Seorang pria keluar dari sebuah minimarket dengan sebungkus plastik minuman dan makanan kesukaannya: roti sisir. Ia berlalu pulang ke tempatnya menginap di sebuah kota di Jawa Barat, dan setelah berganti pakaian, ia membuka bungkusan plastik itu. Karena kesukaannya, roti sisir itupun ia buka untuk menghilangkan rasa laparnya. Merasa masih lapar, iapun memanggil tukang sate yang lewat di depan mess tempat ia tinggal. Ia memang menyukai kedua jenis makanan ini. Baginya, dari kedua makanan inilah ia belajar banyak tentang sebuah cinta sejati.
Ingatannya kembali ke masa berpuluh tahun lalu, saat pria ini masih duduk di bangku SD. Ia sangat dekat dengan kakek neneknya, dan selalu menghabiskan liburan sekolah bersama mereka yang rumahnya berjarak beberapa kilometer dari tempat ia tinggal. Kadang-kadang, sang kakek langsung menjemputnya di sekolah dan membawanya ke rumah dengan sepeda onthel-nya. Ya, sepeda itulah alat transportasi sang kakek dari dan ke tempat kerjanya sebagai seorang tukang parkir di sebuah rumah sakit tentara di salah satu kota besar di Jawa Tengah.
Roti sisir adalah “oleh-oleh” favorit yang selalu ia tunggu saat sang kakek pulang dari kerjanya. Ia tahu, sang kakek membelinya dari sebuah toko kecil di depan rumah sakit tempat ia bekerja. Dalam lelahnya setelah menjadi tukang parkir seharian (plus mengayuh sepeda pulang pergi), sang kakek selalu membukakan bungkus roti itu untuknya, dan menungguinya menghabiskan roti itu. Malam hari, paha sang kakek selalu menjadi tempat bersandarnya kala tertidur setelah bermain seharian. Lalu, sang kakek selalu membangunkannya kala penjual sate ayam Madura lewat di depan rumah. Sang kakek selalu memesan sate itu untuknya, dan seperti biasa, menungguinya makan.
Dalam rasa manis dan nikmatnya roti sisir serta sate ayam, si pria selalu merasakan pukulan hebat bagi bathinnya. Ia terpukul karena kakek dan nenek itu kini telah tiada. Ia merasa begitu kejam karena ia jauh di negeri orang saat sang kakek dan nenek berpulang. Ia merasa begitu hina karena hingga hari ini tak punya waktu menyambangi pusara kedua orang yang begitu mencintainya itu. Ia terpukul dengan cerita tragis di balik berpulangnya kedua orang yang selalu membanggakannya. Dan sekarang, ia hanya bisa meneteskan air mata, terisak dalam kesepiannya. Dalam keterpukulannya, ia hanya mampu berdoa, agar Tuhan memberinya waktu hidup yang cukup untuk kelak sekedar mencium pusara kakek neneknya, seperti mereka selalu mengecup keningnya saat si pria ini tertidur di masa kecilnya.
Ia belajar, bahwa cinta sejati tak pernah menuntut balas. Cinta sejati tak pernah mempertanyakan apapun saat kita tersakiti. Cinta sejati pantang mengeluhkan mengapa kita terabaikan. Cinta sejati hanya berisi doa dan harapan tulus, agar orang yang kita cintai mendapatkan apa yang terbaik untuknya. Ia belajar dari kakek neneknya, yang menjalani sisa hidup mereka hanya berdua, karena cucu kesayangan mereka telah memiliki hidup dan tanggung jawabnya sendiri. Ia belajar dari mereka, yang harus menuju titik akhir duniawinya tanpa si cucu menemani, hanya karena mereka sudah cukup bahagia mengetahui cucu mereka tengah merintis jalan sukses di negeri orang.
Pria itu kini berlinang air mata, karena menyadari bahwa dalam apa yang ia raih hari ini, peluk dan cium kakek neneknya adalah keping-keping cinta yang ikut merangkai perjalanan suksesnya. Roti sisir dan sate ayam itu seolah mengatakannya…
[Untuk kedua Mbah-ku, yang tenang dalam pelukan Tuhan di sorga. Aku mencintaimu, dan selalu menyebutmu dalam doa-doaku.]