NATAL YANG MEMBERI

Photo courtesy of https://www.2ndcongregationalchurchvt.org/

Circa 1985-1990.

Sebuah keluarga kecil menghabiskan satu hari di tanggal 25 Desember sebagaimana mereka menjalani hari-hari lainnya.  Bedanya, tiga anak dalam keluarga tersebut tidak ke sekolah sekalipun itu bukan hari Minggu (saat itu hari sekolah adalah Senin sampai Sabtu).  Sang Ayah tetap pergi ke kebun sejak pagi.  Sang Ibu menyiapkan makanan untuk dibawa ke kebun buat sarapan Sang Ayah.  Ketiga anaknya membersihkan rumah sambil membantu Ibu menyiapkan makanan ke dalam rantang susun, kopi hitam panas ke dalam termos, dan radio transistor untuk dibawa ke kebun.

Rumah kecil keluarga ini berdinding papan, beratap jerami, dan beralaskan tanah, persis seperti lirik sebuah lagu dari kelompok “God Bless”-nya Ahmad Albar.  Hanya ada tiga ruangan di rumah kecil itu: ruang depan untuk makan, belajar anak-anak sekaligus menerima tamu, kamar dengan dipan kayu panjang untuk tidur berlima, dan dapur sekaligus gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian Sang Ayah termasuk untuk menyimpan pupuk.  Tidak ada toilet ataupun kamar mandi.  Mereka mandi di sumur yang digali Sang Ayah sekitar 30 meter dari rumah.

Pada saat libur sekolah, anak-anak selalu ikut membantu orang tua mereka di kebun.  Membersihkan rumput-rumput liar di sekeliling tanaman cabe atau semangka (tergantung musim saat itu), memupuk tanaman di lubang-lubang yang sudah digali Sang Ayah atau Ibu lalu menimbunnya kembali, atau menyiram tanaman dengan air yang disedot oleh pompa dari sungai, berteman sebuah radio transistor bertenaga enam baterai yang sesekali dipindah sesuai lokasi mereka bekerja di kebun.  Itu rutinitas libur mereka, termasuk ketika libur Natal 25 Desember, saat keluarga Kristiani lainnya pergi ke gereja dan setelahnya merayakan Natal bersama keluarga.

Bagi keluarga ini, 25 Desember hanyalah sekedar tanggal merah biasa seperti tanggal merah lainnya di kalender.  Hari ketika anak-anak tidak perlu pergi ke sekolah dan bisa membantu orang tuanya di kebun.  Tidak ada perayaan, tidak ada baju baru, tidak ada kado, tidak ada pohon terang.  Gereja terdekat berjarak cukup jauh untuk ditempuh berlima, ketika alat transportasi yang mereka miliki hanya sebuah sepeda motor tua dan sepeda onthel.  Kadang-kadang ada tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat Natal, dan setiap ditanya mengapa tidak ke gereja atau jalan-jalan, Sang Ayah selalu memiliki jawabannya sendiri.

Bagi keluarga ini, hidup sudah terlalu berat untuk dijalani bahkan dengan standar sekedar “normal”.  Bisa makan tiga kali sehari dan anak-anak bisa tetap bisa sekolah sudah menjadi sebuah pencapaian besar bagi Sang Ayah sebagai kepala keluarga.  So, 25th of December is just another day, another day-off.

========================================

Keluarga di atas adalah keluarga pemilik website ini, penulis tulisan ini.  Keluargaku di Jambi.  Aku adalah anak tertua dari tiga anak di atas, dengan satu adik perempuan dan satu adik laki-laki (adik termudaku sekarang belum lahir saat itu).

Aku—dan kami semua—sangat akrab dengan semua lagu Natal sejak kecil, termasuk saat kami menjalani kehidupan di tengah kebun (lebih tepatnya di tengah hutan karena secara harfiah, rumah kami memang dikelilingi hutan, yang sebagian di antaranya sudah dibuka oleh Ayahku untuk menjadi kebunnya).  Saat itu, lagu Natal hanyalah kumandang yang kami dengar di radio, sambil membayangkan pohon Natal yang dihujani salju ala Eropa.  Lamunan kami yang tipikal ini membawa kami pada bayangan-bayangan lainnya: keluarga yang sedang berkumpul di bawah pohon terang, membuka kado dari orang-orang tercinta, mengenakan topi Sinterklas, lalu menikmati makanan dan minuman istimewa bersama keluarga mereka.  Sekedar lamunan, yang kami tidak tahu kapan akan merasakannya.

24 Desember 2021.

Aku tiba di kantorku di Jakarta sekitar pukul 06.00, berdoa sebentar seperti biasa, lalu menyalakan smart TV mencari lagu-lagu Natal di Youtube.  Aku melamun lagi, tapi bedanya, aku tidak membayangkan pohon terang yang dihujani salju (aku sudah beberapa kali merasakannya di beberapa negara Eropa dan Amerika hehehe…).  Lamunanku jauh ke masa lalu ketika Natal selalu kami isi dengan membantu Ayah dan Ibu di kebun.  Ketika Natal hanyalah sebuah tanggal merah biasa yang membebaskan kami dari sekolah.

Masa lalu itu telah membangun bagiku sebuah perspektif baru tentang Natal.  Aku tahu bahwa hingga saat ini, masih ada ribuan keluarga Kristiani yang melihat Natal sama seperti kami melihat Natal di sekitar tahun 1985 sampai 1990-an itu.  Mereka yang masih berjuang dengan hidupnya, yang bahkan belum tahu apakah mereka bisa makan tiga kali hari ini, atau apakah mereka bisa makan besok, dan seterusnya.  Natal yang mungkin saja jutsru menjadi “derita” bagi mereka karena tidak bisa merayakan, tidak bisa pulang ke kampung halaman karena tidak punya uang, dan pada saat yang sama mereka melihat banyak keluarga bergembira dengan segala kecukupannya.

Aku bersyukur karena dari masa lalu Tuhan mengingatkanku tentang makna Natal yang sesungguhnya.  Tentang sukacita yang dibawa oleh Tuhan ke bumi melalui bayi kecil bernama Yesus Kristus.  Masa lalu telah membangun pemahamanku saat ini bahwa Natal adalah tentang berbagi cinta kasih, berbagi sukacita, dan berbagi damai sejahtera.  Itulah yang dilakukan oleh Tuhan sendiri ketika Dia memberi sukacita, cinta kasih dan damai sejahtera kepada mahluk ciptaanNya melalui seorang anak yang dikirimkanNya ke bumi, agar mereka semua terbebas dari dosa, dan bisa merasakan kerajaan Surga.

Bagiku, Natal adalah tentang memberi, karena Natal itu sendiri adalah wujud pemberian Tuhan berupa keselamatan untuk semua umat manusia dari segala kuasa dosa dan kegelapan.  Natal adalah tentang empati atas penderitaan orang lain, atas kekurangan mereka, atau rasa kehilangan mereka.  Natal bukan tentang kemewahan, kado, pohon terang, baju baru atau jalan-jalan.

Yesus Kristus lahir di sebuah palungan di kandang domba, dan yang menjenguk bayi Yesus pertama kali adalah para gembala.  Kisah itu saja sudah cukup menggambarkan bagaimana Natal sangat lekat dengan kesederhanaan, kebersahajaan, dan ketulusan.  Natal adalah milik semua orang, seperti para gembala yang nota bene masyarakat biasa ikut bersukacita menyambut hadirnya Sang Juru Selamat ke dunia.

Di tengah alunan lagu Natal yang kudengar saat menulis ini, aku mengingat mereka semua yang tengah berduka, yang tengah bersedih, yang sedang berjuang untuk hidupnya, sama seperti yang kami sekeluarga rasakan setiap mendengar lagu Natal di tahun 1985 sampai 1990-an. Aku mengingat semua yang merasa termarjinalkan karena keadaan, terpinggirkan karena status sosial, dan terasing karena kemiskinan.  Percayalah, Natal ini juga hadir untuk kalian semua, maka bersukacitalah.  Ingatlah bahwa kita semua punya alasan yang sama untuk bersukacita, bukan karena kita punya baju baru, mendapat banyak kado atau bisa jalan-jalan, melainkan karena Tuhan memberikan kepada kita semua keselamatan melalui anakNya.

Ketika memaknai Natal sebagai sebuah karunia atau pemberian Tuhan, aku lebih senang untuk menjadikan setiap hariku sebagai hari Natal, ketika hidup kujalani dengan sebuah prinsip bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dia punya, melainkan oleh apa yang dia perbuat atau berikan bagi sekitarnya.  Menjadi berkat bagi banyak orang.  Berbagi sukacita sehingga siapapun ikut merasakan sukacita kita, dan menguatkan mereka yang bersedih.

Photo courtesy of https://forgodandjesus.wordpress.com/

Pada akhirnya, alunan lagu Natal ini mengingatkanku pada kasih Tuhan yang luar biasa dan tidak pernah habis dalam hidupku.  Aku merenungkan kembali ketika Dia menghadirkan bagiku seorang pria dan seorang wanita hebat dalam wujud Ayah dan Ibuku, adik-adik yang baik, istri dan anak-anak yang setia, dan banyak orang baik yang ada di sekelilingku.  Juga ketika Dia membukakan banyak pintu bagi kehidupanku yang semakin baik dari waktu ke waktu, dan ketika Dia dengan caraNya yang luar biasa membawa kami keluar dari berbagai kesulitan.  Sukacita Natalku adalah karena perjalanan yang kurangkai bersama Tuhan yang tanganNya selalu menuntunku agar aku tidak terjatuh dan merasa terlindungi, serta kasihNya yang setia menjawab semua pergumulanku.  Sebuah sukacita karena aku tahu Tuhan tidak pernah gagal dan tidak pernah terlambat membuktikan cintaNya kepada semua orang.

Selamat Natal, Ayah dan Ibu terkasih.

Selamat Natal, adik-adikku tersayang.

Selamat Natal, istri dan anak-anakku tercinta.

Selamat Natal, semuanya.

Tepatkah “Merayakan” Natal?

cross-shadow-on-manger-jesus-16016320-698-507
www.fanpop.com

Minggu lalu saya berdialog kecil dengan putri saya Mita:

Mita     : “Papa, kapan kita pasang pohon Natal-nya?”

Saya   : “Iya nanti kita pasang, Nak. Tapi yang penting, adek tahu bahwa pohon Natal itu cuma aksesoris. Yesus ngga minta kita ber-Natal dengan pohon-pohonan, atau dengan makanan ini itu, atau baju baru. Hati adek yang harus ber-Natal.”

Mita     : “Maksudnya, Pa?”

Saya   : “Maksudnya, hati adek yang harus siap menyambut Natal. Natal itu kan mengingat kelahiran Yesus ke dunia, nah, berarti hati adek harus selalu terbuka untuk Yesus. Karena Yesus membawa kasih dan damai sejahtera, maka kita juga harus begitu. Yesus kan lahirnya malah di kandang domba yang sederhana, hidupnya juga ngga bermewah-mewah. Matinya di kayu salib. Makanya, lucu kan kalau kita Natalan malah dengan berfoya-foya, menghias ini itu? Emangnya adek mau menyambut manusia atau menyambut Tuhan? Hehehe…”

Mita     : “Ooooo… Trus, pohon Natal-nya kita pasang ngga?”

Saya   : “Kalau mau pasang ya ngga papa, ngga pasang juga ngga masalah.”

————————————————————————

Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani di seluruh dunia “merayakan” Natal. Adalah sebuah pemandangan yang jamak bahwa pada hari itu (plus tanggal 24 malam), gereja-gereja penuh sesak, rumah-rumah berbenah dengan pohon Natal (atau pohon terang), ibu-ibu sibuk memesan dan menata kue, dan anak-anak sibuk berdandan dengan baju barunya. Bagi banyak orang di era modern ini, Natal adalah momen perayaan, selebrasi, dan bahkan “show-off” hehehe…

Bagi saya pribadi, Natal adalah sebuah isyarat atau perlambang batiniah ketimbang lahiriah. Natal bukan persoalan pohon terang, makanan enak, baju baru, kado, dan sebagainya.   Belum ada juga bukti otentik dan ilmiah tentang kepastian tanggal lahir Yesus di kalender Masehi.   Namun apapun itu, adalah sebuah fakta sejarah bahwa Yesus Kristus telah terlahir ke dunia (setidaknya dua agama besar mengakui itu: Islam yang mengenal Yesus sebagai Nabi Isa AS, dan agama Kristen itu sendiri). Jadi, terlepas dari kesahihan ilmiahnya, Natal dalam perspektif kelahiran Yesus Kristus adalah fakta nyata.

Saya lebih suka untuk mengatakan bahwa Hari Natal (sebagaimana hari-hari besar agama lainnya) semestinya kita “maknai”, bukan “rayakan”. Tanggal berapapun Natal itu, itulah saat setiap mereka yang percaya memaknai dalam hatinya betapa Tuhan Sang Pencipta Kehidupan begitu mencintai kita dengan menghadirkan kasih melalui seorang bayi mungil di Bethlehem bernama Yesus Kristus. Tuhan yang begitu penyayang mau merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia: lahir dengan sederhana, menjalani kehidupan yang keras, dan mati dengan bilur-bilur luka. Itu adalah bentuk pengorbanan yang tak akan mampu ditiru oleh siapapun, dan sebuah manifestasi cinta yang hakiki.

Sejarah yang tercatat tentang kelahiran Kristus sendiri jauh dari kesan mewah atau berada. Yusuf dan Maria (ayah dan ibu Yesus) harus berjalan jauh sebelum tiba di Bethlehem karena sudah waktunya bagi Maria untuk melahirkan anak dalam kandungannya. Tak ada yang mau memberi tempat bagi kedua orang asing ini sebelum akhirnya mereka mendapatkan sebuah kandang domba, dan di situlah Maria melahirkan bayinya. Yang pertama menjenguk bayi Yesus pun adalah para gembala, perlambang begitu dekatnya Tuhan dengan mereka yang kecil dan dianggap hina. Beberapa hari setelahnya, Tuhan mendatangi Yusuf melalui mimpi bahwa ia harus segera membawa bayi Yesus keluar dari sana karena Raja Herodes telah memerintahkan untuk membunuh semua bayi di bawah dua tahun di Bethlehem. Yesus selanjutnya besar sebagai seorang warga Nazareth, hingga Dia dikenal sebagai “Yesus Orang Nazareth”.

Pengingatan umat Kristiani tentang Natal mengalami metamorfosis yang sarat dengan campuran budaya lokal, khususnya di Eropa sejak abad ke-3 atau ke-4 Masehi. Dari situlah muncul penggunaan pohon cemara yang dihiasi dengan berbagai ornamen dan lampu-lampu sehingga sebagian orang menyebutnya “pohon terang”. Dari sana pula muncul tradisi pemberian kado-kado Natal, serta “pemberian Tuhan” lewat figur Santa Klaus atau Sinterklas (awalnya bernama Santa Nikolas). Saking lamanya tradisi itu berjalan, hari ini Natal identik dengan semua kebendaan itu, dan celakanya, substansi pesan Natal itu sendiri terkikis dalam benak umat Kristen.

Bagi saya, substansi Natal ada dua: pertama adalah KASIH, kedua adalah PERUBAHAN. Tuhan menunjukkan kasihNya sehingga Dia mengirimkan anakNya yang tunggal ke dunia untuk menjadi sama dengan manusia, dan mengangkat dosa-dosa manusia melalui kematianNya di kayu salib. Tuhan juga hadir dalam wujud Yesus Kristus (sesuai filosofi Trinitas Ketuhanan dalam keyakinan Kristen) untuk menghadirkan perubahan ke dunia yang sudah penuh dengan pemahaman yang salah, kesesatan jalan hidup, serta penyimpangan-penyimpangan akidah. Itulah pijakan terpenting—menurut saya—kala kita memperingati Natal Kristus. Bukan semata-mata kehadiran ragawiNya ke dunia yang kita peringati (terlepas apakah benar Kristus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak), melainkan kelahiran pesan-pesan moral bagi dunia yang sudah penuh cemar.

So, hendaklah kita ber-Natal setiap hari, dalam arti membawa semangat kasih dan gairah untuk membuat perubahan yang positif dari waktu ke waktu. Tanggal 25 Desember hanyalah sebuah tanggal pengingat, bahwa Tuhan begitu peduli pada dunia kita, pada hidup kita, dan apapun yang terjadi pada umat ciptaanNya. Yesus lahir dan hidup selama lebih kurang 33 tahun bukan dalam kemewahan, dan bukan pula melalui jalan hidup yang mudah.   Jadi aneh rasanya bahwa Natal justru “dirayakan” dengan aneka aksesoris mewah, gemerlap lampu dan tumpukan kado.

Natal bagi saya adalah saat paling tepat untuk mengingat kembali penyertaan Tuhan dalam rentang waktu yang telah berlalu, yang tak habis-habis bagai air sungai yang setia mengalir. Saya tahu, banyak orang yang di hari itu justru sedang merasakan derita karena bencana alam, kelaparan, kehilangan orang-orang terkasih, dan hidup dalam kekurangan. Natal ini, seperti sebelum-sebelumnya, saya hanya bisa memanjatkan doa yang paling tulus dari lubuk hati saya untuk mereka, seraya berharap mereka tetap setia dalam keyakinan bahwa Tuhan tidak sedang meninggalkan mereka. Natal ini, saya mengirimkan doa terbaik saya untuk semua yang saya kasihi, dan semua orang yang sedang menjerit meminta Tuhan menjawab pergumulan mereka.

Kalaupun pada Natal ini anda belum dapat “merayakannya”, tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kalaupun hari Natal anda tanpa pohon terang, tanpa makanan enak, tanpa kado, atau tanpa orang-orang tersayang di dekat anda, Natal itu tetap ada dan tetap nyata. Selama anda percaya dan membuka hati anda selebar-lebarnya untuk kedatangan Tuhan dengan kasih, semangat serta keselamatan yang dibawaNya, maka anda justru telah ber-Natal dengan jauh lebih baik ketimbang mereka yang hanya “memahami” Natal dengan pernak-pernik kebendaan semata.

Percayalah bahwa Tuhan itu setia, dan Natal itulah buktinya. Selamat memaknai Natal, saudara-saudaraku terkasih…