KESIAPAN ALUTSISTA (WEAPON SYSTEM AVAILABILITY): SEBUAH PERSPEKTIF KUANTITATIF DAN MANAJERIAL

Isu utama dalam hal pertahanan negara kita beberapa tahun terakhir ini adalah “kesiapan alutsista”.  Baik alutsista darat, laut, maupun udara menghadapi persoalan yang sama dalam hal kesiapan.  Beberapa faktor disebut-sebut mempengaruhi rendahnya kesiapan alutsista ini, seperti usia alutsista yang dianggap sudah tua, kesulitan memperoleh suku cadang (apakah karena dampak politik seperti embargo, ketersediaan di pasaran, dan sebagainya), dan terbatasnya anggaran negara untuk memelihara alutsista tersebut.  Namun, tahukah anda apa sebenarnya “kesiapan alutsista” itu?  Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menggambarkan secara garis besar tentang filosofi di balik terminologi “kesiapan”, dan di aspek apa kita dapat berbenah serta mencari strategi yang tepat untuk memperbaiki tingkat kesiapan itu.

1.         Definisi “Kesiapan”

Secara harfiah, “kesiapan” dalam Bahasa Indonesia semestinya diterjemahkan sebagai “readiness” dalam Bahasa Inggris. Namun dalam konteks pembahasan isu pertahanan seperti disebutkan di atas, lebih tepat bila “kesiapan” ini dibahasakan sebagai “availability”. “Availability” sendiri sebenarnya bisa kita terjemahkan sebagai “ketersediaan” dalam Bahasa Indonesia, namun kata tersebut sangat tidak umum digunakan dalam pembahasan atau diskusi mengenai alutsista.

NATO ARMP-7[1] mendefinisikan “availability” sebagai “kemampuan suatu item yang dinyatakan siap untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi dalam kondisi-kondisi tertentu setiap saat atau pada suatu rentang waktu tertentu, dengan asumsi bahwa semua sumber daya pendukungnya terpenuhi” (the ability of an item to be in a state to perform a required function under given conditions at a given instant of time or over a given time interval, assuming that the required external resources are provided).

Penulis mencoba membandingkan definisi ini dengan apa yang tercantum dalam US DoD Military Dictionary and Associated Terms (JP 1-02)[2] tentang “materiel readiness” (kesiapan materiil) yang diuraikan sebagai “ketersediaan materiil yang dibutuhkan oleh suatu organisasi militer untuk mendukung kegiatan atau kontinjensinya di masa perang, penanggulangan bencana (banjir, gempa bumi, dan sebagainya) atau keadaan darurat lainnya” (The availability of materiel required by a military organization to support its wartime activities or contingencies, disaster relief (flood, earthquake, etc.), or other emergencies).  Atas dasar perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa “availability” dan “readiness” memiliki kaitan yang erat, namun demi kewajaran bahasa, penulis akan menggunakan “availability” untuk membahasakan “kesiapan”.

2.         Macam Kesiapan Alutsista

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa availability berkaitan dengan “waktu” atau “periode”.  Artinya, secara individu kesiapan suatu alutsista dinilai atau diwujudkan dalam/untuk suatu rentang waktu tertentu.  Tidak ada alutsista yang selalu siap sejak ia “dilahirkan” hingga ia “dipensiunkan”.  Hal ini terkait dengan dua aspek penting yang mempengaruhi availability itu sendiri, yaitu reliability (kehandalan) dan maintainability (keterpeliharaan).

Dari perspektif waktu/periode, secara teknis ada empat macam kesiapan alutsista yang dapat diuraikan di sini, yakni:

a.         Kesiapan melekat (inherent availability);

b.         Kesiapan operasional (operational availability);

c.         Kesiapan terjadwal (scheduled availability); dan

d.         Kesiapan tidak terjadwal (unscheduled availability).

2.1.      Kesiapan Melekat (Inherent Availability)

Inherent availability adalah sebuah parameter kinerja suatu alutsista yang bergantung pada faktor Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR).  MTBF dapat diartikan sebagai interval waktu rata-rata dari suatu kondisi tidak siap ke kondisi tidak siap berikutnya pada sebuah alutsista.  Kondisi tidak siap dapat terjadi baik karena adanya kegagalan pada sistem maupun karena alutsista tersebut sudah memasuki masa pemeliharaan.  Di sisi lain, MTTR dapat diartikan sebagai waktu rata-rata untuk menyelesaikan sebuah tindakan perbaikan atau korektif pada saat alutsista dalam kondisi tidak siap digunakan.  Secara matematis, inherent availability dapat dirumuskan sebagai berikut:

AI

Inherent availability tidak memperhitungkan waktu tunda (delay time) karena harus menunggu dukungan suku cadang atau peralatan, dan transportasi peralatan/dukungan lainnya (diasumsikan semua sudah tersedia).  Dari formula di atas, dapat dilihat bahwa inherent availability dapat ditingkatkan dengan cara memperpanjang MTBF dan memperpendek MTTR.  MTTR dapat diperpendek dengan cara menjamin ketersediaan suku cadang, tools, dan personel yang berkualifikasi tepat.  Sedangkan MTBF dapat diperpanjang dengan penggunaan suku cadang yang handal/berkualitas serta pelaksanaan tindakan-tindakan preventif.  Kesiapan melekat ini adalah parameter kesiapan yang paling ideal, yang bergantung pada kualitas manajemen logistik dan keselarasannya dengan dengan pengoperasian alutsista tersebut.

2.2.      Kesiapan Operasional (Operational Availability)

Kesiapan operasional berbeda dengan kesiapan melekat, karena memasukkan waktu tunda (delay time), kegiatan perbaikan korektif, dan tindakan-tindakan preventif.  Jenis kesiapan ini dipandang paling realistis untuk digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kesiapan tempur, mengingat pada prakteknya, kerugian-kerugian (waktu, suku cadang, peralatan, dan resiko lainnya) sangat sulit untuk dicegah.  Kesiapan operasional memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut: Mean Time Between Maintenance Actions (MTBMA), Mean Maintenance Time (MMT), dan Mean Logistic Delay Time (MLDT).  Secara logika, MTBMA semestinya sama dengan MTBF, dan MMT sama dengan MTTR. Secara teknis tidak demikian, karena MTBMA dan MMT memperhitungkan baik tindakan preventif maupun korektif, sementara MTBF dan MTTR hanya memperhitungkan kegiatan korektif saja.  Secara matematis, rumusan operational availability adalah sebagai berikut:

 AO

Operational availability berbanding terbalik dengan rasio antara kumulasi kegiatan pemeliharaan korektif dan preventif serta semua penundaan yang mungkin terjadi (menunggu suku cadang, terbang uji/test flight, dan sebagainya) terhadap waktu aktif total alutsista tersebut beroperasi. Semakin kecil rasio tersebut, maka kesiapan operasional semakin tinggi.  Kesiapan operasional ini dapat digunakan untuk mengkaji aspek-aspek mana yang perlu disempurnakan (misalnya waktu pengiriman suku cadang, waktu pengerjaan pemeliharaan, dan lain-lain).

2.3.      Kesiapan Terjadwal (Scheduled Availability)

Scheduled availability merupakan rumusan kesiapan dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Jenis kesiapan ini didasarkan pada kumulasi waktu alutsista siap melaksanakan misi, baik secara penuh (Full Mission Capable/FMC) maupun parsial (Partly Mission Capable/PMC), dan kumulasi waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeliharaan terjadwal (Not Mission Capable due to scheduled maintenance/NMCscheduled). Kesiapan terjadwal dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

 AS

Dalam AS, hanya pemeliharaan terjadwal yang “direncanakan”, sedangkan pemeliharaan tak terjadwal tidak diperhitungkan.  Selain pemeliharaan terjadwal, yang juga diperhitungkan adalah tindakan pemeliharaan preventif (saat kondisi alutsista siap).

2.4.      Kesiapan Tidak Terjadwal (Unscheduled Availability)

Kesiapan tidak terjadwal merupakan besaran waktu yang memperhitungkan kesiapan alutsista pada saat tidak ada kegiatan pemeliharaan terjadwal. Dalam penghitungan kesiapan di sini, yang diperhitungkan hanyalah tindakan perbaikan korektif.

 AU

Logika sederhananya adalah bahwa kegiatan pemeliharaan tidak terjadwal harus ditekan seminimum mungkin, sehingga bila nilai AU tidak mencapai 100%, harus dikaji serta diinvestigasi mengapa NMCunscheduled bisa “muncul”.

3.         Garis Besar Strategi

Dari keempat macam kesiapan di atas, ada benang merah bahwa kesiapan alutsista dipengaruhi oleh dua faktor utama:

a.         kumulasi waktu alutsista dalam kondisi tidak siap;

b.         kecepatan dalam memulihkan alutsista ke dalam kondisi siap.

Alutsista bisa berada dalam kondisi tidak siap karena memasuki/melaksanakan pemeliharaan terjadwal atau karena mengalami kegagalan sistem yang tidak terduga sebelumnya. Untuk ini diperlukan tindakan korektif sehingga alutsista dapat segera dipulihkan ke dalam kondisi siap.  Di sisi lain, tindakan-tindakan preventif juga diperlukan sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem dapat diminimalisir.  Namun demikian, baik tindakan korektif maupun preventif tidak dapat berjalan optimal bila tidak didukung oleh manajemen/tata kelola alutsista yang baik.  Dalam tata kelola ini, ada beberapa area yang memerlukan perhatian khusus dari organisasi militer agar kesiapan alutsistanya tetap tinggi:

a.         Perencanaan;

b.         Dukungan; dan

c.         Budaya kerja.

3.1.      Perencanaan

Dalam setiap perencanaan, selalu ada sasaran-sasaran kualitatif yang ditetapkan.  Sasaran-sasaran inilah yang kelak akan menjadi barometer pencapaian kinerja yang ternyatakan secara kuantitatif.  Dalam manajemen alutsista, sasaran utama adalah terwujudnya sebuah kesiapan tempur (combat readiness) untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman atau kontinjensi.  Selanjutnya, secara kuantitatif indikator pencapaian combat readiness itu dinyatakan dalam weapon system availability (kesiapan alutsista).  Itulah sebabnya, penting untuk merumuskan indikator yang “SMART”:

a.         Specific: apa yang sebenarnya kita ukur? (kesiapan alutsista, dalam hal ini AO);

b.         Measurable: indikator harus dapat dikuantitatifkan, misalnya variabel AO dalam “jam” atau “hari”;

c.         Attainable: indikator ini harus dapat dicapai dengan kemampuan yang kita miliki, misalnya AO antara 100% s.d. 105%;

d.         Realistic: indikator harus mempertimbangkan pencapaian-pencapaian sebelumnya (lesson learnt), misalnya AO tahun 2012 adalah 95%, sehingga ditetapkan AO tahun 2013 103% (naik 8%).

e.         Timely: indikator harus dapat diwujudkan pada waktu tertentu, misalnya AO 100% harus diwujudkan selambat-lambatnya tanggal 1 April 2013.

Indikator kinerja (performance indicator) inilah “hulu” bagi proses perencanaan selanjutnya, misalnya: penentuan kebutuhan (materiil, personel, sarana prasarana, dan anggaran), penentuan penyedia kebutuhan, penetapan waktu penerimaan (delivery time), dan sebagainya.

3.2.      Dukungan

Perencanaan yang baik tidak akan berguna bila tidak terimplementasi dengan baik.  Dalam kegiatan-kegiatan korektif (maupun preventif) misalnya, selalu diperlukan dukungan-dukungan berupa suku cadang, tools, kit, personel yang berkualifikasi, dan lain-lain.  Persoalannya adalah: tersediakah semuanya di unit pengguna saat itu?  Seperti diuraikan dalam rumusan-rumusan matematis di atas, availability akan memiliki angka yang tinggi bila variabel-variabel seperti MTTR, MMT, dan MLDT memiliki angka yang kecil.  Artinya, semua kebutuhan harus tersedia on the spot saat mereka dibutuhkan.  Variabel-variabel tersebut akan kecil (mendekati nol) bila pelaksana tidak perlu lagi menunggu pengiriman suku cadang atau tools, tidak perlu mencari personel yang qualified, dan sebagainya.

Banyak organisasi yang merasa “puas” setelah mereka berhasil merumuskan kebutuhan kuantitatifnya, dan mendapatkan penyedia potensial untuk memenuhinya. Namun sering terjadi, penundaan-penundaan dalam serah terima (delivery) tidak diperhitungkan sehingga pelaksana tetap harus menunggu apa yang mereka butuhkan di lapangan. Tentu saja ini akan menghasilkan “waktu tunda” (delay time), yang bila semakin besar akan menghasilkan variabel-variabel MTTR, MRT, dan MLDT dalam angka yang besar pula. Thus, nilai A (apakah itu AI atau AO) akan berpotensi menjadi rendah. Sekali lagi, pada saat membuat perencanaan, semua kemungkinan delay ini harus diperhitungkan sehingga kinerja dapat dicapai secara realistis dan tepat waktu.

3.3.      Budaya Kerja

Telah kita pahami pula bahwa parameter availability (A) sangat dipengaruhi oleh frekuensi atau kumulasi waktu “kegagalan” (failure).  Semakin tinggi frekuensi kegagalan, maka nila A akan cenderung turun.  Inilah yang dicegah dengan adanya tindakan-tindakan preventif seperti pre-flight dan post-flight checks pada pesawat, inspeksi periodik, pemeliharaan tingkat ringan (yang tidak merubah status kesiapan alutsista), dan lain-lain.

Di luar semua itu, perlu adanya suatu budaya kerja yang positif di segala lini.  Kebijakan yang tepat dari pemimpin organisasi, ketaatan pelaksana lapangan terhadap prosedur, disiplin, dan komunikasi yang terbuka adalah beberapa contoh budaya kerja organisasi yang positif. Profesor James Reason (University of Manchester) dalam sebuah paper mengenai “Organizational Accident” menegaskan bahwa “sebagian besar pelanggaran melibatkan keputusan-keputusan yang diambil secara sadar untuk menyimpang dari ketentuan/prosedur standar yang berlaku”.[3] Kebijakan adalah pintu, yang bila tepat akan menutup terjadinya pelanggaran; sebaliknya, bila tidak tepat akan memberi jalan bagi terjadinya pelanggaran.

Budaya kerja yang taat asas dan taat aturan akan menekan terjadinya pelanggaran, dan akan berdampak secara positif terhadap upaya minimalisasi kegagalan pada alutsista.  Apakah ini hanya tanggung jawab pelaksana lapangan? Tentu saja tidak. Para perencana juga harus menjadikan taat asas dan taat aturan sebagai budaya kerja mereka, begitu juga para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyediaan kebutuhan alutsista (personel maupun materiil). Ketaatan ini bermula dari tataran kebijakan (decision making process) hingga implementasi di tingkat pelaksana (end-user) seperti operasional alutsista yang tepat guna dan sesuai prosedur, pemeliharaan yang sesuai standar, dan sebagainya.  Dari sinilah nilai “failure” akan kecil, dan A akan meningkat.


[1]   ARMP: Allied Reliability and Maintainability Publication

[2]  US Department of Defense, JP 1-02 DoD Military Dictionary and Associated Terms (as amended through 15 November 2012), Washington DC.

[3]  James Reason, 1998, Achieving A Safe Culture: Theory and Practice, Work and Stress Vol. 12, UK.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN MILITER DI ERA PERUBAHAN

Everything changes; the only thing which doesn’t is the change itself.

Pendahuluan

1.         Kepemimpinan militer, harus diakui merupakan tolok ukur bagi hampir semua bentuk kepemimpinan yang pernah ada.  Salah satu sebabnya adalah bahwa keluaran dari proses kepemimpinan militer adalah “hidup” atau “mati” bagi orang-orang yang dipimpinnya. Militer adalah sebuah entitas yang terdoktrin secara kuat, yang terimplementasi dalam pola pikir, pola ucap, dan pola tindak para anggotanya dalam kehidupan sehari-hari.  Indoktrinasi yang ditancapkan sejak seorang warga negara (sipil) memutuskan dirinya menjadi “tentara” pada akhirnya akan berbuah pada bentuk dan postur pribadi tersebut saat ia lulus dari pendidikannya dan efektif menjadi seorang anggota militer.

2.         Terlepas dari norma universal dalam konsep “doktriner” yang berlaku bagi semua prajurit/tentara, anggota militer tetap harus melihat dunia nyata yang pada gilirannya akan “memaksa” ia berpikir.  Isu utama yang dihadapinya dalam hal ini tak hanya “membunuh” atau “dibunuh” musuhnya, melainkan juga “bertahan” atau “mati” oleh perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.   Metamorfosis inilah yang harus dapat dibaca dan dikenali oleh setiap pemimpin militer saat ini, yang suka tidak suka akan menggeser paradigma kepemimpinan militer di masa depan.

‘Perubahan’ Dalam Perspektif Kepemimpinan

3.         “Perubahan” terjadi pada semua aspek kehidupan dan semua strata sosial, dan layaknya gelombang, tak ada seorangpun yang akan dilewatkannya.  Semua anggota militer pada era ini menyadari perubahan itu beserta segala implikasinya.  Secara alamiah, perubahan lingkungan berdampak pada perilaku setiap orang, termasuk prajurit.  Dari perspektif orang-orang yang dipimpin, di sinilah sebenarnya seorang pemimpin militer mengalami suatu tahapan (milestone) baru, dari yang semula sebagai behavior driving factor, menjadi bridging element antara perubahan dengan perilaku orang-orang yang ia pimpin.  Ia adalah link yang memberi koneksi antara perubahan yang merupakan behavior driving factor dengan behavior itu sendiri sebagai dampaknya.

4.         Bila konsep “perubahan” ini ditarik ke dalam lingkup kepemimpinan (leadership), maka yang berubah bukanlah kepemimpinannya, melainkan perpsepsi terhadap kepemimpinan itu.  Ini layaknya sebuah discovery, bukan invention.Analog dengan ini adalah pengungkapan konsep Sir Isaac Newton atas gravitasi, atau pemikiran Nicolas Copernicus tentang tata surya (solar system).  Gravitasi dan tata surya sudah ada sejak mereka belum menyatakannya; sama halnya dengan kepemimpinan yang jenis serta nilai-nilainya tak berubah sejak manusia ada.  Dalam tataran universal, nilai-nilai dasar kepemimpinan adalah konsep kolegial serta berbasis tim, yang telah teruji dari waktu ke waktu.

Tantangan Kepemimpinan Militer

5.         Di jaman yang terkuasai oleh perkembangan teknologi informasi dan sangat dinamis seperti saat ini, tiga isu utama yang dihadapi oleh pemimpin militer dapat disebutkan sebagai berikut:

a.         Tantangan terhadap kepemimpinan militer;

b.         Perubahan struktur sosial;

c.         Perubahan dinamika ekonomi.

Lantas, dalam konteks ini, apa yang dapat diperbuat oleh para pemimpin militer?  Apa saja dari ketiga komponen itu yang dapat dipengaruhi dan dikenai dampak dari kepemimpinan militer?

6.         Sangat kecil kemungkinannya—bahkan nyaris nol—bagi pemimpin militer di manapun beserta kepemimpinannya untuk memberi dampak bagi perubahan struktur sosial dan perkembangan ekonomi.  Perubahan sosio-ekonomi telah menggelorakan gelombang kebebasan kepada generasi yang nyaris tak memiliki kesabaran maupun upaya penyesuaian yang memadai guna menakar pro dan kontra perubahan ini.  Hasilnya, perubahan harus dapat dikelola dengan baik pada skala yang paling mikro oleh para pemimpin.  Sebuah fakta adalah bahwa di masa lalu, para kaum elit dan keluarga kerajaan berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi tentara murni untuk membela negara, bukan untuk uang.  Paradigma ini bergeser di mana generasi sekarang memandang militer sebagai sebuah entitas karier.

7.         Dampak lanjutan dari pergeseran paradigma ini adalah penambahan beban tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemimpin untuk mempertahankan motivasi orang-orang yang sangat “career-oriented” yang dipimpinnya.  Kunci keberhasilan bagi pemimpin militer saat ini untuk dapat memimpin dalam kualitas yang sama dengan para pemimpin militer masa lalu pada akhirnya terletak pada pembangunan serta pembentukan pemimpin militer itu sendiri.  Oleh karenanya, para (calon) pemimpin ini harus dibekali secara cukup dengan suatu kapasitas tertentu yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus berakselerasi.

8.         Pada dasarnya, kepemimpinan yang berbasis doktrin akan tetap menjadi dasar yang menyeluruh (thorough and comprehensive base) bagi semua pemimpin militer, yang diperkuat dengan gagasan-gagasan baru, kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta didukung dengan desain organisasi yang tepat.  Pemimpin saat ini dan masa depan diharapkan dapat lebih fleksibel, terbuka pada ekspektasi bawahan, serta menjadi komunikator yang baik dalam menyuarakan keinginan orang-orang yang dipimpinnya, dan sebaliknya: menjabarkan harapan-harapan atasannya.  Perwira masa depan adalah para prajurit yang berintelijensia, yang mampu berperan sebagai manajer, birokrat, spesialis, sekaligus merupakan warga negara dengan situational awareness yang tinggi.  Mereka adalah perwira-perwira yang patuh, yang berpikir sebelum bertindak, yang muda tapi matang, dan yang idealis namun juga realistis.

Nilai Inti Kepemimpinan Militer

9.         Perubahan-perubahan dalam urusan militer (Revolutions in Military Affairs/RMA) sama sekali tidak berarti perubahan dalam nilai-nilai inti kepemimpinan militer seperti kehormatan, patriotisme, kejujuran, integritas, loyalitas, kompetensi, kesatuan, serta kekuatan fisik dan moral. Ini berarti bahwa “dosa” seorang prajurit karena berbuat curang, berkhianat atau berbohong di masa 1000 tahun yang lalu adalah “dosa” yang sama di hari ini, dan akan tetap sama untuk 1000 tahun mendatang.   RMA adalah faktor-faktor penguat, yang wajib disisipkan ke dalam setiap nilai itu sehingga sebuah kepemimpinan militer berjalan efektif dalam mencapai tujuan.

10.       Semua nilai inti kepemimpinan militer di atas bermuara pada dua hal: pengetahuan dan karakter.  Pengetahuan membuat seorang pemimpin militer memahami apa yang harus ia perbuat, dan karakter memberinya kekuatan untuk menuntaskan segala kewajibannya.  Keduanya harus saling melengkapi: pengetahuan tanpa karakter membuat seorang prajurit tak memiliki keberanian memutuskan; sedangkan karakter tanpa pengetahuan akan melenyapkan kapasitas internal prajurit itu sendiri.  Pengetahuan yang diharapkan dari seorang pemimpin militer adalah berupa:

a.         Penguasaan akan tugas dan kewajibannya;

b.         Pengetahuan dalam menangani orang lain; dan

c.         Pemahaman akan dirinya sendiri.

Sementara itu, karakter terjabarkan dalam bentuk-bentuk:

a.         Keberanian;

b.         Tekad/kemauan; dan

c.         Inisiatif.

11.       Pengetahuan.  Seorang pemimpin militer masa kini dan masa depan adalah ia yang memiliki pengetahuan dalam wujud:

a.         Penguasaan Akan Tugas dan Kewajiban.   Pengetahuan seorang pemimpin terhadap tugas dan kewajibannya akan membuat ia dapat melihat berbagai hal lebih jelas, lebih dalam, dan lebih jauh dari orang-orang yang dipimpinnya.  Pada gilirannya, ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, melihat dari berbagai sisi, dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagai sudut pandang.  Keputusannya kelak tidak bersifat memberi penyelesaian sesaat namun menanam “bom waktu” untuk hari depan.  Selain itu, pengetahuan akan tugas dan kewajibannya akan mencegah keputusan seorang pemimpin bersifat parsial/sektoral; merugikan sekelompok orang hanya karena ia ingin menjawab keinginan orang-orang tertentu.

b.         Pengetahuan Dalam Menangani Orang Lain.   Di medan pertempuran, anak buahnya berhadapan dengan pilihan “hidup” atau “mati”.  Di tengah perubahan lingkungan, anak buahnya akan dihadapkan pada “bertahan” atau “tenggelam” oleh perubahan-perubahan itu.  Pemimpin harus sadar bahwa di luar konteks kedudukan anak buahnya sebagai bawahan, mereka adalah pemimpin diri mereka sendiri dalam menghadapi perubahan sosio-ekonomi, budaya, politik, serta berbagai persoalan lain dalam hidup mereka. Karenanya, pemahaman seorang pemimpin terhadap bawahannya akan memampukan ia memberi bobot yang tepat pada setiap perintah, serta arahan-arahan yang proporsional untuk tiap masalah yang dihadapi anak buahnya.  Ia juga pada dasarnya pemimpin dari para “pemimpin”.

c.         Pemahaman Akan Dirinya Sendiri.   Struktur militer yang selalu terkonotasi dengan ketertiban, keteraturan, dan hirarki mengharuskan seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya “tanpa ada pertanyaan” atau “tanpa keragu-raguan”.  Persoalannya, di tengah perkembangan teknologi informasi yang mempercepat siapapun untuk memperoleh pengetahuan, hampir semua orang menjadi semakin kritis dan cerdas. Dalam situasi ini, dapatkah seorang pemimpin menciptakan sikap mental anak buah yang “tanpa keragu-raguan” dalam menjalankan perintahnya bila ia sendiri tak memahami dirinya sendiri?  Misalnya, akan patuhkah si bawahan bila diperintahkan untuk datang tepat waktu bila si pemimpin sendiri selalu datang terlambat?  Kepemimpinan pada hakekatnya adalah interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin, oleh karenanya kepemimpinan baru akan efektif bila yang dipimpin tidak melihat adanya kelemahan elementer pada si pemimpin.

12.       Karakter.  Di sisi lain, beberapa wujud karakter penting yang wajib dimiliki pemimpin militer masa kini dan masa depan adalah:

a.         Keberanian. Di era perkembangan sosio-ekonomi yang multidimensional dan unpredictable, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan yang tidak lazim atau outside the box.  Sifat alamiah kepemimpinan militer dalam hal pengambilan keputusan pada masa perang adalah keterkaitannya yang erat dengan persoalan hidup-mati anak buahnya.  Dalam konteks sosio-ekonomi, keterkaitannya jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan keberanian seorang pemimpin dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat, dengan kesanggupan memikul resiko serta segala konsekuensinya.  Keberanian seperti ini perlu didukung dengan kemampuan berpikir yang state-of-the-art.

b.         Tekad/Kemauan.   Seorang pemimpin militer harus memiliki sifat pantang menyerah serta determinasi yang tinggi dalam menjawab semua persoalan yang muncul.  Pada era sekarang dan ke depan, tekad terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemauannya dalam mengadopsi perubahan, mengelolanya, serta memahaminya sebagai konsekuensi dinamika jaman.  Pemimpin yang pro status quo adalah mereka yang “melempar handuk”, merasa takut, dan tidak sanggup mengelola perubahan, serta memberikan pembenaran atas semua mekanisme serta paradigma yang telah berjalan.  Pemimpin masa depan adalah mereka yang mau menempatkan dirinya sebagai garda depan dalam perjalanan menuju era dan tantangan baru, serta menjauhkan dirinya dari mentalitas seorang “safe player”.

c.         Inisiatif.   Inisiatif berisi antisipasi-antisipasi yang cerdas dan akurat atas semua kejadian serta persoalan yang mungkin muncul dengan cara berpikir jauh ke depan serta mencari jalan alternatif untuk mencapai tujuan, bila cara bertindak yang telah dipilih ternyata menemui hambatan.  Sedikit identik dengan keberanian, inisiatif juga dihasilkan dari cara berpikir yang out of the box, sehingga pemimpin militer dapat mengambil keputusan secara cepat di luar “pakem” yang berlaku.  Dinamika sosio-ekonomi yang cepat memberi ruang yang sangat sempit bagi pemimpin militer manapun untuk menghabiskan waktu memikirkan suatu persoalan tertentu terlalu lama hingga membebani dirinya sendiri.

13.       Dari uraian di atas, tampak nyata bahwa kepemimpinan sejatinya adalah fungsi dari kemampuan dan gaya si pemimpin, ditambah kebutuhan dan nilai-nilai mereka yang dipimpin, dan tuntutan situasi.  Itulah sebabnya pemimpin militer harus memahami dengan baik mereka yang dipimpinnya, serta situasi yang mengelilinginya.  Dengan itulah ia akan menemukan pendekatan yang tepat dalam menjalankan kepemimpinannya untuk mencapai tujuan.

Leadership = f {(leader’s ability and style), (member’s needs and values), (demands of situation)}

 Dampak Perubahan Sosio-Ekonomi Dalam Perspektif Kepemimpinan Militer

14.       Perubahan yang cepat dalam lingkup sosio-ekonomi telah membawa dampak masif yang mendarah daging berupa orientasi-orientasi materialistik, pengikisan nilai-nilai luhur bangsa, degradasi moral, dan cara pandang individu yang cenderung self-centered. Tingkat pendidikan yang makin tinggi, kepekaan sosial yang tipis, serta kesempatan ekonomi yang lebih besar justru mendorong orang untuk menjadi lebih individualis.  Transformasi sosio-ekonomi akhir-akhir ini telah pula berkontribusi pada berubahnya semua pandangan dan pola pikir dalam aspek kehidupan personel militer.  Transformasi inilah pendorong utama pandangan publik tentang militer sebagai entitas karier ketimbang sebagai wahana pengabdian membela negara.  Inilah yang harus secara cerdas dan peka dibaca, dilihat, serta disikapi oleh setiap pemimpin militer masa depan, karena tantangan itu telah nyata, serta akan semakin menguat di hari-hari kemudian.

15.       Kepekaan dan kecerdasan seorang pemimpin militer dalam mengelola transformasi sosio-ekonomi terhadap dimensi kehidupan prajurit mengharuskannya mampu untuk melakukan dua hal utama: pertama, mempertahankan nilai-nilai tradisional kepemimpinan militer yang erat dengan sejarah perjuangan bangsa serta tekad dan semangat pengabdian kepada tanah air; kedua, mengapresiasi perubahan beserta segenap dampaknya terhadap pola pikir dan pola tindak para prajuritnya dengan pendekatan yang lebih modern.  Seperti telah disebutkan di atas, peran pemimpin militer bukan lagi behavior driving factor, melainkan bergeser sebagai bridging element.  Dalam menjalankan peran baru ini, seorang pemimpin militer masa depan dituntut untuk memiliki sebuah kapasitas khusus dalam mengelola kedua sisi (perubahan dan perilaku) tersebut sehingga jalan menuju ke pencapaian misi tetap dapat dipertahankan.

Kapasitas Khusus Seorang Pemimpin Militer

16.       Di satu sisi, seorang pemimpin militer adalah individu yang tak berbeda dengan orang-orang yang dipimpinnya. Iapun terkena dampak dari perubahan sosio-ekonomi yang berimbas pada perilakunya.  Namun ia adalah seorang individu yang memiliki tanggung jawab, kewenangan, serta memikul kewajiban-kewajiban tertentu pada orang-orang yang dipimpinnya.  Ketiga faktor itulah yang menjadi pembeda antara ia dengan orang-orang yang dipimpinnya, di mana perubahan sosio-ekonomi hanya memberi dampak pada perilaku—bila kita melihat dari perspektif organisasi/satuan.  Lantas, kapasitas khusus (distinguished capacity) seperti apa yang diharapkan dari seorang pemimpin militer sehingga jalan menuju pencapaian tujuan tetap dapat dipertahankan, dan norma-norma ketentaraan tetap berdiri pada tempatnya?  Tiga faktor berikut adalah penjelasannya.

17.       Adaptabilitas Terhadap Perubahan. Telah disinggung sebelumnya bahwa pemimpin militer harus cerdas dan peka membaca setiap gejala yang ditunjukkan oleh sekelilingnya yang mengarah pada perubahan.  Pemimpin militer harus jeli melihat arah kebijakan di berbagai strata, mulai dari lingkup nasional hingga apa yang ada di sekelilingnya.  Pemimpin militer skala nasional (misalnya seorang Menteri/Panglima Angkatan Bersenjata, Kepala Staf, atau Panglima Komando Gabungan) bahkan harus dapat membaca arah paradigma yang berlaku global serta kecenderungan di kawasan regional.  Standar yang berlaku pada 5-10 tahun lalu mungkin tidak lagi valid hari ini, dan standar hari ini mungkin hanya akan valid dalam 4-5 tahun ke depan.  Perubahan adalah keniscayaan, sehingga siapapun yang berusaha untuk menolaknya justru akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.  Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ini yang akan membuat organisasi militer menjadi lentur, tetap larut dalam dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun tetap kokoh karena keteguhannya terhadap norma dan kode etik ketentaraan yang hakiki.

18.       Moral dan Perilaku.  Norma kepemimpinan militer, harus diakui merupakan salah satu norma ideal dalam perspektif kepemimpinan.  Ini mengingat militer adalah entitas negara, yang di dalamnya semua perilaku diarahkan untuk kebaikan dan kepentingan negara yang dibelanya.  Pembela negara adalah mereka yang setia pada komitmennya untuk mengedepankan yang terbaik bagi masyarakat negaranya, walau harus mengorbankan dirinya sendiri.  Dengan demikian, pemimpin militer adalah ia yang dapat menjadi teladan dalam menjunjung tinggi norma-norma itu, dan kesalahan dalam moral serta perilaku adalah “dosa besar” yang tak boleh mendapat tempat sedikitpun dalam sebuah kepemimpinan militer.  Di sisi lain, moral dan perilaku pemimpin adalah perekat yang mempersatukan orang-orang yang dipimpinnya, sehingga mereka akan selalu berada di jalan yang sama dengan si pemimpin dalam mencapai tujuan (accomplishing the mission).  Moral dan perilaku yang tidak baik yang muncul akibat perubahan sosio-ekonomi, yang tercermin dari ucapan, tindakan serta kebijakan si pemimpin (misalnya: ketidakmampuan individu pemimpin untuk menjauhkan diri dari mentalitas materialistik, kegagalan memberi contoh hidup sederhana serta ketidakmauan untuk menempatkan dirinya sebagai “pelayan” bagi yang dipimpin) akan berpotensi menimbulkan perpecahan, saling sikut antar anggota/anak buah, serta gesekan-gesekan di internal organisasi/satuan yang pada gilirannya menghambat pencapaian tujuan.  Moral dan perilaku yang buruk dari pemimpin juga merupakan katalis bagi budaya feodalisme, pupuk penyubur budaya “menjilat” serta lahan gembur untuk kepalsuan-kepalsuan di tingkat bawah.

19.       Kecerdasan.   Suka tidak suka, harus disadari bahwa dunia telah memasuki sebuah era baru.  Teknologi informasi telah mengalami revolusi masif yang menyentuh semua aspek kehidupan.  Bagi seorang pemimpin militer, kemampuan mengadaptasi perkembangan ini akan secara signifikan membantunya dalam memperoleh informasi secara cepat dan kredibel, minim manipulasi serta akurat.  Pada gilirannya, ini akan memudahkannya menganalisa berbagai kemungkinan, dan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat dengan marjin kesalahan yang seminimal mungkin.  Di sisi lain, transparansi serta akuntabilitas adalah dua hal yang terus menerus dan semakin dituntut oleh publik, yang juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini untuk mengakses apapun yang mereka ingin ketahui. Hal ini wajar, mengingat publik adalah para tax payer yang ingin mengetahui untuk apa saja uang dari pajak yang mereka bayarkan itu digunakan.  Tak dapat dipungkiri, pemimpin militer di era mendatang dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual yang memadai sehingga organisasi/satuan yang dipimpinnya dapat menjadi adaptif dengan segala perubahan yang terjadi.

Image

Mewujudkan Pemimpin Militer Era Perubahan

20.       Perubahan Pola Pikir Dalam Fase Indoktrinasi.  Dunia militer boleh berbangga bahwa ia adalah entitas yang amat kuat dalam indoktrinasi kepada para anggotanya.  Persoalannya, di tengah derasnya gelombang perubahan sosio-ekonomi dunia, militer harus menjamin bahwa fase indoktrinasi yang dimulai sejak pendidikan pembentukan harus mengadopsi paradigma baru yang berkembang.  Penekanannya ada pada penjiwaan semangat perubahan itu sendiri, bukan semata-mata pada tingkat pemahaman praktis dari hal-hal yang baru (up to date).  Para calon pemimpin militer ini harus menyadari bahwa banyak hal telah berubah dari sebelumnya, dan setiap orang harus menyesuaikan diri terhadapnya.  Para anggota militer, yang kelak menjadi orang-orang yang dipimpinnya, tak ubahnya seperti masyarakat pada umumnya yang menginginkan semua hal yang lebih baik, lebih terbuka, dan lebih maju dari yang sudah-sudah.  Para calon pemimpin ini harus menerima kenyataan bahwa mereka hidup dan (akan) bekerja di era di mana seorang pemimpin tak lagi hanya duduk di belakang meja, menunggu laporan-laporan, dan menikmati berbagai hak istimewa.  Pemimpin militer saat ini adalah mereka yang harus bekerja dan bekerja, merapat pada anak buahnya, terjun ke medan penugasan secara langsung, dan “menjemput bola” dalam menggali masalah-masalah aktual dalam unit organisasinya, serta merumuskan pendekatan yang tepat untuk memecahkannya.

21.       Peningkatan Mutu Pendidikan Militer.  Pendidikan militer adalah cikal bakal pembentukan pemimpin militer masa depan, sehingga pendidikan militer di strata apapun harus dikelola secara profesional sehingga mampu menghasilkan pemimpin yang siap dengan dunia yang terus berubah.  Kegagalan dalam mengadopsi perubahan ke dalam kurikulum dan sistem pendidikan militer hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang konservatif, kaku, takut mengambil keputusan, dan ragu-ragu dalam mencoba sesuatu yang baru, serta bermental bossy.  Di banyak negara, keberhasilan serta prestasi seorang pemimpin militer lebih banyak ditentukan oleh kapasitas dan kemampuan pribadinya, serta tekadnya yang kuat untuk terus meningkatkan kualitas diri.  Mereka bukan hasil dari sebuah sistem pendidikan yang terstruktur dan berkesinambungan dengan perubahan jaman. Adaptasi dengan perubahan jaman ini tidak sekedar memasukkan muatan teknologi, modernisasi alutsista, atau peningkatan sistem dan metode.  Yang jauh lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan itu dapat berjalan seiring dengan perubahan lingkungan, baik sosio-ekonomi, politik, maupun budaya.  Cakupan inilah yang kelak akan berbuah dalam wujud pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas, namun juga bermoral, dan memiliki integritas kelas wahid untuk terus bekerja dan mewujudkan segala yang lebih baik.

22.       Pada akhirnya, kita semua harus memahami bahwa dunia militer dengan segala kekuatan hirarki dan strukturisasinya tetap harus adaptif dengan segala perubahan yang terjadi.  Dan pemimpin militer sebagai pilar utama tegaknya jati diri keprajuritan di manapun dituntut untuk dapat menjaga nilai-nilai ini agar tetap solid.  Sekali lagi: leadership values never change; what does change is the way we look at leadership itself.

DI MANAKAH NEGARA?

Image

 

Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF Suzuki 2012 setelah dikalahkan Malaysia 0-2 tentu mengecewakan kita semua. Negeri ini telah terlalu haus untuk merasakan kembali prestasi di cabang sepakbola-cabang olahraga yang diklaim memiliki penggemar terbanyak. Kita maklum, dengan penduduk yang berkisar 270 juta-an jiwa, negara seperti kesulitan mencari 11-20 orang yang punya kualitas bermain bola. Parahnya, itu terjadi setelah konflik internal di tubuh pengelola sepakbola Indonesia yang berlarut-larut. Organisasi resmi bernama PSSI yang telah berdiri puluhan tahun tidak berdaya saat digerogoti oleh internalnya sendiri. Lalu muncul sekelompok orang yang mengaku dirinya “pencinta” sepakbola Indonesia, tapi ujung-ujungnya juga hanya memperkeruh situasi. Hasilnya bisa kita lihat, tak hanya sepi tropi & prestasi di ajang-ajang seperti SEA Games, Asian Games (alih-alih Olimpiade) maupun Piala Asia (alih-alih Piala Dunia), kita bahkan sama sekali “tak masuk hitungan” di regional Asia Tenggara-yang beberapa puluh tahun lalu kita kuasai.

 

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di sebuah media informasi berbasis internet, bahwa seorang mantan juara dunia perahu naga asal Jambi sedang mengalami kesulitan membiayai perawatan anaknya (yang belum genap 2 tahun) yang menderita pengerapuhan kulit. Deretan medali, piagam, sertifikat serta berbagai penghargaan nasional & internasional yang dimilikinya ternyata hanya membawanya pada kehidupan saat ini sebagai seorang buruh cuci. Dengan itu, plus penghasilan suaminya yang hanya sekitar 1 juta rupiah per bulan sebagai seorang cleaning service di DPRD Jambi, tentu sulit untuk membiayai pengobatan anaknya yang memerlukan biaya sekitar 1,5 juta rupiah sebulan di RSCM.

 

Ironis. Ya, saat negara membutuhkan peran, tenaga, pikiran & keterampilan atlet-atet kita untuk mengibarkan Sang Merah Putih serta mengumandangkan Indonesia Raya, negara justru abai & membiarkan para duta ini mendapat malu, & bergumul sendiri dengan kesulitan hidupnya. Negara dengan kekuasaannya yang semestinya bisa berbuat sangat banyak untuk menyelesaikan konflik di sebuah institusi resmi, serta berlimpah anggaran dalam membangun prestasi, justru sibuk berdalih.

 

Kisruh PSSI vs KPSI sebenarnya bisa dituntaskan bila negara sunguh-sungguh & berkomitmen terhadap pembangunan prestasi sepakbola. Kisah yang dialami Leni, sang juara dunia dayung itu, juga tak perlu terjadi seandainya negara sadar bahwa di sisi lain, sekian miliar rupiah justru dinikmati oleh para pengelola olahraga negeri ini melalui berbagai proyek seperti Wisma Atlet atau Hambalang.

 

Olahraga hanyalah salah satu dimensi hidup di negeri ini yang dapat membuat rakyat dapat melupakan berbagai kekacauan serta ketidakbecusan pengelola negara yang berdampak pada berbagai masalah bangsa. Olahraga-lah yang membuat rakyat kecil masih punya kebanggaan ber-Indonesia, masih mencintai Merah Putih, serta tidak malu untuk berkata “Saya orang Indonesia!”.

 

Kita tak perlu naif dengan fakta bahwa seperti apapun kemajuan ekonomi (makro) yang digembar-gemborkan pemerintah itu, masih banyak hal yang dapat menjadi indikator ketertinggalan kita dari berbagai negara yang dulu justru belajar dari kita. Mari kita bicara yang gampang-gampang saja: beranikah kita menyandingkan kelas Ibukota Negara Jakarta dengan ibukota tetangga kita seperti Singapura atau Kuala Lumpur?; beranikah kita membanggakan produk nasional kita seperti Malaysia bangga dengan Proton-nya?; beranikah kita berbicara soal kesejahteraan masyarakat di pulau terluar atau perbatasan saat kita harus membandingkannya dengan apa yang dilakukan Malaysia terhadap perkampungan mereka di perbatasan yang sama?

 

Sebagai anak bangsa yang sangat mencintai negeri ini, saya khawatir bahwa pengelola negara ini sudah terjebak dalam pragmatisme kuantitas. Semua diukur dengan angka, persentase, rupiah/dollar, dsb. Kita terlalu ignorant pada kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang kita sebut positif itu adalah angka dalam persen; tidak lebih. Tapi fakta bahwa kita masih mengimpor bahan pangan, bahkan di beberapa daerah masyarakatnya masih mengalami malnutrisi & kekurangan pangan (saat sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia negara agraris) adalah soal kualitas: kualitas manajemen pangan yang buruk, apakah itu di bidang penelitian, pembudidayaan benih, pengelolaan lahan, distribusi, hingga pengendalian harga. Tak perlu berdalih & menutup mata, karena itu semua ada di negeri ini.

 

Memang, di sisi lain kita juga patut berharap bahwa ada segelintir orang yang ketokohannya dapat mencuatkan harapan kita akan sesuatu yang lebih baik. Namun ini juga bukan pembenaran bahwa negara bisa abai terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa sedikit orang-orang baik ini akan berhadapan dengan tembok & badai “pro status quo” yang telah sangat sistematis & terorganisir, yang dimotori oleh sekelompok orang yang tak rela zona nyamannya di-“utak-atik”.

 

Saya percaya, bahwa pada saat John F. Kennedy mengatakan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS tahun 1961 “Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country“, ia tak pernah sedikitpun bermaksud bahwa negara bisa berbuat atau abai semaunya terhadap warganya…

HUMAN ERROR ATAU HUMAN FACTOR?

Human error.   Dua kata itu adalah kata-kata yang cukup sering kita dengar dalam dunia penerbangan.   Frasa ini juga menjadi frasa yang cukup menakutkan bagi insan penerbangan, karena human error sering dituding menjadi penyebab sejumlah kecelakaan pesawat yang tak jarang berakibat hilangnya nyawa satu atau bahkan banyak orang sekaligus.   Namun apakah kita tahu, apakah human error itu ?

Pada saat sebuah kecelakaan (accident) pesawat dinyatakan terjadi karena human error, pemikiran kita akan langsung tertuju pada awak pesawat tersebut: pilot atau awak pesawat yang lain saat itu.   Sementara orang yang berpikir sedikit lebih luas akan memasukkan pula elemen-elemen seperti : pertugas meteorologi, pengatur lalu lintas udara (air traffic controller) dan lain-lain.   Pada dasarnya, kedua pemikiran itu sama sempitnya, sama kontra-produktifnya dan sama salahnya dengan pelaku human error itu sendiri.   Lantas, bagaimana?

 

Safety dalam Teknologi Penerbangan

Dalam teknologi modern, khususnya teknologi penerbangan, masalah safety menjadi sangat krusial dan vital.   Setidaknya ada dua alasan untuk ini:

  1. penerbangan—“menaklukkan” udara dan beraktivitas di dalamnya—bukanlah kodrat alami manusia yang ditakdirkan untuk hidup dan berkembang di daratan.
  2. teknologi untuk terbang—seperti juga teknologi yang lain—adalah semata-mata buatan manusia, yang memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan, seperti manusia itu sendiri.

Dua alasan pokok itu membuat manusia harus lebih peduli terhadap masalah safety, baik dalam pekerjaan-pekerjaan di darat (pre flight dan post flight check atau pemeliharaan pesawat) maupun saat terbang itu sendiri.   Falsafah “the sky is vast but there’s no room for error” adalah sebuah aksioma penerbangan yang berlaku terus selama penerbangan itu ada.   Semakin berkembang dan maju sebuah teknologi, semakin penting pula untuk concern terhadap masalah keselamatan terbang dan kerja, dan itu dapat dilakukan hanya dengan pemahaman yang baik tentang human error.

Amat bijak bila kita tidak terlalu jauh dulu menyebut human error.   Mungkin lebih tepat bila kita sebut human factor (faktor manusia) yang terlibat dalam hampir setiap kecelakaan penerbangan.   Faktanya memang demikian.   Barulah, 80% diantaranya adalah human error.   Ada bedanya, kan?   Faktor manusia ini memang tidak perlu diragukan karena bagaimanapun teknologi penerbangan dan perangkat pendukungnya (pesawat, ground power unit, radio, runway dan sebagainya) adalah ciptaan manusia.   Seluruh manual dan petunjuk operasi pesawat dan perangkat pendukungnya juga buatan manusia.  Kegiatan inspeksi, pemeliharaan dan penyiapan pesawat serta perangkat pendukung itu juga dilakukan manusia.   Saat pesawat terbang, yang menerbangkannya juga manusia.

 

Elemen-elemen Dasar Human Factor

Faktor manusia tadi terbagi dalam dua kelompok besar yang selalu terlibat dalam setiap accident:

1.   Unsafe Conditions.   Kondisi-kondisi yang termasuk dalam kelompok unsafe conditions antara lain:

  • Organizational failures.   Kegagalan ini dihasilkan dari kebijakan-kebijakan (policy) dan tindakan yang diambil organisasi atau manajemen.   Organisasi atau sebuah manajemen selalu memiliki pemimpin atau manajer.   Kebijakan seorang manajer atau pemimpin selalu berpengaruh signifikan dalam pembinaan safety dalam sebuah organisasi.
  • Local factor, yang meliputi kondisi lingkungan kerja, kekurangan perlengkapan kerja atau minimnya prosedur yang digunakan.   Faktor lokal ini dapat berupa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan (error-producing factors) seperti tools atau perlengkapan yang berkualitas rendah, mudah rusak dan sebagainya atau faktor yang dapat menyebabkan pelanggaran (violation-producing factors) seperti peraturan setempat yang mungkin dianggap terlalu hati-hati (over cautious).
  •  Inadequate defences, yang dapat mencegah terjadinya kesalahan manusia maupun kesalahan teknis.   Defence ini dapat berupa publikasi (manual/petunjuk teknis maupun operasi), budaya disiplin, supervisi kerja dan profesionalisme.

2.   Unsafe Actions.   Unsafe actions banyak digolongkan para ahli sebagai active failures yang dilakukan oleh para “operator” penerbangan (tidak hanya pilot, tapi bisa juga teknisi, operator ATC, petugas bagasi dan sebagainya).   Faktor lingkungan (unsafe conditions) jelas berperan penting terhadap unsafe actions ini, namun demikian ada faktor internal dalam diri manusia itu sendiri yang juga dapat memberi kontribusi terhadap kegagalan aktif ini, antara lain:

  • Memory lapse.   Kealpaan mengingat sesuatu ini dapat terjadi bila seseorang insan penerbangan melakukan sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya, sehingga hal-hal yang sudah direncanakan justru terlewatkan.
  • Action slips.   Biasanya terjadi pada pekerjaan yang amat rutin dan terlalu familiar bagi seorang awak pesawat (prosedur start yang sudah “di luar kepala” atau melakukan hal-hal rutin lainnya).   Yang juga masuk dalam kategori ini adalah rasa percaya diri yang berlebihan (over confident).   Ingat kecelakaan jatuhnya pesawat pembom B-52 USAF pada bulan Juni 1994 akibat sang pilot yang terbiasa bermanuver “gila”.
  • Expertise.   Bila sebuah pekerjaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak qualified, dengan pengetahuan dan keterampilan yang minim, akibatnya bisa fatal.   Itulah pentingnya menempatkan “the right man on the right place” dalam dunia (bisnis) penerbangan.

Faktor-faktor di atas adalah penggolongan umum terhadap sedemikian banyak icon yang terlibat dalam sebuah kecelakaan penerbangan.   Kita dapat melihat, dalam setiap kelompok itu, faktor manusia selalu ada.

 

Apa Yang Dapat Kita Lakukan?

Jalan keluar dari persoalan human factor ini adalah pembinaan sumber daya manusia yang baik.   “Baik” berarti terarah dan berimbang.   Dalam tataran yang lebih praktis, hal-hal ini wajib dilakukan oleh siapapun yang ingin terlibat dalam dunia penerbangan :

  • Ciptakan manajemen yang baik.   Mulai dari struktur terkecil (dalam sebuah pesawat yang sedang terbang), penerbangan selalu membentuk sebuah manajemen.   Dalam sebuah pesawat angkut misalnya, ada Captain Pilot sebagai flight leader.   Lalu ada Copilot sebagai pembantu utamanya.   Ada flight engineer yang bertanggungjawab atas sistem teknis dalam pesawat.   Bila tidak ada manajemen yang baik, misalnya seorang pilot yang tidak memberi kepercayaan pada engineer-nya sehingga mencampuri kewenangan si engineer, akibatnya bisa fatal.   Begitu pula bila seorang engineer tidak memberi saran apapun pada pilot saat ada masalah teknis dalam penerbangan.   Di darat, manajemen perusahaan (institusi) juga berpengaruh signifikan.   Bila ada keterbukaan antara personel lapangan dengan para manajer, para awak pesawat dapat terbang dengan tenang dan penuh konsentrasi.   Sebaliknya, bila bawahan mendapat terlalu banyak tekanan (menyelesaikan pekerjaan dengan dead time yang pendek), atau pembatasan-pembatasan yang berlebihan (tidak diijinkan cuti, dsb) maka dampaknya bisa terbawa saat bawahan tersebut harus terbang atau melakukan pekerjaan di pesawat.   Ingat, tidak ada tempat sekecil apapun untuk sebuah kesalahan dalam dunia penerbangan!   Manajemen yang baik harus menjalankan mekanisme persuasif dan perintah secara seimbang.
  • Peka terhadap lingkungan anda.   Sudah berlaku umum bahwa lingkungan kerja yang baik, rapi dan nyaman akan membuat siapapun di dalamnya bekerja dengan tenang.   Prestasi kerjapun bisa dijamin akan baik dalam lingkungan kerja yang seperti ini.   Kenyamanan bekerja dapat diciptakan dengan berbagai cara, antara lain:
  1. Semaksimal mungkin penuhi kebutuhan bawahan, tentu saja dengan melihat aspek kepentingan organisasi secara menyeluruh (kekuatan finansial, orientasi ke depan dan sebagainya).   Upayakan mereka memiliki kelengkapan kerja yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas.   Begitu pula hak-hak seperti tunjangan kesehatan, keahlian sampai pada tunjangan hari raya (THR) dan gaji.   Pemenuhan hak seperti ini setidaknya membantu mereka meminimalisir persoalan mereka, khususnya dalam hal keuangan.
  2. Jangan membuat regulasi-regulasi yang terlalu mengekang hak-hak bawahan.   Kadang-kadang seorang pemimpin memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap tingkat disiplin bawahan, sehingga dikeluarkanlah regulasi-regulasi yang memberi terlalu banyak batasan kepada bawahan yang mengakibatkan bawahan cenderung memendam persoalan-persoalan pribadi mereka.   Membiarkan hal seperti ini adalah sama dengan menyimpan sebuah bom waktu yang suatu hari akan meledak.
  • Bentuk “pertahanan” yang fleksibel.   Memang tidak baik mengekang bawahan dengan regulasi yang terlalu mengikat, namun juga tidak baik membiarkan bawahan melakukan kemauan mereka sendiri-sendiri.   Harus ada konsekuensi yang tegas dan keras terhadap setiap pelanggaran.   Bila sebagai pemimpin anda telah merasa memenuhi segala hak mereka, anda berhak menuntut prestasi kerja maksimal dari mereka.   Begitu pula anda berhak menuntut mereka menjalankan kewajiban sebagai bawahan (masuk kerja dan pulang tepat waktu dan lain-lain).    Ini adalah bentuk hubungan 2 arah yang senergis dalam sebuah organisasi.   Dalam hal pekerjaan, anda harus percaya pada para inspector yang anda miliki.   Mereka memang dilatih untuk menilai kualitas kerja para mekanik di lapangan.

 

Good Management = No organizational accident

Sepanjang unsafe conditions dapat kita hilangkan, saat itu pula kita telah menghilangkan kemungkinan munculnya unsafe actions.   Ini terjadi karena manajemen yang baik dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan moril dan materiil setiap individu di dalamnya, sehingga mereka akan memiliki motivasi untuk memberikan yang terbaik bagi institusi tempatnya bekerja.

Kiranya benarlah apa yang disampaikan oleh Jerome C. Lederer, direktur pertama Safety Bureau of Civil Aeronautics Board USA bahwa “an accident, no matter how minor, is a failure of the organization”.   Menyikapi masalah human factor, berarti kita berbicara dan bertindak terhadap manusia di sekeliling kita.   Untuk itu, perlu sebuah manajemen yang baik, rapih dan terarah untuk dapat “memanusiakan manusia” sehingga tujuan yang ingin kita capai berupa keberhasilan misi penerbangan—dan misi kedirgantaraan secara lebih luas—dapat kita wujudkan dengan selamat.

Dalam dunia penerbangan, masalah human factor tidak semata-mata tentang individu-individu manusia, tapi lebih kepada sistem di mana “human” itu berada.   Selamat terbang!

REFORMASI BIROKRASI TNI: IMPLEMENTASI DAN KENDALA MENUJU PERUBAHAN

Pendahuluan

1.         Sebagai salah satu institusi pemerintah, dinamika organisasi TNI sejalan dengan dinamika lembaga pemerintah RI lainnya. Salah satu dinamika nasional yang turut berpengaruh pada organisasi TNI adalah gerakan reformasi nasional sebagai dampak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Dinamika ini telah membawa TNI untuk melaksanakan program reformasi yang sama dalam rangka memposisikan diri secara tepat dan mengoptimalkan perannya dalam tatanan kehidupan nasional. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan di lingkungan TNI meliputi aspek doktrin, struktur dan kultur yang sejalan dengan kebijakan reformasi birokrasi nasional guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.  Aspek doktrin meliputi penyempurnaan peranti lunak dan mekanisme kerja sebagai pengejewantahan berbagai peraturan dan perundangan-undangan baik doktrin, buku petunjuk dan prosedur tetap yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas. Aspek struktural meliputi berbagai pembenahan di bidang struktur organisasi, disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi secara nasional, agar tercipta tata laksana yang efektif dan efisien. Sedangkan aspek kultural diarahkan pada perubahan mindset prajurit dan kepatuhan terhadap hukum dan HAM serta disiplin prajurit dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

2.         Seiring dengan Reformasi Birokrasi Nasional, Reformasi Birokrasi TNI juga dilaksanakan secara konseptual, gradual dan konstitusional dengan berpegang pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi.  Mabes TNI telah melengkapi berbagai dokumen yang diperlukan untuk diusulkan secara terpadu kepada Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kempan dan RB), selanjutnya bersama Tim RB TNI berkoordinasi dengan Tim Kempan dan RB serta Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara terus menerus untuk penyelarasan job grading (kelas jabatan personel TNI) per satuan kerja (satker) secara riil sesuai dengan DPP Gaji. Program Reformasi Birokrasi TNI dilaksanakan dengan mengacu pada 9 (sembilan) program Reformasi Birokrasi Nasional.

3.         Beberapa dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI adalah sebagai berikut:

a.         Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

b.         Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi TNI.

c.         Permenpan nomor Per/15/M.Pan/7/2008 tanggal 10 Juli 2008 tentang Buku Panduan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi.

d.         Permenpan nomor Per/4/M.pan/4/2009 tanggal 7 April 2009 tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi di Lingkungan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

e.         Surat Panglima TNI nomor B/3038-03/02/66/Sru tanggal 17 September 2009 tentang Laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI.

f.          Keputusan Panglima TNI nomor Kep/692/IX/2011 tentang Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI.

 

 

Program dan Kegiatan Reformasi Birokrasi TNI

4.         Pada bulan September 2009 ketiga angkatan secara terpadu melalui Mabes TNI telah mengirimkan laporan pelaksanaan Reformasi Birokrasi kepada Ketua Tim Reformasi Birokrasi Nasional dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang diperlukan.  Tim Reformasi Birokrasi Nasional menindaklanjuti laporan tersebut dan berkoordinasi dengan Tim Reformasi Birokrasi TNI untuk melaksanakan proses pematangan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI, dengan kegiatan sebagai berikut:

 

a.         Mensosialisasikan Program Reformasi Birokrasi TNI ke Satuan Jajaran TNI.            Pelaksanaan sosialisasi reformasi birokrasi TNI dilaksanakan secara berjenjang oleh Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI yang dibentuk pada tingkat Mabes TNI, Mabes Angkatan, dan Komando Utama (Kotama). Kegiatan sosialisasi dilaksanakan secara intensif sejak bulan September sampai dengan bulan Desember 2009 kepada satuan jajaran TNI. Adanya keinginan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi TNI mengakibatkan dinamisasi yang sangat tinggi untuk mendapatkan kesesuaian konsep antara TNI dengan Kempan & RB maupun BKN.   Dari dinamisasi tersebut maka sosialisasi ke satuan jajaran TNI yang sudah dilaksanakan perlu lebih diintesifkan kembali agar perkembangan yang ada dapat diketahui dan dipahami hingga satuan yang paling bawah.

 

b.         Menyelaraskan Job Grading. Setelah mempelajari laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di lingkungan TNI dan dokumen-dokumen pendukungnya, Kempan & RB serta BKN selanjutnya memberikan arahan dan koreksi tentang sistem pembobotan jabatan atau grading.  Untuk penyelarasan grading jabatan personel TNI maka dilaksanakan rapat koordinasi dan konsultasi secara terus menerus untuk memperoleh kesepahaman tentang penggunaan Factor Evaluation System (FES) yang digunakan oleh Kempan & RB serta BKN maupun Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI. Selanjutnya guna pemutakhiran data maka Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI mengirimkan  data riil DPP Gaji Personel TNI dalam bentuk soft copy sesuai dengan permintaan Tim Kempan & RB dan BKN sebagai bahan persyaratan administrasi.

 

c.         Asistensi Kempan & RB dan BKN Dengan Satuan Jajaran TNI. Tim Reformasi Birokrasi dalam kegiatannya memerlukan pendalaman secara riil di lapangan dengan melaksanakan kegiatan ke satuan jajaran TNI. Tim RB TNI dalam kegiatan tersebut telah mendampingi Tim Kempan & RB dan BKN untuk mengunjungi Satuan Komunikasi dan Elektronika (Satkomlek) TNI pada tanggal 12 Mei 2009.  Hasil kunjungan tersebut ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi antara Tim Teknis Reformasi Birokrasi TNI dengan Kempan & RB dan BKN tentang penyempurnaan grading jabatan personel per satker sesuai dengan DPP Gaji dan hasilnya telah dikirimkan ke Tim Kempan & RB Nasional dan BKN.

d.         Asistensi Tim Independen RB dari Universitas Indonesia. Pentahapan kegiatan reformasi birokrasi mensyaratkan adanya asistensi dalam bentuk pendalaman secara riil di lapangan oleh tim independen RB.   Tim ini nantinya akan memberikan penilaian secara obyektif terkait pelaksanaan RB di jajaran TNI sebagai bahan pertimbangan Kempan & RB serta BKN dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan RB di jajaran TNI. Tim independen pada minggu pertama bulan Juni 2010 secara acak telah melaksanakan asistensi ke jajaran TNI.

 

5.         Pokok-pokok Kebijakan Panglima TNI Dalam Rangka Reformasi Birokrasi TNI. Sebagai pedoman dalam melaksanakan reformasi birokrasi di lingkungan TNI, Panglima TNI telah mengeluarkan kebijakan sebagai berikut:

a.         Pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI dilaksanakan secara konseptual, gradual,  konstitusional dan berkelanjutan yang meliputi aspek doktrin, struktur, kultur dan mindset.

b.         TNI mengutamakan soliditas, loyalitas dan esprit de corps dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI.

c.         Quick wins TNI yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan reformasi Birokrasi TNI adalah PPRC, PRCPB TNI, pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta Minimum Essential Force (MEF).

d.         TNI tidak mengarah kepada tunjangan kinerja murni atau remunerasi tetapi tunjangan kinerja khusus.

e.         Tunjangan kinerja TNI bukan tujuan melainkan proses berlanjut untuk mewujudkan postur TNI yang mampu melaksanakan tugas pokok secara profesional, efektif dan efisien.

 

6.         Program Reformasi Birokrasi TNI.   Program dan kegiatan reformasi birokrasi di lingkungan TNI menyesuaikan dengan program dan kegiatan Reformasi Birokrasi Nasional, yang dapat dijabarkan secara tabular sebagai berikut:

NO PROGRAM KEGIATAN KELUARAN
1 MANAJEMEN PERUBAHAN
  1. Pembentukan Tim   Manajemen Perubahan
Terbentuknya Tim Manajemen Perubahan
  1. Penyusunan strategi manajemen perubahan
Dokumen strategi manajemen perubahan
  1. Sosialisasi dan internalisasi manajemen
Terselenggaranya sosialisasi dan internalisasi manajemen perubahan
2 PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Penataan peraturan perundang-undangan (Turdang) yang diterbitkan oleh TNI Angkatan Udara
  1. Teridentifikasi Turdang yang diterbitkan.
  2. Tersedia peta Turdang yang harmonis/valid.
  3. Terlaksananya regulasi / deregulasi Turdang.
3 PENATAAN DAN PENGUATAN

ORGANISASI

1.   Restrukturisasi Tersedianya peta tugas dan fungsi unit kerja
2.   Penguatan unit kerja Terbentuknya unit kerja yang menangani fungsi organisasi, tata laksana, kepegawaian dan Diklat.
4 PENATAAN TATA LAKSANA
  1. Penyusunan Tata

Laksana (SOP)

Dokumen POP/DSPP dan Prosedur Mekanisme Kerja/Buku Petunjuk sesuai bidang
  1. Pembangunan fungsi    kepemerintahan   secara    online    sesuai   tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
Tersedianya e-gov  sesuai Tupoksi TNI  Angkatan Udara.
5 PENATAAN

SISTEM

MANAJEMEN

SDM

APARATUR

  1. Penataan sistem rekruitmen
Terbangunnya sistem rekruitmen yang terbuka, transparan, akuntabel dan berbasis kompetensi.
  1. Analisis jabatan
Tersedianya uraian jabatan.
  1. Evaluasi jabatan
Tersedianya peringkat jabatan.
  1. Penyusunan standar kompetensi jabatan
Tersedianya standar kompetensi jabatan.
  1. Assesment individu berdasarkan kompetensi
Tersedianya peta profil kompetensi individu.
  1. Penerapan sistem penilaian kinerja individu
Tersedianya indikator kinerja yang terukur.
7.   Membangun/ memperkuat database personel Tersedianya data personel yang mutakhir dan akurat.
NO PROGRAM KEGIATAN KELUARAN
6 PENGUATAN PENGAWASAN
  1. Pengawasan Internal.
Terjadinya peningkatan ketaatan, efisiensi, dan efektifitas pelaksanaan tupoksi.
  1. Pengawasan pemerintah     Aparat Pengawasan    Internal Pemerintah  (APIP).
APIP yang lebih berperan dalam penguatan sistem pengendalian internal, quality assurance dan konsultasi.
7 PENGUATAN AKUNTABILITAS KINERJA
  1. Penguatan akuntabilitas
Terjadinya peningkatan kualitas laporan akuntabilitas kinerja.
  1. Pengembangan sistem

manajemen    kinerja organisasi

Terbangunnya sistem yang mampu mendorong tercapainya kinerja organisasi yang terukur.
3.   Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU) Tersusunnya IKU
8 PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
  1. Penerapan standar

pelayanan

Terlaksananya penggunaan standar pelayanan publik.
  1. Partisipasi masyarakat

dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
9 MONITORING, EVALUASI DAN LAPORAN
  1. Monitoring
Tersedianya laporan monitoring
  1. Evaluasi
Tersedianya laporan evaluasi
  1. Evaluasi menyeluruh

pada Semester Kedua  Tahun 2014

Tersedianya laporan evaluasi lima tahunan  (Evaluasi Roadmap RB TNI)

 

 

7.         Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI. Mengacu pada Keputusan Panglima TNI nomor Kep/692/IX/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Organisasi Pelaksana Reformasi Birokrasi TNI, maka organisasi pelaksana Reformasi Birokrasi di lingkungan TNI maupun Angkatan disusun sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kendala Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI

8.         Pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI dievaluasi dan dinilai secara terus menerus baik oleh internal TNI sendiri maupun oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Pencapaian kemajuan pelaksanaan reformasi birokrasi ini membawa beberapa konsekuensi administratif, antara lain diberikannya tunjangan kinerja bagi lembaga-lembaga pemerintah. Dalam kaitan dengan Reformasi Birokrasi TNI, tunjangan kinerja telah ditegaskan oleh Panglima TNI sebagai salah satu poin dalam Pokok-pokok Kebijakan terkait Reformasi Birokrasi TNI (bukan tunjangan kinerja murni/remunerasi, melainkan tunjangan kinerja khusus). Penulis perlu menekankan di sini latar belakang kebijakan ini, yang pada dasarnya merupakan salah satu kendala pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan TNI.

9.         Beberapa kendala pokok yang dijumpai TNI dalam pelaksanaan komitmen reformasi birokrasi ini antara lain:

a.         Secara filosofis, tugas pokok TNI bermuara pada terjaminnya keutuhan wilayah dan tegaknya kedaulatan NKRI yang pada gilirannya juga menjamin tetap berlangsungnya segenap tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bebas dan aman dari segala bentuk ancaman dari luar. Filosofi ini mengandung arti “pelayanan publik” dalam skala yang sangat luas, yang dalam konteks reformasi birokrasi nasional hanya merupakan salah satu dari sembilan program yang ditetapkan (program ke-8). Perbedaan pemahaman yang fundamental ini membuat penilaian pencapaian program reformasi birokrasi ke-8 di lingkungan TNI menjadi sulit untuk diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

b.         Karakteristik khas organisasi TNI yang berdampak pada mekanisme dan prosedur pelaksanaan tugas yang berbeda dengan lembaga pemerintah lainnya. Adanya hirarki kepangkatan dan senioritas—yang merupakan institutional nature di organisasi militer manapun—membawa dampak pada perbedaan tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan perwira TNI. Ini tentu saja berbeda dengan lembaga-lembaga pemerintah/sipil lainnya, yang murni menempatkan kualifikasi serta kompetensi individu sebagai dasar utama penentuan jabatan. Karakteristik ini bukan berarti TNI tidak bisa melaksanakan pola meritokrasi murni, namun penerapannya tidak se-fleksibel di lembaga lain mengingat adanya kultur senioritas yang secara etis akan tetap dijunjung tinggi oleh perwira TNI manapun sebagai bagian dari kehormatan dan kebanggaan korps.

c.         Penerapan FES sebagaimana telah penulis singgung di pasal 4.b tidak bisa sepenuhnya diterapkan di lingkungan TNI. Sebagai contoh mekanisme absensi fingerprint yang di beberapa instansi pemerintah sudah diterapkan. Satuan jajaran TNI tidak bisa sepenuhnya melaksanakan ini mengingat pola tugasnya yang berbeda. Bagaimana melakukan absensi prajurit yang tersebar di pos-pos perbatasan misalnya, atau prajurit yang tidak dapat mengikuti apel pagi/siang karena harus berangkat bertugas ke luar daerah, berlayar atau terlibat misi penerbangan? Mekanisme penugasan yang sangat dinamis seperti ini tidak memungkinkan penerapan FES (yang serba kuantitatif), dan mengharuskan seorang Komandan/Kepala Satuan Kerja (Dan/Kasatker) membuat assesment­-nya sendiri—yang meskipun dibuat seobyektif mungkin namun tetap akan mengandung subyektifitas dalam skala tertentu.

d.         Materiil yang dikelola TNI, dalam hal ini alutsista, merupakan materiil sensitif yang bila dikaitkan dengan asas transparansi akan menimbulkan banyak ganjalan. Pengumuman lelang pengadaan alutista—sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaaan Barang dan Jasa—misalnya, dapat berkonsekuensi pada “terbongkarnya” kebijakan pertahanan negara dalam hal pengembangan kekuatan militer. Apalagi bila ini dilakukan dengan metode e-procurement, yang memungkinkan publik manapun mengakses rencana pengembangan kekuatan pertahanan RI. Sekalipun TNI sangat mendukung asas transparansi dan akuntabilitas, namun kemungkinan-kemungkinan yang dapat melemahkan tingkat kerahasiaan negara seperti ini akan tetap menjadi concern untuk TNI.

Penutup

10.       Mengingat adanya beberapa kendala mendasar maupun teknis dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi TNI ini, pihak-pihak terkait seyogyanya melakukan upaya-upaya lanjutan guna mencapai sinergi. Yang jelas, standar pencapaian reformasi birokrasi di lingkungan TNI harus dibuat berbeda dengan instansi pemerintah lainnya, dan peniliannya dilakukan secara khusus. Di sisi lain, Kementerian Pertahanan dan TNI harus proaktif untuk mengakomodir isu-isu teknis di lapangan dan menyampaikannya kepada semua pemangku kepentingan terkait sehingga karakteristik khas pelaksanaan tugas TNI tetap tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Bisa jadi ini akan berdampak pada dirubahnya beberapa piranti lunak tersebut sehingga dapat menampung perbedaan mekanisme pelaksaanaan tugas TNI di berbagai strata, namun bila memang itu yang terbaik, pemerintah harus menindaklanjutinya.

11.       Demikian penjelasan dan pandangan penulis tentang pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi TNI. Pandangan dan masukan yang penulis berikan merupakan pendapat pribadi penulis, dan semata-mata bertujuan agar TNI dapat meningkatkan profesionalismenya sebagai alat pertahanan negara, dengan tetap tunduk pada kebijakan pemerintah serta setia berpegang pada amanat rakyat demi tetap tegaknya kedaulatan NKRI yang kita cintai ini. Semoga bermanfaat.

KESIAPAN ALUTSISTA TNI AU: KOMPLEKSITAS DAN ALTERNATIF SOLUSI

Pendahuluan

1.         Polemik seputar rencana akuisisi alutsista TNI (main battle tank/MBT, kapal selam dan UAV) belakangan ini menyadarkan seluruh bangsa bahwa ada sebuah masalah mendasar terkait anggaran pertahanan RI, baik dalam besaran maupun tata kelolanya. Namun bila kita menelisik lebih jauh, polemik ini sebenarnya hanya salah satu fenomena “gunung es” yang terlihat di permukaan. Ada persoalan lebih mendasar mengenai anggaran pertahanan selama ini, yakni bagaimana anggaran tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan kekuatan TNI (termasuk TNI AU).

2.         Keterbatasan besar anggaran semestinya justru memacu kita untuk dapat menyusun sebuah konsep pembangunan kekuatan yang matang dan presisi, yang berawal dari perencanaan. Salah satu isu menonjol yang ditengarai menjadi penyebab belum tercapainya sasaran kesiapan tempur TNI—termasuk TNI AU—saat ini adalah persoalan pemanfaatan anggaran. Anggaran pemeliharaan kesiapan alutsista sebagai aspek penting pembangunan kekuatan memerlukan pendekatan yang tepat dalam pengelolaannya.

 

Kerangka Berpikir Mengenai Anggaran

3.         Ada beberapa teori dan literatur mengenai penggunaan dana—yang dalam skala besar kita sebut anggaran—yang dapat menjadi pijakan berpikir dalam memanfaatkan anggaran bagi kepentingan pertahanan (termasuk TNI AU), antara lain:

a.         Teori “Product Life-Cycle. Teori dari Raymond Vernon ini adalah pengembangan konsep tentang “International Product Life Cycle” (IPLC) tahun 1966 yang menguraikan tiga tahapan dalam siklus perdagangan internasional: new product, maturing product dan standardised product yang mengacu pada kondisi sebuah produk sejak awal diproduksi, menjadi matang dan selanjutnya siap dijual setelah mengalami standarisasi. Konsep IPLC juga menguraikan bagaimana orientasi produsen akan berubah seiring dengan tingkat kematangan produk dan akseptabilitasnya di pasaran.[1]

b.         Teori Konsumsi. Teori yang diperkenalkan oleh Franco Modiglani sekitar tahun 1950 ini menjelaskan bagaimana sebuah individu dapat menentukan pilihan-pilihan yang cerdas dalam hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada individu tersebut. Dengan melakukan “building up” dan “running down” terhadap aset, individu atau organisasi dapat mengatur pola konsumsi mereka seiring dengan tantangan dan perkembangan jaman yang mereka hadapi secara mandiri dan sesuai dengan sumber daya atau dana yang mereka miliki. Teori ini membawa implikasi pemahaman bahwa cadangan (devisa) suatu negara bergantung pada laju pertumbuhan pendapatan nasional, dan cadangan inilah yang akan memberi negara suatu fleksibilitas dalam menentukan pola konsumsinya.[2]

c.         Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems. Graham Clark, Paul Piperias dan Richard Traill dalam tulisannya yang berjudul “Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems” menguraikan tentang mekanisme penerapan Life Cycle Cost Analysis (LCCA) melalui identifikasi dan penilaian persyaratan teknis dalam proses akuisisi sistem-sistem utama (pesawat, kapal dan sebagainya) serta pada proses upgrading selama masa pengoperasian sistem tersebut. Sebagai bentuk implementasi LCCA, perubahan dalam pendekatan manajemen logistik diperlukan untuk menyediakan cost database[3], yang dalam banyak manajemen pertahanan menjadi isu serius. Isu serius tersebut adalah lemahnya penghitungan life-cycle cost, yang hanya dipahami sebagai harga akuisisi ditambah generalisasi biaya operasional dan pemeliharaan.

d.         Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing. Manjunath Sannappa dalam tulisan ini menguraikan keuntungan dari target cost sourcing: tata kelola yang baik, keuntungan dari produk, keuntungan dari peluncuran produk, ketahanan saham, efisiensi waktu pemasaran, serta pengelolaan dan pengurangan biaya produksi.[4] Bila dilihat secara cermat dari perspektif konsumen, terdapat peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dari kecenderungan industri mengurangi biaya produksi, yakni bahwa harga produk yang dipasarkan akan makin murah. Komoditi pertahanan yang dulu bersifat military off-the-shelf (MOTS) kini bergerak kepada sifat commercial off-the-shelf (COTS). Lingkup pasar produk militer jauh lebih luas, harga semakin bersaing, dan selebihnya adalah kecermatan konsumen untuk menentukan apa yang terbaik sesuai daya belinya.

4.         Dari beberapa referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang urgensi pemanfaatan anggaran akan menghasilkan suatu outcome yang sesuai dengan harapan kita, sekalipun kita dihadapkan pada berbagai keterbatasan.

Spektrum Konflik

5.         Perkembangan lingkungan strategis mengisyaratkan pentingnya pelibatan kekuatan militer di sepanjang spektrum konflik. Perubahan orientasi perang sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) mengharuskan kekuatan militer untuk tetap mampu beradaptasi dan memiliki daya tanggap yang tinggi sebagai alat pertahanan negara.[5] Inilah yang pada gilirannya menciptakan berbagai penyesuaian dalam doktrin perang di banyak negara. Perkembangan lingkungan strategis juga membuat bentuk konflik mengalami pergeseran yang perlahan namun pasti, mulai dari konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) di masa damai hingga perang besar yang memerlukan mobilitas nasional suatu negara. Pergeseran serta rentang spektrum konflik mulai dari masa damai hingga masa perang dapat digambarkan secara garis besar sebagai berikut:[6]

Gambar 1. Spektrum Konflik

6.         Dari pola di atas, dapat dilihat bahwa konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) saat ini sangat mungkin untuk berevolusi menjadi perang skala besar pada masa mendatang, yang umumnya dipicu oleh makin besarnya kepentingan pengembangan ekonomi suatu negara untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidupnya (state survivability). Ini merupakan indikasi nyata bahwa sifat konflik sangat evolutif dan harus dapat diantisipasi dengan tingkat kesiapan TNI AU melalui perencanaan yang tepat.

Mekanisme Perencanaan dan Pemeliharaan Kesiapan Alutsista

7.         Gambaran secara garis besar mekanisme yang berjalan saat ini adalah sebagai berikut:

a.         Perencanaan Kesiapan. Perencanaan kesiapan dilakukan dengan basis tahun anggaran (fiscal/budget year). Mekanisme perencanaan kesiapan alutsista tersebut secara garis besar dilakukan antara lain dengan cara:[7]

1)        Penentuan kebutuhan rutin per tahun anggaran oleh satuan pengguna. Pada setiap akhir tahun anggaran yang berjalan, satuan-satuan yang mengoperasikan dan memelihara alutsista (skadron udara, skadron teknik, dan satuan pemeliharaan) mengajukan kebutuhannya untuk tahun yang akan datang, baik berupa macam kebutuhan maupun jumlahnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diajukan secara berjenjang melalui komando utama (Kotama) masing-masing (Koopsau, Kodikau, Koharmatau). Kotama kemudian meneruskan usulan kebutuhan ini kepada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di Mabesau untuk dijadikan sebagai acuan kebutuhan anggaran belanja.

2)        Penyusunan rencana kebutuhan untuk belanja barang maupun belanja modal (perbaikan serta pengadaan suku cadang, komponen, bits and pieces) oleh Mabesau. Sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah berlaku (Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Pertahanan, Peraturan Panglima TNI dan Peraturan Kasau yang terkait), kebutuhan dari satuan bawah tersebut diajukan dalam bentuk yang bertahap, mulai dari Rencana Usul Pesanan (Ren UP), Usul Pesanan (UP) hingga menjadi kontrak dengan melibatkan pihak ketiga (mitra). Pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

b.         Pemeliharaan Kesiapan. Pemeliharaan kesiapan dilaksanakan juga dengan basis tahun anggaran. Selain bergantung pada kesiapan kuantitas dan kualitas personel pemelihara alutsista/pesawat serta kesiapan serta kelengkapan fasilitas pemeliharaan, faktor lain yang tak kalah penting adalah ketersediaan suku cadang. Mengacu uraian pada subpasal a di atas, suku cadang yang telah diadakan melalui program pengadaan, perbaikan dan ditambah stock yang masih tersedia merupakan salah satu elemen krusial untuk menjamin terpeliharanya kesiapan alutsista. Namun pada kenyataannya, mekanisme perencanaan kesiapan selama ini (khususnya dalam hal penyediaan suku cadang) masih membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang[8] sehingga berbagai jenis pesawat masih belum dapat dioperasikan karena menunggu suku cadang (aircraft waiting parts/AWP).

8.         Dari rangkaian mekanisme yang berjalan selama ini, terbukti secara faktual bahwa tingkat kesiapan alutsista TNI AU di T.A. 2011 tidak terdongkrak, sekalipun terdapat penambahan alokasi anggaran untuk kesiapan alutsista dibanding T.A. 2010. Lalu di mana persoalannya?

Capability Based Defence vs Threat Based Defence

9.         Di tingkat nasional, Peraturan Presiden RI Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakum Hanneg) 2010-2014 secara tersurat mengaskan bahwa kekuatan pertahanan RI dibangun dengan berbasis “ancaman”. Ini adalah perubahan fundamental dari Jakum Hanneg sebelumnya (Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan dibangun dengan berbasis “kemampuan”. Dalam pandangan kami pendekatan ini tidak tepat untuk sebuah negara dengan alokasi anggaran pertahanan yang tidak mencapai 1% dari GDP (artinya, Jakum Hanneg sebelumnya justru lebih tepat). Memang belum ada literatur yang secara tegas menggambarkan perbedaan dari pendekatan capability-based defence (CBD) dengan threat-based defence (TBD), namun dari beberapa kajian tentang kedua pendekatan ini, kami mencoba merangkum beberapa perbedaan mendasar dari keduanya secara tabular sebagai berikut:

NO ASPEK PENDEKATAN(SIFAT)
CAPABILITY BASED THREAT BASED
1. Acuan Kebutuhan kemampuan(Bergantung pada kebutuhan sendiri) Kemungkinan ancaman(Bergantung pada lingkungan eksternal)
2. Orientasi Kemampuan yang sudah dimiliki(Hanya memerlukan pengembangan yang relevan) Kemampuan yang belum dimiliki(Memerlukan pemenuhan dalam jumlah dan skala tertentu)
3. Tata kelola Capability Life Cycle Management/CLCM(Ekonomis/cost-effective) Threat assessment(Harus menyesuaikan ancaman terus menerus)
4. Kebutuhan anggaran Jumlah anggaran yang tersedia(Adaptif) Jumlah anggaran yang dibutuhkan(Cenderung memberatkan)
5. Fleksibilitas penggunaan anggaran Sesuai kemampuan yang ada(Fleksibel/lentur) Harus memenuhi nominal tertentu(Banyak batasan/constraints)
6. Pengembangan Dapat dilakukan terus menerus pada aset yang sudah ada(Penggunaan sistem senjata dapat bertahan dalam jangka waktu panjang) Restrukturisasi kekuatan terus menerus(Pembiayaan mahal dan jangka waktu penggunaan sistem senjata lebih pendek)

Tabel 1. Perbandingan Pendekatan Capability Based Defence

dengan Threat Based Defence

10.      Dari gambaran tabel di atas, dapat dilihat bahwa CBD jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan TBD. Di tengah kondisi keuangan negara yang belum sepenuhnya pulih dari krisis, dan dengan serangkaian program pembangunan nasional yang memerlukan prioritas, adalah tidak bijak menempatkan “ancaman” sebagai basis dari pengembangan kekuatan pertahanan. Penggunaan TBD akan memaksa negara untuk terus beradaptasi dengan dinamika ancaman yang sangat cepat, sehingga pengembangan kekuatan pertahanan tampak “sporadis”. Di sisi lain, CBD justru memungkinkan program pengembangan kekuatan yang berkesinambungan dan sejalan dengan kemampuan keuangan negara.

Penentuan Prioritas Anggaran Alutsista TNI AU

11.       Mengerucut ke lingkup TNI AU, prioritas penggunaan anggaran kesiapan alutsista selama ini diarahkan pada pemenuhan AWP. Ini terkait dengan filosofi kebijakan pemerintah yang menginginkan adanya “penambahan aset” sehingga sumber dananya masuk dalam kategori “belanja modal”, yang secara normatif nilainya jauh lebih besar dari “belanja barang”. Filosofi ini sudah tepat, karena dalam pendekatan ekonomi, aset adalah “hak atau akses lainnya saat ini atas suatu sumber ekonomi yang ada dengan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan/manfaat ekonomis kepada seseorang/lembaga” (a present right, or other access, to an existing economic resource with the ability to generate economic benefits to the entity).[9] Dalam hal ini, aset TNI AU adalah “alutsista yang mampu mendukung pelaksanaan tugas-tugas TNI AU”, yang berarti alutsista yang serviceable. Di sisi lain, alutsista yang dalam keadaan unserviceable (US) adalah cost driver bagi TNI AU.

12.       Meskipun filosofi tersebut telah terjabarkan dalam sistem penganggaran untuk TNI AU, namun besarannya masih belum mampu menjawab tuntutan yang diberikan (terwujudnya “penambahan aset”, dalam hal ini peningkatan jumlah alutsista yang serviceable). Dari besaran anggaran pertahanan tahun 2011 yang total hanya 0,81% dari PDB, lebih dari 40%-nya digunakan untuk belanja pegawai[10] sehingga total maksimal belanja alutsista hanya 60%. Nilai ini masih harus dibagi ke tiga angkatan sehingga secara normatif sulit untuk mempertinggi tingkat kesiapan alutsista. Mengacu sambutan Panglima TNI pada Rapim Kemhan Tahun 2012, anggaran TNI AU tahun 2011 total berjumlah Rp. 7.927.112.000.000,- ditambah USD 2,602,900,000.00 yang terurai sebagai berikut:[11]

a.         Anggaran Belanja Pegawai                      : Rp.   1.723.995.173.000,-

b.         Anggaran Belanja Barang dan Jasa       : Rp.   1.360.196.074.000,-

c.         Anggaran Belanja Modal                           :

1)         APBN                                                 : Rp.   4.349.668.753.000,-

2)         APBN-P                                             : Rp.      493.252.000.000,-

d.         Anggaran Kredit Ekspor                             : USD        2,602,900,000.00

13.       Pada prakteknya, kebutuhan terbesar TNI AU dalam bidang kesiapan alutsista adalah pemenuhan AWP yang didukung dari Anggaran Belanja Modal. Sementara untuk pemeliharaan kesiapan alutsista yang operasional (rematerialisasi alutsista) didukung dari Anggaran Belanja Barang dan Jasa. Secara filosofis dalam kerangka penggunaan anggaran ini memang tepat, namun secara faktual belum berhasil meningkatkan kesiapan alutsista, karena baik pemenuhan AWP maupun rematerialisasi alutsista belum menghasilkan output yang sesuai target.

Permasalahan Mendasar Yang Dihadapi

14.       Premis pertama, anggaran pertahanan RI (termasuk TNI AU) memang tidak realistis untuk mewujudkan tingkat kesiapan tempur yang sepadan dengan luas wilayah yurisdiksi yang harus dijaga serta persepsi ancaman yang dihadapi. Premis kedua, tidak ada satu negarapun yang menyatakan anggaran pertahanannya tidak terbatas, namun banyak di antara mereka yang memiliki tingkat kesiapan alutsista yang tinggi. Dari kedua premis tersebut dapat diambil suatu benang merah bahwa persoalan ada pada bagaimana anggaran pertahanan tersebut dikelola/dimanfaatkan untuk menghasilkan “keuntungan” yang sebesar-besarnya (dalam hal ini tingkat kesiapan tempur yang setinggi mungkin).

15.       Uraian mengenai pengalokasian anggaran (barang/jasa dan modal) di atas mengindikasikan adanya kontradiksi antara prinsip penggunaan anggaran secara administratif dengan kondisi faktual yang menjadi persoalan alutsista TNI AU. Penentuan prioritas yang diarahkan pada pemenuhan AWP menyebabkan jumlah kebutuhan menjadi sangat besar, dan belum mampu dijangkau dengan anggaran yang tersedia untuk belanja modal dari Bappenas. Sementara itu, untuk mempertahankan kesiapan yang sebenarnya berbiaya relatif lebih kecil dibandingkan memenuhi AWP juga tidak dapat dicapai dengan memanfaatkan anggaran belanja barang/jasa dari Kemenku.

16.       Bila fenomena di atas dikembalikan pada konsep LCCA, maka sustainment (keberlanjutan) seharusnya diarahkan pada upaya mempertahankan kesiapan alutsista yang sedang beroperasi (prinsip dasar dari sustainability cost). Dari perspektif kesiapan alutsista, maka urutan prioritas penggunaan anggaran alutsista idealnya adalah sebagai berikut:

a.         Pemenuhan komponen/suku cadang kritis, yang ditentukan dari rencana pemeliharaan (staggering) alutsista yang disusun oleh satuan pengguna;

b.         Pemenuhan fast moving item alutsista, yang ditentukan dari kecenderungan kegagalan (trend of failure) serta tingkat kehandalan (reliability level) komponen/suku cadang;

c.         Pemenuhan minimum stock level, yang ditentukan dari identifikasi komponen/suku cadang kritis terdekat (Catatan: ini dapat diabaikan bila fast moving item diyakini mampu memenuhi/meniadakan resiko kegagalan/tidak beroperasinya alutsista); dan

d.         Pemenuhan AWP, yang ditentukan oleh usulan kebutuhan untuk menghidupkan alutsista yang “US” karena ketiadaan suku cadang.

17.       Dari uraian pada pasal 16, dapat dikatakan bahwa persoalan pertama ada pada ketidaktepatan penentuan prioritas. Sustainment seharusnya menjadi prioritas pertama sehingga TNI AU terhindar dari resiko menurunnya tingkat kesiapan (kalaupun seandainya alutsista yang masih “US” belum dapat dihidupkan, setidaknya alutsista yang sedang beroperasi tidak menjadi “US” karena ketiadaan suku cadang kritisnya). Di sisi lain pemenuhan AWP semestinya justru menjadi prioritas terakhir dalam pemanfaatan anggaran alutsista TNI AU.[12] Namun bila ditelusuri lebih jauh, memang sulit bagi TNI AU untuk merubah alokasi penggunaan anggaran alutsista (dalam hal ini pos belanja modal digunakan untuk sustainment sementara pos belanja barang/jasa untuk pemenuhan AWP), karena ini akan menyalahi kaidah administratif keuangan negara dalam hal “penambahan aset”.

18.       Selain benturan dalam hal administratif finansial/moneter, beberapa faktor baik internal maupun eksternal juga berkontribusi terhadap “kegagalan” TNI AU dalam meningkatkan kesiapan alutsista yang dikaitkan dengan pemanfaatan anggaran. Beberapa faktor ini di antaranya:

a.         Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang memberi ruang sangat luas bagi “Penyedia Barang/Jasa” (yang sering disebut “mitra kerja”) untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pada gilirannya sangat memungkinkan terjadinya pembengkakan biaya/harga. Meskipun semangat pemerintah untuk menghidupkan roda ekonomi makro negara dalam Perpres ini patut diapresiasi, namun pada faktanya ruang bagi “mitra kerja” yang sangat luas ini jutru menjadi ajang mark-up yang membebani keuangan negara.

b.         Masih terkait dengan “mitra kerja”, pada perkembangannya fenomena mark-up justru menjadi semakin sistematis dengan adanya “mafia alutsista” atau “makelar senjata”.[13] Mafia ini memiliki jaringan amat luas hingga ke parlemen (DPR), yang cenderung “memaksakan” TNI untuk mengembangkan kekuatannya dengan mekanisme “mitra kerja” dan menghindari skema G to G yang hanya melibatkan pemerintah RI dengan negara penyedia secara langsung. Mafia ini berusaha mendorong pemerintah untuk bersedia menerima “barang bekas” dari negara lain dengan harapan mendapatkan “pekerjaan” tertentu bagi keuntungan mereka (suatu hal yang tidak mungkin diperoleh dari pengadaan baru karena terdapat “warranty” selama beberapa tahun ke depan). Karena kuatnya jaringan mafia ini, TNI AU sering kali harus tunduk kepada kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemhan) setelah negosiasi atau rapat koordinasi dengan DPR dilakukan, meskipun sebenarnya internal TNI AU sendiri tidak sependapat dengan materi yang dikoordinasikan.

c.         Mata rantai birokrasi pengadaan yang masih terlalu panjang menyebabkan tidak semua suku cadang/komponen yang dikontrakkan dapat diterima tepat waktu. Hal ini terutama terjadi untuk materi kontrak berbasis Kredit Ekspor (KE) yang dapat mencapai 16-18 bulan untuk pemenuhannya. Menjadi hal yang tidak aneh bila kebutuhan suku cadang untuk satu tahun anggaran tertentu tidak dapat dipenuhi tahun itu juga, sehingga kesiapan alutsista terus menurun. Fenomena ini juga merupakan salah satu bentuk kendala sebagai benturan antara pendekatan “administration-oriented” dengan “mission-oriented”.

d.         Pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri (Indhan Dagri) yang belum optimal karena berbagai kendala yang kompleks sifatnya. Di satu sisi, semangat revitalisasi Indhan Dagri merupakan keharusan untuk menciptakan kemandirian bangsa. Namun di sisi lain, belum kuatnya fondasi finansial industri tersebut mengakibatkan beberapa kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan pertahanan RI (termasuk TNI AU). Sebagai contoh dalam mekanisme pembayaran kontrak. Pembayaran yang tidak bisa dilakukan 100% di muka (sesuai ketentuan pengadaan barang/jasa) mengharuskan industri untuk menutup biaya produksi dengan sumber finansialnya sendiri hingga materi kontrak diterima pengguna. Bila industri yang bersangkutan memiliki masalah dalam hal keuangan (bahkan untuk membayar gaji karyawannya saja harus menunda hingga beberapa bulan), maka kualitas barang yang dihasilkan akan berada dalam resiko besar[14].

e.         Tidak kuatnya fondasi Indhan Dagri dalam hal finansial juga berdampak pada “ketidakberanian” mereka untuk menerima kontrak langsung dalam hal pengadaan barang/jasa dengan TNI AU, dan lebih berkonsentrasi pada perolehan keuntungan bagi kepentingan cash-flow perusahaan. Modusnya, mereka memasang harga tinggi dalam price list yang mereka ajukan kepada TNI AU. Dengan kondisi anggaran yang terbatas, tentu saja pembina item terkait akan mencari opsi lain dengan harga yang lebih kompetitif untuk memaksimalkan jumlah barang yang dapat dibeli. Pada gilirannya, mitra kerja lain yang ditunjuk oleh TNI AU tersebut akan mencari dan memperoleh barang dimaksud dari industri tersebut dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga yang ditawarkan industri ini kepada TNI AU (Indhan Dagri lebih suka “bermain” sebagai sub-kontraktor).

Upaya Yang Dapat Dilakukan

19.       Dari beberapa permasalahan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

a.         Penentuan prioritas penggunaan anggaran yang mengedepankan langkah-langkah sustainment bagi alutsista TNI AU yang sedang beroperasi. Tentunya hal ini harus selaras dengan mekanisme penganggaran negara, khususnya dalam hal pendekatan filosofi “aset”. Bila besaran total anggaran TNI AU belum dapat ditingkatkan secara signifikan (khususnya untuk belanja barang dan jasa), maka upaya untuk memanfaatkan anggaran belanja modal bagi kepentingan sustainment kemungkinan dapat diupayakan sebagai solusi. Bila sustainment sudah dapat dijamin, maka sisa anggaran (bila ada) dapat dimanfaatkan untuk AWP.

b.         Revisi Perpres 54/2010 dengan memberi ruang yang lebih proporsional pada “mitra kerja” serta memberi batasan yang realistis terhadap penambahan biaya sebagai kompensasi dari penggunaan jasa mitra tersebut. Revisi Perpres ini juga perlu mencakup rangkaian birokrasi yang harus lebih sederhana sehingga barang (suku cadang) yang dikotrakkan dapat tiba dengan tepat waktu di satuan pengguna (end-user) serta menghasilkan peningkatan kesiapan yang diharapkan.

c.         Perlunya membangkitkan kembali skema G to G untuk menjamin kualitas alutsista maupun pendukungnya. Mekanisme ini (misalnya yang terjabarkan melalui pola Foreign Military Sales/FMS) memiliki beberapa keuntungan seperti: kondisi dan kualitas yang disesuaikan dengan standar negara penjual, birokrasi yang lebih sederhana karena langsung dilakukan antar-pemerintah, dan harga yang bebas dari penggelembungan.

d.         TNI AU melalui Kemhan dan Komite Kebijakan Indutri Pertahanan (KKIP) dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan kemampuan sumber daya Indhan Dagri, misalnya dengan menambah injeksi dana serta penguatan modal sebelum industri-industri tersebut menerima kontrak pekerjaan dari TNI/TNI AU. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan industri dalam menyediakan produk terbaik bagi kepentingan pertahanan Indonesia, termasuk alutsista TNI AU.

Kesimpulan

20.       Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah:

a.         Persoalan kesiapan alutsista TNI AU dalam hal anggaran tidak murni terletak pada besarannya, namun lebih kepada pola dan pendekatan dalam pemanfaatannya.

b.         Selain persoalan pemanfaatan anggaran, beberapa faktor lain juga berkontribusi dalam kesiapan alutsista TNI AU yang masih rendah saat ini: peraturan perundang-undangan, adanya “mafia alutsista”, rantai birokrasi serta belum cukup kuatnya industri pertahanan dalam negeri.

c.         Terdapat beberapa upaya yang mungkin dilakukan guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut: penentuan prioritas penggunaan anggaran yang tepat, revisi Perpres 54/2010, skema G to G, dan penguatan fondasi finansial industri pertahanan dalam negeri.

 

Penutup

21.       Demikian naskah sederhana ini kami susun. Semua pendapat dalam naskah ini adalah opini subyektif kami semata dengan mengacu pada berbagai sumber yang kami miliki dan dapat kami akses. Kami hanya berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangsih kecil bagi kebaikan dan kemajuan TNI AU di masa yang akan datang.

Jakarta,        Februari 2012

Pabandyaorgpros Paban II/Jemen

Jon Keneddy Ginting, MMgtStud, qtc

Mayor Tek NRP 521762


[1]   International Product Life Cycle, diunduh darihttp://www.provenmodels.com/583tanggal 19 Maret 2011.

[2]  Angus Deaton, 2005, Franco Modigliani and Life Cycle Theory of Consumption, Roma.

[3]  Graham Clark, Paul Piperias and Richard Traill, Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence System, Melbourne.

[4]  Manjunath Sannappa, 2008, Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing, Dallas.

[5]  M. van Creveld, 1991, The Transformation of War, New York

[6]  Royal Australian Air Force, 1998, The Air Power Manual, Canberra

[7]  Kadisaeroau, 2011, Paparan Kadisaeroau tentang Peranan DIsaeroau dalam Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Kunjungan Pasis Seskoau A-48, Jakarta

[8]  Ibid

[9]  IFRS for SMEs. 1st Floor, 30 Cannon Street, London EC4M 6XH, United Kingdom: IASB (International Accounting Standards Board). 2009. pp. 14. ISBN 978-0-409048-13-1.

[10]  Kementerian Pertahanan RI, 2012, Refleksi Kebijakan Menhan RI Tahun 2011, Jakarta.

[11]  Mabes TNI, 2012, Refleksi Panglima TNI Pada Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan Tahun 2012, Jakarta.

[12]  Pemenuhan AWP juga belum dapat menjamin serviceability alutsista karena seiring dengan perkembangan teknologi alutsista yang cenderung fully-computerized dan fully-electronic, maka tidak beroperasinya alutsista/pesawat dalam jangka waktu lama karena menunggu suku cadang akan mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan teknis lainnya terkait sistem komputer dan elektrik saat alutsista tersebut memasuki fase test.

[14]   Sebagai contoh adalah produksi helikopter NAS-332 Super Puma NSP-20/H-3215 tahun 2010, yang beberapa suku cadangnya tidak baru (zero hour) sesuai kontrak. Ternyata ini disebabkan oleh kemampuan PT.DI yang hanya dapat membeli suku cadang “OHC” dengan dana yang mereka miliki saat itu.

FOREIGN MILITARY SALES (2)

Military Sales

1.         Secara umum, AECA mengijinkan dua metode pembelian barang, pelatihan, dan jasa dalam bidang pertahanan dari AS kepada negara-negara lain maupun organisasi internasional.  Metode pertama adalah kontrak antar-pemerintah melalui FMS, dan yang kedua adalah pembelian langsung kepada industri AS melalui DCS.  Pada proses FMS, Pemerintah RI “berkontrak” dengan Pemerintah AS melalui FMS Letter of Offer and Acceptance (LOA) Case.  FMS dapat direalisasikan oleh Pemerintah AS selaku penyedia melalui stok yang mereka miliki (aset DOD), pembelian oleh Pemerintah AS dari industri AS, maupun melalui mekanisme kredit.  Untuk DCS, keterlibatan Pemerintah AS (dalam hal ini DOS) adalah dalam penerbitan ijin ekspor (export license) kepada industri AS.

2.         Selain itu, Section 30 dan Section 38 AECA juga mengatur mekanisme penjualan materiil pertahanan (government-furnished equipment/GFE atau government-furnished material/GFM) kepada industri/kontraktor AS dalam kerangka DCS.  Kondisi berlaku bila: materiil tersebut akan digabungkan/diinstalasi pada produk (end item) alat pertahanan untuk negara (organisasi internasional) pembeli; materiil tersebut akan digunakan untuk memenuhi kontrak dengan angkatan bersenjata AS; materiil tersebut hanya tersedia di sumber internal Pemerintah AS (aset DOD) dan tidak tersedia di pasaran hingga tenggat waktu penyerahan produk (end item) kepada pembeli.

Letter of Request (LOR)

3.         Pemerintah AS sendiri menyatakan bahwa FMS sebagai sebagai salah satu program SA yang diatur dalam AECA merupakan sarana penting dalam kebijakan luar negeri mereka.  Sebelum masuk pada uraian tentang proses FMS itu sendiri, perlu dipahami bahwa infrastruktur dalam Pemerintah AS (US Government/USG) yang mendukung pelaksanaan FMS bukan merupakan sebuah entitas tersendiri, melainkan pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada dalam DOD.  FMS sendiri merupakan sebuah proses yang kompleks, dan untuk produk yang bersifat “major system” (pesawat, kapal, rudal, atau peralatan intelijen/penginderaan) bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.

4.         Proses FMS diawali dengan fase “Preliminary”, yaitu saat negara calon pembeli (customer) melakukan analisis pengembangan kekuatan pertahanannya (baik dengan berbasis “kemampuan” atau berbasis “ancaman”). Calon pembeli berhak untuk memutuskan produk apa yang akan dibeli, serta dari mana sumbernya.   Bila negara calon pembeli akan mengakuisisi produk dari AS, pemerintahnya dapat melakukan konsultasi awal dengan perwakilan Pemerintah AS di Kedutaan Besar AS di negara tersebut.   Perwakilan ini secara umum berada di bawah Atase Pertahanan AS, yang disebut Security Cooperation Office (SCO).  Di Kedubes AS untuk Indonesia, SCO dikenal dengan Office of Defense Cooperation (ODC).[1]

5.         Bila negara calon pembeli—setelah berkonsultasi dengan SCO—menyatakan minat untuk membeli produk AS, maka negara tersebut dapat mengajukan Letter of Request (LOR) kepada Pemerintah AS.   LOR tidak harus berupa lembaran surat, namun dapat juga berupa ­e-mail, diskusi lisan (oral discussion) atau Request for Proposal (RFP), selama SCO dapat menjamin validitas dan akuntabilitas bentuk-bentuk komunikasi tersebut sebagai referensi di waktu-waktu selanjutnya.   LOR memuat beberapa informasi mendasar antara lain:

a.         Maksud dan tujuan LOR;

b.         Jenis produk yang diinginkan;

c.         Jumlah produk yang diinginkan;

d.         Waktu penyerahan produk yang diharapkan;

e.         Garansi;

f.          Pilihan sumber produk di AS (pabrikan tertentu);

g.         Dukungan terhadap produk (spare parts, pelatihan, bantuan teknis dan sebagainya);

h.         Pendanaan yang tersedia beserta sumbernya;

i.          Kemungkinan negosiasi dan penurunan harga;

j.          dan lain-lain.

(Informasi yang perlu dicantumkan dalam LOR bergantung pada kompleksitas produk yang akan dibeli dari Pemerintah AS[2].   Namun demikian, pada umumnya Pemerintah AS mengharapkan informasi yang komprehensif dalam LOR sebagai bagian dari Total Package Approach (TPA) sebagai standar AS dalam menawarkan produknya.)

Letter of Offer and Acceptance (LOA)

6.         Setelah menerima LOR dari pemerintah negara pembeli, Pemerintah AS—bergantung pada tujuan yang dinyatakan dalam LOR—dapat menerbitkan:

a.         Price and Availability (P&A).   P&A merupakan informasi garis besar (rough order of magnitude/ROM) yang berisi perkiraan harga tiap item yang diperlukan sebagai jawaban terhadap LOR.  Pemangku kepentingan terkait di lingkup Pemerintah AS harus menyediakan data P&A ini dalam waktu 45 hari setelah menerima LOR.  Harga tiap item yang disebutkan dalam P&A merupakan data historis berdasarkan pada database yang dimiliki Pemerintah AS, jadi bukan merupakan harga terakhir yang diperoleh dari pabrikan.  Itulah sebabnya, ini bukan harga penawaran resmi Pemerintah AS terhadap pembeli, dan tidak dapat digunakan untuk keperluan penganggaran, melainkan hanya valid untuk keperluan perencanaan.

b.         Letter of Offer and Acceptance (LOA).   Bentuk jawaban yang lain dari Pemerintah AS terhadap LOR dapat berupa LOA, yang merupakan dokumen resmi penawaran dari Pemerintah AS.   Tenggat waktu penerbitan LOA bervariasi untuk tiap negara (umumnya antara 75 s.d. 120 hari, namun untuk Indonesia 145 hari setelah LOR diterima).  Meski merupakan dokumen resmi penawaran, harga yang dicantumkan dalam LOA tetap harga estimasi, dan dapat berubah sewaktu-waktu.   LOA inilah sejatinya “dokumen kontrak” antara penjual dan pembeli (dalam hal ini Pemerintah AS dengan pemerintah negara pembeli).

c.         Negative Responses to LOR.   Bila Pemerintah AS melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu menilai LOR tidak cukup memadai untuk disetujui, mereka akan melakukan komunikasi dengan perwakilan pemerintah calon pembeli untuk menyampaikan bahwa LOR tidak diterima.

(Catatan: LOA tidak harus didahului dengan P&A. Bila negara pembeli sudah yakin untuk membeli produk tertentu dari Pemerintah AS, mereka dapat langsung meminta LOA dalam LOR-nya (LOR for LOA)).

Congressional Notification and Review

7.         Bila Pemerintah AS melalui Implementing Agency (IA)[3] memperkirakan bahwa sebuah LOR akan menghasilkan LOA yang melampaui nilai dollar tertentu seperti yang dicantumkan dalam Section 36(b) AECA, maka IA harus memberikan data kepada DSCA sebagai notifikasi untuk meminta persetujuan dari Kongres AS.  Notifikasi kepada DSCA ini harus terkirim dalam waktu 10 hari sejak LOR diterima.  Batasan nilai finansial yang berlaku untuk notifikasi ini adalah sebagai berikut:

a.         Untuk negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel dan Republik Korea:

1)         nilai total LOA sebesar USD 100 juta;

2)         nilai total LOA sebesar USD 25 juta untuk Major Defense Equipment (MDE)[4];

3)         nilai total LOA sebesar USD 300 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.

b.         Untuk negara-negara lain:

1)         nilai total LOA sebesar USD 50 juta;

2)         nilai total LOA sebesar USD 14 juta untuk Major Defense Equipment (MDE);

3)         nilai total LOA sebesar USD 200 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.

8.         Selanjutnya, setelah Kongres AS menerima notifikasi dari DSCA, mereka akan melaksanakan kajian/review terhadap materi yang disampaikan, yang pada intinya akan menghasilkan keputusan apakah LOA dapat diterbitkan atau tidak.  Tentu saja, review ini hanya bisa dilakukan saat Kongres berada pada masa sidang (tidak sedang dalam masa reses).  Tenggat waktu review oleh Kongres terhitung sejak notifikasi resmi dari DSCA diterima adalah sebagai berikut:

a.         Untuk NATO, negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel, dan Republik Korea: 15 hari;

b.         Untuk negara-negara lain: 30 hari yang didahului dengan 20 hari notifikasi informal.

Implementasi dan Eksekusi FMS

9.         Dalam LOA, Pemerintah AS akan mencantumkan beberapa informasi yang meliputi: nilai total LOA (nilai kontrak), initial deposit,[5] bentuk pengiriman/penyerahan produk, rincian harga tiap item, jadwal pembayaran (payment schedule), serta masa berlaku LOA.  LOA ini, bila disetujui oleh negara pembeli, harus ditandatangani oleh pembeli sebelum masa berlakunya habis.  Di luar masa berlaku tersebut, besar kemungkinan terdapat perubahan-perubahan baik pada harga produk, notifikasi Kongres yang diperlukan, waktu penyerahan produk dan sebagainya.  Begitu disetujui (ditandatangani) pembeli, maka secara resmi LOA tersebut menjadi FMS Case.

10.       Eksekusi FMS dimulai sejak pemenuhan produk yang dicantumkan dalam LOA diproses oleh IA dan penyedia (bisa pabrikan maupun badan-badan DOD yang lain bila produk yang diminta dipenuhi dari stok DOD).   Bagian ini merupakan babak terpanjang dalam siklus FMS.  Untuk major system, pelaksanaannya bahkan bisa bertahun-tahun.

FMS Case Closure

11.       Saat pemenuhan materiil kontrak dalam LOA mendekati penyelesaian, IA (dalam hal ini Case Manager) melakukan apa yang disebut case reconciliation, yang mencakup konfirmasi terhadap hal-hal seperti: akuntabilitas langkah finansial (pembayaran) dan logistik (penyerahan produk), akurasi dan kelengkapan data, pemenuhan jadwal (pembayaran dan penyerahan produk), ketepatan waktu pelaporan dan lain-lain.  Rekonsiliasi ini sebenarnya bukan mekanisme sesaat sebelum case closure saja, melainkan harus dilakukan oleh case manager setidaknya setahun sekali.  Hal ini akan memudahkan proses penyelesaian case FMS.

12.       Sebuah case FMS dapat diajukan untuk ditutup bila memenuhi kriteria Supply and Services Complete (SSC), yang diindikasikan dengan beberapa parameter berikut:

a.         seluruh produk telah diserahkan;

b.         seluruh jasa telah dipenuhi;

c.         seluruh Supply Discrepancy Report (SDR)[6] telah ditindaklanjuti;

d.         periode garansi (warranty) sudah habis;

e.         data pada IA dan pembeli telah tersinkronisasi;

f.          seluruh catatan (notes) dalam LOA telah dipenuhi;

g.         semua persyaratan dalam LOA telah terpenuhi.

13.       FMS case closure sendiri terdiri atas dua metode: Accelerated Case Closure Procedures (ACCP), dan Non-ACCP.  Non-ACCP diterapkan untuk negara-negara yang memilih untuk tidak melaksanakan ACCP.   Dalam non-ACCP, FMS case ditutup hanya bila seluruh kewajiban telah dipenuhi, tagihan-tagihan telah dikirim, dan audit (bila diperlukan) telah dilaksanakan.   Umumnya perkiraan waktu penutupan case FMS dengan non-ACCP adalah 36 bulan sejak pemenuhan materiil kontrak terpanjang.  Untuk major system, bahkan bisa lebih lama terhitung sejak  sebuah case dinyatakan SSC.  Karena lamanya waktu penutupan case dengan non-ACCP ini, sebagian besar negara memilih menggunakan ACCP.

14.       ACCP sendiri dilakukan dalam 24 bulan sejak sebuah case dinyatakan SSC.  Dalam ACCP, case dapat ditutup meskipun masih terdapat beberapa kewajiban yang belum terpenuhi (unliquidated obligation/ULO).  Case manager akan menghitung besaran kumulatif ULO tersebut dan menambahkannya menjadi nilai total dalam case FMS yang bersangkutan.  Nilai inilah yang kelak akan ditagihkan kepada negara pembeli dalam sebuah Case Closure Suspense Account (CCSA) baik di Trust Fund atau di Federal Reserve Bank of New York atau di bank komersial yang dipilih pembeli untuk melakukan transaksi pembayaran.  Dalam konteks ini, sebuah case dinyatakan Interim Closed.

Bagaimana mekanisme pembiayaan dalam FMS, dan apa implikasi proses FMS dari perspektif Indonesia?   Cukup baikkah metode ini untuk menjadi pilihan solusi bagi masalah-masalah pengadaan alutsista/suku cadang kita?


[1]  Di negara lain, nomenklatur SCO bisa berbeda-beda, bergantung pada titik berat format kerjasama yang ingin dibangun Pemerintah AS dengan negara tersebut.

[2]  Pada umumnya, besaran nilai anggaran dan kelas produk akan memberi pengaruh pada banyaknya informasi yang disampaikan dalam LOR. Semakin besar nilai yang (akan) dianggarkan oleh negara pembeli, serta makin tinggi kelas produknya (pesawat tempur, kapal perang, rudal, dll), maka informasi yang disediakan dalam LOR akan semakin lengkap.

[3]  IA adalah badan-badan di lingkup US DOD yang bertanggungjawab untuk menerbitkan dan mengimplementasikan LOA atas nama Pemerintah AS. Badan-badan tersebut bisa Military Departments (MILDEPs): Department of Army, Department of Navy, dan Department of Air Force, DSCA atau badan-badan lain yang dinilai berkompeten merealisasikan LOA (FMS).

[4]  MDE meliputi semua produk pertahanan yang bernilai penting/strategis dengan biaya R&D minimal USD 50 juta atau biaya produksi total mencapai minimal USD 200 juta.

[5]  Initial deposit digunakan oleh Pemerintah AS untuk membiayai semua pengeluaran sejak LOA disetujui pembeli (diimplementasikan) s.d. pembayaran terjadwal pertama sesuai payment schedule dalam LOA.

[6]  SDR adalah dokumen yang diajukan oleh negara pembeli bila dalam penyerahan produk ditemukan kerusakan atau kelainan (tidak berfungsi, tidak sesuai dengan yang diminta dalam LOA, atau rusak/cacat secara fisik).  SDR dikirimkan paling lambat satu tahun terhitung sejak produk dikirimkan/meninggalkan lokasi pemenuhan produk (pabrikan atau gudang DOD bila diambil dari stok).

FOREIGN MILITARY SALES (1)

Pendahuluan

1.         Berkembangnya beberapa diskusi mengenai rencana akuisisi alutsista TNI memberikan ruang positif bagi pentingnya pemahaman mengenai sistem dan mekanisme pengadaan (procurement) itu sendiri. Satu hal yang telah dipahami secara umum adalah bahwa pengadaan itu dapat direalisasikan secara langsung antara konsumen dengan penyedia (dalam hal ini Pemerintah RI c.q. Kementerian Pertahanan/Kemhan dengan kontraktor/rekanan) atau antara Pemerintah dengan Pemerintah (Pemerintah RI dengan Pemerintah negara penyedia).  Opsi kedua ini kita kenal dengan istilah “Government-to-Government” atau “G-to-G”.

2.         Tiap pemerintah negara lain yang menawarkan produknya kepada Pemerintah RI (dalam hal ini untuk alutsista) memiliki mekanisme masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.  Mengingat salah satu “pemasok” terbesar alutsista TNI adalah Amerika Serikat (AS), maka mekanisme “G-to-G” dengan AS-yang salah satunya adalah Foreign Military Sales (FMS)-merupakan salah satu topik bahasan “favorit”.  Tulisan ini bermaksud memberi gambaran tentang kerjasama dengan pemerintah AS ini, khususnya tentang FMS dan keuntungan serta kerugiannya dari perspektif Indonesia. Bagian pertama ini berisi tentang latar belakang aturan dan kebijakan yang mendasarinya, dan bagian kedua akan membahas tentang mekanisme FMS itu sendiri.

Security Cooperation (SC)

3.         Dalam konteks pertahanan, kerjasama RI-AS ini adalah bagian dari portofolio kerjasama global yang dijalin oleh AS dengan berbagai negara di dunia, khususnya pasca era Perang Dingin. Istilah “Security Cooperation” mulai diperkenalkan secara resmi tahun 1997 oleh Departemen Pertahanan AS (US Department of Defense/DOD) melalui Defense Reform Initiave (DRI).  Saat itu dibentuk sebuah badan bernama Defense Security Assistance Agency (DSAA) dengan dua payung hukum utama: Foreign Asisstance Act (FAA) dan Arms Export and Control Act (AECA). Untuk dapat mengakomodir lingkup kerjasama pertahanan keamanan yang lebih besar, DSAA dirubah menjadi Defense Security Cooperation Agency (DSCA) pada 1 Oktober 1998.

4.         Definisi resmi “Security Cooperation” (SC) sendiri tertuang dalam DOD Policy and Responsibilities Relating to Security Cooperation (24 Oktober 2008) sebagai berikut:

Activities undertaken by Department of Defense to encourage and enable international partners to work with the United States to achieve strategic objectives. It includes all DOD interactions with foreign defense and security establishments, including all DOD-administered security assistance programs, that: build defense and security relationships that promote specific US security interests, including all international armaments cooperation activities and security cooperation activities; develop allied and friendly military capabilities for self-defense and multinational operations; and provide US forces with peacetime and contingency access to a host nation.”

5.         Meski bersifat ‘defense-related’, SC berada dalam kendali dan pengawasan Departemen Luar Negeri AS (US Department of State/DOS) sebagai bagian dari hubungan internasional AS.    SC memayungi dua program utama yaitu:

a.       Security Assistance Programs, yang meliputi 12 program utama mengacu pada DOD 5105.38-M, Security Assistance Management Manual/SAMM sebagai berikut:

1)            Foreign Military Sales (FMS);

2)            Foreign Military Construction Services (FMCS);

3)            Foreign Military Financing Program (FMFP);

4)            Leases;

5)            Military Assitance Program (MAP);

6)            International Military Education and Training (IMET);

7)            Drawdowns;

8)            Economic Support Fund (ESF);

9)            Peacekeeping Operations (PKO);

10)         International Narcotics Control and Law Enforcement (INCLE);

11)         Nonproliferation, Antiterrorism, Demining, and Related Programs (NADR);

12)         Direct Commercial Sales (DCS);

Selain keduabelas program tersebut, masih ada beberapa program SA lainnya yaitu Excess Defense Articles (EDA) dan Third Country Transfer.

b.       Security Cooperation Programs, yang meliputi kategori berikut:

1)         Security assistance administered by DOD (as SC);

2)         Global train and equip;

3)         International armaments cooperation;

4)         Humanitarian assistance;

5)         Training and education;

6)         Combined exercise;

7)         Military-to-military contracts.

Untuk program pertama (Security assistance administered by DOD (as SC)), cakupannya adalah delapan program dalam Security Assistance Programs yaitu: FMS, FMCS, FMFP, leases, MAP, IMET, drawdowns, dan EDA.  Secara grafis, interface-nya dapat digambarkan sebagai berikut:

Tulisan ini tidak mengupas secara detail setiap program tersebut, melainkan hanya akan membahas lebih jauh tentang FMS, dan beberapa program yang terkait dengan FMS seperti EDA dan DCS, serta IMET.

Legislasi dan Kebijakan Pemerintah AS dalam SC

6.         SC, dengan Security Assistance (SA) sebagai salah satu komponen pokoknya, berada dalam payung hukum perundang-undangan AS.  Legislasi pokok yang mendasari pelaksanaan SA adalah Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) beserta amandemennya, dan Arms Export and Control Act (AECA) beserta amandemennya.  Selain itu, enam program dalam SA harus melalui pengesahan dan persetujuan Kongres AS: IMET, FMFP, ESF, PKO, INCLE dan NADR.

7.         Selain ketentuan-ketentuan hukum tersebut, Pemerintah AS menetapkan beberapa kebijakan yang terkait dengan SC. Pada intinya, kebijakan-kebijakan tersebut mengharuskan Pemerintah AS untuk mempertimbangkan beberapa aspek dalam memutuskan untuk membangun sebuah kerjasama keamanan/pertahanan dengan negara lain. Aspek-aspek tersebut antara lain:

a.         Tujuan Penjualan Alutsista.   Alutsista produksi AS hanya dapat dijual kepada negara lain untuk tujuan:

1)         Keamanan internal (negara pembeli);

2)         Pertahanan diri (legitimate self-defense);

3)         Mencegah dan menghalangi setiap usaha pengembangan senjata pemusnah masal dan peralatan pendukungnya;

4)         Memungkinkan negara pembeli untuk berpartisipasi dalam komunitas bersama dan regional yang sejalan dengan Piagam PBB;

5)         Mendukung aktifitas pembangunan ekonomi dan sosial oleh militer (angkatan bersenjata) di negara-negara berkembang.

b.         Kebijakan Luar Negeri AS.   Penjualan alutsista harus selaras dengan kebijakan luar negeri AS, yang dalam The DOS and USAID Strategic Plans for Fiscal Year 2007-2012 mencakup lima tujuan strategis:

1)         Mewujudkan perdamaian dan keamanan;

2)         Memerintah secara adil dan demokratis;

3)         Investasi sumber daya manusia;

4)         Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran;

5)         Menyediakan bantuan kemanusiaan.

c.         Dampak Terhadap Kesiapan AS Sendiri.  Proses FMS yang berdampak pada penurunan kesiapan tempur AS harus diupayakan seminimum mungkin.

d.         Pembatasan Senjata Konvensional.   Kongres mendorong Presiden AS bersama produsen senjata untuk terus membahas pembatasan aliran senjata konvensional ke negara-negara berkembang. Total nilai agregat yang menjadi threshold adalah nilai yang digunakan pada penetapan Section 1 AECA tahun 1976 yaitu USD 15,8 milliar.

e.         Pelarangan Keterlibatan dalam Kegiatan Tempur.   Personel AS yang ditugaskan dalam proses FMS dengan negara lain tidak diijinkan untuk terlibat dalam kegiatan tempur (combat acitivities).

f.          Hak Untuk Menerima Bantuan Hibah.   Peralatan tempur/alutsista (termasuk pelatihannya) hanya dapat dihibahkan kepada negara yang menyetujui untuk: tidak mengijinkan penggunaan alutsista tersebut oleh personel di luar institusi pemerintah negara penerima tanpa seijin Presiden AS; tidak memindahtangankan kepada pihak ketiga dengan tujuan apapun tanpa seijin Presiden AS; tidak menggunakan alutsista tersebut di luar keperluan yang telah ditetapkan tanpa seijin Presiden AS; memberikan perlindungan keamanan kepada alutsista tersebut seperti yang dilakukan Pemerintah AS; mengijinkan pengamatan yang berkelanjutan terhadap penggunaan alutsista tersebut oleh Pemerintah AS; mengembalikan kepada Pemerintah AS semua peralatan tersebut bila sudah tidak digunakan lagi.

g.         Hak Untuk Melaksanakan Jual Beli.   Sama halnya dengan hibah, alutsista hanya dapat diperjualbelikan bila: Presiden menyimpulkan bahwa proses tersebut memperkuat keamanan AS dan meningkatkan perdamaian dunia; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak memindahtangankan alutsista tersebut kepada pihak lain kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak mengggunakan atau mengijinkan penggunaan alutsista tersebut (atau pelatihan yang terkait) di luar tujuan yang telah ditetapkan kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk memberikan tingkat perlindungan keamanan yang sama dengan yang diberikan Pemerintah AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut dinilai laik untuk membeli produk alutsista maupun jasa dari AS.

Ketetapan Presiden AS (US Presidential Determination) pada ketentuan di atas diatur dalam Section 503 FAA dan Section 3 AECA.

8.         Selain aspek-aspek tersebut, terdapat beberapa batasan yang melarang Pemerintah AS untuk melakukan kerjasama pertahanan dengan negara (atau organisasi internasional) yang antara lain:

a.         berulang kali mendukung kegiatan terorisme internasional (Section 620(a) FAA);

b.         berhaluan komunis (Section 620(f) FAA);

c.         terlibat dalam perdagangan narkotika (Section 490(a) FAA);

d.         melarang atau membatasi, baik langsung ataupun tidak, pemberian bantuan kemanusiaan oleh AS (Section 620I FAA);

e.         membebankan pajak pada barang atau jasa yang diimpor dengan dana bantuan dari AS (Section 7013, P.L.112-74);

f.          merekrut atau menggunakan anak di bawah umur sebagai kekuatan perang, paramiliter, milisi atau sipil bersenjata (Section 404(a), P.L.110-457);

g.         tidak bersedia mempublikasikan secara tahunan anggaran pendapatan dan belanjanya (Section 7030(b), P.L.112-74);

h.         secara konsisten terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (Section 502B FAA).

Selain itu, terdapat beberapa batasan lain yang terkait penggunaan tenaga nuklir di luar sertifikasi International Atomic Energy Agency (IAEA), kekerasan terhadap individu di AS dan sebagianya.