Ketika saya berkesempatan menempuh pendidikan S-2 di Australia tahun 2008, anak sulung saya berkesempatan pula bersekolah di sebuah sekolah dasar (primary school) di kota Queanbeyan, NSW. Sebuah kota kecil yang tenang tempat kami sekeluarga tinggal, hanya sekitar 15 menit berkendara dari ibukota Australia, Canberra. Dia berada di kelas IV (4th grade) di sekolah itu. Jam sekolahnya dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Siswa di situ selalu mendapat PR setiap hari Senin, dan “dikumpulkan” hari Jumat setiap minggunya.
Saya selalu membaca lembar kertas PR yang dibawa anak saya setiap hari Senin itu, dan isinya sangat menarik perhatian saya. PR itu hanya berupa 1 lembar kertas yang di dalamnya berisi tugas-tugas sederhana untuk diselesaikan siswa selama seminggu; ada matematika, ada Bahasa Inggris, dan beberapa pelajaran lain. Matematikanya sangat gampang untuk ukuran siswa dari Indonesia—anak saya sudah mempelajari materi-materi itu di kelas II dan III di sekolahnya di Bogor. Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya.
Setiap minggunya, selalu ada pelajaran yang isi PR-nya berbunyi kira-kira begini: “Buka website bla bla bla dot co dot au. Jawab semua pertanyaan di dalamnya. Bila ada yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas pada hari Jumat”. Saya pernah mengikuti anak saya mengerjakan soal sesuai petunjuk lembaran PR-nya itu; sebagian besar bisa dia jawab, tapi ada juga yang tidak. Semula anak saya meminta bantuan saya untuk menjawab soal yang dia tidak bisa jawab itu, tapi saya katakan padanya untuk mengikuti petunjuk dalam lembar PR-nya: catat yang tidak bisa kamu jawab, sampaikan di depan kelas hari Jumat.
Karakter, Bukan Sekedar Ilmu Pengetahuan
Suatu hari ketika menjemput anak saya di sekolahnya, saya berkesempatan berbincang dengan gurunya, dan menyampaikan ketertarikan saya dengan model PR yang diberikan sekolah kepada siswanya. Guru tersebut mengatakan: “Kami paham bahwa soal-soal yang ada di lembar PR itu sangat mudah untuk ukuran siswa dari Asia seperti anak Bapak. Tapi dalam keyakinan kami, mendidik bukan sekedar soal membuat anak-anak ini bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kalau cuma itu, selama anak-anak ini diberi buku pelajaran, diajari dan dilatih dengan soal-soal, mungkin cukup 6 bulan mereka sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung. Itulah yang diberikan sekolah. Tapi ketika membangun karakter, kita harus mulai sejak dini, dan itu yang kami lakukan di sini. Kami tidak sekedar membangun sekolah, kami membangun tempat mendidik”.
“Maksudya?”, tanya saya.
“Coba Bapak perhatikan bagian soal yang berisi tugas untuk membuka sebuah website dan menyampaikan di depan kelas soal-soal di website itu yang tidak bisa dijawab siswa”, jawab Guru tersebut.
“Ya, saya melihat itu”
“Nah, itulah sebenarnya intinya”
“Maaf, saya kurang paham maksud Anda”
“Negara kami merancang model tugas yang seperti itu sebagai bagian dari pendidikan karakter anak. Anak akan dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri. Dia harus mengerjakan sendiri sebatas yang dia mampu. Ketika ada hal-hal yang tidak bisa dia jawab, maka dia harus punya keberanian untuk mengakuinya, dengan cara menyampaikan di depan kelas. Di sisi lain, anak-anak yang mampu menjawab soal itu harus mau berbagi ilmu dengan temannya, dengan cara menceritakan bagaimana dia menjawab soal itu”
“Bagaimana bila tak ada satupun yang bisa menjawab soal itu?”
“Di situlah peran saya sebagai Guru”
Kejujuran, Empati dan Kohesi Dari Ruang Kelas
Karena penasaran, di suatu hari Jumat saya luangkan waktu untuk melihat apa yang dikatakan Bu Guru tadi. Kebetulan setiap kelasnya memiliki jendela yang cukup bagi saya untuk mengintip bagaimana kelas anak saya berjalan. Yang saya lihat betul-betul membuat saya kagum.
Di dalam kelas seorang teman anak saya sedang menyampaikan apa yang dia tidak bisa kerjakan di website yang sudah ditugaskan. Lalu seorang anak lain mengacungkan tangan, kemudian ikut maju ke dapan kelas menyampaikan bagaimana dia menjawab soal itu. Seorang anak lainnya ikut nimbrung menjelaskan versinya sendiri dalam menjawab soal itu. Akhirnya muncul diskusi di seluruh kelas, dan sepanjang diskusi berlangsung, Bu Guru hanya duduk saja dan mengamati dari sudut belakang kelas.
Setelah diskusi selesai, semua siswa kembali duduk. Lalu Bu Guru menjelaskan hal-hal yang dia amati dari diskusi tadi. Dia menyampaikan penghargaannya atas kejujuran siswa yang tidak bisa menjawab soal, dan juga kepada siswa yang mau membagikan pengetahuannya dalam menjawab soal itu, serta kepada seluruh kelas atas partisipasinya dalam diskusi. Tidak ada satu katapun dari mulutnya yang menyalahkan si A atau si B, sekalipun model pendekatan yang disampaikan beberapa siswa dalam menyelesaikan soal itu berbeda-beda. Semua dihargai.
Satu hal menarik lagi adalah bahwa model bangku di sekolah anak saya tidak “klasikal” seperti umumnya di sekolah-sekolah Indonesia: semua meja dan kursi menghadap ke depan, ke arah papan tulis dan meja/mimbar Guru. Di sekolah anak saya, susunan bangku dibuat berkelompok: satu meja 4-5 orang. Susunan yang demikian membuat anak-anak saling melihat rekan-rekan satu kelompoknya, memudahkan diskusi, dan membangun kohesi satu sama lain. Menurut anak saya, kelompok-kelompok itu diubah setiap dua minggu.
Pendidikan Bukan Soal Angka, Nilai, atau Skor
Guru lebih banyak berada di belakang kelas, membiarkan para siswa membangun diskusinya sendiri, menyelesaikan masalah sejauh kemampuan mereka, dan mengembangkan interaksi serta keterbukaan satu sama lain. Tapi ini bukan berarti Guru tidak memantau perkembangan murid-muridnya. Hal itu dapat saya buktikan setiap anak saya menerima rapor.
Rapor di sekolah anak saya selalu berisi “word picture”. Intinya adalah menggambarkan pencapaian si anak dalam kata-kata: apa keunggulan/kelebihan si anak, apa kelemahan/kekurangannya, potensi apa yang dapat dikembangkan dari si anak, saran kepada orang tua, dan lain lain dengan detail yang sangat jelas. Ini berarti Guru harus memiliki pemahaman yang personal terhadap murid-muridnya, satu demi satu. Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat isi rapor dengan gambaran yang sebegitu detailnya, berbeda-beda untuk tiap murid.
Substansi rapornya pun sangat menggugah. Sekolah selalu menghargai potensi anak, apapun itu. Saya jadi teringat obrolan dengan Bu Guru, bahwa yang terpenting adalah mendidik, bukan sekedar bersekolah. Itu sebabnya di lembar rapor tidak pernah ada angka, dan tidak ada ranking. Aspek kualitatif lebih penting ketimbang sekedar skor, nilai, angka, ranking, dan sebagainya.
Setiap anak punya potensinya sendiri, dan setiap potensi pasti bermanfaat tidak hanya buat si anak, tapi buat masyarakat di kemudian hari. Anak yang susah memahami matematika misalnya, apakah berarti dia bodoh? Mungkin memang potensinya bukan di hitung-menghitung, melainkan di seni misalnya, atau linguistik, atau ilmu sosial (humaniora). Apakah ilmu-ilmu itu tidak bermanfaat? Anda tahu jawabannya.
Nah, masalahnya sistem pendidikan kita menuntut anak untuk menguasai ilmu-ilmu pelajaran di sekolah secara seragam. Nilai matematika minimal harus 75 misalnya, kalau tidak si murid harus ikut ujian ulang, bahkan tidak naik kelas. Padahal potensinya memang bukan di situ. Ketika dituntut sedemikian rupa, demi bisa bertahan di sekolah, si murid bisa saja menghalalkan segala cara, yang penting skornya nanti bagus. Dia akan menyontek, mencuri soal, minta bocoran soal ke Guru (melalui orang tua misalnya), dan lain-lain.
Di sisi lain, model pemeringkatan sekolah oleh kementerian atau otoritas pendidikan kita juga membuat sekolah-sekolah saling berlomba untuk mendapatkan “predikat yang baik”. Siswanya harus lulus semua, naik kelas semua, nilai rata-rata sekolahnya harus tinggi di kabupaten/kota/provinsi, dan seterusnya. Lagi-lagi, ini membuat sekolah-sekolah melakukan berbagai upaya, termasuk cara-cara haram seperti memberi bocoran kepada siswanya, menyuap otoritas, dan lain-lain.
Pada akhirnya kita melihat sekolah justru menjadi tempat yang mengajarkan hal-hal yang tidak baik. Menyontek atau mencari bocoran adalah bentuk lain dari mencuri. Kebiasaan mencuri yang tanpa sadar ditanamkan oleh sekolah akhirnya menjadi bibit-bibit kebohongan yang seiring waktu tumbuh subur di dalam diri para murid. Maka jangan heran ketika si murid ini suatu hari menjadi seorang koruptor, penyebar informasi palsu, perundung, atau bahkan pembunuh. Itu karena sejak dia sekolah, dia sudah “diajari” hal sederhana: berbohong, tidak jujur pada dirinya sendiri, dan tidak mau mengakui kekurangannya. Diajari untuk abai terhadap kualitas internal dirinya, yang penting kelihatan “mentereng” di luar.
Pendidikan Adalah Investasi Bangsa, Bukan Proyek
Anggaran pendidikan kita dialokasikan 20% dari APBN setiap tahunnya, sesuai amanat Amandemen UUD 1945. Ini bukan angka yang kecil, dan bila dikelola dengan benar, semestinya pendidikan kita sudah maju pesat sekarang. Sayang sekali, dunia pendidikan kita “masih di situ-situ saja”.
Alokasi APBN yang besar dan berasal dari uang rakyat itu semestinya bisa membangun sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter bangsa, bukan sekedar menjejalkan ilmu-ilmu pengetahuan. Karakter yang berisi kepribadian yang jujur, penuh empati, mengedepankan kepentingan bersama, dan mencintai bangsanya. Pendidikan karakter jelas bersifat lebih kualitatif ketimbang kuantitatif. Prosesnya juga butuh seumur hidup, dan harus dimulai sejak dini.
Kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar peserta didik di berbagai strata, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, menyadari arti penting kejujuran, empati, dan nasionalisme. Membuat model pendidikan yang seperti itu jelas tidak gampang, tapi itulah yang harus dilakukan setiap bangsa yang ingin maju. Jadi anggaran pendidikan tidak habis hanya sekedar untuk sebuah kurikulum yang asal ada, yang penting bisa cetak buku atau modul baru secara nasional. Lalu kalau nanti ada yang harus diperbaiki ya tinggal bikin proyek baru lagi, ajukan anggaran lagi dan seterusnya dan sebagainya.
Memberikan gaji atau tunjangan lebih besar kepada para guru harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru atau tenaga pendidik. Jadi penambahan kesejahteraan materiil para guru juga harus menjamin peningkatan tanggung jawab mereka sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Bukan sebaliknya, sudah digaji lebih malah mengajar asal-asalan, tidak peduli muridnya bisa atau ngga, yang penting jamnya mengajar ya mengajar, beri tugas ke murid, setelah itu pulang.
Anggaran pendidikan yang besar juga harus menjamin pendidikan menjangkau semua lapisan masyarakat, sampai pulau-pulau terluar di negeri ini. Pendidikan harus murah—kalaupun tidak gratis, dan semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang baik, di manapun mereka berada. Infrastruktur harus tersedia secara memadai, jadi murid dan guru tidak perlu was-was sekolahnya roboh atau bocor ketika ada hujan atau angin besar. Infrastruktur itu harus menjangkau masyarakat yang terpencil sekalipun, sehingga mereka tidak perlu berjuang meniti tali menyeberangi sungai deras hanya untuk bisa sekolah, atau menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai di ruang kelas.
Kita mempertaruhkan nasib bangsa ini di masa depan dengan membangun sistem pendidikan kita. Ketika hari ini kita membangun pendidikan dengan ala kadarnya, jangan kaget kalau suatu hari nanti Indonesia hanyalah sebuah nama di buku-buku sejarah dunia, sebagai sebuah bangsa yang pernah ada, tapi hancur oleh dirinya sendiri.
Selamat memaknai Hari Pendidikan Nasional, Indonesia!
Bogor, 2 Mei 2020