PERSPEKTIF

Foto koleksi pribadi.

Gegara COVID-19, sudah sekitar 3 minggu saya bekerja dari rumah alias Work From Home (WFH), meski sempat beberapa kali ke kantor karena ada hal yang mengharuskan kehadiran fisik di tempat kerja.  Saat sedang tidak ada pekerjaan dari kantor yang harus saya kerjakan di rumah, salah satu kesibukan yang saya pilih adalah belajar menggambar 3-dimensi (3D drawing).  Di Youtube, channel yang mengajarkan cara menggambar 3D kebetulan banyak, jadi ngga susah buat belajar.

Manfaatnya lumayan juga.  Selain sebagai pengisi waktu luang, kemampuan kognitif dan motorik saya terjaga, lalu dengan goresan-goresan pensil dan spidol di secarik kertas polos saya bisa belajar sesuatu yang baru, dan hasilnya cukup bisa memuaskan mata untuk ukuran seorang pemula yang masih sekedar menirukan apa yang dikerjakan oleh para ahli di berbagai channel itu.   Bisa sedikit “pamer” juga ke anak-anak dan memperoleh apresiasi mereka (walaupun mungkin terpaksa karena itu bikinan Bapaknya hehehe…).

==========================

Mereka yang paham atau minimal pernah menggambar 3D tentu mengerti bahwa ilusi 3 dimensi dari sebuah gambar yang sebenarnya 2 dimensi dan dilukis di atas sebidang kertas itu diperoleh ketika gambar tersebut dilihat dari satu sudut padang tertentu.  Artinya, gambar itu akan terlihat 3 dimensi hanya dari satu perspektif yang tepat.  Sebuah huruf yang mengambang misalnya, hanya akan terlihat mengambang dari satu angle.  Dari angle yang lain, ia hanya akan terlihat seperti gambar sebuah huruf biasa dengan sedikit arsiran di dekatnya (yang menjadi “bayangan” huruf itu ketika terlihat 3 dimensi).  Ilusi yang dimunculkannya adalah persoalan perspektif.

“Perspektif” sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi manusia dan kehidupan yang sudah ribuan tahun ada di bumi ini.  Setiap hari kita lekat dengan perspektif.   Apa yang kita pikirkan tentang sesuatu sebenarnya adalah perspektif kita, yang berbuah pada tindakan kita atas sesuatu itu.  Ketika sesuatu yang sama dilihat oleh orang lain secara berbeda, artinya perspektif orang itu juga berbeda.  Dengan kata lain, ia melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.  Alhasil, tindakannya atas sesuatu itu juga tidak akan sama dengan tindakan kita.

Dalam konteks sosial, perspektif layaknya pelangi.  Ia berpola sama, tapi warnanya macam-macam: merah, jingga, kuning, hijau, dan sebagainya.  Artinya, semua orang punya perspektif terhadap satu hal yang sama, tapi hasilnya bisa berbeda.  Perspektif adalah sebuah heterogenitas yang abstrak, ngga keliatan di mata tapi terasa dampaknya.  Perspektif bukan sebuah keragaman yang bisa dilihat kasat mata seperti suku, agama, warna kulit, etnis, pangkat, jabatan dan sebagainya.   Sangat abstrak, tapi tidak semu.

Kembali ke contoh gambar huruf mengambang tadi (yang saya jadikan ilustrasi tulisan ini), dari sudut mana seseorang melihat gambar itulah yang akan menghasilkan interpretasi di pikirannya.  Tindakan yang mungkin muncul adalah sebuah kesimpulan verbal ketika seseorang akan berkata “Ah, itu gambar huruf biasa” atau “Oh, itu huruf yang mengambang di udara”.

==========================

Sejarah umat manusia pada dasarnya juga dibentuk dan ditentukan oleh perspektif-perspektif.  Adam dan Hawa menjadi berdosa dalam perspektif Tuhan karena mereka melihat sesuatu dari sudut pandang iblis, sehingga Tuhan marah dan menghukum mereka (setidaknya itu yang diajarkan dalam keyakinan yang saya anut).  Perang Dunia II dipicu oleh perspektif seorang Adolf Hitler terhadap bangsa Yahudi.  Kebangkitan nasional Indonesia tahun 1908 didasari pada sebuah perspektif kebangsaan dari seorang Dr. Soetomo, begitu pula Sumpah Pemuda 1928 oleh kelompok-kelompok pemuda Indonesia.

Perspektif membentuk cara berpikir.  Cara berpikir membentuk cara bertindak atau melakukan sesuatu.  Cara bertindak membentuk budaya, dan budaya membentuk peradaban.  Perspektif pada dasarnya adalah akar dari semua mekanisme, metodologi, dan cara-cara kita menjalani kehidupan hari ini, mulai dari yang paling simple sampai yang paling rumit.  Perspektif jugalah dasar dari segala keputusan yang kita ambil; dengan perspektif yang tepat, keputusan kita pasti tepat.  Demikian juga sebaliknya.  Perspectives make what we are today.

Apa yang manusia lihat dalam kehidupan saat ini mungkin sudah baik dan memuaskan, dalam arti kita memperoleh banyak kemudahan, keleluasaan, dan lain-lain.  Sebaliknya, sebagian orang masih melihat banyak yang belum ada, yang perlu diubah, diperbaiki, dan sebagainya.  Itulah yang menghasilkan perbedaan di antara umat manusia.  Perbedaan yang oleh sebagian orang dimaknai sebagai keragaman, kekayaan, atau warna kehidupan, tapi oleh sebagian yang lain dipahami sebagai pertentangan.

==========================

Perspektif adalah bagian yang melekat atau inherent dengan manusia dan kehidupan itu sendiri.  Perspektif adalah salah satu anugerah terbesar Tuhan karena itulah yang membentuk kemanusiaan kita.  Manusia tanpa perspektif hanyalah seonggok daging yang bernyawa, tapi sejatinya tidak “hidup”.  Jadi, bersyukurlah ketika sebagai seorang manusia, anda punya perspektif terhadap sesuatu, sekalipun itu berbeda dari perspektif orang lain.

Kehadiran perspektif tidak pernah salah.  Yang salah—dan berbahaya—adalah ketika perspektif itu menjadi sebuah “keyakinan” yang mati.  Perspektif yang seperti itu yang kita lihat dalam bentuk “fanatisme” yang justru menghasilkan kerusuhan, keributan, pertikaian, bahkan perang.  Sejarah kita juga sudah membuktikan dengan banyak contoh: dua kali perang dunia, perang lokal di berbagai negara atau wilayah negara, terbunuhnya pemimpin negara, pemberontakan-pemberontakan, sampai kerusuhan antar kampung yang kerap terjadi.

Perspektif itu sendiri dinilai atau ditakar kebenarannya oleh karakteristik sosial masyarakat tempat manusia itu berada.  Artinya begini: perspektif si A bisa dikatakan “salah” ketika norma-norma dalam karakteristik sosial di tempat si A berada tidak bisa menerima perspektif itu.  Di tempat lain dengan karakteristik sosial yang berbeda, mungkin perspektif si A bisa diterima atau dianggap benar.  Begitulah kira-kira.

==========================

Perspektif yang “salah” atau “tidak sehat” itu bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor.  Namun, seperti apapun anatomi sosial masyarakat, saya melihat faktor keterdidikan masyarakat menjadi hal terpenting agar perspektif yang “salah” bisa diminimalisir atau bahkan ditiadakan.  Kalaupun ada, ya masih bisa dikendalikan.  Keterdidikan yang saya maksud adalah keterdidikan yang bersifat holistik, madani, membangun moralitas, dan membentuk kemanusiaan manusia.  Bukan keterdidikan yang semata-mata disimbolkan dengan gelar akademis atau riwayat sekolah yang panjangnya dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan.

Kejadian penolakan terhadap jenasah seorang perawat yang meninggal karena terinfeksi Covid-19 setelah ia berjuang menyelamatkan sekian pasien yang sudah terjangkit di sebuah rumah sakit di Jawa Tengah misalnya, adalah contoh bagaimana tingkat keterdidikan menjadi penentu terbentuknya sebuah perspektif yang “salah”.  Para provokator yang sudah jadi tersangka itu adalah tokoh masyarakat di desa tersebut, yang saya yakin pendidikan akademisnya lumayan lah.  Alasan mereka (tindakan verbal menyatakan penolakan) lahir dari satu perspektif: jenasah tersebut terjangkit virus Corona.

Keterdidikan yang dibentuk dari pengetahuan yang minim tentang wabah ini membutakan mata mereka terhadap pemahaman yang tidak sekedar bersifat medis (bahwa jenasah positif Corona yang sudah diperlakukan dengan protokol penanganan virus tersebut tidak berbahaya bila sudah terkubur) namun juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.  Orang-orang bodoh itu telah melihat dari perspektif yang salah.  Seandainya mereka melihat dari angle yang lain, misalnya bahwa di perawat ini sudah berjasa besar menyelamatkan nyawa orang-orang yang dinyatakan terjangkit—yang mungkin juga berasal dari kampung mereka—maka penilaian verbalnya akan mengatakan “Dia seorang pahlawan, mari kita sambut dan doakan agar dia beristirahat dalam damai”.  Perspektif konyol mereka telah membunuh moralitas, nilai kemanusiaan, dan pada akhirnya “mengorbankan” masyarakat mereka sendiri.

==========================

Bagaimana kita membiasakan diri memanfaatkan perspektif atau cara memandang sesuatu dalam hidup kita pada akhirnya menjadi benih yang membentuk diri, derajat, martabat, dan kehormatan kita.  Orang-orang yang bijaksana dan luhur budi pekertinya pastilah orang-orang yang terbiasa melihat sesuatu dari berbagai perspektif berbeda.  Mereka adalah orang-orang yang ingin mendapatkan gambaran utuh tentang suatu hal, dan selalu percaya bahwa ada sesuatu yang baik dari apa yang terlihat tidak baik.  Orang-orang yang selalu positif, optimis, namun tetap menjejakkan kakinya di atas realitas.  Yang jelas, mereka pasti bukan para perundung, pengeluh, atau pencaci, melainkan orang-orang yang hidupnya dipenuhi ungkapan syukur kepada Sang Pencipta Kehidupan.

Seperti gambar 3D tadi, dari satu sisi ia hanya terlihat seperti sebuah huruf biasa yang tidak istimewa, yang bisa dibuat siapa saja.  Tapi ketika dilihat dari sisi yang berbeda, ia akan terlihat sebagai sebuah karya seni, yang perlu waktu, tenaga serta keterampilan untuk membuatnya.  Di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19 seperti sekarang, ketika segala sesuatu seolah memudar dan suram, mari kita melihat dari perspektif yang lain, dari sudut pandang yang berbeda.  Saya yakin, ada maksud Tuhan yang masih tersembunyi untuk kita ungkap…….tentu saja melalui perspektif yang tepat.

Di rumah aja, 15 April 2020

NOT THE SAME AGAIN

Courtesy: getrealphilippines.com

Coronavirus disease (Covid-19) outbreak.

One of or all those above words might be used by future generations to mark one among many that has happened in human civilization. Later in our grandchildren or grand grandchildren school books, those words will refer to “a milestone” marking a change in how life is run up to their time.

Well, our world is no stranger to change.  Our civilization evolves from time to time for various reasons: war, disease, and technology are among others.  Every generation has its own way of living, and some “lucky” generations like us—aged 40 to 60 years today—have gone through more than one living style.

What has changed today?

This Covid-19 outbreak has by far changed some parts of our life.  Now everyone is forced to get even closer to their gadgets.  We recently avoid shaking hands, and introduce new styles of saying hello to others.  Students and office workers are more familiar to teleconference, remote classes, and many more.  Lately also, we are getting used to keep physical distance with others.  Things we never thought before that we will have to go through those today.

Historically, this phenomenon is not strange, once again, but the ratio between the scale versus the speed of the spread is.  Our new “habits” are formed in just a matter of months, instead of years or generations.  Driven by panic and little knowledge of what actually happens and how to deal with it, we tend to accept what is told, be it by authorities, friends, or even somebody we only know in our social media.  “We have to change things”, that’s all we know…and then do.

Let’s look deeper at a simple instance.  By working from home, parents will get closer to children—who are also studying from home.  This will elevate the quality as well as quantity of interaction, and in turns give parents new perspectives on how their children struggle in their studies.  Also resulted from this so called “WFH” is necessity for parents to understand a little deeper how social media work, otherwise they will not be able to perform their job.  Fathers will go more frequently to kitchen—at least now they do dishwashing even better than mothers do.

The use of network data increases significantly, so does consumption of clean water.  The use of bio-fuel, on the other hand, declines as cars are retreated home.  Neighborhoods become cleaner and quieter, since people stay at home.  However, level of anxiety raises: anxious of being infected, worry of not having enough daily supplies, and of course, anxious of how life can be sustained when you stop working.

What will this outbreak bring for our future?

Despite all the hardships humankind have to get through these days, this unexpected outbreak might lead us to many good deeds in the future.  Healthy living is just one example: hand-washing habit, greater care to environment and personal cleanness, and many more.  The rise of empathy to others is also a good value this outbreak brings.  Stronger family ties is another one to mention.  Anyone of you might have your own to say to make this a long list to read.

We can also expect to have some new models in doings things.  Some offices might find working from home is quite effective: it reduces daily operational cost, saves electricity consumption, etc.  Some schools might also find studying from home is not a bad idea.  One challenge in doing so, perhaps, is availability of network.  A network not only sufficient to support connection from different distant places, but also with good sustainability.

The mankind will also find an increasing need of clean water.  This will raise nation awareness, as well as global challenge, of sustaining clean water resources for the future.  Consequently, researches on natural resources will also be broaden to find alternatives of providing clean water for people.  Rivers will be cleaned up, and reservoirs will be built more or widened.  Cities will also be built with better guarantee to clean water access.

Will the change be always good?

Basically, a new civilization replaces the old one.  However, we can find many example on how people can maintain good values from time to time, regardless how civilization changes for ages.  In Indonesia for example, there are many areas in which we can see local wisdoms are maintained while at the same time we trust our mobile phones more than we do to ourselves.  Japan is also a good example in how modern technologies live side by side with traditional philosophy or belief that has last for thousands of years.

My highlight is this: we expect changes in many aspects of our life.  However, this Covid-19 is something different in terms of changing how people can mingle with each other.  We might see that handshaking will not be common anymore, let alone cheek-kissing and hugging.  Greeting someone with “Namaste” style gesture might be more visible in the future.  We might also find keeping reasonable physical distance during talks or meetings makes us feel safer, even with someone we know in day-to-day basis.

Is it good?  It depends, I believe.  Moreover, the more substantial issue is not whether it is good.  The challenge for us is how to maintain good spirit in social relationship regardless how we should or would behave in physical terms.  Yes, the danger this outbreak can bring for us is negativity in seeing others.  When we see people sick for example, we might easily think “Be careful, he might be infected!”  Negativity is what we have to deal with—and overcome—when we live post this outbreak.

Well, we might have a stronger internet connection as we will work more from home than from office, or better water supplies, or better network-based methodologies in doing things, or many other things.  But when our thoughts are occupied with negativity, our core of civilization i.e. social cohesion will be in danger.  I have written before (in Bahasa Indonesia) that when we are mistaken in dealing with this issue, it is not simply human fatalities that we have to face, but more importantly, the death of civilization.

Humans are created social beings.  That’s what makes communities, societies, and nations.  That’s what makes the world we are living in.  That’s what makes us today.  Cohesion among individuals is what forms the way we live, the way we behave, the way we treat ourselves and others.  That’s what this outbreak will hit and defeat, if we welcome negativity to our minds.

Now, it’s time to learn to appreciate life, and what it has given to us.  Time to learn to support and care of each other, or to do so more than before.  Indeed, everything will not be the same again, but let’s stay positive.  That’s what makes us still human beings.

Home, 31 March, 2020

(BUKAN) SOAL CORONA

(Courtesy: scdn.slashgear.com)

Wabah virus Corona (COVID-19) sudah tidak asing lagi di mata dan telinga kita belakangan ini.  Sekarang semua orang melihat bahwa wabah yang oleh WHO sudah ditetapkan sebagai pandemik ini benar-benar tak pandang bulu.  Mulai dari orang kebanyakan, dokter, pejabat negara, perwira militer, atlet profesional sampai selebriti Hollywood sudah ada dalam daftar panjang mereka yang positif terinfeksi.  Sebuah kasus yang luar biasa.

Saya tidak akan bicara soal wabah ini, karena jelas ini bukan kompetensi saya.  Sayapun tidak akan menyodorkan statistik-statistik, data apalagi analisa akademis soal COVID-19.  Jelas saya awam sekali soal itu.  Saya—seperti biasa—hanya akan melihat ini dari perspektif psikologi sosial, dan mengingatkan kita semua bahwa menyikapi isu ini secara tidak terkendali, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, akan membawa kita pada bahaya yang jauh lebih besar dan mematikan.

Wabah ini sudah jelas menimbulkan kepanikan masif di berbagai belahan dunia.  Di Indonesia orang-orang jahat tega menimbun masker untuk dijual dengan harga puluhan bahkan ratusan kali lipat.  Lalu pasar juga kehabisan jahe merah, yang konon bagus untuk menangkal Corona.  Di Australia, orang kehabisan tisu toilet, pasta dan keju.  Di Italia semua kegiatan olahraga (termasuk Serie A yang kesohor itu) dihentikan, atau dimainkan tanpa penonton.  Amerika Serikat sudah melarang pendatang masuk dari Eropa (kecuali Inggris).  Dan masih banyak lagi.

Belum lagi apa yang ada di media sosial (medsos).  Berbagai postingan muncul di berbagai lini massa, apakah itu berupa tips menangkal Corona, meme-meme ngeledek, foto-foto dan video yang belum jelas kebenarannya, hingga berbagai teori konspirasi tentang siapa yang sebenarnya berada di balik wabah ini.  (Saya membayangkan betapa besarnya keuntungan para provider jasa telekomunikasi di tengah wabah dunia ini hehehe…).  Semua soal Corona, Corona, dan Corona.

——————–

Perjalanan sejarah dunia kita sudah tidak asing dengan yang namanya wabah penyakit (sebagai catatan: istilah “quarantine” atau “karantina” justru muncul gegara wabah penyakit pes atau “black death” yang mematikan jutaan orang di Venesia, Italia pada abad ke-13).  Sekarang kita bisa menyebutkan beberapa contoh wabah dengan gampang: kolera, TBC, malaria, demam berdarah, HIV AIDS, Ebola, SARS, MERS, H5N1.  Semuanya sudah membunuh ribuan bahkan jutaan orang.  Artinya, wabah seperti halnya Corona bukan sesuatu yang baru bagi peradaban ini.

Barangkali persoalannya menjadi berbeda ketika penyakit-penyakit itu muncul di jaman atau generasi yang berbeda.  Ketika pes atau kolera muncul, teknologi transportasi dan komunikasi jelas belum seperti sekarang.  Informasi datang dengan sangat lambat dari satu komunitas ke komunitas lain di tempat yang berbeda, sehingga tidak muncul kepanikan di tempat yang jauh dari area yang terinfeksi (karena mereka belum tahu).  Arus migrasi (baik permanen maupun sementara) juga perlu waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk bisa sampai ke kota atau negara yang berbeda (sehingga kalaupun ada yang terkontaminasi, mereka sudah mati di perjalanan dan jasadnya langsung dibuang ke laut).

Mungkin itu sedikit pembenaran untuk kepanikan yang terjadi saat ini, ketika informasi tersebar begitu cepat hanya dengan satu “klik” di ujung jari kita, dan ketika kemajuan teknologi transportasi memungkinkan kita sarapan pagi di negara A, lalu makan siang di negara B, dan menghadiri undangan makan malam di negara C dalam satu hari yang sama.  Hasilnya: ketakutan yang membuat ribuan orang berbondong-bondong menyerbu pusat-pusat belanja, dan sebagian di antara mereka bahkan memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri tanpa peduli kesusahan orang lain.  Panik, takut, cemas, khawatir atau apalah istilahnya.

Wabah-wabah ini juga punya era atau jamannya sendiri.  Hingga hari ini, masih banyak orang mati karena TBC, malaria, demam berdarah atau AIDS.  Tapi era wabah-wabah itu sudah lewat, sehingga media tidak tertarik lagi bicara soal wabah-wabah itu (kecuali korbannya luar biasa besar seperti demam berdarah yang sekarang melanda saudara-saudara kita di Nusa Tenggara Timur).  Dampaknya, tidak ada kepanikan karena wabah-wabah tadi meskipun masih terjadi.  Ini berarti satu hal: kita merespon apa yang kita ketahui, bukan apa yang sedang terjadi.

Akhirnya kita tiba pada sebuah fenomena bahwa pengetahuan kita akan sesuatu, dan cara kita bersikap atas apa yang kita ketahui itu layaknya dua sisi mata uang.  Di titik inilah kekhawatiran saya mulai muncul, karena dinamika sosiokultural kita pada akhirnya sangat ditentukan oleh apa yang diketahui masyarakat, meskipun pengetahuan itu belum tentu benar …….. dan lebih celaka lagi bila kita bersikap terhadap sesuatu yang sebenarnya bahkan tidak ada sama sekali.

——————–

Dulu, para penemu dan pengembang teknologi informasi dan transportasi mendedikasikan temuannya untuk memperkuat fondasi komunitas kita, yang semakin hari semakin berkembang.  Sekarang, kita melihat sebuah paradoks ketika perkembangan teknologi itu malah menjadi kerentanan terbesar umat manusia.  Bagaimana perkembangan itu berdampak sangat bergantung pada “siapa” yang memegang kendali.  Di tangan orang baik, informasi yang kurang enak didengar pun akan tetap menenangkan; sebaliknya di tangan orang jahat, informasi yang terdengar sejuk pun bisa mematikan.

Peradaban kita menjadi ditentukan oleh bagaimana kita bersikap.  Bagaimana kita bersikap ditentukan oleh seberapa bijaksana diri kita.  Kebijaksanaan kita ditentukan oleh seberapa terdidiknya kita; bukan terdidik dalam artian akademis, namun terdidik secara emosional dan spiritual.  Keterdidikan yang ditentukan oleh seberapa mampu kita mengalahkan diri kita sendiri.

Penderita yang cerdas emosinya akan jujur pada diri sendiri meskipun harus mengakui bahwa mereka terinfeksi, hanya agar semua orang sadar bahwa wabah ini berbahaya dan semua harus waspada.  Penderita yang bodoh akan diam saja karena malu dan takut di-bully, meskipun ketidakjujuran itu akan membahayakan banyak orang.  Pada sisi yang lain, masyarakat yang emosinya cerdas akan berempati, dan masyarakat yang emosinya dangkal akan mencari keuntungan sendiri, lalu menyalahkan sana sini.

Peradaban kita sedang dalam pertaruhan besar, sama seperti yang telah dialami umat manusia berkali-kali sejak ribuan tahun silam.  Berempati bukan berarti abai dan tidak menjaga diri, tetapi perilaku memojokkan dan menyalahkan orang lain atas nama “sikap protektif” atau “menjaga diri” justru akan menghasilkan perpecahan dan kehancuran.  Kita sedang ditunggu oleh bahaya yang jauh lebih besar dari sekedar kematian fisik: matinya sebuah peradaban.

——————–

Saya teringat berbagai teori konspirasi yang merebak di media sosial soal asal muasal virus Corona ini.  Tak peduli apakah itu benar atau tidak, saya hanya berharap dan berdoa bahwa kejadian ini memberi kita hikmah, menjadikan banyak orang semakin bijaksana, dan menyadarkan banyak negara betapa pentingnya mencerdaskan masyarakat secara hakiki.  Masyarakat yang bukan semata-mata cerdas otaknya (karena sejarah dunia membuktikan berbagai kehancuran justru dibuat oleh orang-orang yang hanya cerdas otaknya), melainkan juga cerdas hati dan jiwanya.  Masyarakat yang berisi individu-individu yang mampu mengalahkan musuh terberat mereka: diri mereka sendiri.

Sudah lewat tengah malam rupanya.  Saatnya raga dan jiwa diistirahatkan, dan menjemput mimpi akan sebuah dunia yang penuh damai dan menyejahterakan semua yang ada di dalamnya.

Sumedang, 13 Maret 2020

JOGJAKARTA: KALA KUUNTAI KATA

(Koleksi Pribadi)

Jogjakarta.

Bukan sekedar sebuah nama,

Bukan juga sekedar sebuah kota,

Bukan sesuatu tanpa makna,

Bukan pula sesuatu tak berjiwa.

—–

Lambang damai yang bersahaja,

Pesona dalam paras sederhana,

Seolah Tuhan sedang jatuh cinta,

Ketika menghadirkannya ke dunia.

=====

Jogjakarta.

Ceria kala surya mengangkasa,

Rona indah di temaram senja,

Hadirkan damai yang tanpa paksa,

Bukan intrik dusta ala Jakarta.

—–

Dalam sahajanya kurangkai cerita,

Bingkaian suka duka dalam pesona,

Kudamba selalu lambai tangannya,

Tanpa pernah mau meninggalkannya.

=====

Jogjakarta.

Laksana kini dia menderita,

Serasa kini dia makin renta,

Kala sejauh tatapan mata,

Beton-beton tinggi angkuh berkuasa.

—–

Adalah duka saat dia hilang pesona,

Adalah air mata saat dia tak berjiwa,

Ketika dia tak lagi mengenal dirinya,

Tenggelam dalam palsunya dunia.

=====

Jogjakarta.

Aku mau dia apa adanya,

Labuhan bagi mereka yang hampa,

Lembah surga bagi semua romansa,

Meski bibir tak perlu mengucap kata.

—–

Apalah artinya kata dan bahasa,

Kala semesta telah berbicara,

Kala hati telah beku membuta,

Untuk sebuah nama: Jogjakarta.

=============================

Ruang fana, 10 Maret 2020

SURAT UNTUK DELIS

(Courtesy of kompas.com)

Ananda Delis Sulistina di Surga,

Saya tidak mengenal kamu, atau bahkan sekedar mendengar namamu, sebelum berita kematian tragismu memenuhi media massa.  Perhatian saya semakin menjauh dari penuhnya berita tentang wabah virus Corona saat saya membaca berita-berita lain tentangmu, hidupmu, deritamu, dan sedihnya lagi: cita-citamu……yang pernah kamu tulis dalam catatan harianmu.

Jujur saja, saya membangun kesan tentang kamu sepenuhnya dari media daring yang saya baca.  Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat kematian menjemputmu selain soal uang untuk study tour SMP-mu, apalagi soal keseharian, kondisi keluarga, dan lain-lain tentang kamu.  Semua yang saya tahu tentangmu hanya apa yang berita-berita itu tuliskan, dan saya berharap berita-berita itu tidak menambah atau mengurangi apapun tentang kamu.

Ananda Delis,

Saya menulis surat ini semata-mata karena saya seorang Ayah yang juga punya anak perempuan seumuran kamu.  Anak saya tak jauh beda dengan kamu: punya cita-cita, punya harapan membahagiakan orang tua, ingin punya banyak teman, dan juga pernah minta uang untuk study tour sekolahnya hehehe…

Sebagai seorang Ayah, berita tentang kematianmu di tangan ayah kandungmu sendiri karena uang untuk study tour itu betul-betul merobek hati.  Bukan soal uang yang tidak dapat diberikan ayahmu yang menghancurkan perasaan saya, melainkan apa yang harus kamu alami setelah itu.  Di usiamu yang baru 13 tahun, kamu harus menjemput mautmu dalam perjalananmu menggapai cita-cita mulia yang pernah kamu tulis, di tangan seseorang yang kamu tidak punya kuasa untuk memilih apakah dia layak atau tidak menjadi ayahmu…..dan itu membuat saya menangis.

Ayahmu sama sekali bukan representasi seorang ayah—kamu pasti paham itu.  Saya mungkin juga bukan representasi seorang Ayah yang baik, apalagi sempurna.  Namun dalam ukuran saya yang jauh dari sempurna inipun, apa yang ayahmu perbuat kepadamu adalah sangat biadab; bahkan seekor hewanpun tidak akan melakukan itu pada anaknya sendiri.

Ananda Delis,

Sudahlah…..bagaimanapun kamu sudah berada di alam sana, dan saya berdoa kamu tenang dan damai bersama Sang Maha Pencipta, yang sesungguhnya adalah Ayah sekaligus Ibu kita semua dalam hidup kekal yang akan kita jalani setelah semua kefanaan dunia ini.

Tapi bolehlah kita berbicara sedikit tentang apa yang kamu pernah tulis dalam catatan harianmu atau apapun itu.  Oh iya, saya sempat membaca sebagian tulisanmu di sebuah media daring yang memuat foto penggalan catatanmu (dan itu cukup untuk membuat pilu hati seorang Ayah seperti saya).

Kamu bilang kamu ingin jadi Polwan untuk “memberantas kejahatan sehingga kejahatan berkurang”.  Sebuah cita-cita hebat yang kamu ungkapkan dalam ketulusan dan kepolosanmu yang menyentuh hati.  Dunia kita memang penuh orang-orang jahat, baik dalam arti harfiah maupun dalam artian yang lain.  Kejahatan yang ditunjukkan apa adanya di rumah, di jalan, di berbagai tempat, maupun kejahatan yang dibungkus kebaikan-kebaikan atau kata-kata bijak, yang dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya “pintar” atau “penting”.  Seandainya kamu punya kesempatan menggapai cita-cita itu (menjadi seorang Polwan), kamu pasti akan tahu apa yang saya maksud.

Kamu bilang ingin masuk SMPN 6 karena “dekat dari rumah, sehingga tidak perlu buang-buang uang untuk ongkos angkutan umum”.  Betapa mulianya hatimu Nak, yang bisa memahami kondisi orang tuamu (Ibumu) dan tidak mau membebaninya.  Saya melihat kecerdasan emosional yang luar biasa dari seorang anak 13 tahun, yang bahkan mereka yang sudah “dewasa”-pun belum tentu punya.  Saya berdoa kiranya ini kelak bisa membimbing Ibumu menuju surga karena memiliki dan membesarkan anak yang solehah seperti kamu.  Amin…

Kamu bilang bahwa kamu ingin masuk SMPN 6 karena “ingin mendapatkan ilmu pengetahuan dan mendapatkan banyak teman”.  Lalu kamu juga bilang bahwa kamu “akan belajar belajar dengan tekun agar cita-citamu tercapai”, dan “akan mengerjakan tugas dari Bu Guru dengan senang hati agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat”.  Ah….semangat seperti itu yang negeri ini butuhkan sekarang.  Semangat untuk belajar dan bekerja keras, semangat untuk meraih sesuatu yang lebih baik, semangat untuk berbuat semua hal yang bermanfaat.  Entah kamu sempat melihat atau tidak, negeri ini penuh dengan orang-orang yang selalu skeptis, pesimis, atau sebaliknya kelewat optimis dan merasa sudah pintar sehingga tidak perlu belajar lagi.  Saat berbuat, yang diperbuat justru hal-hal yang tidak bermanfaat, mengganggu kenyamanan orang lain, bahkan merusak.

Ananda Delis di Surga,

Berita-berita yang saya baca juga menyebutkan bahwa kamu sering di-bully di sekolah oleh teman-temanmu, yang menyebut kamu “bau lepet (lontong)”, karena Ibumu sehari-harinya berjualan lontong.  Hatimu tidak sendirian merasa sakit, Nak.  Hati sayapun sakit mendengar hal-hal semacam itu.  Tapi itulah potret pendidikan kita selama ini, yang tidak pernah diarahkan untuk membangun karakter, watak serta kepribadian yang baik, dan hanya melulu soal “angka”, “nilai”, “rangking”, “skor” bla…bla…bla…  Dunia pendidikan yang malah mencetak para perundung, penghina, pencaci, bahkan pembunuh.  Begitulah kalau pendidikan semata-mata dijadikan “proyek”.  Yang penting 20% APBN tiap tahun itu terserap; hasil didik nggak penting.

Saya merasa bahwa secara tidak langsung kamu adalah korban dari sistem buruk pendidikan kita.  Selain bully itu, kegiatan-kegiatan seperti study tour—yang akhirnya memicu ajalmu—dalam banyak kasus justru menjadi beban bagi orang tua murid.  Banyak sekolah yang tidak memahami kondisi psikososial murid-muridnya, yang datang dengan latar belakang beragam.  Ujung-ujungnya, banyak sekolah yang justru jadi ajang pamer harta, adu status sosial orang tua, dan di sisi lain menjadi lembah derita bagi mereka yang kurang mampu.  Singkatnya, dunia pendidikan kita belum menjadi tempat yang mendidik manusia secara hakiki dan mampu menjadi dirinya sendiri.

Berita yang saya baca juga mengatakan bahwa kamu adalah siswi yang pintar.  Tidak mengherankan buat saya, karena catatan yang kamu tulis saat kelas 6 SD itu sudah menunjukkan betapa cerdasnya kamu, dan betapa mulianya hatimu.  Tapi Tuhan memiliki rencana lain dalam hidupmu, yang saya yakin semata-mata karena Dia menyayangimu.  Saya membayangkan seandainya kamu punya waktu mewujudkan cita-citamu, kamu pasti akan jadi seorang Polwan yang baik, cerdas, dan kita akan melihat sebuah dunia yang damai karena minimnya kejahatan.  Sekarang saya hanya berharap ada banyak anak lagi dengan semangat yang sama dengan kamu, yang menjalani hidupnya untuk sebuah cita-cita luhur demi kebahagiaan orang tuanya, dan kemaslahatan orang banyak.

Ananda Delis,

Sepertinya tulisan saya sudah terlalu panjang untuk ukuran sebuah surat.  Mohon maaf menyita waktumu untuk membacanya, tapi sekali lagi, saya hanya seorang Ayah dari seorang anak perempuan sebaya kamu yang betul-betul sedih, teriris dan tidak dapat menerima perlakuan orang terhadapmu, terutama ayahmu yang biadab dan tidak bertanggung jawab itu.  Biarlah Tuhan dan alam semesta menghukumnya secara setimpal.

Rasa hormat saya yang tulus untuk Ibumu, yang dengan segala keterbatasannya berusaha yang terbaik untuk membesarkan kamu.  Beliau seorang wanita yang luar biasa.

Semoga kelak dari alam sana kamu akan melihat dunia yang kamu cita-citakan dalam tulisan tanganmu.    Selamat beristirahat dalam damai, Delis.

Jakarta, 28 Februari 2020

*(Tulisan ini merujuk kepada berbagai berita tentang kematian Delis Sulistina, seorang siswi SMPN 6 Tasikmalaya)

I can only say THANK YOU: The Testimony

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=8z6FDL47Yrk&feature=youtu.be]

Bukan aku yang telah memberi; kalianlah yang telah berbuat.

Bukan aku yang berbeda; kalianlah yang istimewa.

Aku sadar, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa.

Untuk semuanya, aku hanya bisa berkata: TERIMA KASIH…!

SURAT UNTUK PARA SAHABAT…

Hore1Dear sahabat-sahabatku,

Aku ingin meluangkan sedikit waktu untuk mengatakan beberapa hal yang tak sempat terucapkan saat aku masih bersama kalian, karena bibirku tak sanggup melakukannya. Aku meminta maaf bila waktu kalian tersita untuk membaca surat ini.

Aku hanya ingin berterima kasih atas kebersamaan yang luar biasa indahnya selama satu tahun empat bulan terakhir. Baru dua hari tak bersama kalian lagi–terus terang saja–telah menyiksaku dengan jutaan kerinduan. Aku mengingat lagi rutinitasku setiap pagi memarkir mobil di depan ruang kerjaku, lalu mendengar satu-dua dari kalian yang melintas meneriakkan “Selamat pagi, Komandan…!” sambil menghormat. Bukan penghormatan itu yang aku rindukan, karena aku yakin sampai sekarangpun aku tak kehilangan itu semua. Aku kehilangan senyuman di wajah kalian; senyuman yang memancarkan semangat dan ketulusan untuk bekerja denganku membangun satuan kita. Ketulusan yang kini hanya bisa kuingat dan kukenang tapi tak bisa kulihat lagi, dan hanya dalam hati saja akan menjadi bagian dari hari-hariku ke depan.

Sahabat-sahabatku,

Ketahuilah bahwa aku begitu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberiku waktu untuk mengenal kalian. Aku telah menjalin kebersamaan dengan banyak orang di Bogor dan Jakarta sebelum bersama kalian, dengan rentang waktu yang lebih panjang dari kebersamaan kita. Namun, meski paling singkat dibandingkan dengan yang lain, kebersamaan dengan kalianlah yang paling berkesan dan paling dalam meninggalkan bekas di relung hatiku. Itu karena pada awalnya aku begitu angkuh dan naif “menolak” kebersamaan ini, dan begitu ingin segera pergi meninggalkan kalian. Tapi pada 12 Agustus malam kemarin, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada kalian semua, pada satuan yang kita banggakan bersama ini. Malam itu aku menyesali keangkuhanku, setelah aku sadar bahwa amat berat meninggalkan kalian semua.

Aku juga bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku sebuah sikap mental profesional untuk bekerja sebaik-baiknya di manapun berada, sekalipun itu tak kusukai. Itulah yang mendorongku untuk menghabiskan waktuku berpikir dan bekerja agar kalian semua tidak salah berbuat, tidak gagal, dan tidak tersesat. Hanya hal sederhana itu yang aku lakukan satu tahun empat bulan ini, dan Puji Tuhan, kalian bisa memahami serta menerimanya. Dari situlah kusadari kenaifan serta kebodohanku, karena pada akhirnya aku menyadari apa maksud Tuhan menempatkanku di tengah-tengah kalian.

Sahabatku warga Satuan Pemeliharaan 16,

Terima kasih telah memberikan pundak kalian untuk menjadi tempatku berdiri, sehingga banyak orang melihatku tinggi, dan aku penuh dengan puja-puji. Terima kasih telah menopangku dengan tulus, meski aku tak pernah memberi kalian apa-apa. Terima kasih telah menemaniku berjuang membangun satuan kita, membuatnya lebih bersih, lebih tertib, lebih maju, dan lebih bermartabat. Terima kasih telah memahami visiku untuk mewujudkan sebuah satuan yang bisa dibanggakan, dan membuat semua mata mengarah pada kita. Terima kasih, karena telah membuat semua orang melihat kita berbeda. Sadarilah, bukan aku yang berbeda. Semua itu bisa terjadi karena kalianlah yang berbeda, alias tidak sama dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak henti-hentinya membanggakan kalian, dan semangatku menjadi tak pernah putus untuk bekerja bagi satuan kita.

Maafkan aku karena tak ada yang mahal yang bisa kuberikan. Aku hanya bisa memberikan waktu, energi, pikiran, serta hatiku untuk kalian. Maaf juga karena telah merepotkan kalian menjemput atau mengantar istri dan anak-anakku, serta keperluan pribadi lain yang sebenarnya kalian tak punya kewajiban untuk itu. Aku mengingat semua itu dengan mata berkaca-kaca, karena aku melihat kalian tetap melakukannya dengan berjuta ketulusan. Juga, maafkan aku untuk segala hal yang tak bisa kupenuhi bagi kalian, serta segala upayaku yang mungkin belum sesuai harapan kalian. Aku tetaplah manusia biasa yang penuh kekurangan.

Sahabat-sahabatku yang selalu kukenang,

Ini suratku untuk kalian semua, 61 orang hebat yang telah Tuhan hadirkan dalam hidupku. Aku selalu mengingat senyumanmu, ketulusanmu, serta semangatmu bekerja bersamaku. Aku mengenang serah terima jabatan tanggal 13 Agustus kemarin yang begitu luar biasa, dan aku yakin belum pernah ada di belahan Indonesia manapun sebelumnya. Itulah sebabnya kutulis surat ini, karena saat berdiri untuk terakhir kalinya di depan kalian semua saat itu, mulutku seakan terkunci untuk berbicara banyak. Meski demikian aku sadar, beribu pujian serta ungkapan terima kasihku tak akan pernah sepadan dengan jutaan ketulusan yang telah kalian berikan untukku.

Teruslah berkarya, sahabat-sahabatku. Tingkatkan kualitas dirimu, karena itu yang akan menentukan seberapa nilai dan hargamu kelak.  Tegakkan jati diri kalian, jaga kebanggaan satuan kita, dan pelihara semua yang telah kita bangun bersama. Hingga akhir hayatku, aku akan selalu membanggakan dan mengingat kalian semua. Aku berdoa Tuhan selalu menyertai kalian, dan sudi memberiku waktu untuk melepas rinduku pada kalian suatu saat nanti.

Bogor, 15 Agustus 2014

Hormat dan Banggaku,

Jon K. Ginting

P.S.:

Terima kasih juga untuk:

1.  Tuhan Yesus Kristus, atas teladan kepemimpinanNya yang menginspirasiku.

2.  Akademi Angkatan Udara, atas edukasi kepemimpinan saat aku menjadi seorang Taruna.

3.  Baret Mabes TNI, yang menguatkanku untuk tidak meneteskan air mata saat mengucap kata perpisahan dengan para sahabatku.

SEPAKBOLA, BERTERIMA KASIHLAH KEPADA JERMAN…!

20140714_061444_timnas-jerman-juara
www.tribunnews.com

Sejak mengenal sepakbola pasca Piala Dunia Meksiko 1986 (kala itu saya kelas 6 SD), tim nasional favorit saya hingga detik ini tidak berubah: Jerman. Itu sebabnya saya sampai melompat kegirangan di depan layar TV saya saat menyaksikan gol Mario Goetze yang membawa Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014, dan mencatatkan sejarah baru sebagai tim Eropa pertama yang menjadi juara dunia di tanah Amerika Latin. Saya tidak bermaksud mengulas soal teknik atau taktik dalam pertandingan final itu, melainkan saya hanya ingin menjelaskan mengapa saya suka sepakbola ala Jerman, dan begitu ingin melihat Jerman memenangkan Piala Dunia kali ini.

Sepakbola Adalah Olahraga Tim

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung soal hakekat sepakbola sejak ia diciptakan, yang untuk gampangnya saya bahasakan sebagai “kodrat” sepakbola. Sepakbola diciptakan untuk dimainkan oleh 11 orang dengan peran masing-masing di lapangan: ada kiper, ada pemain belakang, tengah, depan, sektor kiri, kanan dan sebagainya. Semua itu bukan tanpa maksud. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab di dalamnya, yang wajib dijalankan oleh setiap pemain untuk mencapai tujuan yang sama: menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan, dan mencegah gol lawan ke gawang kita. Jadi, kemenangan adalah buah kerja tim secara menyeluruh, dan kekalahan adalah tanggung jawab semua individu dalam tim. Beban moril atau tanggung jawab itu terdistribusi sama untuk semuanya. Bila filosofi ini dipahami, permainan sepakbola tidak akan menjadikan beban seorang pemain tertentu lebih berlipat ganda dibanding pemain lainnya. Bila itu terjadi, 11 orang itu bukanlah sebuah tim, melainkan sekumpulan orang yang terdiri atas seorang pemain dibantu 10 pemain lainnya.

Inilah yang dipahami sepakbola Jerman sejak dulu. Tak hanya di level tim nasional, di level klub pun Jerman selalu memainkan sepakbola kolektif, sarat kerjasama antar lini, dan bermain total sebagai sebuah tim. Jerman tak punya pemain sekaliber Pele pada jamannya, atau Maradona pada eranya, atau Messi dan Ronaldo saat ini. Namun demikian, Jerman sudah memenangkan Piala Dunia empat kali. Jerman memang punya nama-nama seperti Franz Beckenbauer, Karl-Heinz Rummenigge, Lothar Matthaus, atau Juergen Klinsmann. Tapi di era mereka masing-masing, banyak pemain dari negara lain yang secara obyektif dapat disejajarkan dengan mereka.

Amat tepat Jerman dijuluki “Die Mannschaft” (Tim). Sebaliknya, secara pribadi saya sulit menerima kenyataan bahwa Argentina atau Brasil bisa menembus semifinal, bahkan Argentina melaju hingga final. Brasil terbukti hancur oleh kolektifitas Jerman, Argentina hanya bernasib mujur menang lewat adu penalti melawan Belanda yang jauh lebih kolektif (dan lebih pantas melawan Jerman di final). Di final lalu, saya membayangkan bila Argentina yang menjadi juara dunia, betapa mundurnya sepakbola. Semua orang akan berpikir bahwa untuk mencapai prestasi hebat, kita cukup mempunyai satu pemain hebat. Pemikiran ini yang akan menjauhkan sepakbola dari nilai intinya sebagai sebuah olahraga tim, dan bagi saya itu adalah sebuah pengingkaran kodrat.

Sepakbola Adalah Sebuah Seni Dalam Olahraga

Sebagai sebuah seni, sepakbola adalah sebentuk hiburan dengan lapangan hijau sebagai panggungnya. Sepakbola dirancang untuk atraktif, dan mampu memberi kepuasan bathin bagi siapapun yang menyaksikannya. Kemampuan menghibur dalam sepakbola tidak mesti bertentangan dengan misi para pemain di lapangan, yaitu untuk menang. Hal ini sebenarnya sudah diakomodir oleh FIFA melalui beberapa aturan dalam pertandingan. Aturan offside misalnya, dibuat agar pemain penyerang tidak “ngetem” atau “mangkal” di daerah pertahanan lawan (seperti halnya dalam permainan bola basket). Aturan offside pada gilirannya akan memacu para pemain untuk meningkatkan kualitas berlari (sprint)-nya, agar bisa lebih cepat menguasai bola dari pemain bertahan lawan meskipun ia berada lebih jauh dari gawang. Begitu juga aturan back-pass yang tidak boleh ditangkap oleh kiper. Aturan ini dibuat agar tim yang sudah unggul tidak mengulur-ulur waktu di daerah mereka sendiri, yang bisa membuat pertandingan menjadi membosankan. Intinya, semua aturan itu dibuat agar sepakbola menjadi lebih atraktif, dan bisa menghadirkan hiburan berkelas bagi penonton.

Sekali lagi, Jerman menunjukkan kualitas ini. Permainan mereka mengalir bagai simponi sebuah orkestra dari kaki ke kaki, berpindah dari kanan ke tengah, lalu ke kiri, dan sebaliknya. Tapi saat mereka punya kesempatan bagus, mereka akan menjadi sebuah mesin pembunuh yang mematikan. Lihat saja gol-gol Jerman di Piala Dunia 2014 yang hampir semuanya dibuat di dalam kotak penalti lawan, yang menunjukkan bahwa “orkestra” mereka mampu menembus kedalaman pertahanan lawannya. Dalam laga final sekalipun, mereka berani memainkan bola-bola pendek, dan tidak terburu-buru dalam menyerang meski harus mencetak gol. Irama permainan, itu yang mereka atur layaknya irama musik (kapan harus keras, kapan harus lembut, dan seterusnya). Berbeda dengan Kosta Rika yang sengaja bertahan melawan Belanda untuk menunggu adu penalti (yang akhirnya gagal juga), atau Argentina yang menggunakan skema yang nyaris sama di final melawan Jerman.

Itulah sebabnya, meski tidak dilarang, adalah tidak etis bagi sebuah tim untuk bermain bertahan dengan menempatkan banyak pemain di kotak penalti (yang oleh beberapa pelatih ternama disebut dengan “parkir bus”). Memang itu bagian dari strategi bermain yang sah-sah saja diputuskan oleh pelatih. Tapi seandainya cara bermain seperti ini “dilestarikan”, sepakbola harus siap ditinggalkan oleh pecintanya, bahkan bukan tidak mungkin kelak akan tinggal kepingan sejarah. Para praktisi sepakbola, apakah itu pemain, pelatih, atau pengurus sepakbola, harus sadar bahwa nilai-nilai dasar seperti inilah yang telah membesarkan sepakbola, dan menjadikannya cabang olahraga paling digemari di planet ini.

Sepakbola Memerlukan Totalitas dan Standar Tertentu

Adalah sebuah nilai universal bahwa setiap sukses memerlukan komitmen, kerja keras dan semangat pantang menyerah. Ukuran sukses itu sendiri sebenarnya sangat luas, mulai dari sukses jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam sepakbola, nilai universal inipun berlaku. Bagaimana setiap tim mendefinisikan “sukses” dalam kamus mereka, itulah yang kemudian akan berdampak pada bagaimana mereka membentuk atau meramu tim. Di level klub, yang kompetisinya berlangsung setiap tahun selama hampir setahun penuh, sukses atau prestasi adalah torehan gelar di liga domestik, liga benua, atau kejuaraan lain di tiap negara. Atas nama “prestasi” atau “sukses” itu, tak jarang pemilik klub bersifat pragmatis dengan membeli pemain-pemain hebat, mendatangkan pelatih ternama, dan lain-lain. Itu yang dilakukan Real Madrid, Chelsea, atau Manchester City. Berbeda dengan Arsenal, Barcelona, atau Bayern Munchen yang lebih memilih untuk membina pemain-pemain muda sebagai kaderisasi bagi kelangsungan tim jangka panjang. Memang untuk beberapa klub seperti Arsenal, hasilnya belum begitu memuaskan setidaknya hingga saat ini, ketika mereka baru berhasil merebut trofi Piala FA tahun 2014 setelah berpuasa gelar sejak 2005. Namun ke depan, Arsenal adalah sebuah klub yang akan semakin kuat.

Tampilnya Jerman sebagai juara dunia 2014 ini adalah buah dari proses panjang ini. Skuad yang dibawa Joachim Loew adalah hasil pembinaan jangka panjang yang dimulai sejak kegagalan mereka di Piala Eropa 2004 (di Portugal). Tahun 2006 saat mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia, tim yang baru terbentuk dua tahun itu membuat kejutan dengan menempati peringkat ketiga. Piala Eropa berikutnya tahun 2008 (di Swiss-Austria), mereka menjadi runner-up setelah kalah dari Spanyol. Lalu Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kembali Jerman menempati peringkat ketiga. Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina, Jerman kalah di semifinal dari Italia. Pemain-pemain senior saat ini seperti Philipp Lahm, Lukas Podolski, dan Bastian Schwensteiger adalah mereka yang oleh Joachim Loew sejak tahun 2006 sudah dipadukan dengan para senior mereka saat itu seperti Oliver Kahn, Jens Lehmann, dan Michael Ballack.

Di gelaran Piala Dunia 2014 inipun, kita bisa melihat bagaimana Lahm, Klose dan Podolski bisa berpadu padan dengan junior mereka seperti Toni Kroos, Andre Schurrle atau Mario Goetze. Thomas Muller yang adalah top scorer di tim Jerman juga baru berusia 24 tahun. Pemain “tua” seperti Miroslav Klose masih mampu bersaing dan memecahkan rekor pencetak total gol terbanyak di Piala Dunia (16 gol).   Di Piala Dunia 2018 (Rusia) nanti, Schurrle, Muller, Goetze dan pemain-pemain muda lainnya akan memasuki usia emas mereka, dan saat itu mereka sudah menjadi pemain-pemain yang sarat pengalaman internasional. Inilah hasil sebuah pembinaan yang total dan komprehensif, visioner, dan menjamin kelangsungan tim dalam jangka panjang. Selain bervisi dan berkonsep, totalitas Jerman juga didukung dengan kecanggihan teknologi yang mereka gunakan untuk meningkatkan kemampuan otot, kecerdasan bermain, serta aspek teknis lainnya. Semuanya dilandaskan pada sebuah ukuran standar yang tinggi, sehingga hanya mereka yang benar-benar punya kualitas yang dapat bergabung di skuad Jerman.

Tidak mengherankan, siapapun yang diturunkan oleh Loew, daya pukul Jerman tetap sama. Goetze menjadi penentu kemenangan setelah diturunkan menggantikan seniornya Klose. Schurrle mencetak dua gol saat membantai Brasil 7-1 juga sebagai pemain pengganti. Pemain yang telah “berjasa” besar hingga semifinal seperti Sami Khedira bahkan tidak bermain semenitpun di final. Itulah Jerman, yang dengan totalitas dan standar tingginya telah berhasil membentuk sebuah tim dengan kemampuan yang sama pada setiap individunya.

Bagi saya, tampilnya Jerman sebagai juara Piala Dunia 2014 adalah kemenangan bagi sepakbola itu sendiri. Bukan semata-mata kemenangan “sepakbola indah”, “sepakbola menyerang”, atau “total football”, melainkan kemenangan karena akhirnya sepakbola kembali pada kodratnya sebagai sebuah kerja tim, sebuah bentuk karya seni, dan sebuah totalitas berbalut standar yang tinggi. Sepakbola dan semua pecintanya patut berterima kasih pada Jerman atas hal ini.

Vielen dank, Deutschland…!!!