu untuk mengatakan beberapa hal yang tak sempat terucapkan saat aku masih bersama kalian, karena bibirku tak sanggup melakukannya. Aku meminta maaf bila waktu kalian tersita untuk membaca surat ini.

Aku hanya ingin berterima kasih atas kebersamaan yang luar biasa indahnya selama satu tahun empat bulan terakhir. Baru dua hari tak bersama kalian lagi–terus terang saja–telah menyiksaku dengan jutaan kerinduan. Aku mengingat lagi rutinitasku setiap pagi memarkir mobil di depan ruang kerjaku, lalu mendengar satu-dua dari kalian yang melintas meneriakkan “Selamat pagi, Komandan…!” sambil menghormat. Bukan penghormatan itu yang aku rindukan, karena aku yakin sampai sekarangpun aku tak kehilangan itu semua. Aku kehilangan senyuman di wajah kalian; senyuman yang memancarkan semangat dan ketulusan untuk bekerja denganku membangun satuan kita. Ketulusan yang kini hanya bisa kuingat dan kukenang tapi tak bisa kulihat lagi, dan hanya dalam hati saja akan menjadi bagian dari hari-hariku ke depan.

Sahabat-sahabatku,

Ketahuilah bahwa aku begitu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberiku waktu untuk mengenal kalian. Aku telah menjalin kebersamaan dengan banyak orang di Bogor dan Jakarta sebelum bersama kalian, dengan rentang waktu yang lebih panjang dari kebersamaan kita. Namun, meski paling singkat dibandingkan dengan yang lain, kebersamaan dengan kalianlah yang paling berkesan dan paling dalam meninggalkan bekas di relung hatiku. Itu karena pada awalnya aku begitu angkuh dan naif “menolak” kebersamaan ini, dan begitu ingin segera pergi meninggalkan kalian. Tapi pada 12 Agustus malam kemarin, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada kalian semua, pada satuan yang kita banggakan bersama ini. Malam itu aku menyesali keangkuhanku, setelah aku sadar bahwa amat berat meninggalkan kalian semua.

Aku juga bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku sebuah sikap mental profesional untuk bekerja sebaik-baiknya di manapun berada, sekalipun itu tak kusukai. Itulah yang mendorongku untuk menghabiskan waktuku berpikir dan bekerja agar kalian semua tidak salah berbuat, tidak gagal, dan tidak tersesat. Hanya hal sederhana itu yang aku lakukan satu tahun empat bulan ini, dan Puji Tuhan, kalian bisa memahami serta menerimanya. Dari situlah kusadari kenaifan serta kebodohanku, karena pada akhirnya aku menyadari apa maksud Tuhan menempatkanku di tengah-tengah kalian.

Sahabatku warga Satuan Pemeliharaan 16,

Terima kasih telah memberikan pundak kalian untuk menjadi tempatku berdiri, sehingga banyak orang melihatku tinggi, dan aku penuh dengan puja-puji. Terima kasih telah menopangku dengan tulus, meski aku tak pernah memberi kalian apa-apa. Terima kasih telah menemaniku berjuang membangun satuan kita, membuatnya lebih bersih, lebih tertib, lebih maju, dan lebih bermartabat. Terima kasih telah memahami visiku untuk mewujudkan sebuah satuan yang bisa dibanggakan, dan membuat semua mata mengarah pada kita. Terima kasih, karena telah membuat semua orang melihat kita berbeda. Sadarilah, bukan aku yang berbeda. Semua itu bisa terjadi karena kalianlah yang berbeda, alias tidak sama dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak henti-hentinya membanggakan kalian, dan semangatku menjadi tak pernah putus untuk bekerja bagi satuan kita.

Maafkan aku karena tak ada yang mahal yang bisa kuberikan. Aku hanya bisa memberikan waktu, energi, pikiran, serta hatiku untuk kalian. Maaf juga karena telah merepotkan kalian menjemput atau mengantar istri dan anak-anakku, serta keperluan pribadi lain yang sebenarnya kalian tak punya kewajiban untuk itu. Aku mengingat semua itu dengan mata berkaca-kaca, karena aku melihat kalian tetap melakukannya dengan berjuta ketulusan. Juga, maafkan aku untuk segala hal yang tak bisa kupenuhi bagi kalian, serta segala upayaku yang mungkin belum sesuai harapan kalian. Aku tetaplah manusia biasa yang penuh kekurangan.

Sahabat-sahabatku yang selalu kukenang,

Ini suratku untuk kalian semua, 61 orang hebat yang telah Tuhan hadirkan dalam hidupku. Aku selalu mengingat senyumanmu, ketulusanmu, serta semangatmu bekerja bersamaku. Aku mengenang serah terima jabatan tanggal 13 Agustus kemarin yang begitu luar biasa, dan aku yakin belum pernah ada di belahan Indonesia manapun sebelumnya. Itulah sebabnya kutulis surat ini, karena saat berdiri untuk terakhir kalinya di depan kalian semua saat itu, mulutku seakan terkunci untuk berbicara banyak. Meski demikian aku sadar, beribu pujian serta ungkapan terima kasihku tak akan pernah sepadan dengan jutaan ketulusan yang telah kalian berikan untukku.

Teruslah berkarya, sahabat-sahabatku. Tingkatkan kualitas dirimu, karena itu yang akan menentukan seberapa nilai dan hargamu kelak.  Tegakkan jati diri kalian, jaga kebanggaan satuan kita, dan pelihara semua yang telah kita bangun bersama. Hingga akhir hayatku, aku akan selalu membanggakan dan mengingat kalian semua. Aku berdoa Tuhan selalu menyertai kalian, dan sudi memberiku waktu untuk melepas rinduku pada kalian suatu saat nanti.

Bogor, 15 Agustus 2014

Hormat dan Banggaku,

Jon K. Ginting

P.S.:

Terima kasih juga untuk:

1.  Tuhan Yesus Kristus, atas teladan kepemimpinanNya yang menginspirasiku.

2.  Akademi Angkatan Udara, atas edukasi kepemimpinan saat aku menjadi seorang Taruna.

3.  Baret Mabes TNI, yang menguatkanku untuk tidak meneteskan air mata saat mengucap kata perpisahan dengan para sahabatku.

PREMAN SEKOLAH ATAU SEKOLAH PREMAN?

Soal preman lagi, hehehe… Setelah tanggal 5 Agustus lalu saya menulis sebuah surat terbuka untuk memberi dukungan moril bagi sahabat saya AKBP Hengki Haryadi (dan segenap jajaran Polri c.q. Polda Metro) dalam menumpas preman-preman ibukota, saya jadi bertanya-tanya: mengapa premanisme bisa sebegitu merajalela di negeri ini? Ya, negeri yang katanya sudah merdeka hampir 68 tahun; yang didirikan di atas perjuangan dan pengorbanan mahal para pendirinya? Logikanya, pendiri negara manapun adalah orang-orang hebat dengan ketulusan hati serta komitmen yang teguh untuk dapat melihat negara yang dirintisnya berkembang maju menjadi sebuah negara yang besar. Jadi, pendiri negara tidak mungkin para preman, dan tak satupun pendiri negara rela memberikan ruang untuk premanisme di negaranya, karena mereka tak ingin negara yang dibangunnya dengan susah payah hancur akibat premanisme.

Thus, mengapa sekarang bangsa ini seolah tak asing dengan premanisme? Premanisme sudah seperti “bagian hidup”, karena kita sudah sangat terbiasa dengan hal-hal seperti pungutan liar (pungli), sogok menyogok, wani piro, pemberian ‘komisi’ kepada otoritas tertentu, dan sebagainya. Itulah premanisme sistemik dalam filosofi saya, yaitu sebuah situasi di mana kekuatan uang, status sosial, senjata, dan fisik berada di atas peraturan dan hukum untuk menyelesaikan suatu masalah. Premanisme ada di semua lini dan terjelmakan dalam berbagai wujud: mulai dari buruh kasar sampai mereka yang sehari-hari berjas dan dasi atau berseragam. Saking sistemiknya, upaya pemberantasan premanisme di Indonesia (dalam perkiraan saya) akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan pemberantasan mafioso di Italia, atau pembasmian kekuasaan para kartel narkoba di Amerika Selatan. Nah, barangkali pertanyaan “mengapa” ini akan sedikit berkontribusi dalam menguak akar premanisme sistemik di negeri tempat kita hidup sekarang. Layaknya tanaman, bila kita babat hingga ke akar, maka tanaman itu akan mati.

Fenomena Dunia Pendidikan Indonesia

Siapapun maklum, bahwa lingkungan pendidikan adalah dunia di mana sebuah bangsa dapat berharap untuk memiliki generasi penerus yang dapat melanjutkan kelangsungan masa depan bangsanya. Artinya, keluaran atau hasil didik dari lingkungan ini haruslah mereka yang tidak hanya cerdas dan berwawasan, namun jauh lebih penting adalah generasi yang berkarakter. Hanya dengan memiliki generasi penerus yang berkarakter, sebuah bangsa dapat terjamin kelangsungannya. Hanya oleh generasi yang berkarakter pulalah sebuah bangsa akan terus maju, berkembang, dan sejahtera. Persoalannya, sudah cukup percayakah kita pada dunia pendidikan Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus yang sedemikian?

Saat ini, jangankan para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya—apakah itu di SD, SMP, SMA atau perguruan tinggi—anak-anak yang notabene adalah (bakal) obyek didik pun sudah mahfum bahwa bayar membayar untuk bisa masuk ke sekolah tertentu itu biasa. Anak saya yang bersekolah di salah satu SMP negeri di Bogor juga pernah bercerita kepada saya, bahwa beberapa temannya menceritakan tentang orang tua mereka yang harus menggelontorkan sejumlah uang sehingga mereka bisa masuk ke sekolah itu. Itulah salah satu fenomena sosial dunia pendidikan kita: ada uang, selesai masalah (meskipun anak kita sebenarnya tak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah itu).

Bila di sekolah-sekolah negeri (yang notabene dikelola negara dan dibiayai dengan APBN) fenomena itu bisa terjadi, tak perlu kita tanyakan bagaimana di sekolah-sekolah swasta. Mungkin tidak semua juga, artinya pengeluaran uang oleh orang tua murid memang proporsional sebagai biaya untuk mendidik anak-anak mereka di sana. Tapi naif juga untuk tidak mengatakan bahwa itu tidak terjadi sama sekali. Dalam logika sederhana saya, lha wong di sekolah negeri yang dibiayai negara saja orang tua bisa “dipalakin”, apalagi di sekolah swasta, yang operasional pendidikannya memang bergantung pada pemasukan dari orang tua siswa (atau calon siswa)?

Selain premanisme dalam bentuk uang, dunia pendidikan kita juga akrab dengan premanisme dalam manifesto yang lain.  Misalnya: kebiasaan menyontek, mencuri soal ujian, atau jual beli bocoran soal/jawaban. Benang merah semua perilaku itu sama: mencuri. Mencuri itu juga perilaku preman to? Nah, perilaku preman itu yang diperkenalkan secara telanjang dan tanpa tedeng aling-aling kepada para murid, dalam beberapa kasus malah difasilitasi oleh sekolah atau oknum guru. Sekolah tidak ingin siswanya banyak yang gagal dalam ujian nasional misalnya, sehingga berbagai cara dilakukan agar siswanya lulus semua (sehingga sekolah itu akan dinilai sebagai sekolah yang hebat/bagus). Seorang guru atau wali kelas juga tidak mau dibilang bodoh dan tidak bisa membina kelasnya dengan baik, sehingga ia dengan “ikhlas” memberikan bocoran soal agar siswa-siswa di kelasnya lulus ujian semua. Para pengawas ujian, karena sudah mendapat “sesuatu” dari pihak sekolah yang diawasinya, akhirnya membiarkan peserta ujian menyontek satu sama lain (yang penting ngga ribut atau gaduh di kelas hehehe…).

Belum lagi kalau kita bicara soal materi pendidikan. Mengapa sampai ada buku pegangan siswa yang isinya cerita-cerita berbau porno? Gambar-gambar artis atau bahkan bintang film syur seperti Miyabi? Ya, karena buku-buku itu kan ada penyedianya, si pemenang tender alias kontrak pengadaan buku ajaran untuk sekolah. Selama mereka mampu memberikan kompensasi yang “menggiurkan” kepada otoritas atau oknum terkait, sensor pasti menjadi longgar. Pengendalian kualitas kendor.  Hasilnya, muncullah gambar-gambar atau cerita-cerita “dewasa” di buku untuk siswa SD atau SMP. Sekali lagi, tidak semua sekolah atau daerah kondisinya seperti itu. Tapi saya juga naif bila mengatakan fenomena itu tidak ada sama sekali. Itulah sebabnya, kita juga tidak asing dengan pemandangan tawuran antar pelajar, atau siswa-siswa yang keluyuran di luar sekolah saat masih jam pelajaran. Mereka beranggapan bahwa masuk sekolah dan belajar itu ngga penting, toh nanti waktunya ujian mereka akan dapat bocoran soal. Kalau ngga dapat secara cuma-cuma, ya tinggal bayar. Kalau ketahuan dan akan diperkarakan, bayar lagi ke otoritas yang lebih tinggi agar kasusnya tidak diteruskan.  Selesai perkara.

Premanisme Dalam Pengelolaan Sekolah Unggulan

Saya cukup “takjub”, bahwa fenomena seperti itu ternyata juga (bisa) terjadi di sekolah-sekolah unggulan. Cukup masuk akal pada akhirnya, bila kita memahami bahwa orang tua manapun ingin anaknya bisa masuk sekolah unggulan, dan lulus dari sana. Thus, hasrat para orang tua ini yang “ditangkap” oleh pengelola sekolah unggulan, yang sayangnya, hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Sekolah-sekolah unggulan (yang umumnya swasta, dengan fasilitas pendidikan yang wah, berasrama, menawarkan berbagai kurikulum khusus sebagai nilai tambah) memerlukan biaya operasional pendidikan yang tinggi, dan itu dilimpahkan kepada biaya yang harus dibayar oleh para orang tua siswa. Meskipun beberapa sekolah unggulan juga menawarkan program bea siswa untuk mereka yang berprestasi namun kurang mampu secara finansial, sekolah unggulan tetap saja lekat dengan predikat “sekolah orang kaya”.

Bila stigma ini benar, maka terbukalah pintu bagi premanisme dalam pengelolaan pendidikan. Lagi-lagi logika sederhana saja: para pengelola sekolah unggulan (swasta) berpikir bahwa mereka tidak dibiayai dengan uang negara, tidak menggunakan APBN. Thus, tidak akan ada kerugian negara. Di sisi lain, para orang tua berlomba-lomba mengupayakan anaknya dapat dididik dan menjadi lulusan sekolah unggulan itu, karena dengan menjadi lulusan sebuah sekolah unggulan, akan ada suatu kebanggan tersendiri, prestise, serta status sosial tertentu bagi lingkungannya. Betul, dan itu yang menjadi “gayung bersambut” bagi para pengelola sekolah unggulan.

Maka tidaklah aneh bila di sebuah sekolah unggulan yang sudah punya “nama besar”, yang didirikan untuk menghasilkan generasi penerus yang diharapkan membawa negeri ini menjadi bangsa yang besar serta mendunia (seperti contoh almamater saya sendiri, sebuah sekolah menengah atas di Magelang), premanisme seperti inipun mendapat ruang yang “nyaman” untuk berkembang biak. Bayangkan, siswa-siswanya ada yang anak pejabat negara, anak jenderal, anak pengusaha kaya, anak dokter kepresidenan, dan anak orang-orang hebat lainnya. Para orang tua yang seperti itu adalah mereka-mereka yang sama sekali tidak punya masalah dengan uang pangkal atau uang pembangunan yang paling tidak 30 juta rupiah, lalu biaya bulanan (SPP), serta biaya-biaya lainnya yang digit-nya sampai delapan (dan bila ditotal selama tiga tahun SMA bisa mencapai sembilan atau bahkan sepuluh digit).  Belum lagi “kontribusi khusus” dari orang tua yang bersedia memberikan komitmen tertentu pada pengelola sekolah. Di sisi lain, ada siswa penerima bea siswa, yaitu mereka yang benar-benar berprestasi namun orang tuanya tidak mampu secara finansial. Sederhananya, biaya pendidikan mereka ditutup dari uang yang dibayarkan oleh para orang tua yang mampu.

Thus, bola ada di tangan pengelola sekolah. Idealnya, aturan tetap harus di atas segala-galanya. Begitu masuk, semua siswa punya hak dan kewajiban yang sama untuk berpegang pada peraturan serta kode etik sekolah itu. Siswa dari kalangan mampu (finansial) tidak lantas berhak untuk berbuat seenaknya, sementara siswa bea siswa harus benar-benar taat aturan. Apa bisa? Ya bisa saja, selama pengelola sekolah adalah orang-orang berjiwa luhur, berhati bersih, serta berpegang pada komitmen dan cita-cita luhur para pendiri sekolah. Tapi bila pengelola sekolah unggulan ini justru memanfaatkan antusiasme dan semangat para orang tua murid, ya jadilah sekolah itu dikelola dengan cara-cara preman. Misalnya: bila si murid melanggar sebuah kode etik siswa (menyontek, mencuri soal, atau pelanggaran lainnya) dan guru memproses pelanggaran ini sesuai prosedur, pengelola sekolah justru “bernegosisasi” dengan orang tua si murid. Setelah ada deal-deal tertentu, hasil akhirnya si murid tidak dikeluarkan dari sekolah (bahkan tidak mendapat sanksi sama sekali).

Saya hanya berpikir begini: si murid semata-mata obyek didik, dia justru “korban” dari premanisme sistematik itu; sementara orang tua wajib berusaha agar anaknya mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Nah, pengelola sekolah-lah yang seyogyanya menjamin bahwa si obyek didik mendapatkan pendidikan terbaik sesuai harapan orang tuanya. Lembaga pengelola sekolah harus bisa menjadi filter terakhir saat murid dan orang tua melakukan penyimpangan. Lembaga itu harus menjadi last barrier kala si murid tidak tahu bahwa privilege untuknya hanyalah racun bagi dirinya sendiri, dan kala orang tua murid tidak menyadari bahwa pemanjaan terhadap anak-anak mereka adalah penjerumusan bagi masa depan si anak. Bila ketidakpahaman si orang tua (ketika mereka berusaha “mengamankan” perilaku buruk si anak) justru dimanfaatkan oleh pengelola sekolah untuk kepentingannya sendiri, itulah saatnya sekolah justru sedang mendidik para preman masa depan. Ya, para preman yang telah diajari bagaimana mencuri, berbohong, dan membuat kepalsuan. Di sekolah mereka mencuri soal atau menyontek (dan aman-aman saja), kelak kemudian hari, merekalah para pencuri uang rakyat, uang negara.

Pengelolaan sekolah dengan mekanisme sogok menyogok, deal-deal di luar aturan baku, serta pengabaian terhadap kesetaraan hak adalah sama dengan premanisme, yang menempatkan uang atau kekuasaan di atas aturan. Hari-hari terakhir ini kita dijejali cukup banyak berita soal pemberantasan preman di ibukota. Sayang sekali, saat premanisme di negeri ini sedang dibabat habis di tataran praktis, di saat yang sama kita justru sedang menanti lahirnya preman-preman baru, yaitu hasil didik sekolah-sekolah (unggulan) yang dikelola dengan pendekatan premanisme. Layaknya iceberg phenomenon, sekarang kita sedang membabat apa yang muncul di permukaan. Bila kita tidak membabat juga preman-preman pengelola lembaga pendidikan itu (apalagi yang berlabel sekolah unggulan), maka kita sedang membiarkan gunung es itu muncul kembali…dan bisa jadi, lebih besar dan lebih biadab dari preman-preman sebelumnya.

Ahhh…sedih sekali rasanya bila benar itu terjadi di almamater saya sendiri.

KESIAPAN ALUTSISTA (WEAPON SYSTEM AVAILABILITY): SEBUAH PERSPEKTIF KUANTITATIF DAN MANAJERIAL

Isu utama dalam hal pertahanan negara kita beberapa tahun terakhir ini adalah “kesiapan alutsista”.  Baik alutsista darat, laut, maupun udara menghadapi persoalan yang sama dalam hal kesiapan.  Beberapa faktor disebut-sebut mempengaruhi rendahnya kesiapan alutsista ini, seperti usia alutsista yang dianggap sudah tua, kesulitan memperoleh suku cadang (apakah karena dampak politik seperti embargo, ketersediaan di pasaran, dan sebagainya), dan terbatasnya anggaran negara untuk memelihara alutsista tersebut.  Namun, tahukah anda apa sebenarnya “kesiapan alutsista” itu?  Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menggambarkan secara garis besar tentang filosofi di balik terminologi “kesiapan”, dan di aspek apa kita dapat berbenah serta mencari strategi yang tepat untuk memperbaiki tingkat kesiapan itu.

1.         Definisi “Kesiapan”

Secara harfiah, “kesiapan” dalam Bahasa Indonesia semestinya diterjemahkan sebagai “readiness” dalam Bahasa Inggris. Namun dalam konteks pembahasan isu pertahanan seperti disebutkan di atas, lebih tepat bila “kesiapan” ini dibahasakan sebagai “availability”. “Availability” sendiri sebenarnya bisa kita terjemahkan sebagai “ketersediaan” dalam Bahasa Indonesia, namun kata tersebut sangat tidak umum digunakan dalam pembahasan atau diskusi mengenai alutsista.

NATO ARMP-7[1] mendefinisikan “availability” sebagai “kemampuan suatu item yang dinyatakan siap untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi dalam kondisi-kondisi tertentu setiap saat atau pada suatu rentang waktu tertentu, dengan asumsi bahwa semua sumber daya pendukungnya terpenuhi” (the ability of an item to be in a state to perform a required function under given conditions at a given instant of time or over a given time interval, assuming that the required external resources are provided).

Penulis mencoba membandingkan definisi ini dengan apa yang tercantum dalam US DoD Military Dictionary and Associated Terms (JP 1-02)[2] tentang “materiel readiness” (kesiapan materiil) yang diuraikan sebagai “ketersediaan materiil yang dibutuhkan oleh suatu organisasi militer untuk mendukung kegiatan atau kontinjensinya di masa perang, penanggulangan bencana (banjir, gempa bumi, dan sebagainya) atau keadaan darurat lainnya” (The availability of materiel required by a military organization to support its wartime activities or contingencies, disaster relief (flood, earthquake, etc.), or other emergencies).  Atas dasar perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa “availability” dan “readiness” memiliki kaitan yang erat, namun demi kewajaran bahasa, penulis akan menggunakan “availability” untuk membahasakan “kesiapan”.

2.         Macam Kesiapan Alutsista

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa availability berkaitan dengan “waktu” atau “periode”.  Artinya, secara individu kesiapan suatu alutsista dinilai atau diwujudkan dalam/untuk suatu rentang waktu tertentu.  Tidak ada alutsista yang selalu siap sejak ia “dilahirkan” hingga ia “dipensiunkan”.  Hal ini terkait dengan dua aspek penting yang mempengaruhi availability itu sendiri, yaitu reliability (kehandalan) dan maintainability (keterpeliharaan).

Dari perspektif waktu/periode, secara teknis ada empat macam kesiapan alutsista yang dapat diuraikan di sini, yakni:

a.         Kesiapan melekat (inherent availability);

b.         Kesiapan operasional (operational availability);

c.         Kesiapan terjadwal (scheduled availability); dan

d.         Kesiapan tidak terjadwal (unscheduled availability).

2.1.      Kesiapan Melekat (Inherent Availability)

Inherent availability adalah sebuah parameter kinerja suatu alutsista yang bergantung pada faktor Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR).  MTBF dapat diartikan sebagai interval waktu rata-rata dari suatu kondisi tidak siap ke kondisi tidak siap berikutnya pada sebuah alutsista.  Kondisi tidak siap dapat terjadi baik karena adanya kegagalan pada sistem maupun karena alutsista tersebut sudah memasuki masa pemeliharaan.  Di sisi lain, MTTR dapat diartikan sebagai waktu rata-rata untuk menyelesaikan sebuah tindakan perbaikan atau korektif pada saat alutsista dalam kondisi tidak siap digunakan.  Secara matematis, inherent availability dapat dirumuskan sebagai berikut:

AI

Inherent availability tidak memperhitungkan waktu tunda (delay time) karena harus menunggu dukungan suku cadang atau peralatan, dan transportasi peralatan/dukungan lainnya (diasumsikan semua sudah tersedia).  Dari formula di atas, dapat dilihat bahwa inherent availability dapat ditingkatkan dengan cara memperpanjang MTBF dan memperpendek MTTR.  MTTR dapat diperpendek dengan cara menjamin ketersediaan suku cadang, tools, dan personel yang berkualifikasi tepat.  Sedangkan MTBF dapat diperpanjang dengan penggunaan suku cadang yang handal/berkualitas serta pelaksanaan tindakan-tindakan preventif.  Kesiapan melekat ini adalah parameter kesiapan yang paling ideal, yang bergantung pada kualitas manajemen logistik dan keselarasannya dengan dengan pengoperasian alutsista tersebut.

2.2.      Kesiapan Operasional (Operational Availability)

Kesiapan operasional berbeda dengan kesiapan melekat, karena memasukkan waktu tunda (delay time), kegiatan perbaikan korektif, dan tindakan-tindakan preventif.  Jenis kesiapan ini dipandang paling realistis untuk digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kesiapan tempur, mengingat pada prakteknya, kerugian-kerugian (waktu, suku cadang, peralatan, dan resiko lainnya) sangat sulit untuk dicegah.  Kesiapan operasional memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut: Mean Time Between Maintenance Actions (MTBMA), Mean Maintenance Time (MMT), dan Mean Logistic Delay Time (MLDT).  Secara logika, MTBMA semestinya sama dengan MTBF, dan MMT sama dengan MTTR. Secara teknis tidak demikian, karena MTBMA dan MMT memperhitungkan baik tindakan preventif maupun korektif, sementara MTBF dan MTTR hanya memperhitungkan kegiatan korektif saja.  Secara matematis, rumusan operational availability adalah sebagai berikut:

 AO

Operational availability berbanding terbalik dengan rasio antara kumulasi kegiatan pemeliharaan korektif dan preventif serta semua penundaan yang mungkin terjadi (menunggu suku cadang, terbang uji/test flight, dan sebagainya) terhadap waktu aktif total alutsista tersebut beroperasi. Semakin kecil rasio tersebut, maka kesiapan operasional semakin tinggi.  Kesiapan operasional ini dapat digunakan untuk mengkaji aspek-aspek mana yang perlu disempurnakan (misalnya waktu pengiriman suku cadang, waktu pengerjaan pemeliharaan, dan lain-lain).

2.3.      Kesiapan Terjadwal (Scheduled Availability)

Scheduled availability merupakan rumusan kesiapan dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Jenis kesiapan ini didasarkan pada kumulasi waktu alutsista siap melaksanakan misi, baik secara penuh (Full Mission Capable/FMC) maupun parsial (Partly Mission Capable/PMC), dan kumulasi waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeliharaan terjadwal (Not Mission Capable due to scheduled maintenance/NMCscheduled). Kesiapan terjadwal dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

 AS

Dalam AS, hanya pemeliharaan terjadwal yang “direncanakan”, sedangkan pemeliharaan tak terjadwal tidak diperhitungkan.  Selain pemeliharaan terjadwal, yang juga diperhitungkan adalah tindakan pemeliharaan preventif (saat kondisi alutsista siap).

2.4.      Kesiapan Tidak Terjadwal (Unscheduled Availability)

Kesiapan tidak terjadwal merupakan besaran waktu yang memperhitungkan kesiapan alutsista pada saat tidak ada kegiatan pemeliharaan terjadwal. Dalam penghitungan kesiapan di sini, yang diperhitungkan hanyalah tindakan perbaikan korektif.

 AU

Logika sederhananya adalah bahwa kegiatan pemeliharaan tidak terjadwal harus ditekan seminimum mungkin, sehingga bila nilai AU tidak mencapai 100%, harus dikaji serta diinvestigasi mengapa NMCunscheduled bisa “muncul”.

3.         Garis Besar Strategi

Dari keempat macam kesiapan di atas, ada benang merah bahwa kesiapan alutsista dipengaruhi oleh dua faktor utama:

a.         kumulasi waktu alutsista dalam kondisi tidak siap;

b.         kecepatan dalam memulihkan alutsista ke dalam kondisi siap.

Alutsista bisa berada dalam kondisi tidak siap karena memasuki/melaksanakan pemeliharaan terjadwal atau karena mengalami kegagalan sistem yang tidak terduga sebelumnya. Untuk ini diperlukan tindakan korektif sehingga alutsista dapat segera dipulihkan ke dalam kondisi siap.  Di sisi lain, tindakan-tindakan preventif juga diperlukan sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem dapat diminimalisir.  Namun demikian, baik tindakan korektif maupun preventif tidak dapat berjalan optimal bila tidak didukung oleh manajemen/tata kelola alutsista yang baik.  Dalam tata kelola ini, ada beberapa area yang memerlukan perhatian khusus dari organisasi militer agar kesiapan alutsistanya tetap tinggi:

a.         Perencanaan;

b.         Dukungan; dan

c.         Budaya kerja.

3.1.      Perencanaan

Dalam setiap perencanaan, selalu ada sasaran-sasaran kualitatif yang ditetapkan.  Sasaran-sasaran inilah yang kelak akan menjadi barometer pencapaian kinerja yang ternyatakan secara kuantitatif.  Dalam manajemen alutsista, sasaran utama adalah terwujudnya sebuah kesiapan tempur (combat readiness) untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman atau kontinjensi.  Selanjutnya, secara kuantitatif indikator pencapaian combat readiness itu dinyatakan dalam weapon system availability (kesiapan alutsista).  Itulah sebabnya, penting untuk merumuskan indikator yang “SMART”:

a.         Specific: apa yang sebenarnya kita ukur? (kesiapan alutsista, dalam hal ini AO);

b.         Measurable: indikator harus dapat dikuantitatifkan, misalnya variabel AO dalam “jam” atau “hari”;

c.         Attainable: indikator ini harus dapat dicapai dengan kemampuan yang kita miliki, misalnya AO antara 100% s.d. 105%;

d.         Realistic: indikator harus mempertimbangkan pencapaian-pencapaian sebelumnya (lesson learnt), misalnya AO tahun 2012 adalah 95%, sehingga ditetapkan AO tahun 2013 103% (naik 8%).

e.         Timely: indikator harus dapat diwujudkan pada waktu tertentu, misalnya AO 100% harus diwujudkan selambat-lambatnya tanggal 1 April 2013.

Indikator kinerja (performance indicator) inilah “hulu” bagi proses perencanaan selanjutnya, misalnya: penentuan kebutuhan (materiil, personel, sarana prasarana, dan anggaran), penentuan penyedia kebutuhan, penetapan waktu penerimaan (delivery time), dan sebagainya.

3.2.      Dukungan

Perencanaan yang baik tidak akan berguna bila tidak terimplementasi dengan baik.  Dalam kegiatan-kegiatan korektif (maupun preventif) misalnya, selalu diperlukan dukungan-dukungan berupa suku cadang, tools, kit, personel yang berkualifikasi, dan lain-lain.  Persoalannya adalah: tersediakah semuanya di unit pengguna saat itu?  Seperti diuraikan dalam rumusan-rumusan matematis di atas, availability akan memiliki angka yang tinggi bila variabel-variabel seperti MTTR, MMT, dan MLDT memiliki angka yang kecil.  Artinya, semua kebutuhan harus tersedia on the spot saat mereka dibutuhkan.  Variabel-variabel tersebut akan kecil (mendekati nol) bila pelaksana tidak perlu lagi menunggu pengiriman suku cadang atau tools, tidak perlu mencari personel yang qualified, dan sebagainya.

Banyak organisasi yang merasa “puas” setelah mereka berhasil merumuskan kebutuhan kuantitatifnya, dan mendapatkan penyedia potensial untuk memenuhinya. Namun sering terjadi, penundaan-penundaan dalam serah terima (delivery) tidak diperhitungkan sehingga pelaksana tetap harus menunggu apa yang mereka butuhkan di lapangan. Tentu saja ini akan menghasilkan “waktu tunda” (delay time), yang bila semakin besar akan menghasilkan variabel-variabel MTTR, MRT, dan MLDT dalam angka yang besar pula. Thus, nilai A (apakah itu AI atau AO) akan berpotensi menjadi rendah. Sekali lagi, pada saat membuat perencanaan, semua kemungkinan delay ini harus diperhitungkan sehingga kinerja dapat dicapai secara realistis dan tepat waktu.

3.3.      Budaya Kerja

Telah kita pahami pula bahwa parameter availability (A) sangat dipengaruhi oleh frekuensi atau kumulasi waktu “kegagalan” (failure).  Semakin tinggi frekuensi kegagalan, maka nila A akan cenderung turun.  Inilah yang dicegah dengan adanya tindakan-tindakan preventif seperti pre-flight dan post-flight checks pada pesawat, inspeksi periodik, pemeliharaan tingkat ringan (yang tidak merubah status kesiapan alutsista), dan lain-lain.

Di luar semua itu, perlu adanya suatu budaya kerja yang positif di segala lini.  Kebijakan yang tepat dari pemimpin organisasi, ketaatan pelaksana lapangan terhadap prosedur, disiplin, dan komunikasi yang terbuka adalah beberapa contoh budaya kerja organisasi yang positif. Profesor James Reason (University of Manchester) dalam sebuah paper mengenai “Organizational Accident” menegaskan bahwa “sebagian besar pelanggaran melibatkan keputusan-keputusan yang diambil secara sadar untuk menyimpang dari ketentuan/prosedur standar yang berlaku”.[3] Kebijakan adalah pintu, yang bila tepat akan menutup terjadinya pelanggaran; sebaliknya, bila tidak tepat akan memberi jalan bagi terjadinya pelanggaran.

Budaya kerja yang taat asas dan taat aturan akan menekan terjadinya pelanggaran, dan akan berdampak secara positif terhadap upaya minimalisasi kegagalan pada alutsista.  Apakah ini hanya tanggung jawab pelaksana lapangan? Tentu saja tidak. Para perencana juga harus menjadikan taat asas dan taat aturan sebagai budaya kerja mereka, begitu juga para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyediaan kebutuhan alutsista (personel maupun materiil). Ketaatan ini bermula dari tataran kebijakan (decision making process) hingga implementasi di tingkat pelaksana (end-user) seperti operasional alutsista yang tepat guna dan sesuai prosedur, pemeliharaan yang sesuai standar, dan sebagainya.  Dari sinilah nilai “failure” akan kecil, dan A akan meningkat.


[1]   ARMP: Allied Reliability and Maintainability Publication

[2]  US Department of Defense, JP 1-02 DoD Military Dictionary and Associated Terms (as amended through 15 November 2012), Washington DC.

[3]  James Reason, 1998, Achieving A Safe Culture: Theory and Practice, Work and Stress Vol. 12, UK.