APA SIH ENAKNYA JADI PEMIMPIN???

Image

Judul di atas, bagi sebagian besar orang, adalah sebuah pertanyaan bodoh. Ya, saya mungkin demikian (bodoh). Tapi saya memang tidak mampu menahan rasa heran saya akan banyak hal seputar “menjadi pemimpin”.  Contoh, berita akhir-akhir ini penuh dengan gonjang-ganjing menjelang tahun Pemilu 2014 (yang tujuannya memilih pemimpin negara) dan diisi dengan kabar soal manuver sana sini mereka yang merasa dirinya layak memimpin negeri ini.  Kemudian, sebagai seorang yang berdinas di sebuah lembaga pemerintah, saya juga sering menghadiri acara serah terima jabatan (tentu saja, itu jabatan pemimpin) dan selalu mendengar kata “Alhamdullilah” atau “Puji Tuhan”, “Puji Syukur” dan sejenisnya dari si pemimpin baru. Ungkapan syukur itu merefleksikan kebahagiaannya, kegembiraannya, serta kebanggaannya bahwa ia sekarang adalah pemimpin. Sebuah fenomena yang mengherankan saya….

Apa sih enaknya jadi pemimpin? Ada apa gerangan sehingga banyak orang mau berkorban apa saja untuk mendapat legitimasi memimpin? Apa yang membuat orang-orang tega mengkhiananti temannya sendiri, menekan bawahannya, serta menyembah-nyembah kepada atasannya agar ia mendapat kedudukan untuk memimpin? Ada beberapa jawaban klasik yang sering kita dengar, seperti: “Saya ingin mengabdikan diri saya untuk kepentingan rakyat/masyarakat”, “Saya ingin membawa negeri ini menjadi lebih baik”, “Saya ingin memperjuangkan perubahan”, dan beragam kalimat bombastis lainnya. Sebenarnya apa definisi pemimpin dalam kamus kita? Apa iya, untuk melakukan semua keinginan itu seseorang harus jadi pemimpin?

Logika sederhana saya mengatakan, makna “pemimpin” itu amat luas.  Semua orang adalah pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Atau yang sedikit lebih besar, ada pemimpin keluarga. Keinginan menjadi pemimpin yang marak di semua golongan dan segala strata terjadi karena banyak orang lupa bahwa mereka sebenarnya sudah jadi pemimpin. Hal lain lagi yang mereka lupa adalah bahwa yang paling sulit justru memimpin diri sendiri, bukan memimpin orang lain. Secara akademis, dalam Teori Kebutuhan Abraham Maslow memang ada tahapan di mana seseorang memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (salah satunya dengan menjadi pemimpin dan figur bagi banyak orang), namun harap diingat bahwa ada elemen lain yang universal bagi pemimpin di manapun dan dalam tingkatan apapun: amanah.

Kalau yang dilihat dari jabatan atau kedudukan pemimpin adalah fasilitas yang didapat, tunjangan, rasa hormat dan kemudahan-kemudahan lainnya, memang kelihatannya enak menjadi pemimpin. Tapi saya lebih suka untuk melihat dari sisi sebaliknya, yaitu apa yang menyebabkan semua privilege itu diberikan untuk seorang pemimpin. Itulah “amanah”, yang bila dipahami, diresapi, dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah mudah. Kita lihat yang sederhana saja: seorang pemimpin bernama “kepala keluarga”. Apakah ia seorang Ayah atau Ibu, kepala keluarga punya tanggung jawab untuk membuat keluarganya tetap hidup. Ia harus menjamin istri dan anak-anaknya bisa makan setiap hari, anak-anaknya harus bisa bersekolah dan tumbuh sebagai pribadi yang baik, harus memastikan bahwa kebutuhan rumah tangganya tercukupi dan sebagainya. Itu sebabnya mereka berusaha untuk mempunyai penghasilan, bekerja siang malam, dan mengorbankan banyak hal agar semua kebutuhan terpenuhi.

Nilai tanggung jawab itu tetap sama, sekalipun lingkup dan stratanya berbeda. Artinya, ketika kita memimpin, kita harus bisa memastikan bahwa orang-orang yang kita pimpin tercukupi kebutuhannya, dan lembaga/instansi atau negara yang kita pimpin terjamin keberlangsungannya. Semakin besar yang kita pimpin, kebutuhannya jelas semakin besar pula. Semakin banyak orang yang kita pimpin, jelas masalahnya semakin banyak pula. Dan sekali diberi amanah memimpin, siapapun harus menjamin bahwa semua masalah itu dapat diselesaikan. Sekarang, bila kita gunakan nalar dan akal sehat, bukankah menjadi pemimpin itu melelahkan?  Bukankah itu menguras banyak hal, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang?  Kembali kepada kelompok kecil bernama keluarga, apakah seorang kepala keluarga yang baik akan membiarkan keluarganya tidak makan karena uang belanja habis, dan bersikeras menyisihkan uang untuknya sendiri? Tentu tidak, dan ia akan menggunakan uang yang semestinya ia simpan untuknya sendiri demi membeli beras untuk makan keluarganya. Apakah ia akan membiarkan anaknya mempertanggungjawabkan kenakalannya sendiri pada temannya/ orang lain?  Tentu tidak, dan ia akan meminta maaf atau “pasang badan” di hadapan pihak yang berwajib.

Logika yang sama berlaku dalam kepemimpinan di skala yang lebih besar, apakah itu perusahaan, lembaga/instansi atau negara. Pengemban amanah yang sesungguhnya harus siap mengorbankan waktunya bersama keluarga, harus rela merogoh koceknya sendiri, harus mau mengurangi jam istirahatnya, dan mempertanggungjawabkan apapun kesalahan yang dilakukan anak buahnya.  Nah, kalau kita memahami apa dan bagaimana amanah itu diimplementasikan, lantas apa enaknya menjadi pemimpin?  Lain halnya bila kita memandang jabatan atau kedudukan pemimpin sebagai sarana untuk memperkaya diri dan menikmati masa indah dengan segala fasilitas dan kemudahan, maka tak mengherankan bila kedudukan dan status pemimpin itu diperebutkan serta diperjuangkan setengah mati dengan berbagai cara.

Akhirnya, saya teringat ketika tahun lalu dalam sebuah kesempatan saya berbincang dengan seorang purnawirawan Jenderal yang juga pernah menjadi RI-2. Beliau mengatakan,”Dik, pada saat Presiden menunjuk saya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (tahun 1986), saya terdiam. Malamnya, waktu shalat tahajud saya menangis. Saya istighfar, dan saya tanya sama Tuhan: mengapa saya? Ini berat buat saya. Sama Dik, waktu Presiden mengangkat saya jadi Pangab, saya begitu lagi…”  Sayapun terdiam saat beliau ceritakan itu, dan tersenyum getir saat dalam setiap acara pisah sambut saya mendengar kata “Alhamdullilah”, atau “Puji Tuhan” dari si pemimpin baru. Ironis…

(Catatan: Sekalipun saya seorang Kristen, hingga detik ini saya tak mengucapkan “Puji Tuhan” ketika diharuskan memimpin satuan saya sekarang—tak bermaksud “men-copas” beliau, semata-mata karena saya sadar bahwa amanah itu tidak ringan.  Saya baru akan mengucapkannya ketika di saat meninggalkan satuan ini, semua amanah itu bisa saya pikul dengan baik.)

2 Replies to “APA SIH ENAKNYA JADI PEMIMPIN???”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *