Saya beberapa kali mendapat broadcast (BC) di Blackberry Messenger (BBM) saya yang isinya beragam: ada nasehat-nasehat, doa-doa, info-info, hingga ajakan untuk melakukan atau “promosi” sesuatu. Ada yang di-publish di grup, ada pula yang melalui pesan ke semua kontak si pengirim. Terakhir, BC yang saya terima berbunyi demikian: “Bila anda memahami dan bangga akan kejayaan masa lalu maritim kita, sebarkan ini pada semua kontak anda. Bila tidak, di sinilah cerminan bangsa kita: cuek & tdk peduli dengan masa depan bangsanya…. (berikutnya terdapat sebuah tautan/link yang berisi artikel di web-blog si pengirim)”.
Itu hanya salah satu contoh yang saya yakin ribuan bahkan jutaan pengguna smartphone saat ini juga pernah (atau masih) mengalaminya. Hmmmm….saya sempat “takut” dicap tidak nasionalis, tidak patriotis dan tidak peduli pada bangsa sendiri bila tidak menyebarkan BC itu. Tapi saya lebih terusik dengan sebuah persoalan lain: seberapa pantaskah kita menghakimi seseorang? Seberapa layakkah kita mengatakan orang lain “tidak nasionalis”, “tidak agamis”, “kurang kepedulian” dsb? Seberapa jauhkah si penghakim mengenal orang yang dihakiminya?
Lalu, saya membaca beberapa berita lokal di media online yang salah satu isinya belakangan ini adalah soal caci maki “Firaun” untuk Jokowi-Ahok. Lantas, saya teringat kembali soal BC-BC yang terus terang membuat tidak nyaman itu. Ah…sebegitu penghujatkah bangsa ini? Sebegitu gampangkah kita menghakimi seseorang atas dasar sesuatu yang belum kita pahami benar? Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sering menghadapi atau melihat situasi yang lebih kurang sama, di mana kita melihat seseorang membuat “cap” tertentu pada orang lain, dan mengajak orang lain untuk berpikir sama seperti dia.
Saya berharap dalam hal ini saya salah karena turut “menghakimi” dengan mengatakan bahwa negeri ini adalah negeri yang kebablasan pragmatisme-nya. Kita, kelompok masyarakat awam ini, benar-benar sudah tidak asing dengan pemandangan seseorang menghujat yang lain, menganggap dirinya benar, namun tak pernah memberi solusi. Ya, tentu saja kita familiar dengan fenomena itu, karena figur-figur “panutan” publiklah yang mempertontonkannya. Dengan teknologi informasi yang telah berkembang maju, mengakses berita menjadi hal yang sangat mudah sekarang. Thus, siapapun dapat terjejali dengan pengaruh, doktrin, dan cara pandang yang sama dengan si pembuat berita (apakah itu si subyek berita, penulis berita atau orang-orang “kuat” pemilik media).
Bangsa ini adalah bangsa penghakim (mudah-mudahan saya salah lagi). Karena figur panutan publik menunjukkan bagaimana caranya “berada di atas hukum”, maka masyarakatnya pun ikut-ikutan menjadi “hakim”: menghujat orang lain (contoh dengan analogi “Firaun” itu), menyerang karena tidak setuju dengan penilaian orang lain (contoh kejadian pertandingan tinju maut di Nabire), dan merasa sah melakukan keributan atas nama “hukum” yang mereka terjemahkan sendiri (seperti kelompok ormas yang mengatasnamakan ajaran suatu agama).
Kita adalah “korban” pragmatisme yang kebablasan. Sebagai sebuah konsep dan faham, pragmatisme tidaklah selalu buruk. Ada saat di mana ia relevan untuk memecahkan sebuah masalah yang memerlukan pendekatan praktis dan logis serta pengambilan keputusan yang cepat. Namun, menggunakan pendekatan pragmatis untuk sebuah persoalan yang berkaitan dengan tata nilai, norma, dan kultur bangsa sebesar Indonesia adalah sebuah kesalahan fatal. Pejabat publik, yang berdiri atas nama Undang-Undang, semestinya tidak pragmatis karena apa yang mereka putuskan akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dan ingat, tujuan nasional bangsa Indonesia adalah rumusan yang digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur dan adiluhung bangsa kita yang bernama Pancasila.
Pragmatisme itulah yang telah meracuni denyut nadi bangsa ini sehingga banyak orang terlalu gampang menghakimi. Ketika sebuah persoalan tentang norma dan tata nilai diadu dengan logika-logika praktis, jelas hasilnya akan berbentuk keributan, saling serang, dan perpecahan. Para “hakim” yang memenuhi negeri ini (mungkin juga kita, termasuk saya) hanya membaca masalah dari kaca matanya sendiri tanpa mencoba memahami nilai-nilai yang lebih hakiki di balik masalah itu. Akibatnya, semua dilihat dalam perspektif logika praktis, yang jelas sulit untuk menghasilkan solusi jangka panjang. Padahal, hari ini kita sedang merajut apa yang akan kita wariskan dan tinggalkan untuk kehidupan anak cucu kita kelak.
Hmmmmm, mudah-mudahan saja “penghakiman” saya ini salah…