Tidak sering saya menulis dua tulisan dalam selisih yang cuma hitungan hari. Tapi hari ini, terus terang saya terlalu terharu karena sebuah berita yang saya baca di sebuah media online, dan tidak tahan untuk tidak menulis apa yang saya rasakan. Berita itu adalah tentang seorang wanita muda bernama Gayatri Wailissa (17 tahun), yang meninggal dunia di RS Abdi Waluyo Jakarta Kamis (23/10/2014) malam. Dalam usia belianya, ia adalah seorang polyglot yang menguasai 14 bahasa. Barangkali bakat-bakat sejenis banyak kita lihat di sekitar kita, namun bagi saya Gayatri adalah seorang yang berbeda.
Gayatri ternyata jauh lebih dewasa dibandingkan usia biologisnya. Dia seorang yang begitu mampu mengelola persoalan dengan sebuah pendekatan yang cemerlang: “berpikir dan berbuat di luar kotak”. Filosofi itu umum di masa sekarang (meskipun tak banyak juga yang memahaminya), sayapun memiliki filosofi yang sama. Yang membuat itu tidak umum adalah bahwa filosofi hebat itu dipahami betul oleh seorang yang masih belia. Di usia itu, remaja kita umumnya masih sangat klasik dalam berpikir, dan masih pragmatis dalam memecahkan masalah.
Tidak banyak anak muda yang mau mempelajari bahasa asing, apalagi secara otodidak. Tidak banyak orang yang mampu mengelola perasaan kecewanya dengan terus berusaha dan berjuang. Tidak banyak orang yang mampu bertahan dari perasaan “ditolak”, “tidak dianggap”, atau “diabaikan”. Tidak banyak juga orang yang telah dipercaya menjadi duta bangsa mampu menerima kenyataan bahwa prestasinya kalah populer di media dibandingkan dengan sebuah kontes “ratu-ratuan”, “idol-idolan”, atau pernikahan bermilyar-milyar rupiah seorang selebriti (yang tidak jelas apa yang telah diperbuatnya untuk bangsa ini).
Itulah yang mempesona saya dari seorang Gayatri. Ia adalah salah satu dari yang “tidak banyak” itu. Hebatnya lagi, mentalitas itu ia miliki dalam usia muda, saat berjuta remaja lainnya lebih memilih untuk membiarkan diri mereka terjebak dalam euforia sekularisme dan kesalahan memilih panutan. Gayatri menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan buku guna memahami tata bahasa, mendengarkan lagu untuk mempelajari pelafalan, dan membuka kamus untuk menambah khasanah kosa kata. Dia tidak terjebak dalam kepasrahan karena kesederhanaan orang tuanya yang tidak mampu memasukkannya ke kursus-kursus bahasa. Dia tidak mau terperangkap dalam kekecewaan karena Gubernur Maluku menolak permohonan bea siswanya. Dia juga tidak larut dalam kesedihan berlebih saat mendapati kenyataan bahwa “seorang duta bangsa tidak penting untuk pemerintah kita”.
Saya betul-betul kagum pada anak muda ini, dan paham sekali apa yang ia rasakan. Memang sakit rasanya, bila potensi dan prestasi kita tidak mendapat penghargaan yang sepadan. Tidak mudah untuk berjuang dan bertahan di sebuah komunitas yang serba kuantitatif, komunitas yang menghargai seseorang hanya karena kekayaannya, kekuasaannya, parasnya, atau golongannya. Komunitas yang angkuh, yang hanya berkata “Who the hell are you?” atau “Memangnya kamu siapa?” kepada mereka yang berprestasi tapi tidak kaya, tidak berkuasa atau punya koneksi ke penguasa, tidak rupawan, atau tidak berasal dari golongan tertentu. Komunitas yang dikuasai para preman yang hanya tahu “meminta jatah”, dan para pencoleng yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Mungkin banyak Gayatri lainnya di negeri ini. Yang jelas, dari orang-orang seperti ini kita patut belajar, bahwa banyak jalan menuju cita-cita dan menembus batasan. Belajar dan menguasai 14 bahasa asing dengan otodidak bukan sesuatu yang main-main, dan dengan itulah Gayatri telah menunjukkan cara hidup yang dipenuhi ungkapan syukur, bukan keluhan-keluhan. Baginya, masalah hidup akan tetap ada, dan tidak ada satu keluhanpun yang akan membuat masalah selesai atau makin mudah. “Sisi-sisi kotak” itu akan tetap di sana, dan tak ada gunanya kita menabrakkan diri kita ke sisi-sisi kotak itu. Keluarlah dari dalamnya, dan jadikan dirimu merdeka. Tempatkan dirimu di luar kotak itu, dan buat setiap langkahmu lebih ringan dan leluasa.
Selamat beristirahat dalam damai, Gayatri…