ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *