Perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil, hingga saya menulis ini, masih menyisakan dua pertandingan lagi: perebutan tempat ketiga (Brasil vs Belanda), dan final (Jerman vs Argentina). Saya tidak akan berbicara teknik, taktik atau strategi yang disajikan oleh 32 tim peserta; juga tidak akan membuat prediksi-prediksi untuk dua pertandingan tersisa itu. Saya justru ingin menulis tentang sisi-sisi lain yang tersaji setelah 62 pertandingan dimainkan. Bagi saya, dari sisi-sisi inilah kita layak untuk mengambil pelajaran serta filosofi bagi kehidupan yang kita jalani.
1. Hasil vs Proses
Setiap tim datang ke Brasil dengan latar belakang mereka masing-masing, yang pada gilirannya membentuk orientasi mereka menghadapi event yang dipandang lebih hebat bahkan dari Olimpiade ini. Setiap pelatih/ofisial pasti telah berhitung, menimbang, dan mencoba bersikap serealistis mungkin saat mereka datang ke negeri Samba. Akhirnya, muncullah berbagai model permainan, taktik, dan strategi yang dibawa ke lapangan hijau. Tim-tim dengan tradisi kuat di gelaran Piala Dunia seperti Brasil, Jerman, Argentina, Italia, atau juara bertahan Spanyol tentu sudah memiliki karakteristik tertentu yang terbentuk seiring waktu. Adalah sangat realistis bila siapapun menjagokan salah satu dari tim-tim itu menjadi juara di 2014 ini. Di sisi lain, tim-tim “medioker” seperti Meksiko, Kolombia, Kosta Rika, Swiss, Aljazair dan sebagainya amat sadar bahwa sudah cukup baik bagi mereka untuk sekedar meloloskan diri dari fase grup. Tim-tim di kelompok pertama tentu lebih berorientasi pada proses mencapai kemenangan di setiap pertandingan. Mereka memiliki banyak pemain yang “di atas rata-rata”, kuat di semua lini, sehingga tidak soal siapapun yang mereka mainkan, di atas kertas hasilnya akan positif. Tinggal bagaimana prosesnya, dan itu yang menentukan siapa yang akan diturunkan oleh pelatih di setiap pertandingan. Sebaliknya, tim-tim di golongan kedua relatif tidak punya banyak pilihan untuk dieksplorasi. Dengan skuad yang “terbatas”, proses menjadi tidak penting. Apapun caranya, bahkan dengan sepakbola negatif sekalipun, tidak masalah asal mereka menang, atau setidaknya tidak kebobolan. Lihat saat Kosta Rika berduel melawan Belanda di perempat final. Strategi “parkir bus” mereka nyaris berhasil, saat mereka berhasil membuat Belanda frustrasi selama 120 menit yang tanpa gol. Sayang, Louis Van Gaal punya seorang Tim Krul yang dimasukkannya di menit terakhir perpanjangan waktu untuk membuyarkan impian Kosta Rika melaju ke semifinal.
Dalam hidup, ada banyak orang yang begitu memperhatikan detail dalam semua yang dilakukannya. Mereka begitu peduli pada proses, begitu perfeksionis dalam melihat “bagaimana” sesuatu diperoleh. Kepuasan mereka ada pada kesempurnaan langkah demi langkah dalam mencapai tujuan. Namun, ada banyak orang pula yang hanya melihat “apa” yang bisa ia dapat, tak peduli caranya. Mereka cenderung pragmatis, dan berpikir bahwa konsekuensi dari tindakan mereka adalah urusan nanti, tak perlu dipikirkan sekarang. Yang mana pilihan anda, silakan bertanya pada diri anda sendiri.
2. Orang Yang Tepat Pada Situasi Yang Tepat
Hingga Belanda melaju ke perempat final, seorang Tim Krul belum bermain semenitpun. Maklum, ia hanyalah kiper ketiga di Tim Oranye setelah Jasper Cillessen dan Michel Vorm. Namun di menit terakhir perpanjangan waktu dalam pertandingan perempat final melawan Kosta Rika, Van Gaal menurunkannya menggantikan Cillessen. Van Gaal melihat bahwa catatan “prestasi” Krul dalam adu penalti lebih baik ketimbang Cillessen. Melihat bahwa tak ada lagi peluang untuk membuat gol di perpanjangan waktu, Krul dimasukkan dan terbukti ia sukses membendung dua tendangan pemain Kosta Rika yang memastikan Belanda lolos ke semifinal. Masih dari tim Belanda, cerita sebaliknya terjadi di semifinal ketika mereka berhadapan dengan Argentina. Karena memaksakan gol di masa perpanjangan waktu, Van Gaal memasukkan Klaas Jan Huntelaar menggantikan Robin Van Persie yang terlihat sudah kelelahan. Jatah pergantian tiga pemain yang sudah habis tidak memungkinkan Krul untuk masuk seperti saat melawan Kosta Rika. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan adu penalti seorang Cillessen, faktanya semua tendangan pemain Argentina berhasil membobol gawang Belanda, dan dua tendangan pemain Belanda berhasil digagalkan kiper Argentina Sergio Romero. Dalam situasi ini, Van Gaal sebenarnya butuh dua sosok penting: Krul dan Van Persie. Krul punya potensi membendung tendangan para pemain Argentina, dan Van Persie punya peluang membuat satu gol. Namun itu tidak terjadi, dan Belanda harus puas berebut tempat ketiga.
Itulah, dalam hidup kita terkadang berada pada situasi tertentu di mana kita membutuhkan orang tertentu pula. Dalam banyak kasus, “orang tertentu” itu bukanlah mereka yang kita pandang hebat selama ini. Seperti yang sering diucapkan mereka yang bijak, bahwa “terkadang malaikat itu tak bersayap, tak cemerlang, tak juga bercahaya”. Akan terjadi bahwa seorang yang kita anggap “rendah”, “bukan siapa-siapa” atau biasa-biasa saja akan menjadi “dewa penyelamat” dalam kehidupan kita.
3. ‘Pembangkitan Motivasi’ Tidak Sama Dengan ‘Sombong’
Ketika Brasil lolos ke perempat final setelah mengalahkan Chile di babak 16 besar, pelatih Luiz Felipe Scolari menyatakan pada pers bahwa “satu tangan Brasil sudah menggenggam Piala Dunia”. Saat itu, untuk menggenggam Piala Dunia Brasil bersama tim perempat finalis lainnya masih harus menjalani tiga laga lagi: perempat final, semifinal, dan final. Brasil memang menang lagi di perempat final atas Kolombia (yang memakan “korban” bintang mereka Neymar) dan lolos ke semifinal. Namun di babak itu, Brasil—yang berhadapan dengan Jerman—harus menanggung malu dengan “rekor” kebobolan terburuk dalam sejarah semifinal Piala Dunia sejak bergulir tahun 1930, yakni kebobolan tujuh gol dengan lima di antaranya dalam 30 menit pertama pertandingan. Organisasi permainan mereka kocar-kacir tanpa struktur, dan Jerman menjadikan lapangan pertandingan layaknya sebuah training ground bagi mereka. Sangat terlihat bahwa kehilangan Neymar yang cedera dan sang kapten Thiago Silva yang terkena akumulasi kartu kuning membuat Brasil seperti sebuah tim yang baru belajar bermain sepakbola.
Kesombongan memang tidak pernah baik. Saat perjalanan mencapai tujuan masih panjang, kita sebaiknya waspada dan mawas diri, bahwa banyak hal masih bisa terjadi dalam rentang perjalanan itu. Membangkitkan motivasi diri (dan tim) dengan sombong adalah dua hal berbeda. Ketika kita sudah mengatakan bahwa garis finis sudah di depan mata saat kita baru berada di separuh perjalanan, kita adalah orang-orang yang sombong. Namun saat kita merasa yakin bahwa kita akan sampai di garis finis saat semua terlihat masih berat dan panjang, itulah pembangkitan motivasi diri.
4. Kerjasama Tim vs ‘One Man Plus Plus’
Sejatinya sepakbola adalah sebuah olahraga tim yang dimainkan oleh sebelas orang dengan peran dan tugas masing-masing. Tim-tim seperti Jerman dan Belanda adalah gambaran yang nyaris sempurna dalam konteks ini. Sepakbola memang memerlukan sinergi yang kuat antar lini, kerjasama yang solid antar pemain, serta penerapan strategi bermain yang benar-benar melibatkan sebelas orang, bahkan pemain yang sedang tidak menguasai bola sekalipun. Namun beberapa kontestan Piala Dunia 2014, harus saya akui, tidak bisa menunjukkan hal ini. Mereka adalah kesebelasan-kesebelasan yang sangat kental bergantung pada satu-dua pemain. Lihat Portugal, yang sangat “Ronaldo-sentris”. Begitu pula Brasil, yang sangat bergantung pada kinerja seorang Neymar. Argentina pun demikian, sangat bergantung pada Lionel Messi. Kecuali Argentina yang secara mengejutkan (bagi saya pribadi) bisa melaju hingga partai puncak, kegagalan Portugal yang bahkan tidak lolos fase grup dan Brasil yang hancur lebur di semifinal adalah gambaran bahwa sepakbola tidak bisa dimainkan hanya dengan berharap pada kemampuan satu-dua pemain, sementara yang lain hanya berperan sebagai ‘pendukung’. Ketika tim-tim seperti itu harus berhadapan dengan sebuah kolektifitas seperti yang ditunjukkan Jerman, hasilnya fatal (Portugal kalah telak 0-4 dan Brasil hancur lebur 1-7). Argentina sebenarnya nyaris mendapat hasil serupa saat melawan Belanda di semifinal, ketika statistik menunjukkan bahwa penguasaan bola dan peluang lebih banyak dimiliki Belanda. Beruntung, dewi fortuna menyertai mereka hingga lolos lewat adu penalti. Pendapat saya, bila Argentina menjadi juara Piala Dunia 2014, ini adalah preseden buruk untuk sepakbola, karena sepakbola akan menjauh dari nilai fundamentalnya: sebuah olahraga tim.
[Namun sejarah Piala Dunia menunjukkan ini pernah terjadi, ketika Argentina di tahun 1986 menjadi juara dunia “hanya” dengan jerih payah seorang Diego Armando Maradona].
Ketika berada pada sebuah situasi yang menuntut kerjasama tim, bekerjalah sebagai sebuah tim. Beri porsi yang seimbang pada semua anggota tim sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Sebuah kelompok yang hebat bukanlah kelompok yang memiliki seorang “bintang” tapi tak didukung oleh anggota lainnya, melainkan kelompok yang terdiri atas sekumpulan orang yang berkomitmen kuat untuk mencapai tujuan bersama (meskipun kemampuan individu dalam kelompok mungkin tidak terlalu istimewa). To achieve a common goal, we don’t need a great man; we need a great team.