KONTESTASI GREAT POWERS DI KAWASAN ASEAN DAN DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Pertahanan (negara) adalah investasi.  Negara yang kuat pertahanannya, aman, terjadi iklim yang damai.

– Prabowo Subianto –

Tanggal 25 November 2020 yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang mengambil tema “Sentralitas ASEAN Dalam Kontestasi Great Powers di Kawasan Indo-Pasifik: Inisiatif Diplomasi Pertahanan Indonesia”.  FGD ini membahas hasil kajian yang dilakukan oleh Kemenkopolhukam RI bekerjasama dengan Parahyangan Center of International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Kesempatan berharga itu saya manfaatkan untuk menyampaikan beberapa pandangan saya terkait diplomasi pertahanan Indonesia, yang karena kesibukan baru bisa saya muat dalam bentuk artikel kali ini.

BEBERAPA FAKTA[1]

1.     Mengacu pada data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) April 2020, belanja militer di Asia Tenggara mengalami peningkatan 4,2% di tahun 2019 hingga mencapai 40,5 miliar Dollar AS, setelah sebelumnya mengalami penurunan 4,1% di tahun 2018.  Bila dihitung dalam satu dekade 2010-2019, peningkatannya mencapai 34%.

2.     Dari data di atas, tiga negara di kawasan ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar di tahun 2019 adalah Singapura (28% dari total belanja pertahanan kawasan), Indonesia (19%), dan Thailand (18%).  Beberapa negara di kawasan ASEAN meningkatkan belanja pertahanannya untuk memperkuat kemampuan angkatan perangnya sebagai reaksi atas klaim Tiongkok serta aktifitas mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).

3.     Masih dari data di atas, beberapa negara ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar dalam hal persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 antara lain: Singapura 11.2 miliar Dollar AS (3.2% PDB), Indonesia 7.7 miliar Dollar AS (0.7% PDB), Thailand 7.3 miliar Dollar AS (1.3% PDB).  Negara tetangga ASEAN, Australia mencatatkan belanja pertahanannya sebesar 25.9 miliar Dollar AS (1.9% PDB).

Table 1. World’s Defence Spending 2019 (source: SIPRI)

SI VIS PACEM, PARA BELLUM

Perang pada dasarnya adalah salah satu upaya untuk mempertahankan kepentingan nasional.  Secara universal, dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional semua bangsa adalah keberlangsungan hidup (sustainment of life) atau lebih sederhananya: bertahan hidup (survival).  Mereka yang memiliki sedikit sumber daya untuk bertahan hidup akan merasa perlu memperjuangkan banyak hal bahkan hingga tingkat yang paling ekstrim yaitu dengan berperang.  Namun, mereka yang memiliki banyak sumber daya untuk bertahan hidup, tidak boleh merasa tidak ada atau tidak banyak yang perlu mereka perjuangkan hingga harus berperang.

Semua perang yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia seperti ekspansi Kerajaan Romawi, Perang Salib, ekspansi Kerajaan Mongol, dua kali Perang Dunia, bahkan Perang Dingin yang tidak melibatkan konfrontasi fisik senjata antara dua negara adikuasa saat itupun, terjadi karena ada kelompok/negara yang ingin menguasai kelompok/negara lain, yang tentu saja untuk menguasai sumber dayanya bagi kepentingan hidup kelompok/negaranya.  Fakta ini mengajarkan kepada kita bahwa memiliki sumber daya bukan berarti kita akan hidup dengan mudah, damai dan tenang.  Semakin melimpah sumber daya yang dimiliki sebuah bangsa, justru menghadirkan tantangan yang makin besar untuk mempertahankan sumber daya itu bagi kemakmuran bangsanya dari kemungkinan dirampas, dijarah, dan dikuasai orang lain.

KONTESTASI GREAT POWERS

Kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) secara umum didefinisikan sebagai kekuatan-kekuatan (dalam hal ini negara) yang dipandang memiliki kemampuan atau keahlian untuk menyebarkan atau menanamkan pengaruhnya pada tingkat global.[2]  Saat ini, dunia pada umumnya menganggap negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, Inggris, juga Jerman dan Perancis adalah mereka yang termasuk dalam kategori Great Powers tersebut.  Pengaruh yang disebarkan secara global ini bermacam-macam bentuknya: ekonomi (misalnya dalam wujud perdagangan dan perbankan), teknologi, sosial dan budaya, juga militer.  Penggunaan mata uang Dollar AS sebagai standar mata uang dunia, meluasnya konsumsi makanan cepat saji, penggunaan platform-platform media sosial, merupakan bentuk-bentuk pengaruh yang berasal dari Great Powers tadi.

Dari perspektif militer, fenomena Great Powers sebenarnya merupakan evolusi dari bipolarisasi kekuatan di era pasca Perang Dunia II atau Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet menjadi pusat kekuatan militer global.  Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, AS tampil sebagai satu-satunya orientasi kekuatan militer dunia.  Meskipun masih dianggap sebagai pusat kekuatan militer dunia, hegemoni AS perlahan-lahan mulai “tergerus” sejak akhir era 1990-an, ketika Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dan membangun militernya berbasis teknologi ciptaan mereka sendiri, serta Rusia yang mewarisi sebagian besar kapasitas industri pertahanan dari jaman Uni Soviet berusaha untuk membangun (kembali) pasar produk militernya.  Meski demikian, geliat Tiongkok dan Rusia belum terlalu signifikan mempengaruhi peta kekuatan militer dunia, karena pasar kedua negara tersebut umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara-negara dengan tata kelola yang buruk.

Di regional ASEAN, kontestasi Great Powers, setidaknya untuk saat ini, berpusat pada persaingan AS dan Tiongkok, terutama di kawasan ekonomi Laut Tiongkok Selatan (LTS).  Hal ini karena secara geografis, beberapa negara ASEAN secara langsung terdampak oleh kebijakan-kebijakan sepihak Pemerintah Tiongkok atas klaim mereka di LTS, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tentu saja Indonesia.  Persoalannya, seberapa mampu ASEAN sebagai sebuah entitas multilateral meminimalisir dampak manuver-manuver masif Tiongkok di kawasan tersebut?

Kembali pada filosofi dasar “sustainment of life” atau “survival” tadi, LTS menjadi menarik karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan nilai strategis dan ekonomi tinggi yang dapat membantu siapapun “bertahan hidup”.  Namun, LTS juga merupakan “jembatan”, baik secara fisik/geografis maupun politis/diplomatis bagi perluasan kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, yang tentu saja sangat mengganggu AS.  Sejarah mencatat, kawasan Asia Tenggara adalah salah satu “area of interest” AS sejak lama, bila kita melihat pada masa Perang Dunia II, pemberontakan-pemberontakan di Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1960-an sampai penggulingan Soekarno tahun 1966, Perang Vietnam, akuisisi Timor Timur oleh Indonesia, dan masih banyak lagi.  AS membangun pangkalan militer di Filipina sejak 1947 hingga 1992, dan masih memiliki akses untuk menggunakan pangkalan-pangkalan militer di beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, dan tentu saja sekutu dekat mereka Australia.

PERAN ASEAN

https://asean.org/asean/asean-member-states/

Association of South East Asia Nations (ASEAN), sejak dibentuk tahun 1967 telah memainkan peran sentral sebagai sebuah komunitas menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan ini.  Keanggotaan yang awalnya terdiri atas lima negara pendiri, saat ini telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah lima negara berikutnya bergabung dalam periode antara 1984 hingga 1998.  Fokus kerja sama ASEAN adalah di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dan informasi.  Meskipun berdiri di atas prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, dan saling menghormati, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor sejarah masing-masing negara anggotanya berpeluang memunculkan gesekan-gesekan khususnya di sektor pertahanan.

Heterogenitas negara-negara ASEAN menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dalam menyatukan visi di bidang pertahanan dan keamanan kawasan.  Keterikatan historis negara-negara anggotanya dengan beberapa negara besar di luar kawasan telah menghasilkan orientasi pembangunan pertahanan yang beragam di antara sesama anggota ASEAN.  Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam misalnya, mereka adalah bagian dari The Commonwealth yang dipimpin oleh Inggris.  Filipina, meskipun di bawah Presiden Rodrigo Duterte terlihat agak “menjaga jarak” dengan AS, namun pada faktanya sangat bergantung pada Pemerintah AS dalam memperkuat militernya—sekali lagi karena faktor historis.  Vietnam, terlepas dari konflik akhir-akhir ini dengan Tiongkok di LTS, membangun reformasi sosialisme mereka dengan belajar dari Tiongkok, lagi-lagi karena faktor historis.

Faktor historis membuat beberapa negara ASEAN memiliki apa yang disebut sebagai “floating multilateralism” atau multilaterisme mengambang yang memungkinkan beberapa negara ASEAN membangun koneksitas yang demi kepentingan pragmatis bisa saja melebihi koneksitas mereka dengan ASEAN itu sendiri.  Multilateralisme mengambang, bila dibawa ke ranah militer atau pertahanan negara, seperti koneksitas Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris, tentu menjadi sebuah tantangan dan ujian besar bagi “ASEAN Bersatu”.  Ujian ini pernah dialami ASEAN dalam sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang berujung pada lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI tahun 2002.

Dalam KTT ASEAN di Bangkok bulan Juni 2019, para pemimpin negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah konsep politik regional yang bertajuk “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific”. Pandangan ASEAN ini berdasarkan pada prinsip-prinsip memperkuat sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusifitas ASEAN, kerangka kerja berbasis peraturan, good governance, penghormatan atas kedaulatan, non-intervensi, ketaatan terhadap kerangka kerjasama yang sudah ada, kesamaan, saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap hukum internasional seperti UN Charter, UNCLOS 1982 dan peraturan-peraturan internasional lainnya, serta ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan regional lainnya.[3]

Secara subyektif, saya melihat ASEAN Outlook ini sebagai sebuah paradoks: di satu sisi ASEAN Outlook on Indo Pacific berfokus kepada area kerjasama non-militer (Maritime Cooperation, Connectivity, UN Sustainable Development Goals 2030, Economic and other areas), namun di saat yang sama,     kontestasi Great Powers mengindikasikan eskalasi di sektor militer yang akan berdampak pada stabilitas kawasan.  Sengketa LTS adalah contoh di mana konflik militer di kawasan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun itu bukan antar negara ASEAN.  Namun sejarah mencatat bahwa hubungan militer di antara negara-negara anggota ASEAN layaknya “api dalam sekam”: dingin di permukaan, namun “panas” di dalam (contohnya sengketa wilayah Ambalat).

DIPLOMASI PERTAHANAN INDONESIA

Kecenderungan eskalasi ketegangan di kawasan LTS tentu harus disikapi serius oleh ASEAN, tidak hanya untuk stabilitas kawasan, namun juga tak kalah pentingnya adalah untuk menjamin agar ASEAN sendiri tidak “terpecah”, karena meskipun secara kuantitatif musuh yang dihadapi sama (Tiongkok), namun secara kualitatif kepentingan tiap negara ASEAN yang terkait dengan LTS bisa saja berbeda.  Perbedaan kepentingan ini sangat berpeluang memunculkan orientasi pragmatis dalam pengembangan kekuatan militer tiap-tiap negara, dengan mengatasnamakan sengketa LTS.

Meskipun terkesan normatif dan sedikit naif, namun diplomasi pertahanan tetap menjadi sebuah upaya yang harus dilakukan demi tetap terjaganya stabilitas kawasan ASEAN.  ASEAN memiliki forum-forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM Plus yang melibatkan para Menteri Pertahanan dari delapan negara mitra ASEAN (AS, Tiongkok, Rusia, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru).  Namun demikian, fakta masih terjadinya beberapa sengketa perbatasan, termasuk pelanggaran wilayah baik di darat, laut maupun udara di antara sesama anggota ASEAN menunjukkan bahwa diplomasi pertahanan bukan sebuah solusi tunggal.

Setidaknya, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita dalam hal diplomasi pertahanan ini, baik secara umum maupun khusus dalam konteks kontestasi Great Powers:

1.     Pada suatu titik ketika dampak kontestasi Great Powers sudah dipandang membahayakan kepentingan negara ASEAN tertentu, sebuah negara bisa mengambil langkah pragmatis.  Dalam kasus Filipina versus Tiongkok di Arbitrase LTS 2016 (The Hague) yang hasilnya diabaikan sama sekali oleh Tiongkok (meskipun mereka termasuk dalam UNCLOS 1982) misalnya, Filipina tentu merasa mereka tidak dapat mengandalkan ASEAN, dan bisa jadi lebih memilih untuk memanfaatkan floating multilateralism mereka dengan AS (yang tentu saja akan dimanfaatkan AS dengan senang hati).

2.     Diplomasi pertahanan, yang bertujuan mewujudkan perdamaian kawasan tetap harus didukung dengan “kesiapan berperang”. Si vis pacem, para bellum.  Diplomasi pertahanan Indonesia jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa itu adalah upaya Indonesia karena tidak siap berperang.  Fakta bahwa beberapa pelanggaran wilayah oleh kekuatan militer negara tetangga masih terjadi hingga saat ini (yang terlalu naif untuk dikatakan “tidak sengaja”) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum terlalu “dianggap”, bahkan di tingkat kawasan.

Mendiang Presiden AS John Fitzgerald Kennedy pernah berkata “It is an unfortunate fact that we can secure peace only by preparing for war”.  Itu berarti bahwa diplomasi pertahanan untuk tujuan stabilitas dan perdamaian (kawasan) juga harus diikuti dengan pembangunan kekuatan pertahanan, atau kesiapan untuk berperang. Diplomasi pertahanan dan pembangunan kekuatan pertahanan layaknya dua sisi mata uang yang memberi keuntungan timbal balik: diplomasi pertahanan dapat meningkatkan kesiapan berperang; kesiapan berperang akan memperkuat posisi diplomasi pertahanan.

Diplomasi pertahanan harus dilihat sebagai suatu upaya atau tindakan yang sistematis, dan melibatkan semua elemen nasional.  Diplomasi pertahanan haruslah berupa pendekatan “kesisteman Indonesia”.  Belajar dari para Great Powers, kuatnya posisi diplomasi pertahanan mereka banyak ditentukan oleh kuatnya ekonomi, majunya industri (tidak hanya industri sektor pertahanan), kuatnya political will pemerintah, tingginya tingkat literasi atau keterdidikan masyarakat, mapannya tata kelola negara, dan faktor-faktor lainnya.

Di sisi lain, pembangunan kekuatan pertahanan agar “siap berperang” juga harus dilihat dengan pendekatan yang sama: “kesisteman Indonesia”.  Semua elemen harus terlibat, tidak hanya Kementerian Pertahanan atau TNI.  Pembangunan kekuatan pertahanan bukan semata-mata soal defence spending atau belanja pertahanan.  Membangun pertahanan untuk sebuah negara seluas Indonesia dengan mengandalkan defence spending, selain memerlukan biaya besar, juga tidak menjamin adanya daya gentar dalam jangka panjang.  Kita dapat melihat besarnya defence spending di beberapa negara kaya di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab atau Qatar, yang secara kualitatif tidak menghasilkan rasa takut atau segan negara-negara lainnya.

Diplomasi pertahanan Indonesia akan lebih kuat, berpengaruh, diperhitungkan dan dihormati di kawasan bila Indonesia secara serius menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten untuk membangun pertahanan negara yang tangguh, dengan mengubah paradigma dari defence spending ke defence investmentDefence investment adalah pembangunan dan pengembangan segenap sumber daya pertahanan: Alutsista, sumber daya manusia (SDM), research and development (R&D), industri pertahanan, serta tata kelola pertahanan negara berupa struktur, doktrin, strategi hingga taktik.  Bila ini dijalankan, dalam jangka panjang belanja pertahanan akan menjadi asset, bukan hanya beban atau liability.  Negara-negara seperti Iran dan India memiliki posisi diplomasi pertahanan yang bagus tidak hanya di kawasan mereka, namun juga di tingkat global, bukan semata-mata dengan defence spending, namun juga dengan kemandirian industri mereka dan kekuatan political will pemerintahnya.

Itulah tantangan pembangunan kekuatan diplomasi pertahanan kita, agar kita lebih disegani dan dihormati, setidaknya di kawasan ASEAN, di tengah perjuangannya menghadapi dampak kontestasi Great Powers.  Siapapun yang ingin hidup damai, tenang dan nyaman, harus siap untuk berperang.

Si vis pacem, para bellum.


[1] https://www.sipri.org/databases/milex, diunduh tanggal 21 November 2020

[2] https://www.webcitation.org/5kwqEr8pe, diunduh 30 Januari 2021

[3] https://asean.org/storage/2019/06/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf, diterjemahkan tanggal 24 November 2020.

MEMBANGUN DI ATAS KOMPETENSI MORAL

Foto dari islamindonesia.id

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri.  Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah melakukan perlawanan di berbagai daerah.  Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan” Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.

Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat” atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.  Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.  Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis untuk menjadi sebuah negara merdeka?  Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan?  Punya sumber daya untuk membiayai pembangunan?  Punya angkatan perang yang cukup kuat untuk melindungi negara?  Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.

Lantas kecakapan atau kompetensi apa yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka?  KOMPETENSI MORAL.  Kecakapan moral itulah yang membuat para tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka.  Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang, karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib Indonesia.  Mereka juga berpotensi dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan Jepang pasca menyerahnya Jepang.  Namun, kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.

JANGAN PERNAH LUPA PADA SEJARAH

Itu 75 tahun yang lalu.  Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”.  Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan dalam tata kelola bermasyarakat.  Adalah sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.

Kembali pada sejarah, setelah merdeka bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya.  Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an, hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI.  Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998, yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat ini.

Berbagai pencapaian telah diraih.  Pembangunan infrastruktur berjalan masif, Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”.  Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun).  Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi.  Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”

History is the foundation of a nation.  Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa.  Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.  Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng.  Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata para pendahulu kita.

KOMPETENSI MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA

Para pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama kita kompeten secara moral.  Apa yang dimaksud “kompeten secara moral” itu?  Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama, mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.

Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah proklamasi.  Kompetensi moral itu pulalah yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia yang masih berusia dini.  Juga pada diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia.  Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya.  Diri dan keluarga merekapun berada di prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.

Tujuan pembangunan negara adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).  Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Cita-cita nasional hanya dapat diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.  Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.  Benchmark dari karakter bangsa ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita bernegara.  Artinya, kita perlu kembali lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami bagaimana kita harus melangkah ke depan.  Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia tahun 2003.

SEBERAPA KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?

Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai lembaga penegakan hukum sudah dibentuk.  Tidak sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat.  Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.

Kita bangga dengan pencapaian pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan nasional kita yang sudah maju.  Sebelum pandemi Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi di Pulau Jawa, yang nota bene satu pulau dengan Ibukota negara).  Saat pandemi, terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan sinyal dan akses internet yang stabil.  Masih banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.

Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.  Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir dan sikap moralnya.  Tidak mengherankan, karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka.  Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.

Pencapaian kita memang banyak di 75 tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, itu persoalan lain.  Menjawab pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta kepuasan diri sendiri.

Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini dibangun di atas kompetensi moral.

Selamat memaknai 75 tahun perjalanan, negeriku!

Dirgahayu, tanah airku!

WEBINAR PERTAHANAN #1 LEMBAGA “KERIS”

Terima kasih atas kehormatan bagi saya untuk berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan. Untuk anda yang tidak sempat mengikuti Webinar Pertahanan Lembaga KERIS tentang Satelit Pertahanan dan Kemandirian Satelit Indonesia, Jumat, 7 Agustus 2020, berikut tautannya:

Thank you for the honor to contribute in the world of science. For those unable to attend Lembaga KERIS’ Defence Webinar on Defence Satellite and Indonesia Satellite Independence, Friday, 7 August 2020, you can click the link below:

https://www.youtube.com/watch?v=Qe25xkEcDJI&t=10s

SUZUKI JIMNY REVIEW WITH “DRIVING FOLKS”

#drivingfolks #car #automotive

Kanal Youtube pertama Dimitri bersama rekannya Rama mereview mobil Suzuki Jimny. Masih belajar membuat konten Youtube, jadi mohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada. Kami sangat menghargai setiap “Like”, “Subscribe”, “Share” serta komentar-komentar demi perbaikan kanal ini di kemudian hari. Selamat menikmati, terima kasih.

First Youtube channel from Dimitri and his mate Rama, reviewing Suzuki Jimny car. Still learning to make a Youtube content, so apology for flaws you might find. Every “Like”, “Subscribe”, “Share” and comment for this channel improvement in the future is highly appreciated. Enjoy the review and thank you.

Profil Satuan Pemeliharaan 16 (Air Force 16 Maintenance Unit Profile)

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=M2DudyIBbH8]

Making the helicopters ready to combat. It’s what we do everyday.

We work with COURAGE, step our feet upon HONESTY, and keep fighting for HONOUR.

“QUALITY” is our middle name.

NON SIBI SED PATRIAE (NOT FOR SELF, BUT FOR COUNTRY).

[Untuk para kebanggaanku, kala waktu tak mampu menghentikanku untuk tetap mengingatmu…]

KETIKA “TERBANG” JADI RAHASIA MILITER…

Image
Di depan foto Wilbur Wright, Wright Brothers Aviation Center, Dayton Ohio.

“Terbang” atau “menaklukkan angkasa” yang dicapai oleh Wilbur dan Orville Wright pada tanggal 17 Desember 1903 di Kitty Hawk, North Carolina merupakan salah satu catatan prestasi terbesar bagi kemanusiaan.  Tulisan Marvin W. McFarland dalam makalahnya berjudul “When The Airplane Was A Military Secret—A Study of National Attitudes Before 1914”, yang dibacakan sebelum Konferensi Sejarah Tahunan di State University of Iowa tanggal 10 April 1954, mungkin adalah salah satu catatan yang dapat membuktikan pada kita bahwa sebuah mahakarya belum tentu diterima dengan mudah sebelum jaman menunjukkan betapa karya itu penting dan berpengaruh.

Marvin W. McFarland adalah Kepala Seksi Aeronautika, Divisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Perpustakaan Kongres AS.  Ia juga bergabung bersama US Army Air Force di Eropa dalam Perang Dunia II.

Hampir 110 tahun yang lalu, pada suatu pagi tanggal 17 Desember 1903, antara pukul 10.30 dan tengah hari, dua bersaudara yang belum dikenal dari Dayton, Ohio, Wilbur dan Orville Wright, membukukan serangkaian penerbangan pendek dengan sebuah pesawat terbang bermesin karya dan rancangan mereka sendiri.   Itu terjadi di sebuah pantai di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.

Ini adalah sebuah peristiwa kunci dan monumental yang akan dikenang oleh manusia sama panjangnya seperti antara lain: bulan Maret tahun 44 S.M dan pembunuhan Caesar, atau seperti Hari Natal tahun 800 Masehi dan pemahkotaan Charlemagne, atau tahun 1066 dan Invasi Norman ke tanah Britania, atau tahun 1492 dan penemuan Colombus atas “Dunia Baru”, atau bahkan seperti 4 Juli 1776 dan Independence Day.  Dilihat dari kepentingannya, penemuan ini—penaklukan angkasa, yang melepaskan keterikatan manusia terhadap bumi dan tanah sejak pertama diciptakan—sekelas dengan penemuan kembang api, penemuan roda, pengembangan percetakan media, pengkabelan listrik dan bom atom.

Setelah penerbangan pertamanya, ketika mengemasi barang dan pulang dari Kitty Hawk pada Desember 1903, Wright bersaudara tidak mempunyai bayangan akan apa yang telah mereka lakukan.  Mereka hanya tahu bahwa mesin ciptaan mereka “memiliki tenaga yang cukup untuk terbang, memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan beban dan goncangan saat mendarat dan kemampuan pengendalian yang cukup untuk menciptakan penerbangan yang aman dalam terjangan angin kencang, seperti halnya saat angin tenang”, tetapi mereka tak tahu bahwa mereka telah mencapai hal yang lebih, dalam standar ideal, dari sekedar pencapaian yang masih mentah dan kasar dengan sebuah perlengkapan yang paling bagus hanya akan disebut sebagai “prototype pesawat terbang”.   Dibandingkan dengan apa yang dicapai sampai saat itu, ini adalah sebuah revolusi yang menentukan, meskipun bila dihadapkan pada potensi penerbangan yang mereka lihat, itu bukan apa-apa—hanya sebuah permulaan, namun permulaan ini yang akan membuat mereka tidak pernah mati dan melahirkan sebuah jaman baru.

Pada Januari 1905, sekitar 13 bulan setelah Kitty Hawk, mereka melakukan apa yang sedikit banyak telah mereka rencanakan: menawarkan pesawat mereka ke Pemerintah AS untuk digunakan oleh US Army sebagai pemandu dan pembawa pesan dalam perang.   Mereka mengajukan penawaran baik dalam penyediaan mesin dengan spesifikasi yang ditentukan, atau pemberian informasi praktis dan ilmiah, bersama dengan ijin menggunakan hak paten mereka, yang dengan demikian menempatkan Pemerintah AS untuk menggunakan “hak monopoli”.   Pesawat terbang akan menjadi rahasia eksklusif militer Amerika Serikat, baik mesin maupun teknisnya.

Terhadap penawaran Wright bersaudara ini, jawaban Departemen Perang AS adalah sebuah penolakan, bahkan lebih tepat penghinaan. Secara singkat dikatakan bahwa mereka menolak untuk memberi bantuan finansial bagi “pengembangan eksperimental” perlengkapan terbang dan hanya akan mempertimbangkan peralatan yang sudah digunakan dalam operasi praktis.   Wright bersaudara hampir tidak mempercayai hal ini dan meragukan bahwa surat mereka telah dibaca.  Setelah ditolak di negeri sendiri, mereka beralih ke Eropa, namun bukan tanpa pemecahan masalah bila negosiasi Eropa ini tidak boleh mencabut hak Amerika terhadap pesawat ini.   Dengan kata lain, mereka tidak akan membuat kontrak luar negeri yang memberi hak khusus pada pesawat itu, perkecualian hanya ada pada Amerika.

Negosiasi di tanah Britania yang terhambat di tahun 1905 dan lebih banyak dilakukan di 1906, sama tidak produktifnya dengan upaya meyakinkan pemerintah AS pada periode yang sama.  Sementara itu, pada tahun 1905, Wright bersudara tetap terbang dan terbang, meningkatkan teknik mereka dan secara konstan memecahkan rekor mereka sendiri.

Motivasi sesungguhnya selalu sulit diungkap, lebih sulit lagi untuk dihalangi. Selama berabad-abad manusia memimpikan dapat terbang.   Sekarang mereka bisa.  Namun adakah “ucapan selamat” atas fakta ini?   Adakah penghargaan akan arti pentingnya?   Adakah kesadaran bahwa bumi telah “tenggelam”, bahwa kesetaraan kekuatan akan berubah, bahwa sebuah kekuatan dinamis akan membalikkan arah sejarah? Tidak sama sekali.   Pemerintah, negarawan, yang seharusnya sudah menyadari bahwa potensi ini tidak dapat diabaikan sama sekali dari perhitungan mereka, menganggap penemuan ini seolah-olah hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan.  Pesawat terbang ini, alih-alih disambut sebagai sebuah kemenangan manusia atas dunia secara fisik, sebuah pencapaian untuk dipelajari dan dieksploitasi, justru “dipaksakan” untuk tetap menjadi rahasia selama lima tahun.  Wright bersaudara justru harus membayar dengan terhambatnya pengembangan pesawat mereka akibat “kerahasiaan” ini.   Mereka sudah siap menjual pesawat mereka kapan saja setelah 1904, namun dalam setiap negosiasi, yang ada hanya calon pembeli, yang sekalipun berminat, terhambat pada kebijaksanaan “rahasia” ini, pada hak eksklusif dan monopoli Amerika dan hal ini yang sama sekali tidak mereka berdua harapkan karena mereka merasa bahwa pesawat ini, yang dikembangkan Amerika, seyogyanya dimiliki oleh bangsa Amerika.  Kalaupun ada pihak lain, itu hanya Pemerintah AS, namun Amerika justru bersikap lebih tak acuh dibandingkan dengan yang lain.  “Sang burung” harus kembali beristirahat di “sarang”.   Namun akhirnya, Pemerintah AS menjadi pemerintahan pertama yang memiliki pesawat terbang, dan langsung membelinya dari Wright bersaudara.

Sikap melunak pemerintah AS—dalam hal ini US War Department—yang terlambat ini mengakhiri masa negosiasi yang cukup panjang.   Wrights akhirnya berkonsentrasi pada perakitan sebuah pesawat baru yang memenuhi spesifikasi teknis US War Department dan penyerahan resminya direncanakan pada musim panas 1908.   Berita ini segera mengubah peta situasi di Eropa, khususnya Perancis: sebuah kelompok bisnis yang dipimpin oleh pengusaha Lazare Weiller menyatakan ingin membeli hak paten Wrights dan menawarkan pembentukan sebuah French Wright Company.  Wrights setuju dan sebagai bagian dari kontrak Wrights akan mengadakan demonstrasi udara di Perancis.   Artinya, momen itu akan terjadi hampir bersamaan dengan saat penyerahan pesawat pada US Army di Amerika.

Sebuah peristiwa dramatis dalam sejarah penerbangan.  Orville Wright terbang di Fort Myer, Virginia sementara Wilbur pergi ke Perancis.  Dengan terlaksananya dua demonstrasi penerbangan pada Agustus 1908 ini, semua keraguan pada kemampuan Wright dalam “menguasai udara” lenyap.  Bangsa Perancis—yang sebelumnya merasa mampu membuat yang lebih baik dari itu—menunjukkan sikap yang berbeda 180º dengan kejadian ini dan Wilbur adalah pahlawannya.  Segala kehormatan yang diberikan padanya baru bisa disamai lagi oleh Charles Lindbergh yang terbang melintasi Atlantik sampai ke Paris lebih dari 18 tahun kemudian.  Raja Edward VII dari Inggris—yang Menhannya, Richard Burdon Haldane tidak tertarik pada pesawat ini—menunjukkan ketertarikannya dengan datang ke Pau dan meminta Wilbur menjelaskan mekanisme kerja mesin terbang ini.   Raja Alphonso dari Spanyol bahkan harus mengingkari janji tidak terbang pada permaisurinya, karena keinginan ikut terbangnya yang begitu tinggi.   Tahun berikutnya, Wilbur terbang di Roma dan Orville di Berlin.   Di Berlin, seluruh kerabat kerajaan menyaksikan, bahkan Der Kaiser.   Setelah terbang, Putra Mahkota menyematkan pin dari berlian—ruby yang berbentuk huruf “W” pada Orville.

Sederetan sukses itu tetap belum meyakinkan para pejabat militer berpengaruh di Eropa.   Jenderal Eberstadt misalnya, yang turut menyaksikan demonstrasi Orville di Berlin meninggalkan acara sebelum usai.   Nyatalah bahwa pembela perjuangan mereka tidak akan berasal dari para birokrat atau pejabat pemerintahan atau dari gedung parlemen, bahkan dari para peneliti profesional sekalipun.   Mereka justru didukung oleh orang-orang yang punya banyak ruang dalam pikirannya bagi imajinasi konstruktif, spekulasi, kreatifitas dan ekspresi pendapat dalam lingkup kata yang amat luas.   Itu adalah para penulis: novelis seperti H.G.Wells, wartawan seperti Alfred Hamsworth, Lord Northcliffe, atau pecinta olahraga seperti Frank P. Lahm, seorang anggota Aero Club of France.  Juga para anggota Aero Club of America yang baru dibentuk yang pada 1906, yang sebelum penerbangan spektakuler di Fort Myer, Le Mans, Pau dan Berlin telah meyakini bahwa angkasa telah ditaklukkan dan orang harus melihat dampak penaklukan ini.

Ketika Santos Dumont pada musim gugur 1906 menerbangkan “pesawat aneh”-nya, 14-bis di Paris—yang menjadikannya orang Eropa pertama yang terbang dengan pesawat bermesin, Northcliffe menyatakan “Beritanya adalah bahwa bukan manusia dapat terbang, melainkan bahwa Inggris tidak lagi sebuah pulau (yang terpisah dari Eropa)!”

Wells melalui novel fiksi ilmiahnya, The War in the Air, yang diterbitkan pada 1908 menyatakan ketidakraguannya pada hal ini.  Northcliffe bahkan berani menawarkan seribu pound untuk penerbangan melintasi English Channel dan 10 ribu pound untuk penerbangan pertama dari London ke Manchester.   Maksud di balik penawaran ini adalah membangkitkan pemahaman publik akan pengaruh pesawat terbang dan perang yang akan terjadi dengan Jerman.

Antara penerbangan pertama tahun 1903 dan pecahnya PD I tahun 1914, interval 11 tahun, ada masa persiapan menjelang perang.   Namun, persiapan itu tidak dilakukan dan meskipun sebagian besar peserta perang telah berbuat sesuatu dengan pesawat terbang sebelum perang, tak satu negarapun yang terjun ke dalam perang ini siap di udara….

(Disarikan dari “When The Airplane Was A Military Secret” karya Marvin W. McFarland yang dimuat dalam buku “The Impact Of Air Power, National Security and World Politics” hal. 20-26 karya Eugenne M. Emme.   Diterbitkan oleh D.Van Nostrand Company, Inc., 1959)

LEONARDO DA VINCI DAN 109 TAHUN PENERBANGAN

Leonardo-Da-Vinci

Tanggal 17 Desember 1903 antara pukul 10.30 dan tengah hari, umat manusia mencatat sejarah besar ketika Wright bersaudara mampu mewujudkan impian jutaan orang untuk mengangkasa di udara bagaikan burung.   Hari itu, dua montir sepeda dari Ohio bernama Wilbur Wright dan Orville Wright secara meyakinkan mampu terbang dengan mesin secara terkendali sejauh 36,5 meter setinggi 3 meter selama 12 detik di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.   Diawali hari bersejarah itu (yang kemudian dikenal sebagai Hari Penerbangan Sedunia), dunia penerbangan kemudian mencatat lompatan-lompatan teknologi yang fantastis sehingga manusia “hanya” butuh waktu 66 tahun untuk akhirnya mendarat di bulan pada tahun 1969.   Seakan tidak bisa berhenti, teknologi penerbangan terus meraih pencapaian yang mampu mengubah cara hidup manusia hingga seorang Alvin Toffler sekalipun sangat yakin bahwa setelah era informasi, akan datang “aerospace era”.   Namun tahukah anda bahwa impian manusia untuk terbang telah diawali sejak berabad-abad lampau ketika para pemikir, filosof, dan ilmuwan menggagas berbagai kemungkinan bagi manusia untuk terbang.   Nah, bila anda adalah pecinta bacaan detektif, konspirasi atau religi sekaligus serta tidak melewatkan bacaan kontroversial The da Vinci Code, anda boleh merasa surprised karena ternyata lukisan-lukisan seperti “Mona Lisa”, “The Last Supper”, atau “Madonna of the Rock” memiliki hubungan yang erat dengan dunia penerbangan.   Lho, kok bisa?   Ya, karena Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh yang memiliki sumbangsih besar bagi teknologi penerbangan ini.

Leonardo dilahirkan pada tanggal 15 April 1452 di Anchiano, dekat Vinci di kota Florence.   Ia putra dari pasangan seorang notaris, Ser Piero dan seorang wanita muda bernama Caterina (keduanya tidak menikah).  Salah satu karyanya yang terkenal (yang kemudian menjadi akar kontroversi dalam The da Vinci Code) “The Last Supper” (Perjamuan Terakhir) ia kerjakan sejak 1495 hingga selesai tiga tahun kemudian.   Karya terkenalnya yang lain, “Mona Lisa” ia kerjakan di Florence pada tahun 1504.   Sementara itu ia mempelajari ilmu anatomi, perencanaan kota, optik dan hydraulic engineering di Milan sejak 1508.   Ia meninggal dunia dengan segala kekayaan karyanya pada tanggal 2 Mei 1519 dan dikuburkan di Gereja Saint Valentine di Amboise.   Pada tanggal 23 April 1519 ia mewariskan seluruh karyanya yang berupa manuskrip, gambar-gambar dan berbagai instrumen serta peralatan kepada murid kesayangannya Francesco Melzi.   Sementara kepada muridnya yang lain, Salai, ia meninggalkan lukisan-lukisannya di studio, termasuk “Mona Lisa”.   Ketika Melzi kemudian meninggal dunia pada tahun 1579, warisan karya Leonardo mulai tercecer.

Kontribusi Da Vinci Bagi Dunia Penerbangan

Bagi dunia penerbangan dan kedirgantaraan, hasil pemikiran ilmuwan yang memiliki kelainan dyslexia (kesulitan untuk memahami bacaan, hitungan dan konsep secara normal) ini berjumlah sekitar 700 buah (dari sekitar 5000 halaman gambar-gambar dan catatan-catatan yang pernah dibuat sepanjang hidupnya), sebagian besar berupa coretan-coretan dan gambar yang belum sempat ia buat modelnya.   Pemikiran Leonardo tentang “terbang” meliputi konsep pesawat terbang itu sendiri, model sayap, pengukur kecepatan dan arah angin hingga instrumen-instrumen.  Pemikiran Leonardo tentang “terbang” ini terkumpul dalam Codex “On the Flight of Birds” yang disimpan di Biblioteca Reale Turin, Italia dan Codices of the Institut de France di Paris, Perancis. Gagasan Leonardo itu sebagian besar telah dituangkan dalam bentuk replika di National Museum of Science and Technology Leonardo da Vinci di Milan, Italia.   Dalam banyak dokumennya, ia menyertakan tulisan-tulisan yang ditulis secara terbalik (mirror image writing)—salah satu keistimewaan seorang dyslexic—yang menjelaskan arti atau kegunaan alat/instrumen yang digambarnya.

Apa saja yang telah digagas Leonardo da Vinci untuk mewujudkan impian manusia agar dapat terbang sebagaimana layaknya burung di udara?   Beberapa yang terpenting akan dijelaskan berikut ini.

1.         Kapal Terbang (Flying Ship).   Berbentuk sebuah kapal terbang kecil yang dilengkapi dengan sayap (flapping wings) dan helm.   Ini adalah salah satu gagasan paling imajinatif Leonardo tentang mesin terbang.   Kursi penerbangnya terletak di dalam cerukan berbentuk setengah tabung (seperti perahu) yang juga diisi semua sistem mekanis (screws, nut dan crank) yang mengendalikan dua sayap yang mirip sayap kelelawar.   Yang menarik khususnya adalah bentuk permukaan besar di bagian ekor, kemungkinan besar adalah sistem untuk menyesuaikan posisi terbang dan tentu saja arah dari kapal terbang itu sendiri.   Gambar kapal terbang ini tidak disertai catatan Leonardo dan mungkin dikerjakannya antara tahun 1486 dan 1490.   Gambar ini menarik karena untuk pertama kalinya gambar ini menjelaskan adanya bidang ekor yang besar untuk memberi kestabilan terbang dan mendarat serta adanya bentuk badan (fuselage).   Sayap dioperasikan dengan alat berupa screw dan nut-screw yang dirancang khusus untuk mengurangi stress dan terletak di pegangan tangan serta digerakkan oleh dua orang sebagai awak pesawatnya.

Kapal Terbang Da Vinci
Kapal Terbang Da Vinci

2.         Struktur Sayap.   Studi tentang struktur sayap menandai momen penting dan kritis bagi pencarian Leonardo untuk merancang sebuah mesin yang dapat menerbangkan manusia.   Gambar berikut menunjukkan sebuah bentuk sayap kelelawar dengan rangka kayu dan ranting yang dibalut serat.   Sayap ini, dengan ruas-ruas dan pelapisnya, terbuat dari poros kayu dengan roda penggerak kayu di bagian depannya.

Struktur Sayap Da Vinci
Struktur Sayap Da Vinci

Folio ini, yang diperkirakan dibuat antara tahun 1486 dan 1490, berisi gambar dengan pena, dengan beberapa garis dari pensil, dari sebuah sayap mekanis yang dilapisi kain dan digerakkan melalui pengangkat tuas (kanan bawah pada gambar).   Tidak ada keterangan pada gambar ini.   Mekanisme di atas dirancang untuk menggerakkan sayap melalui sebuah tuas, yang menggulung tali melalui pengungkit.

3.         Sayap Buatan (Articulated Wing).   Leonardo merancang alat ini, dilengkapi dengan mekanisme hambat dan puntir di bagian luarnya, dalam usahanya untuk secara sempurna menghasilkan struktur sebuah sayap burung.   Tujuan alat ini adalah untuk menjamin gerakan balik yang otomatis dari sayap yang dilenturkan.   Perhatian khusus diberikan dalam hal pegas dan sendi-sendi yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sayap tersebut.

'Articulated Wing' Da Vinci
‘Articulated Wing’ Da Vinci

Folio ini, yang kemungkinan dibuat sekitar tahun 1496, berisi studi tentang sebuah sayap buatan dan detil pada sendi-sendi penghubung serta pegas yang dipasang pada konstruksinya.   Gambar ini dibuat dengan pena dan pensil dan bertuliskan huruf-huruf  n-r-m-o-f , yang dibuat sebagai keterangan gambar.   Catatan berikut dibuat di bawah gambar besar sayap “kain linen berbentuk ekor merpati”, yang ditulis di tepi gambar : “Tolli n’iscambio di molla, fila di ferro sottili e temperate; le quali fila sieno di medesima grossezza e lunghezza infra le legature e arai le molli d’equal potenzia e resistenziam se le fila in ciascun sieno di pari numero” (mekanisme pegas menggunakan kabel tipis dan keras; bila bagian kabel di antara sendi-sendi memiliki ketebalan dan panjang yang sama dan bila tiap pegas memiliki jumlah bagian kabel yang sama, maka akan dihasilkan pegas-pegas dengan kekuatan dan ketahanan yang sama).

4.         Parasut.   Dalam catatannya, Leonardo menerangkan bahwa dengan kain yang dibentuk piramid dengan panjang rusuk 12 yard (sekitar 7 meter) menyilang dan sama panjang, bila tetap dalam keadaan terbuka, “ognuno si potrà gettare da qualsiasi altezza senza alcun rischio” (siapa saja dapat melompat dari ketinggian berapapun tanpa resiko sama sekali).

Parasut Da Vinci
Parasut Da Vinci

Folio tersebut berisi gambar-gambar yang berhubungan dengan studi tentang penerbangan mekanis, yang diselesaikan antara tahun 1483 dan 1486.   Di bagian atas folio, prinsip resiprositas aerodinamika diperkenalkan untuk pertama kalinya, seiring dengan konsep pembuatan parasut dengan penjelasan gambar sebagai berikut : “Se un uomo ha un padiglione di pannolino intasato che sia di 12 braccia per faccia e alto 12, potrà gittarsi d’ogni grande altezza senza danno di sé” (bila seseorang diberi kain yang dijahit rapat-dengan panjang 12 yard pada tiap sisinya dan tinggi 12 yard, ia dapat melompat dari ketinggian seberapapun tanpa mengalami cedera).   Karena ukuran “braccio” (yard) Florence saat itu setara dengan lebih kurang 60 cm, maka parasut Leonardo dapat dikatakan sebanding dengan sebuah piramid empat sisi dengan tinggi dan panjang sisi miringnya 7,2 meter.

5.         Glider dengan Manoeuverable Tips.   Ketika merasakan sulitnya mewujudkan impian terbang dengan mesin bertenaga manusia, Leonardo mulai mempelajari gliding flight (terbang meluncur tanpa mesin).   Dalam pesawat glider rancangannya, posisi penerbang diandaikan sedemikian rupa sehingga ia mudah menyeimbangkan dirinya dengan menggerakkan bagian bawah tubuh secukupnya.   Sayap glider ini, yang merupakan tiruan dari sayap kelelawar dan burung-burung besar, dipasangkan di bagian terdalam (terdekat dengan penerbangnya) dan dapat bergerak bebas di bagian luarnya.   Bagian luar ini bahkan dapat  ditekuk oleh si penerbang dengan kabel yang digerakkan melalui beberapa pegangan (handles).   Leonardo mengembangkan solusi ini setelah mempelajari struktur sayap burung dan mengamati bahwa bagian dalam sayap mereka bergerak lebih lambat daripada bagian luarnya dan oleh karenanya bagian ini berfungsi lebih untuk bertahan (tetap mengudara) daripada sekedar mendorong ke depan.

Gilder Da Vinci
Gilder Da Vinci

Gambar dibuat dengan pena.   Folio tersebut berisi tiga gambar sayap buatan yang digerakkan dengan sabuk yang diikatkan ke kaki dan badan si penerbang.   Leonardo membuat struktur sayapnya streamline dengan sayap yang terpasang langsung ke badan penerbang (ornithopter).   Catatan di tepi folio tidak mengacu pada gambarnya melainkan berisi catatan tentang gerakan air yang mengalir dari pegunungan.

6.         Anemometer.   Salah satu dari dua jenis anemometer yang digambar Leonardo adalah sebuah rancangan sederhana.   Terbuat dari rangka kayu bergerigi dengan bilah yang digerakkan oleh angin sehingga menunjukkan arah angin tersebut.   Alat ini dirancang untuk mempelajari kondisi cuaca, dengan tujuan menambah tingkat keamanan penerbangan.

Anemometer Da Vinci
Anemometer Da Vinci

Folio ini berisi berbagai gambar mesin terbang dan alat-alat lainnya dengan sifat yang beragam.   Gambar anemometer, yang bertanggal antara tahun 1483-1486, dilengkapi dengan sebuah keterangan menarik, yang di dalamnya Leonardo menekankan perlunya melengkapi alat tersebut dengan jam untuk mengukur dan mencatat kecepatan angin : “A misurare quanta via si vada per ora col corso d’un vento. Qui bisogna un orilogio che mostri l’ore, punti e minuti” (Untuk mengukur jarak yang dilalui per jam dengan kekuatan angin.   Jam penunjuk waktu diperlukan di sini).

7.         Inclinometer.   Alat ini digunakan untuk mengetahui posisi mesin terbang saat di udara.  Agar si mesin terbang mencapai posisi horisontal pada kondisi terbang tertentu, bola kecil dalam tabung berbentuk loceng harus berada tepat di tengah-tengah alat ini.   Kaca lonceng ini adalah untuk mencegah angin agar tak mempengaruhi bola.

Inclinometer Da Vinci
Inclinometer Da Vinci

Pada bagian atas folio tersebut ditunjukkan gambar yang berhubungan dengan berat yang diukur dengan timbangan, dan percobaan-percobaan untuk mengukur kekuatan sekrupnya.   Pada bagian bawah adalah gambar inclinometernya, yang bertanggal antara tahun 1483-1486.   Di sebelah gambar alat ini, yang digunakan untuk mengukur ketegakan (verticality) dan digunakan untuk terbang, adalah keterangan gambarnya “non ci vuol dare il vento” (pasti tidak ada angin) dan juga “Questa palla dentro al cerchio ha esser quella che ti farà guidare lo strumento diritto o torto, come vorrai, cioè quando vorrai andare pari, fa che la palla stia nel mezzo del cerchio, e la pruova te lo insegnerà” (bola di tengah lingkaran akan memungkinkan anda untuk mengarahkan mesin (terbang) anda.   Artinya, kapanpun anda ingin terbang secara horisontal, pastikan bola berada di tengah lingkaran.   Cobalah dan anda akan membuktikannya).

(Catatan penulis : dalam konfigurasi pesawat-pesawat sekarang, inclinometer ini diwujudkan secara modern dalam bentuk instrumen yang dikenal dengan nama Artificial Horizon (A/H)-untuk pesawat buatan Amerika, atau Artificial Directional Indicator (ADI)-untuk pesawat Eropa.   Dalam perangkat instrumen ini, terdapat sebuah bola besar dengan skala-skala yang berfungsi untuk menunjukkan attitude/sikap pesawat (miring ke kiri, kanan atau level) dan bola kecil di bawahnya untuk menunjukkan sikap lateral pesawat terhadap heading/arah yang ditempuhnya).

8.         Sekrup Terbang (Aerial Screw).   “Trovo, se questo strumento a vite sarà ben fatto, cioè fatto di tela lina, stopata i suoi pori con amido, e svoltata con prestezza, che detta vite si fa la femmina nell’aria e monterà in alto” (Saya percaya bahwa bila alat sekrup ini dibuat dengan benar, artinya dibuat dari kain (linen), pori-pori yang tertutup oleh kanji, dan bila alat ini diputar dengan cepat, sekrupnya akan mengaitkan gigi-giginya ketika berada di udara dan akan bergerak ke atas di ketinggian).   Ini adalah salah satu gambar Leonardo yang terkenal.   Beberapa ahli menyebutnya sebagai “nenek moyang” helikopter.   Satu-satunya gambar yang mengikuti catatan Leonardo adalah sketsa sebuah sekrup terbang dengan diameter 5 meter, terbuat dari serat tipis, kain linen dan kabel, (diperkirakan) digerakkan oleh empat orang yang mungkin saja berdiri di bagian tengah dan menghasilkan tekanan pada batang-batang di depannya dengan tangan mereka, sehingga membuat porosnya berputar.   Jadi, mesin yang kemudian dirancang ini kemungkinan tidak pernah terangkat atau digerakkan dari tanah; namun idenya tetap, bahwa bila ada kekuatan penggerak yang cukup, mesin ini akan terangkat dari tanah dan berputar di udara.

Sekrup Terbang Da Vinci
Sekrup Terbang Da Vinci

Gambar sekrup terbang ini dibuat sepanjang periode pertama Leonardo di Milan dan kemungkinan bertanggal antara 1483-1486.   Sekrup terbang ini berbeda dari mesin yang lain karena ia direncanakan untuk studi tentang efisiensi propeler dan bukan sebagai mesin terbang yang sesungguhnya.   Dalam catatan yang menyertai gambar ini, Leonardo bahkan menyarankan (dengan contoh) bahwa apa yang ia rancang dapat dicoba dengan menggunakan bahan kayu yang tipis dan lebar, lalu diputar dengan cepat di udara.   Akan terbukti bahwa lengan orang yang memutar batang poros sekrup akan tertarik ke atas ke arah poros itu sendiri.   Dalam catatan yang sama, Leonardo menyarankan memakai model dari kertas dan meluncurkannya dengan kumparan pegas yang dibalutkan di sekeliling sekrup.    Penyebutan yang spesifik tentang sekrup terbang ini memperkuat asumsi bahwa model ini sebenarnya adalah representasi dari permainan kincir (mungkin seperti gasing di Indonesia), sebuah permainan yang sudah populer di masa Leonardo.   Karena ukurannya yang kecil, mainan itu dapat dimainkan dengan pegas atau lebih baik lagi dengan tali kecil, yang cepat terbuka sehingga sekrup dapat berputar karenanya dan bergerak ke atas.   Ini bisa jadi sumber ilham bahwa mekanisme yang sama, yang lebih besar ukurannya dan diputar dengan kekuatan penggerak yang cukup, dapat terangkat dari tanah.

Masih terdapat beberapa gagasan lainnya yang menegaskan betapa Leonardo betul-betul memimpikan manusia suatu saat nanti dapat terbang seperti layaknya burung.   Leonardo sepertinya terobsesi dengan mekanisme kerja sayap burung atau kelelawar yang mampu menerbangkan mereka ke manapun mereka ingin.   Ini bisa dilihat dari coretan-coretannya tentang sayap dan peralatan-peralatan untuk membuat sayap ini bekerja seperti sayap burung/kelelawar.   Coretan-coretan itu antara lain: mesin sayap tekuk dengan bearing vertikal, struktur sayap dengan kemiringan yang adjustable, alat untuk menguji tekukan sayap, alat penekuk sayap dengan sistem sekrup, anemoscope, dan mesin pegas untuk kapal terbang.   Umumnya coretan-coretan ini belum sempat dibuat modelnya, apalagi diuji kinerjanya.   Dengan perkembangan ilmu pengetahuan aerodinamika dan fluida, akan nyata bahwa sebagian besar konsep Leonardo sulit untuk diharapkan bekerja seperti keinginannya.   Namun bagaimanapun, Leonardo telah merintis secara nyata apa yang diimpikan manusia sejak lama: terbang.   Rintisannya bukan sekedar mitos atau dongeng, melainkan terwujud dalam gambar-gambar serta tulisan-tulisan yang dapat kita lihat hingga kini.