Pertengahan November lalu saya bersama keluarga berkesempatan menikmati beberapa hari berada di Jogjakarta. Kebetulan ada suatu keperluan keluarga, plus dua hari keperluan dinas memenuhi undangan dari sebuah instansi Pemerintah.
Bagi saya, Jogjakarta selalu bisa menjadi cerita. Seperti lirik sebuah lagu, selalu ada sesuatu di sana. Ia mungkin dikenal sebagai kota pelajar, kota perjuangan, atau kota sejarah. Ia juga mungkin dikenal dengan angkringannya, Keraton-nya, atau Jalan Malioboro-nya. Bagi saya Jogjakarta lebih dari semua itu. Jogjakarta juga lebih dari sekedar jutaan kenangan. Jogjakarta adalah sebuah filosofi, kehidupan, dan jiwa.
Meskipun “resminya” saya hidup di kota ini hanya sekitar tiga tahun (selama saya menjadi Taruna Akademi Angkatan Udara), tapi pesona dan aura kota ini telah membuat saya jatuh hati. Saya medapatkan banyak hal dari tempat ini, terlebih ketika saat ini hari-hari saya dihabiskan dengan suasana yang penuh kepalsuan, basa basi, pemenuhan ego, dan “kasak kusuk” para pemburu ambisi. Jogjakarta selalu bisa memberi saya kepuasan atas dahaga saya akan ketenangan, kedamaian, kesejukan jiwa, dan perenungan untuk “kembali pada diri sendiri”.
Sebagian besar orang yang pernah ke kota ini pasti merasakan bagaimana tempat ini begitu bersahabat, bersahaja, dan menenangkan di setiap sudutnya. Keramahan adalah jiwa dari kota ini. Persahabatan adalah roh yang melekat di tiap denyut nadinya. Itulah sebabnya saya sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar duduk sambil menikmati wedang jahe, kopi, atau gorengan di angkringan yang bertebaran di sana, sembari menyaksikan bagaimana kebersahajaan itu lalu lalang di hadapan saya: dalam diri para penjual angkringan, para penarik becak atau delman, atau para penjaja gudeg dan sate dengan bakul dagangan di pundak atau kepala mereka.
Jogjakarta adalah rumah bagi saya. Bukan semata-mata karena saya merasa nyaman berada di dalamnya, melainkan karena saya selalu bisa menemukan “rumah” bagi batin saya: diri saya sendiri. Jogjakarta adalah sebuah ruang besar bagi kontemplasi saya, ketika saya merasa sangat penat, lelah dan terkuras lahir batin oleh Jakarta. Jogjakarta selalu menyajikan saya presentasi nyata tentang kesetaraan kita sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, tentang penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, dan tentang pengharapan yang selalu ada dalam keadaan seperti apapun. Saya melihat itu semua tanpa buku, tanpa power point slides, tanpa teori atau pengantar dari siapapun. Jogjakarta menghadirkan semuanya secara “live” di depan mata saya, dan menancapkan semua tontonan itu dalam nurani saya.
Saya melihat dan merasakan sebuah perjalanan kembali pada diri saya sendiri dari kota ini, bukan dari para wisatawan atau pelancong, melainkan justru dari warganya yang lahir, dibesarkan atau hidup dari kota ini. Dari momen ketika kemewahan yang dibawa dan dipertontonkan para wisatawan di hadapan mereka yang berjuang dengan mengayuh becak, mengemudikan delman, menjajakan makanan, atau memainkan musik jalanan itulah saya melihat bagaimana kota ini memberi sebuah pelajaran berharga, yang bagaikan mata air bagi dahaga batin saya. Pelajaran yang mengatakan kepada saya betapa kecilnya kita sebagai manusia, dan betapa lemahnya kita dalam perjuangan mengalahkan musuh terberat kita: diri kita sendiri.
Dari mereka yang tampak “biasa” di mata sesama manusia, saya justru belajar tentang sebuah kebesaran jiwa, penerimaan tulus terhadap apa yang Tuhan beri kepada mereka, yang selalu mereka syukuri, dan mereka pakai untuk memelihara asa akan kehidupan hari esok yang lebih baik. Dalam skala tertentu, saya merasa melihat Tuhan bersemayam dalam batin mereka—sebuah keadaan yang sangat saya rindukan, ketika diri ini bisa menyisihkan sedikit ruang untuk Tuhan dapat berdiam di dalamnya.
Ketika hati kecil selalu bertanya apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini, Jogjakarta hadir sebagai sebuah ruang besar di mana mahluk kecil seperti saya dapat menikmati sebuah perenungan yang berisi perjalanan menuju rumah saya sesungguhnya: diri saya sendiri. Rumah yang menyediakan sebuah ruang bagi Sang Penguasa dan Pencipta Hidup untuk berdiam di dalamnya.
Manunggaling Kawula Gusti.
As a first time visitor of Jogja-just recently, this article completely described all the nuance I was experiencing during my visit there.
This city brought that homey feeling, it even soothed and recharged my soul to the state that enabled me to believe, once again, in humanity, in sincerity, in acceptance to the life of hardwork but not aggressively ambitious, in submission to the way the universe shapes oneself, and even down to a simple thing like common courtesy, something that’s almost pre-extinct in Jakarta.
Everyone should come to Jogja at least once in their lifetime and experience the true sense of humane civilization.
PS: this article was well written in Indonesian, if any reader find any difficulty in the browser’s automatic translation, I found that the “block-n-paste” to transl. app should do the trick, and would not derail from what Mr. Keneddy intend to write.
Thank you for your very kind comment bro. Happy falling in love with Jogjakarta!