Wabah virus Corona (COVID-19) sudah tidak asing lagi di mata dan telinga kita belakangan ini. Sekarang semua orang melihat bahwa wabah yang oleh WHO sudah ditetapkan sebagai pandemik ini benar-benar tak pandang bulu. Mulai dari orang kebanyakan, dokter, pejabat negara, perwira militer, atlet profesional sampai selebriti Hollywood sudah ada dalam daftar panjang mereka yang positif terinfeksi. Sebuah kasus yang luar biasa.
Saya tidak akan bicara soal wabah ini, karena jelas ini bukan kompetensi saya. Sayapun tidak akan menyodorkan statistik-statistik, data apalagi analisa akademis soal COVID-19. Jelas saya awam sekali soal itu. Saya—seperti biasa—hanya akan melihat ini dari perspektif psikologi sosial, dan mengingatkan kita semua bahwa menyikapi isu ini secara tidak terkendali, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, akan membawa kita pada bahaya yang jauh lebih besar dan mematikan.
Wabah ini sudah jelas menimbulkan kepanikan masif di berbagai belahan dunia. Di Indonesia orang-orang jahat tega menimbun masker untuk dijual dengan harga puluhan bahkan ratusan kali lipat. Lalu pasar juga kehabisan jahe merah, yang konon bagus untuk menangkal Corona. Di Australia, orang kehabisan tisu toilet, pasta dan keju. Di Italia semua kegiatan olahraga (termasuk Serie A yang kesohor itu) dihentikan, atau dimainkan tanpa penonton. Amerika Serikat sudah melarang pendatang masuk dari Eropa (kecuali Inggris). Dan masih banyak lagi.
Belum lagi apa yang ada di media sosial (medsos). Berbagai postingan muncul di berbagai lini massa, apakah itu berupa tips menangkal Corona, meme-meme ngeledek, foto-foto dan video yang belum jelas kebenarannya, hingga berbagai teori konspirasi tentang siapa yang sebenarnya berada di balik wabah ini. (Saya membayangkan betapa besarnya keuntungan para provider jasa telekomunikasi di tengah wabah dunia ini hehehe…). Semua soal Corona, Corona, dan Corona.
——————–
Perjalanan sejarah dunia kita sudah tidak asing dengan yang namanya wabah penyakit (sebagai catatan: istilah “quarantine” atau “karantina” justru muncul gegara wabah penyakit pes atau “black death” yang mematikan jutaan orang di Venesia, Italia pada abad ke-13). Sekarang kita bisa menyebutkan beberapa contoh wabah dengan gampang: kolera, TBC, malaria, demam berdarah, HIV AIDS, Ebola, SARS, MERS, H5N1. Semuanya sudah membunuh ribuan bahkan jutaan orang. Artinya, wabah seperti halnya Corona bukan sesuatu yang baru bagi peradaban ini.
Barangkali persoalannya menjadi berbeda ketika penyakit-penyakit itu muncul di jaman atau generasi yang berbeda. Ketika pes atau kolera muncul, teknologi transportasi dan komunikasi jelas belum seperti sekarang. Informasi datang dengan sangat lambat dari satu komunitas ke komunitas lain di tempat yang berbeda, sehingga tidak muncul kepanikan di tempat yang jauh dari area yang terinfeksi (karena mereka belum tahu). Arus migrasi (baik permanen maupun sementara) juga perlu waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk bisa sampai ke kota atau negara yang berbeda (sehingga kalaupun ada yang terkontaminasi, mereka sudah mati di perjalanan dan jasadnya langsung dibuang ke laut).
Mungkin itu sedikit pembenaran untuk kepanikan yang terjadi saat ini, ketika informasi tersebar begitu cepat hanya dengan satu “klik” di ujung jari kita, dan ketika kemajuan teknologi transportasi memungkinkan kita sarapan pagi di negara A, lalu makan siang di negara B, dan menghadiri undangan makan malam di negara C dalam satu hari yang sama. Hasilnya: ketakutan yang membuat ribuan orang berbondong-bondong menyerbu pusat-pusat belanja, dan sebagian di antara mereka bahkan memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri tanpa peduli kesusahan orang lain. Panik, takut, cemas, khawatir atau apalah istilahnya.
Wabah-wabah ini juga punya era atau jamannya sendiri. Hingga hari ini, masih banyak orang mati karena TBC, malaria, demam berdarah atau AIDS. Tapi era wabah-wabah itu sudah lewat, sehingga media tidak tertarik lagi bicara soal wabah-wabah itu (kecuali korbannya luar biasa besar seperti demam berdarah yang sekarang melanda saudara-saudara kita di Nusa Tenggara Timur). Dampaknya, tidak ada kepanikan karena wabah-wabah tadi meskipun masih terjadi. Ini berarti satu hal: kita merespon apa yang kita ketahui, bukan apa yang sedang terjadi.
Akhirnya kita tiba pada sebuah fenomena bahwa pengetahuan kita akan sesuatu, dan cara kita bersikap atas apa yang kita ketahui itu layaknya dua sisi mata uang. Di titik inilah kekhawatiran saya mulai muncul, karena dinamika sosiokultural kita pada akhirnya sangat ditentukan oleh apa yang diketahui masyarakat, meskipun pengetahuan itu belum tentu benar …….. dan lebih celaka lagi bila kita bersikap terhadap sesuatu yang sebenarnya bahkan tidak ada sama sekali.
——————–
Dulu, para penemu dan pengembang teknologi informasi dan transportasi mendedikasikan temuannya untuk memperkuat fondasi komunitas kita, yang semakin hari semakin berkembang. Sekarang, kita melihat sebuah paradoks ketika perkembangan teknologi itu malah menjadi kerentanan terbesar umat manusia. Bagaimana perkembangan itu berdampak sangat bergantung pada “siapa” yang memegang kendali. Di tangan orang baik, informasi yang kurang enak didengar pun akan tetap menenangkan; sebaliknya di tangan orang jahat, informasi yang terdengar sejuk pun bisa mematikan.
Peradaban kita menjadi ditentukan oleh bagaimana kita bersikap. Bagaimana kita bersikap ditentukan oleh seberapa bijaksana diri kita. Kebijaksanaan kita ditentukan oleh seberapa terdidiknya kita; bukan terdidik dalam artian akademis, namun terdidik secara emosional dan spiritual. Keterdidikan yang ditentukan oleh seberapa mampu kita mengalahkan diri kita sendiri.
Penderita yang cerdas emosinya akan jujur pada diri sendiri meskipun harus mengakui bahwa mereka terinfeksi, hanya agar semua orang sadar bahwa wabah ini berbahaya dan semua harus waspada. Penderita yang bodoh akan diam saja karena malu dan takut di-bully, meskipun ketidakjujuran itu akan membahayakan banyak orang. Pada sisi yang lain, masyarakat yang emosinya cerdas akan berempati, dan masyarakat yang emosinya dangkal akan mencari keuntungan sendiri, lalu menyalahkan sana sini.
Peradaban kita sedang dalam pertaruhan besar, sama seperti yang telah dialami umat manusia berkali-kali sejak ribuan tahun silam. Berempati bukan berarti abai dan tidak menjaga diri, tetapi perilaku memojokkan dan menyalahkan orang lain atas nama “sikap protektif” atau “menjaga diri” justru akan menghasilkan perpecahan dan kehancuran. Kita sedang ditunggu oleh bahaya yang jauh lebih besar dari sekedar kematian fisik: matinya sebuah peradaban.
——————–
Saya teringat berbagai teori konspirasi yang merebak di media sosial soal asal muasal virus Corona ini. Tak peduli apakah itu benar atau tidak, saya hanya berharap dan berdoa bahwa kejadian ini memberi kita hikmah, menjadikan banyak orang semakin bijaksana, dan menyadarkan banyak negara betapa pentingnya mencerdaskan masyarakat secara hakiki. Masyarakat yang bukan semata-mata cerdas otaknya (karena sejarah dunia membuktikan berbagai kehancuran justru dibuat oleh orang-orang yang hanya cerdas otaknya), melainkan juga cerdas hati dan jiwanya. Masyarakat yang berisi individu-individu yang mampu mengalahkan musuh terberat mereka: diri mereka sendiri.
Sudah lewat tengah malam rupanya. Saatnya raga dan jiwa diistirahatkan, dan menjemput mimpi akan sebuah dunia yang penuh damai dan menyejahterakan semua yang ada di dalamnya.
Sumedang, 13 Maret 2020
Ini berarti satu hal: kita merespon apa yang kita ketahui, bukan apa yang sedang terjadi…. Sangat setuju pak…
Semoga kita termasuk orang yang selalu mau mencari tahu.
Salam dari Jakarta, Pak.
Aditya
Amin…