MERASAKAN DIA (SEBUAH KESAKSIAN)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.  Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu bagiku bekerja memberi buah.  Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.”
(Filipi 1:21-22)

(Foto dari https://media.beliefnet.com)

Aku percaya bahwa semua keyakinan mengajarkan kita banyak hal yang sama, salah satunya adalah bahwa Tuhan (apapun kita menyebutnya) berkuasa penuh atas hidup kita, seperti soal rejeki, jodoh, umur, dan semua hal lainnya.  Namun, kita melihat bahwa meyakini dengan sepenuh hati kekuasaan Tuhan atas hidup kita, dalam banyak contoh, bukanlah hal mudah.  Ada kesenjangan kebijaksanaan yang sangat besar antara manusia dengan Penciptanya di sini, sehingga keterbatasan pengetahuan kita membuat kita tetap merasa cemas, khawatir, atau takut seiring banyaknya “ketidakpastian” yang kita rasakan dalam kehidupan kita.

Saat duduk di bangku SMP, salah seorang guru pernah berkata kepadaku: “Jon, setiap orang sudah punya ‘jatah’ umurnya masing-masing.  Ketika ‘jatah’ itu habis, maka selesailah kehidupan dunianya”.  Dalam satu hal inipun, aku yakin bahwa secara umum pandangan semua keyakinan atau agama juga sama, yaitu bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh hari demi hari itu pada hakekatnya adalah perjalanan menuju sebuah akhir, sekaligus sebuah awal.  Akhir dari kefanaan di dunia, dan awal dari sebuah keabadian.

Kita melihat hari ulang tahun sebagai rangkaian perjalanan dari titik awal kefanaan, yaitu berapa lama kita “sudah” berjalan sejak kita dilahirkan ke dalam dunia ini.  Itu karena tidak ada satupun manusia yang tahu kapan perjalanan itu akan berakhir, atau seberapa jauh lagi “garis finish” itu.  Ketika ada yang berulang tahun, kita selalu mengatakan “Semoga panjang umur”, yang sebenarnya kita mendoakan agar “garis finish”-nya masih jauh.  Namun, seberapapun masih jauhnya garis akhir itu, kita tetap berjalan mendekatinya, tanpa pernah tahu kapan kita akan tiba di sana, apakah lima menit lagi, satu hari lagi, tiga bulan lagi, sepuluh tahun lagi, atau kapan.  Di situlah Tuhan menggenggam erat dan menguasai rahasiaNya, sebuah rahasia Ilahiah.

Kebetulan aku adalah orang yang memilih untuk melihat bertambahnya usiaku sebagai perjalanan yang semakin mendekatkanku pada keabadianku, dengan peti matiku sebagai “garis start”-nya.  Kalaupun itu kulakukan dengan melihat ke belakang, kepada semua ingatanku akan apa yang terjadi dan kualami di masa-masa lalu sepanjang hidupku, itu lebih merupakan upayaku agar keyakinanku semakin kuat bahwa hingga akhir hidup duniaku kelak (yang aku tak tahu kapan), Tuhan akan tetap setia bersamaku, menjagaku, memeliharaku, dan menopangku.  Puji Tuhan, setidaknya hingga hari ini ketika sudah 47 tahun kutempuh langkah hidupku, aku dapat merasakan semakin tumbuhnya keyakinan akan kesetiaan Tuhan dalam hidupku.

Menceritakan kebaikan Tuhan dalam hidupku bisa menjadi sebuah kisah panjang yang tidak berkesudahan, bahkan bisa lebih panjang daripada soal kehidupan itu sendiri.  Mengingat semua kemurahan Tuhan dalam perjalanan hidup ini bahkan bisa menjadi menit-menit hening yang penuh air mata dan rasa haru, karena semakin kuingat, semuanya terasa semakin luar biasa.  Hingga akhirnya aku sadar, bahwa mujizat itu dekat, hanya sejauh doa; keajaiban itu tidak jauh, hanya sejauh seruan hati.

Kesetiaan Tuhan nyata dan teruji dalam hidupku, meskipun dalam banyak hal, perlu waktu bagiku untuk menyadari kesetiaanNya itu. Sering sekali terjadi aku kecewa ketika sesuatu berjalan tak sesuai harapan, tapi Dia dengan caraNya yang luar biasa selalu menyingkap perlahan-lahan semua rahasiaNya.  Ketika tiba waktuNya (bukan waktuku), Dia membukakan tirai itu sehingga aku dapat melihat alasanNya untuk membiarkan sesuatu terjadi padaku, alasanNya membawaku melalui jalan berbatu dan penuh duri, atau mendaki bukit terjal yang tak pernah kukehendaki, atau melalui malam kelam yang penuh kejahatan.  Setelah tirai itu Dia buka, yang kulihat di depanku adalah sebuah terang yang hangat bersahabat, penuh limpahan berkat dan kebaikan.

Ketika kehidupan tidak selalu bersahabat dan menawarkan perjalanan yang sering kali terasa terlalu keras untukku, aku dapat merasakan tanganNya menopang kakiku sehingga aku tidak jatuh.  Ketika aku terlihat begitu lemah di hadapan sebuah badai ganas, aku dapat merasakan pelukanNya yang mendekapku erat dan badai itu hanya berlalu begitu saja.  Ketika jurang terlihat terlalu curam untuk kuturuni, aku dapat merasakan tanganNya menggenggam tangan lemahku sehingga aku tidak tergelincir.  Aku selalu merasakan Dia ada, hadir, bekerja dan melakukan campur tanganNya tanpa henti, dan tidak pernah terlambat.  Dalam banyak hal, Dia melakukan semua itu bahkan sebelum aku meminta.

(Foto dari https://wallpapers.com)

Aku bersyukur bahwa masa laluku membuat semua kebaikanNya itu begitu mudah untuk dilihat.  Ketika masa kecil harus dijalani dengan penuh kekurangan dan keterbatasan, dari satu titik rendah ke titik rendah yang lain, dari satu kesusahan ke kesusahan yang lain, Dia memeliharaku dan semua orang terkasihku, menjaga kami, menganugerahkan kami kesehatan, sehingga kami dikuatkan melalui semuanya. [Aku nyaris tidak bisa merasakan bangku SMA karena keadaan ekonomi keluarga, dan Dia menjawab doa-doa kami bukan dengan memberi keluarga kami uang, melainkan dengan memberiku SMA terbaik di Indonesia—saat itu—tanpa harus membayar alias gratis]

Masa remaja di SMA, Akabri hingga awal karier sebagai Perwira TNI juga bukan masa-masa yang berisi kemudahan-kemudahan.  Aku tidak punya “darah biru” atau “balung rojo”, dan semuanya harus kuusahakan sendiri.  Gaji—yang tidak seberapa—adalah satu-satunya penghasilan.  Membangun keluarga di usia yang masih amat muda juga merupakan bukit terjal lainnya.  Istriku dan aku hanyalah orang-orang biasa yang memperjuangkan segalanya sendiri, dan tak bisa berharap atau mengandalkan siapapun, termasuk keluarga besar kami, karena kami semua bukan berasal dari keluarga berada.  [Suatu hari saat jam istirahat siang di kantor, aku pernah pulang ke mess tempat kami berdua tinggal, dan hanya ada semangkuk mie instan yang bisa dimasak istriku yang saat itu sedang hamil anak pertama kami, karena gajiku sudah habis sebelum bulan berakhir]

Tapi itulah Tuhan, yang dengan kebaikanNya yang tidak pernah habis, setia menemani setiap hari perjuanganku, upaya-upayaku, jerih lelahku sekalipun hari-hari itu penuh air mata.  Ketika aku mulai mempertanyakan kebenaran jalan yang kupilih, Tuhan pada saat yang menurutNya tepat selalu bisa membuka mataku bahwa Dia ada bersamaku, tidak pernah meninggalkanku sendirian, atau berpaling dariku.  Dengan caraNya Dia membimbingku untuk melihat cahaya terang itu pada waktunya, menyingkap rahasia yang selama itu Dia simpan hingga aku melihat sendiri bahwa jalan yang Dia pilihkan tidak salah, bahwa rancanganNya bukanlah rancangan kegagalan, melainkan rancangan masa depan yang berlimpah kebaikan.

Gejolak-gejolak dalam hatiku tetap ada, semata-mata karena keterbatasan hikmatku sebagai manusia biasa.  Ketika kenyataan di hadapanku tidak seperti harapanku, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran jalan Tuhan itu selalu muncul.  Ketika waktuku tidak sama dengan waktuNya, ketika jalan berbatu dan badai kelam itu tetap muncul dalam wujud-wujud barunya, ketika pintu yang sudah terbuka tertutup lagi, aku selalu bertanya dan bertanya kembali: “apakah ini memang jalan yang tepat untukku?”, “mengapa Engkau membawaku ke sini?”, “mengapa tak Engkau ijinkan aku ke sana?” dan seterusnya.

Namun sekali lagi, Tuhan baik.  Sangat baik.  Ketika Dia mengatakan “tidak”, atau “nanti dulu” untuk sebuah doa dan permintaan, Dia akan tunjukkan alasannya, dengan cara dan waktuNya sendiri, dan aku selalu melihat bahwa waktuNya tidak pernah salah, rencanaNya tidak pernah gagal.  Aku berkali-kali dibohongi oleh manusia, diberi harapan-harapan palsu, janji-jani bodong, tapi Dia tidak pernah berbohong atas janji-janjiNya.  Aku tahu bahwa Dia tidak menjanjikan langit yang selalu biru, atau jalanan yang selalu tanpa hambatan.  JanjiNya adalah bahwa dalam langit yang paling kelam atau jalanan paling terjal sekalipun, Dia tidak akan meninggalkanku, selalu ada bersamaku, menyertaiku, menjagaku, memeliharaku, dan membimbingku hingga kuraih kemenanganku.

Empat puluh tujuh tahun perjalanan, tepat tanggal 13 Februari ini, telah semakin lebar membuka mataku akan kasih setiaNya yang tak berkesudahan, akan mujizatNya yang ada di setiap langkahku, akan dekapan hangatNya dalam setiap takutku, akan genggaman tanganNya dalam setiap lemahku, dan kuasa perlindunganNya yang bagaikan benteng pertahanan maha kokoh sehingga kejahatan-kejahatan tidak dapat menyentuhku.  Satu-satunya sahabat setia yang selalu dapat kuandalkan dan kupercaya.  Sumber segala berkat dan kebaikan dalam hidupku, segala karunia yang aku terima dan rasakan.  Penguasa Kehidupan yang kuasaNya tak berbatas, melampaui segala akal dan pengetahuan.  Aku berhutang terlalu banyak padaNya, hutang yang tidak pernah bisa aku bayar, sekalipun aku tahu cintaNya adalah cinta yang tak bersyarat.  Cinta yang tetap Dia berikan bahkan dalam keadaanku yang paling hina sekalipun.

(Foto dari https://www.messagemagazine.com)

Hari ini, aku kembali mengingat itu semua dalam ungkapan syukur, seraya berdoa padaNya agar Dia berkenan memberiku waktu yang lebih panjang di kehidupan sementara ini, sehingga aku punya ruang lebih banyak untuk dapat menyatakan kemuliaanNya di hadapan dunia, menjadi saluran berkatNya untuk lebih banyak orang, dan meninggikan Dia melalui kebaikan-kebaikan dalam setiap ucapan dan perbuatanku.  Itu permintaanku, yang mungkin akan Dia jawab dengan kata “tidak”.  Kalaupun itu yang terjadi, aku yakin bahwa semua adalah yang terbaik bagiku, dan bagi semua yang mengasihiku.  Aku hanya memohon bahwa ketika tiba waktuku untuk kehidupan abadiku, aku sudah layak di hadapan Dia.

Terima kasih Tuhanku, Sahabatku, Penolongku Yang Setia.

Bogor, 13 Februari 2022

SURAT SEORANG AYAH

Bintang kecilku,

Aku menulis surat ini untuk hari istimewamu, ketika kamu memasuki sebuah masa yang menurut banyak orang adalah masa-masa kamu mencari jati dirimu, menjadi seorang remaja.

Pahamilah anakku, bahwa tujuh belas (tahun) hanyalah sekedar angka. Ia tidak melambangkan atau mewakili apapun. Representasi dirimu adalah semua pikiranmu, tutur katamu, dan segala perbuatanmu.  Semua itu tidak dapat diwakili oleh angka-angka, dan tak berbatas usia.

Ketahuilah bahwa setiap langkah kecil yang kamu buat hari demi hari, adalah batu demi batu yang kamu susun untuk membangun “rumahmu”.  Seperti apa itu semua terlihat nantinya, itulah hasil dari usahamu membangun.  Membangun jati dirimu, karaktermu, dan semua yang akan dilihat dunia tentang kamu.  Apapun langkah yang kamu ambil sekarang, kamu sedang membangun dirimu sendiri.

(Foto koleksi pribadi)

Cantikku,

Jadilah dirimu sendiri, karena Tuhan menciptakanmu bukan untuk memenuhi apa yang menjadi kehendak orang lain, atau menjadi seperti orang lain. Tataplah dan hadapi dunia dengan kepala tegak, jangan sekali-kali tertunduk.  Menundukkan kepalamu ketika menghadapi dunia hanya akan menghilangkan batas cakrawalamu dalam melihat kemenangan, yang meskipun masih jauh tapi pasti bisa kamu capai.

Kalahkan dirimu terlebih dulu sebelum kamu berniat mengalahkan dunia.  Kalahkan semua egomu, nafsumu, dan semua keinginan duniawimu, karena semua itu hanya akan membawamu menjauh dari kemenangan sejati. Musuh terberat kita adalah diri sendiri, bukan orang lain.

Jadikan dirimu tempat yang nyaman untuk Tuhan berdiam di dalamnya.  Semua orang memiliki hati kecil yang adalah ruang untuk Tuhan bersemayam, tapi kebanyakan orang tidak merawat hati kecilnya dengan baik, sehingga Tuhan pun keluar dari situ.  Ketika Tuhan tak ada dalam dirimu, jangan pernah bermimpi menjadi pemenang.  Sering-seringlah berbicara dengan hati kecilmu, agar kamu dapat mendengar suara Tuhan yang pasti akan menuntunmu pada semua kebaikan.

(Foto koleksi pribadi)

Bidadari kecilku,

Jangan pernah takut menghadapi kegagalan, karena dari kegagalan kamu dapat belajar menjadi lebih baik, dan melompat lebih tinggi.  Jangan takut menjadi tidak sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta.  Jangan takut jatuh, karena saat jatuh itulah kamu akan mengingat bumi tempatmu berpijak.  Yang membedakan kamu dengan yang lainnya adalah bagaimana kamu tetap berdiri tegak saat kamu gagal, menghargai dirimu sendiri dengan segala kekuranganmu, dan bangkit setelah terjatuh.  Semua pemenang atau orang-orang hebat yang kamu kenal adalah orang-orang yang mampu melakukan semua itu.

Lambungkan cita-citamu setinggi angkasa biru, tapi letakkan hatimu sedalam dasar lautan. Jangan biarkan kegagalan menghancurkanmu, dan jangan biarkan kemenangan memabukkanmu.  Tetaplah tersenyum di tengah semua beban hidupmu, dan tetaplah rendah hati di tengah semua kelimpahan yang kamu terima.  Jadikan dirimu berkat bagi banyak orang, karena itulah yang kelak akan menjadi bekalmu menghadap Yang Maha Kuasa.  Nilaimu adalah apa yang kamu berikan selama hidupmu, bukan apa yang kamu punya.

Carmenita-ku,

Ketahuilah bahwa hadirmu adalah karunia indah bagi keluarga kecil kita.  Menerimamu sebagai amanat dari Tuhan adalah sebuah kehormatan bagiku, sebuah kebanggaan yang tak tergambar dengan bahasa apapun, dan sebuah kebahagiaan yang tak tertebus dengan uang berapapun.  Ketika karena langkah-langkahmu, seluruh dunia meninggalkan kamu, ketahuilah bahwa ada Tuhan yang tidak akan meninggalkanmu, dan seorang laki-laki yang cintanya kepadamu melebihi cinta pada dirinya sendiri: Papamu.

Happy 17th birthday, my twinkling little star.

Ruang Cinta, 7 Desember 2021

NOT THE SAME AGAIN

Courtesy: getrealphilippines.com

Coronavirus disease (Covid-19) outbreak.

One of or all those above words might be used by future generations to mark one among many that has happened in human civilization. Later in our grandchildren or grand grandchildren school books, those words will refer to “a milestone” marking a change in how life is run up to their time.

Well, our world is no stranger to change.  Our civilization evolves from time to time for various reasons: war, disease, and technology are among others.  Every generation has its own way of living, and some “lucky” generations like us—aged 40 to 60 years today—have gone through more than one living style.

What has changed today?

This Covid-19 outbreak has by far changed some parts of our life.  Now everyone is forced to get even closer to their gadgets.  We recently avoid shaking hands, and introduce new styles of saying hello to others.  Students and office workers are more familiar to teleconference, remote classes, and many more.  Lately also, we are getting used to keep physical distance with others.  Things we never thought before that we will have to go through those today.

Historically, this phenomenon is not strange, once again, but the ratio between the scale versus the speed of the spread is.  Our new “habits” are formed in just a matter of months, instead of years or generations.  Driven by panic and little knowledge of what actually happens and how to deal with it, we tend to accept what is told, be it by authorities, friends, or even somebody we only know in our social media.  “We have to change things”, that’s all we know…and then do.

Let’s look deeper at a simple instance.  By working from home, parents will get closer to children—who are also studying from home.  This will elevate the quality as well as quantity of interaction, and in turns give parents new perspectives on how their children struggle in their studies.  Also resulted from this so called “WFH” is necessity for parents to understand a little deeper how social media work, otherwise they will not be able to perform their job.  Fathers will go more frequently to kitchen—at least now they do dishwashing even better than mothers do.

The use of network data increases significantly, so does consumption of clean water.  The use of bio-fuel, on the other hand, declines as cars are retreated home.  Neighborhoods become cleaner and quieter, since people stay at home.  However, level of anxiety raises: anxious of being infected, worry of not having enough daily supplies, and of course, anxious of how life can be sustained when you stop working.

What will this outbreak bring for our future?

Despite all the hardships humankind have to get through these days, this unexpected outbreak might lead us to many good deeds in the future.  Healthy living is just one example: hand-washing habit, greater care to environment and personal cleanness, and many more.  The rise of empathy to others is also a good value this outbreak brings.  Stronger family ties is another one to mention.  Anyone of you might have your own to say to make this a long list to read.

We can also expect to have some new models in doings things.  Some offices might find working from home is quite effective: it reduces daily operational cost, saves electricity consumption, etc.  Some schools might also find studying from home is not a bad idea.  One challenge in doing so, perhaps, is availability of network.  A network not only sufficient to support connection from different distant places, but also with good sustainability.

The mankind will also find an increasing need of clean water.  This will raise nation awareness, as well as global challenge, of sustaining clean water resources for the future.  Consequently, researches on natural resources will also be broaden to find alternatives of providing clean water for people.  Rivers will be cleaned up, and reservoirs will be built more or widened.  Cities will also be built with better guarantee to clean water access.

Will the change be always good?

Basically, a new civilization replaces the old one.  However, we can find many example on how people can maintain good values from time to time, regardless how civilization changes for ages.  In Indonesia for example, there are many areas in which we can see local wisdoms are maintained while at the same time we trust our mobile phones more than we do to ourselves.  Japan is also a good example in how modern technologies live side by side with traditional philosophy or belief that has last for thousands of years.

My highlight is this: we expect changes in many aspects of our life.  However, this Covid-19 is something different in terms of changing how people can mingle with each other.  We might see that handshaking will not be common anymore, let alone cheek-kissing and hugging.  Greeting someone with “Namaste” style gesture might be more visible in the future.  We might also find keeping reasonable physical distance during talks or meetings makes us feel safer, even with someone we know in day-to-day basis.

Is it good?  It depends, I believe.  Moreover, the more substantial issue is not whether it is good.  The challenge for us is how to maintain good spirit in social relationship regardless how we should or would behave in physical terms.  Yes, the danger this outbreak can bring for us is negativity in seeing others.  When we see people sick for example, we might easily think “Be careful, he might be infected!”  Negativity is what we have to deal with—and overcome—when we live post this outbreak.

Well, we might have a stronger internet connection as we will work more from home than from office, or better water supplies, or better network-based methodologies in doing things, or many other things.  But when our thoughts are occupied with negativity, our core of civilization i.e. social cohesion will be in danger.  I have written before (in Bahasa Indonesia) that when we are mistaken in dealing with this issue, it is not simply human fatalities that we have to face, but more importantly, the death of civilization.

Humans are created social beings.  That’s what makes communities, societies, and nations.  That’s what makes the world we are living in.  That’s what makes us today.  Cohesion among individuals is what forms the way we live, the way we behave, the way we treat ourselves and others.  That’s what this outbreak will hit and defeat, if we welcome negativity to our minds.

Now, it’s time to learn to appreciate life, and what it has given to us.  Time to learn to support and care of each other, or to do so more than before.  Indeed, everything will not be the same again, but let’s stay positive.  That’s what makes us still human beings.

Home, 31 March, 2020