Setiap bulan Agustus, saya selalu mengingat kebaikan Tuhan dalam salah satu babak penting kehidupan saya: hari pernikahan. Mengingat penyertaan Tuhan yang luar biasa saat saya bersama istri mulai membangun fondasi sebuah keluarga—menjalani hidup dengan “modal” seadanya (hanya mengandalkan gaji yang sudah kena potongan sana sini), benar-benar tidak punya apa-apa—semakin membuat saya merasa bahwa Tuhan itu nyata, bukan sekedar dongeng atau retorika agama. Kebaikan Tuhan dalam menyertai kehidupan rumah tangga kami dari benar-benar nol hingga saat ini hanyalah rangkaian dari kebaikan Tuhan yang tidak pernah berhenti mengalir sejak saya hadir ke dunia sekitar 48 tahun silam. Kebaikan itu terasa makin sempurna ketika Dia menitipkan kepada kami dua buah hati yang ganteng (Si Sulung) dan cantik (Si Bungsu). Tuhan juga menghadirkan orang-orang baik di sekeliling keluarga kami, antara lain asisten rumah tangga kami (Si Mbak).
Agustus tahun 2023 ini, saya merasa ada beberapa sentuhan emosional yang lebih istimewa…
Si Bungsu
Kebaikan Tuhan itu datang lagi dan lagi. Kali ini, sebuah berita baik bagi keluarga kami karena anak kami yang kedua (si bungsu) diterima di sebuah universitas ternama di Malang, Jawa Timur. Itu adalah perguruan tinggi negeri (PTN) favoritnya, kotanya juga kota yang ia suka. Yang menyentuh bagi saya adalah, keberhasilannya masuk PTN ini diperoleh setelah serangkaian kegagalan yang dia alami dalam beberapa ujian masuk PTN sebelumnya (mungkin ada empat atau lima PTN, baik lewat jalur rapor, UTBK maupun mandiri). Rangkaian ketidakberhasilan itu sempat membuatnya “down” dan saya bahkan harus setengah memaksanya untuk mengambil kesempatan terakhir yang terbuka saat itu, dan ternyata di sanalah Tuhan memberi jawaban yang melebihi harapannya: fakultas dan jurusan yang menjadi passion-nya, dan di kelas internasional.
Karena
hal ini, istri bersama anak sulung saya harus menghabiskan waktu beberapa hari
berada di Malang untuk mempersiapkan banyak hal, terutama kost dan kelengkapannya. Naluri seorang Ibu yang sangat
mengkhawatirkan anak perempuannya membuat mereka bolak balik kesana kemari
mencari kelengkapan sehari-hari untuk si bungsu. Istri saya dibantu juga oleh
seorang temannya yang ikut dari Bogor dan tidak kalah capeknya menyiapkan ini
itu untuk anak saya. Saya sempat
menyusul di akhir pekan (Sabtu dan Minggu) untuk sedikit membantu mereka, dan harus
kembali Minggu malam ke Jakarta karena masuk kantor lagi hari Senin-nya. Saya dapat melihat raut kebahagiaan di wajah
anak saya karena ia mendapatkan lebih dari yang ia harapkan.
Si Sulung
Agustus
ini juga, anak sulung saya sudah sekitar empat bulan berada di rumah, setelah
menyelesaikan kuliahnya di sebuah kampus di Australia. Dia harus kembali ke Australia, karena ia harus
mengurus visa baru setelah ia selesai kuliah ini (graduate visa). Saya
bersyukur, sebelum ia kembali ke sana, ia sudah sempat menemani ibu dan adiknya
mempersiapkan kuliah si adik di Malang.
Seminggu
sebelum ia kembali ke Australia, saya mendapat perintah (mendadak) untuk
mendampingi pimpinan dalam sebuah kunjungan dinas ke Amerika Serikat. Bagi saya, ini bukan timing yang tepat karena saya ingin menghabiskan satu minggu ke
depan untuk banyak berbincang dengan si sulung, sebelum ia terbang ke Australia
dan tidak tahu berapa lama lagi kami akan bertemu dengan dia secara
langsung. Tapi saya adalah seorang
prajurit, dan sebuah perintah tetaplah sebuah perintah, apapun kondisinya.
Istri
dan anak sulung saya mengantar saya ke bandara Soekarno-Hatta, dan saya menyampaikan
beberapa pesan secara singkat untuk anak saya sebelum ia kembali ke Australia
minggu depannya. Ada sebuah keengganan
untuk beranjak ke dalam terminal bandara, ketika saya merasa bahwa seminggu
terakhir bersama anak sulung saya “terenggut” dari kehidupan saya. Tapi saya sadar, ini mungkin salah satu
bentuk pengabdian saya kepada negara, meski mata saya terus melihat keluar
ketika sudah berada di dalam terminal keberangkatan, memastikan bahwa mobil
yang membawa istri dan anak sulung saya sudah meninggalkan titik penurunan
penumpang (drop-off point).
Si “Mbak”
Karena perjalanan ke Amerika Serikat adalah sebuah perjalanan yang panjang, saya membeli paket Wi-Fi di pesawat yang saya tumpangi, sehingga saya tetap bisa berkomunikasi selama penerbangan yang panjang itu. Lalu saya sempatkan membuka WhatsApp (aplikasi percapakan favorit banyak orang hehehe…) dan saya melihat story atau status WhatsApp si “Mbak” yang sehari-hari membantu kami membersihkan dan beres-beres di rumah. Si “Mbak” mengunggah sebuah foto dirinya dan kakaknya (yang sehari-hari ikut membantu dia di rumah kami) yang mengapit anak bungsu saya. Foto itu saya yakin diambil sesaat sebelum istri dan kedua anak saya berangkat ke Malang untuk mempersiapkan keperluan kuliah si bungsu.
Dalam keterangan (caption) di bawah fotonya, si “Mbak” menulis kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: “Sudah ngga ada lagi yang minta rujak sama mie goreng. Ngga lagi menyiapkan bekal. Kehilangan, karena kuliahnya jauh. Semoga sehat-sehat selalu, dikelilingi sama orang-orang baik, dimudahkan segala urusannya, dan kelak bisa jadi orang (sukses). Amin…” Anak bungsu saya memang hobi makan, dan rujak serta mie goreng adalah favoritnya, dan ia selalu minta si “Mbak” untuk membuatkan untuknya. Setiap pagi selama si bungsu sekolah di SMA, si “Mbak” setia menyiapkan bekal makanan untuk dibawa ke sekolah (dan anak saya pernah bercerita bahwa bekalnya adalah yang “terlengkap” dibandingkan bekal teman-temannya karena selalu ada lauk, sayur dan buah selain nasi. Lauknya bahkan bisa lebih dari satu macam). Si “Mbak” sudah memperlakukan dia seperti anaknya sendiri.
Tuhan
Status
atau story WhatsApp si “Mbak” itu
memicu rangkaian ingatan saya akan momen-momen di bulan Agustus 2023 ini:
penyertaan Tuhan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kami, kebaikanNya
untuk anak bungsu saya, waktu yang Dia berikan untuk berbagi kebersamaan dengan
anak sulung saya, serta orang baik dan tulus yang ada bersama keluarga kami
sehari-hari. Mengingat kembali semuanya
itu membuat saya meneteskan air mata di tengah gelapnya kabin pesawat A-380
yang membawa saya ke Amerika Serikat.
Saya meneteskan air mata bukan sekedar karena teringat akan kedua anak
saya atau membaca status WhatsApp si
“Mbak”, namun lebih dari itu, karena mengingat begitu luar biasanya kebaikan
Tuhan dalam hidup saya.
Tuhan
menyertai dan memelihara keluarga kami, yang kami rintis dengan tertatih-tatih
dalam segala keterbatasan dan ketidakpunyaan.
Kami dapat membuktikan kasih setia Tuhan yang nyata, yang tanganNya
tidak membiarkan kami terjatuh serta membawa kami dapat hidup seperti sekarang
ini. Tuhan baik dalam kehidupan
anak-anak kami: menyertai si sulung menyelesaikan kuliahnya di Australia dengan
predikat “First Class Honours”
(setara cum laude), membuka pintu
bagi si bungsu untuk belajar di kampus dan kota favoritnya. Yang tidak kalah
penting, Tuhan sangat baik dalam kehidupan keluarga kami dengan menghadirkan
orang-orang baik seperti teman istri saya dan si “Mbak” yang membuat banyak
urusan keluarga kami menjadi mudah.
Saya melihat sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan saya, sesuatu yang sebenarnya bukan hal baru karena sudah ada sejak saya lahir ke dunia: kebaikan Tuhan. Mulai dari kedua orang tua yang luar biasa, adik-adik yang baik, dan banyak kebaikan lagi sepanjang hidup saya bersama orang-orang terkasih. Meskipun bukan hal baru, tetap saja saya terkesima dengan begitu baiknya Tuhan dalam kehidupan saya. Sang Pencipta Yang Maha Kasih, yang selalu baik dengan caraNya, yang menjawab harapan saya pada waktuNya, dan memberi saya lebih dari apa yang layak saya terima.
“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.” (Filipi 1:21-22)
Aku percaya bahwa semua keyakinan
mengajarkan kita banyak hal yang sama, salah satunya adalah bahwa Tuhan (apapun
kita menyebutnya) berkuasa penuh atas hidup kita, seperti soal rejeki, jodoh,
umur, dan semua hal lainnya. Namun, kita
melihat bahwa meyakini dengan sepenuh hati kekuasaan Tuhan atas hidup kita,
dalam banyak contoh, bukanlah hal mudah.
Ada kesenjangan kebijaksanaan yang sangat besar antara manusia dengan
Penciptanya di sini, sehingga keterbatasan pengetahuan kita membuat kita tetap
merasa cemas, khawatir, atau takut seiring banyaknya “ketidakpastian” yang kita
rasakan dalam kehidupan kita.
Saat duduk di bangku SMP, salah seorang
guru pernah berkata kepadaku: “Jon, setiap orang sudah punya ‘jatah’ umurnya
masing-masing. Ketika ‘jatah’ itu habis,
maka selesailah kehidupan dunianya”.
Dalam satu hal inipun, aku yakin bahwa secara umum pandangan semua
keyakinan atau agama juga sama, yaitu bahwa perjalanan hidup yang kita tempuh
hari demi hari itu pada hakekatnya adalah perjalanan menuju sebuah akhir,
sekaligus sebuah awal. Akhir dari
kefanaan di dunia, dan awal dari sebuah keabadian.
Kita melihat hari ulang tahun sebagai
rangkaian perjalanan dari titik awal kefanaan, yaitu berapa lama kita “sudah”
berjalan sejak kita dilahirkan ke dalam dunia ini. Itu karena tidak ada satupun manusia yang
tahu kapan perjalanan itu akan berakhir, atau seberapa jauh lagi “garis finish” itu. Ketika ada yang berulang tahun, kita selalu
mengatakan “Semoga panjang umur”, yang sebenarnya kita mendoakan agar “garis finish”-nya masih jauh. Namun, seberapapun masih jauhnya garis akhir
itu, kita tetap berjalan mendekatinya, tanpa pernah tahu kapan kita akan tiba
di sana, apakah lima menit lagi, satu hari lagi, tiga bulan lagi, sepuluh tahun
lagi, atau kapan. Di situlah Tuhan
menggenggam erat dan menguasai rahasiaNya, sebuah rahasia Ilahiah.
Kebetulan aku adalah orang yang memilih untuk
melihat bertambahnya usiaku sebagai perjalanan yang semakin mendekatkanku pada keabadianku,
dengan peti matiku sebagai “garis start”-nya. Kalaupun itu kulakukan dengan melihat ke
belakang, kepada semua ingatanku akan apa yang terjadi dan kualami di masa-masa
lalu sepanjang hidupku, itu lebih merupakan upayaku agar keyakinanku semakin
kuat bahwa hingga akhir hidup duniaku kelak (yang aku tak tahu kapan), Tuhan
akan tetap setia bersamaku, menjagaku, memeliharaku, dan menopangku. Puji Tuhan, setidaknya hingga hari ini ketika
sudah 47 tahun kutempuh langkah hidupku, aku dapat merasakan semakin tumbuhnya
keyakinan akan kesetiaan Tuhan dalam hidupku.
Menceritakan kebaikan Tuhan dalam
hidupku bisa menjadi sebuah kisah panjang yang tidak berkesudahan, bahkan bisa
lebih panjang daripada soal kehidupan itu sendiri. Mengingat semua kemurahan Tuhan dalam
perjalanan hidup ini bahkan bisa menjadi menit-menit hening yang penuh air mata
dan rasa haru, karena semakin kuingat, semuanya terasa semakin luar biasa. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa mujizat itu
dekat, hanya sejauh doa; keajaiban itu tidak jauh, hanya sejauh seruan hati.
Kesetiaan Tuhan nyata dan teruji dalam
hidupku, meskipun dalam banyak hal, perlu waktu bagiku untuk menyadari
kesetiaanNya itu. Sering sekali terjadi aku kecewa ketika sesuatu berjalan tak
sesuai harapan, tapi Dia dengan caraNya yang luar biasa selalu menyingkap
perlahan-lahan semua rahasiaNya. Ketika
tiba waktuNya (bukan waktuku), Dia membukakan tirai itu sehingga aku dapat
melihat alasanNya untuk membiarkan sesuatu terjadi padaku, alasanNya membawaku
melalui jalan berbatu dan penuh duri, atau mendaki bukit terjal yang tak pernah
kukehendaki, atau melalui malam kelam yang penuh kejahatan. Setelah tirai itu Dia buka, yang kulihat di
depanku adalah sebuah terang yang hangat bersahabat, penuh limpahan berkat dan
kebaikan.
Ketika kehidupan tidak selalu bersahabat
dan menawarkan perjalanan yang sering kali terasa terlalu keras untukku, aku
dapat merasakan tanganNya menopang kakiku sehingga aku tidak jatuh. Ketika aku terlihat begitu lemah di hadapan sebuah
badai ganas, aku dapat merasakan pelukanNya yang mendekapku erat dan badai itu
hanya berlalu begitu saja. Ketika jurang
terlihat terlalu curam untuk kuturuni, aku dapat merasakan tanganNya
menggenggam tangan lemahku sehingga aku tidak tergelincir. Aku selalu merasakan Dia ada, hadir, bekerja
dan melakukan campur tanganNya tanpa henti, dan tidak pernah terlambat. Dalam banyak hal, Dia melakukan semua itu bahkan
sebelum aku meminta.
Aku bersyukur bahwa masa laluku membuat
semua kebaikanNya itu begitu mudah untuk dilihat. Ketika masa kecil harus dijalani dengan penuh
kekurangan dan keterbatasan, dari satu titik rendah ke titik rendah yang lain, dari
satu kesusahan ke kesusahan yang lain, Dia memeliharaku dan semua orang
terkasihku, menjaga kami, menganugerahkan kami kesehatan, sehingga kami
dikuatkan melalui semuanya. [Aku nyaris tidak bisa merasakan bangku SMA karena
keadaan ekonomi keluarga, dan Dia menjawab doa-doa kami bukan dengan memberi
keluarga kami uang, melainkan dengan memberiku SMA terbaik di Indonesia—saat itu—tanpa
harus membayar alias gratis]
Masa remaja di SMA, Akabri hingga awal
karier sebagai Perwira TNI juga bukan masa-masa yang berisi
kemudahan-kemudahan. Aku tidak punya “darah
biru” atau “balung rojo”, dan
semuanya harus kuusahakan sendiri. Gaji—yang
tidak seberapa—adalah satu-satunya penghasilan.
Membangun keluarga di usia yang masih amat muda juga merupakan bukit
terjal lainnya. Istriku dan aku hanyalah
orang-orang biasa yang memperjuangkan segalanya sendiri, dan tak bisa berharap
atau mengandalkan siapapun, termasuk keluarga besar kami, karena kami semua
bukan berasal dari keluarga berada. [Suatu
hari saat jam istirahat siang di kantor, aku pernah pulang ke mess tempat kami
berdua tinggal, dan hanya ada semangkuk mie instan yang bisa dimasak istriku
yang saat itu sedang hamil anak pertama kami, karena gajiku sudah habis sebelum
bulan berakhir]
Tapi itulah Tuhan, yang dengan
kebaikanNya yang tidak pernah habis, setia menemani setiap hari perjuanganku,
upaya-upayaku, jerih lelahku sekalipun hari-hari itu penuh air mata. Ketika aku mulai mempertanyakan kebenaran
jalan yang kupilih, Tuhan pada saat yang menurutNya tepat selalu bisa membuka
mataku bahwa Dia ada bersamaku, tidak pernah meninggalkanku sendirian, atau
berpaling dariku. Dengan caraNya Dia
membimbingku untuk melihat cahaya terang itu pada waktunya, menyingkap rahasia
yang selama itu Dia simpan hingga aku melihat sendiri bahwa jalan yang Dia
pilihkan tidak salah, bahwa rancanganNya bukanlah rancangan kegagalan,
melainkan rancangan masa depan yang berlimpah kebaikan.
Gejolak-gejolak dalam hatiku tetap ada,
semata-mata karena keterbatasan hikmatku sebagai manusia biasa. Ketika kenyataan di hadapanku tidak seperti
harapanku, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran jalan Tuhan itu selalu
muncul. Ketika waktuku tidak sama dengan
waktuNya, ketika jalan berbatu dan badai kelam itu tetap muncul dalam
wujud-wujud barunya, ketika pintu yang sudah terbuka tertutup lagi, aku selalu
bertanya dan bertanya kembali: “apakah ini memang jalan yang tepat untukku?”, “mengapa
Engkau membawaku ke sini?”, “mengapa tak Engkau ijinkan aku ke sana?” dan
seterusnya.
Namun sekali lagi, Tuhan baik. Sangat baik.
Ketika Dia mengatakan “tidak”, atau “nanti dulu” untuk sebuah doa dan
permintaan, Dia akan tunjukkan alasannya, dengan cara dan waktuNya sendiri, dan
aku selalu melihat bahwa waktuNya tidak pernah salah, rencanaNya tidak pernah
gagal. Aku berkali-kali dibohongi oleh
manusia, diberi harapan-harapan palsu, janji-jani bodong, tapi Dia tidak pernah berbohong atas janji-janjiNya. Aku tahu bahwa Dia tidak menjanjikan langit
yang selalu biru, atau jalanan yang selalu tanpa hambatan. JanjiNya adalah bahwa dalam langit yang
paling kelam atau jalanan paling terjal sekalipun, Dia tidak akan
meninggalkanku, selalu ada bersamaku, menyertaiku, menjagaku, memeliharaku, dan
membimbingku hingga kuraih kemenanganku.
Empat puluh tujuh tahun perjalanan,
tepat tanggal 13 Februari ini, telah semakin lebar membuka mataku akan kasih
setiaNya yang tak berkesudahan, akan mujizatNya yang ada di setiap langkahku,
akan dekapan hangatNya dalam setiap takutku, akan genggaman tanganNya dalam
setiap lemahku, dan kuasa perlindunganNya yang bagaikan benteng pertahanan maha
kokoh sehingga kejahatan-kejahatan tidak dapat menyentuhku. Satu-satunya sahabat setia yang selalu dapat
kuandalkan dan kupercaya. Sumber segala
berkat dan kebaikan dalam hidupku, segala karunia yang aku terima dan
rasakan. Penguasa Kehidupan yang
kuasaNya tak berbatas, melampaui segala akal dan pengetahuan. Aku berhutang terlalu banyak padaNya, hutang
yang tidak pernah bisa aku bayar, sekalipun aku tahu cintaNya adalah cinta yang
tak bersyarat. Cinta yang tetap Dia
berikan bahkan dalam keadaanku yang paling hina sekalipun.
Hari ini, aku kembali mengingat itu
semua dalam ungkapan syukur, seraya berdoa padaNya agar Dia berkenan memberiku
waktu yang lebih panjang di kehidupan sementara ini, sehingga aku punya ruang
lebih banyak untuk dapat menyatakan kemuliaanNya di hadapan dunia, menjadi saluran
berkatNya untuk lebih banyak orang, dan meninggikan Dia melalui
kebaikan-kebaikan dalam setiap ucapan dan perbuatanku. Itu permintaanku, yang mungkin akan Dia jawab
dengan kata “tidak”. Kalaupun itu yang
terjadi, aku yakin bahwa semua adalah yang terbaik bagiku, dan bagi semua yang
mengasihiku. Aku hanya memohon bahwa
ketika tiba waktuku untuk kehidupan abadiku, aku sudah layak di hadapan Dia.
Terima
kasih Tuhanku, Sahabatku, Penolongku Yang Setia.
Sebuah keluarga kecil menghabiskan satu
hari di tanggal 25 Desember sebagaimana mereka menjalani hari-hari
lainnya. Bedanya, tiga anak dalam keluarga
tersebut tidak ke sekolah sekalipun itu bukan hari Minggu (saat itu hari sekolah
adalah Senin sampai Sabtu). Sang Ayah
tetap pergi ke kebun sejak pagi. Sang
Ibu menyiapkan makanan untuk dibawa ke kebun buat sarapan Sang Ayah. Ketiga anaknya membersihkan rumah sambil
membantu Ibu menyiapkan makanan ke dalam rantang susun, kopi hitam panas ke
dalam termos, dan radio transistor untuk dibawa ke kebun.
Rumah kecil keluarga ini berdinding
papan, beratap jerami, dan beralaskan tanah, persis seperti lirik sebuah lagu
dari kelompok “God Bless”-nya Ahmad
Albar. Hanya ada tiga ruangan di rumah
kecil itu: ruang depan untuk makan, belajar anak-anak sekaligus menerima tamu,
kamar dengan dipan kayu panjang untuk tidur berlima, dan dapur sekaligus gudang
untuk menyimpan alat-alat pertanian Sang Ayah termasuk untuk menyimpan
pupuk. Tidak ada toilet ataupun kamar
mandi. Mereka mandi di sumur yang digali
Sang Ayah sekitar 30 meter dari rumah.
Pada saat libur sekolah, anak-anak
selalu ikut membantu orang tua mereka di kebun.
Membersihkan rumput-rumput liar di sekeliling tanaman cabe atau semangka
(tergantung musim saat itu), memupuk tanaman di lubang-lubang yang sudah digali
Sang Ayah atau Ibu lalu menimbunnya kembali, atau menyiram tanaman dengan air
yang disedot oleh pompa dari sungai, berteman sebuah radio transistor bertenaga
enam baterai yang sesekali dipindah sesuai lokasi mereka bekerja di kebun. Itu rutinitas libur mereka, termasuk ketika
libur Natal 25 Desember, saat keluarga Kristiani lainnya pergi ke gereja dan
setelahnya merayakan Natal bersama keluarga.
Bagi keluarga ini, 25 Desember hanyalah
sekedar tanggal merah biasa seperti tanggal merah lainnya di kalender. Hari ketika anak-anak tidak perlu pergi ke
sekolah dan bisa membantu orang tuanya di kebun. Tidak ada perayaan, tidak ada baju baru,
tidak ada kado, tidak ada pohon terang.
Gereja terdekat berjarak cukup jauh untuk ditempuh berlima, ketika alat
transportasi yang mereka miliki hanya sebuah sepeda motor tua dan sepeda onthel.
Kadang-kadang ada tetangga yang datang untuk mengucapkan selamat Natal,
dan setiap ditanya mengapa tidak ke gereja atau jalan-jalan, Sang Ayah selalu
memiliki jawabannya sendiri.
Bagi keluarga ini, hidup sudah terlalu berat untuk dijalani bahkan dengan standar sekedar “normal”. Bisa makan tiga kali sehari dan anak-anak bisa tetap bisa sekolah sudah menjadi sebuah pencapaian besar bagi Sang Ayah sebagai kepala keluarga. So, 25th of December is just another day, another day-off.
========================================
Keluarga di atas adalah keluarga pemilik
website ini, penulis tulisan
ini. Keluargaku di Jambi. Aku adalah anak tertua dari tiga anak di
atas, dengan satu adik perempuan dan satu adik laki-laki (adik termudaku
sekarang belum lahir saat itu).
Aku—dan kami semua—sangat akrab dengan
semua lagu Natal sejak kecil, termasuk saat kami menjalani kehidupan di tengah
kebun (lebih tepatnya di tengah hutan karena secara harfiah, rumah kami memang
dikelilingi hutan, yang sebagian di antaranya sudah dibuka oleh Ayahku untuk
menjadi kebunnya). Saat itu, lagu Natal
hanyalah kumandang yang kami dengar di radio, sambil membayangkan pohon Natal
yang dihujani salju ala Eropa. Lamunan
kami yang tipikal ini membawa kami pada bayangan-bayangan lainnya: keluarga
yang sedang berkumpul di bawah pohon terang, membuka kado dari orang-orang
tercinta, mengenakan topi Sinterklas, lalu menikmati makanan dan minuman
istimewa bersama keluarga mereka.
Sekedar lamunan, yang kami tidak tahu kapan akan merasakannya.
24 Desember 2021.
Aku tiba di kantorku di Jakarta sekitar
pukul 06.00, berdoa sebentar seperti biasa, lalu menyalakan smart TV mencari lagu-lagu Natal di Youtube. Aku melamun lagi, tapi bedanya, aku tidak
membayangkan pohon terang yang dihujani salju (aku sudah beberapa kali
merasakannya di beberapa negara Eropa dan Amerika hehehe…). Lamunanku jauh ke masa lalu ketika Natal
selalu kami isi dengan membantu Ayah dan Ibu di kebun. Ketika Natal hanyalah sebuah tanggal merah
biasa yang membebaskan kami dari sekolah.
Masa lalu itu telah membangun bagiku
sebuah perspektif baru tentang Natal.
Aku tahu bahwa hingga saat ini, masih ada ribuan keluarga Kristiani yang
melihat Natal sama seperti kami melihat Natal di sekitar tahun 1985 sampai 1990-an
itu. Mereka yang masih berjuang dengan
hidupnya, yang bahkan belum tahu apakah mereka bisa makan tiga kali hari ini,
atau apakah mereka bisa makan besok, dan seterusnya. Natal yang mungkin saja jutsru menjadi “derita”
bagi mereka karena tidak bisa merayakan, tidak bisa pulang ke kampung halaman karena
tidak punya uang, dan pada saat yang sama mereka melihat banyak keluarga
bergembira dengan segala kecukupannya.
Aku bersyukur karena dari masa lalu
Tuhan mengingatkanku tentang makna Natal yang sesungguhnya. Tentang sukacita yang dibawa oleh Tuhan ke
bumi melalui bayi kecil bernama Yesus Kristus.
Masa lalu telah membangun pemahamanku saat ini bahwa Natal adalah
tentang berbagi cinta kasih, berbagi sukacita, dan berbagi damai sejahtera. Itulah yang dilakukan oleh Tuhan sendiri
ketika Dia memberi sukacita, cinta kasih dan damai sejahtera kepada mahluk
ciptaanNya melalui seorang anak yang dikirimkanNya ke bumi, agar mereka semua
terbebas dari dosa, dan bisa merasakan kerajaan Surga.
Bagiku, Natal adalah tentang memberi,
karena Natal itu sendiri adalah wujud pemberian Tuhan berupa keselamatan untuk
semua umat manusia dari segala kuasa dosa dan kegelapan. Natal adalah tentang empati atas penderitaan
orang lain, atas kekurangan mereka, atau rasa kehilangan mereka. Natal bukan tentang kemewahan, kado, pohon
terang, baju baru atau jalan-jalan.
Yesus Kristus lahir di sebuah palungan
di kandang domba, dan yang menjenguk bayi Yesus pertama kali adalah para
gembala. Kisah itu saja sudah cukup
menggambarkan bagaimana Natal sangat lekat dengan kesederhanaan, kebersahajaan,
dan ketulusan. Natal adalah milik semua
orang, seperti para gembala yang nota
bene masyarakat biasa ikut bersukacita menyambut hadirnya Sang Juru Selamat
ke dunia.
Di tengah alunan lagu Natal yang
kudengar saat menulis ini, aku mengingat mereka semua yang tengah berduka, yang
tengah bersedih, yang sedang berjuang untuk hidupnya, sama seperti yang kami
sekeluarga rasakan setiap mendengar lagu Natal di tahun 1985 sampai 1990-an. Aku
mengingat semua yang merasa termarjinalkan karena keadaan, terpinggirkan karena
status sosial, dan terasing karena kemiskinan.
Percayalah, Natal ini juga hadir untuk kalian semua, maka
bersukacitalah. Ingatlah bahwa kita
semua punya alasan yang sama untuk bersukacita, bukan karena kita punya baju
baru, mendapat banyak kado atau bisa jalan-jalan, melainkan karena Tuhan
memberikan kepada kita semua keselamatan melalui anakNya.
Ketika memaknai Natal sebagai sebuah
karunia atau pemberian Tuhan, aku lebih senang untuk menjadikan setiap hariku
sebagai hari Natal, ketika hidup kujalani dengan sebuah prinsip bahwa nilai
seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dia punya, melainkan oleh apa yang dia
perbuat atau berikan bagi sekitarnya.
Menjadi berkat bagi banyak orang.
Berbagi sukacita sehingga siapapun ikut merasakan sukacita kita, dan
menguatkan mereka yang bersedih.
Pada akhirnya, alunan lagu Natal ini
mengingatkanku pada kasih Tuhan yang luar biasa dan tidak pernah habis dalam
hidupku. Aku merenungkan kembali ketika
Dia menghadirkan bagiku seorang pria dan seorang wanita hebat dalam wujud Ayah
dan Ibuku, adik-adik yang baik, istri dan anak-anak yang setia, dan banyak
orang baik yang ada di sekelilingku. Juga
ketika Dia membukakan banyak pintu bagi kehidupanku yang semakin baik dari
waktu ke waktu, dan ketika Dia dengan caraNya yang luar biasa membawa kami
keluar dari berbagai kesulitan. Sukacita
Natalku adalah karena perjalanan yang kurangkai bersama Tuhan yang tanganNya
selalu menuntunku agar aku tidak terjatuh dan merasa terlindungi, serta
kasihNya yang setia menjawab semua pergumulanku. Sebuah sukacita karena aku tahu Tuhan tidak
pernah gagal dan tidak pernah terlambat membuktikan cintaNya kepada semua orang.
Aku menulis surat ini untuk hari istimewamu,
ketika kamu memasuki sebuah masa yang menurut banyak orang adalah masa-masa
kamu mencari jati dirimu, menjadi seorang remaja.
Pahamilah anakku, bahwa tujuh belas
(tahun) hanyalah sekedar angka. Ia tidak melambangkan atau mewakili apapun. Representasi
dirimu adalah semua pikiranmu, tutur katamu, dan segala perbuatanmu. Semua itu tidak dapat diwakili oleh
angka-angka, dan tak berbatas usia.
Ketahuilah bahwa setiap langkah kecil
yang kamu buat hari demi hari, adalah batu demi batu yang kamu susun untuk
membangun “rumahmu”. Seperti apa itu
semua terlihat nantinya, itulah hasil dari usahamu membangun. Membangun jati dirimu, karaktermu, dan semua
yang akan dilihat dunia tentang kamu.
Apapun langkah yang kamu ambil sekarang, kamu sedang membangun dirimu
sendiri.
Cantikku,
Jadilah dirimu sendiri, karena Tuhan
menciptakanmu bukan untuk memenuhi apa yang menjadi kehendak orang lain, atau
menjadi seperti orang lain. Tataplah dan hadapi dunia dengan kepala tegak,
jangan sekali-kali tertunduk.
Menundukkan kepalamu ketika menghadapi dunia hanya akan menghilangkan
batas cakrawalamu dalam melihat kemenangan, yang meskipun masih jauh tapi pasti
bisa kamu capai.
Kalahkan dirimu terlebih dulu sebelum
kamu berniat mengalahkan dunia. Kalahkan
semua egomu, nafsumu, dan semua keinginan duniawimu, karena semua itu hanya
akan membawamu menjauh dari kemenangan sejati. Musuh terberat kita adalah diri
sendiri, bukan orang lain.
Jadikan dirimu tempat yang nyaman untuk
Tuhan berdiam di dalamnya. Semua orang
memiliki hati kecil yang adalah ruang untuk Tuhan bersemayam, tapi kebanyakan orang
tidak merawat hati kecilnya dengan baik, sehingga Tuhan pun keluar dari
situ. Ketika Tuhan tak ada dalam dirimu,
jangan pernah bermimpi menjadi pemenang.
Sering-seringlah berbicara dengan hati kecilmu, agar kamu dapat
mendengar suara Tuhan yang pasti akan menuntunmu pada semua kebaikan.
Bidadari kecilku,
Jangan pernah takut menghadapi
kegagalan, karena dari kegagalan kamu dapat belajar menjadi lebih baik, dan
melompat lebih tinggi. Jangan takut
menjadi tidak sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta. Jangan takut jatuh, karena saat jatuh itulah
kamu akan mengingat bumi tempatmu berpijak.
Yang membedakan kamu dengan yang lainnya adalah bagaimana kamu tetap
berdiri tegak saat kamu gagal, menghargai dirimu sendiri dengan segala
kekuranganmu, dan bangkit setelah terjatuh.
Semua pemenang atau orang-orang hebat yang kamu kenal adalah orang-orang
yang mampu melakukan semua itu.
Lambungkan cita-citamu setinggi angkasa
biru, tapi letakkan hatimu sedalam dasar lautan. Jangan biarkan kegagalan
menghancurkanmu, dan jangan biarkan kemenangan memabukkanmu. Tetaplah tersenyum di tengah semua beban
hidupmu, dan tetaplah rendah hati di tengah semua kelimpahan yang kamu
terima. Jadikan dirimu berkat bagi
banyak orang, karena itulah yang kelak akan menjadi bekalmu menghadap Yang Maha
Kuasa. Nilaimu adalah apa yang kamu
berikan selama hidupmu, bukan apa yang kamu punya.
Carmenita-ku,
Ketahuilah bahwa hadirmu adalah karunia indah bagi keluarga kecil kita. Menerimamu sebagai amanat dari Tuhan adalah sebuah kehormatan bagiku, sebuah kebanggaan yang tak tergambar dengan bahasa apapun, dan sebuah kebahagiaan yang tak tertebus dengan uang berapapun. Ketika karena langkah-langkahmu, seluruh dunia meninggalkan kamu, ketahuilah bahwa ada Tuhan yang tidak akan meninggalkanmu, dan seorang laki-laki yang cintanya kepadamu melebihi cinta pada dirinya sendiri: Papamu.
Pertengahan November
lalu saya bersama keluarga berkesempatan menikmati beberapa hari berada di
Jogjakarta. Kebetulan ada suatu
keperluan keluarga, plus dua hari keperluan dinas memenuhi undangan dari sebuah
instansi Pemerintah.
Bagi saya, Jogjakarta selalu
bisa menjadi cerita. Seperti lirik
sebuah lagu, selalu ada sesuatu di sana. Ia mungkin dikenal sebagai kota
pelajar, kota perjuangan, atau kota sejarah.
Ia juga mungkin dikenal dengan angkringannya, Keraton-nya, atau Jalan
Malioboro-nya. Bagi saya Jogjakarta
lebih dari semua itu. Jogjakarta juga
lebih dari sekedar jutaan kenangan. Jogjakarta
adalah sebuah filosofi, kehidupan, dan jiwa.
Meskipun “resminya” saya
hidup di kota ini hanya sekitar tiga tahun (selama saya menjadi Taruna Akademi
Angkatan Udara), tapi pesona dan aura kota ini telah membuat saya jatuh hati. Saya
medapatkan banyak hal dari tempat ini, terlebih ketika saat ini hari-hari saya
dihabiskan dengan suasana yang penuh kepalsuan, basa basi, pemenuhan ego, dan
“kasak kusuk” para pemburu ambisi. Jogjakarta selalu bisa memberi saya kepuasan
atas dahaga saya akan ketenangan, kedamaian, kesejukan jiwa, dan perenungan
untuk “kembali pada diri sendiri”.
Sebagian besar orang
yang pernah ke kota ini pasti merasakan bagaimana tempat ini begitu bersahabat,
bersahaja, dan menenangkan di setiap sudutnya.
Keramahan adalah jiwa dari kota ini.
Persahabatan adalah roh yang melekat di tiap denyut nadinya. Itulah sebabnya saya sanggup menghabiskan
waktu berjam-jam hanya sekedar duduk sambil menikmati wedang jahe, kopi, atau
gorengan di angkringan yang bertebaran di sana, sembari menyaksikan bagaimana
kebersahajaan itu lalu lalang di hadapan saya: dalam diri para penjual
angkringan, para penarik becak atau delman, atau para penjaja gudeg dan sate
dengan bakul dagangan di pundak atau kepala mereka.
Jogjakarta adalah rumah
bagi saya. Bukan semata-mata karena saya
merasa nyaman berada di dalamnya, melainkan karena saya selalu bisa menemukan
“rumah” bagi batin saya: diri saya sendiri.
Jogjakarta adalah sebuah ruang besar bagi kontemplasi saya, ketika saya
merasa sangat penat, lelah dan terkuras lahir batin oleh Jakarta. Jogjakarta selalu menyajikan saya presentasi nyata
tentang kesetaraan kita sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, tentang
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, dan tentang
pengharapan yang selalu ada dalam keadaan seperti apapun. Saya melihat itu semua tanpa buku, tanpa power point slides, tanpa teori atau
pengantar dari siapapun. Jogjakarta
menghadirkan semuanya secara “live”
di depan mata saya, dan menancapkan semua tontonan itu dalam nurani saya.
Saya melihat dan
merasakan sebuah perjalanan kembali pada diri saya sendiri dari kota ini, bukan
dari para wisatawan atau pelancong, melainkan justru dari warganya yang lahir,
dibesarkan atau hidup dari kota ini.
Dari momen ketika kemewahan yang dibawa dan dipertontonkan para
wisatawan di hadapan mereka yang berjuang dengan mengayuh becak, mengemudikan
delman, menjajakan makanan, atau memainkan musik jalanan itulah saya melihat
bagaimana kota ini memberi sebuah pelajaran berharga, yang bagaikan mata air
bagi dahaga batin saya. Pelajaran yang
mengatakan kepada saya betapa kecilnya kita sebagai manusia, dan betapa
lemahnya kita dalam perjuangan mengalahkan musuh terberat kita: diri kita
sendiri.
Dari mereka yang tampak
“biasa” di mata sesama manusia, saya justru belajar tentang sebuah kebesaran
jiwa, penerimaan tulus terhadap apa yang Tuhan beri kepada mereka, yang selalu
mereka syukuri, dan mereka pakai untuk memelihara asa akan kehidupan hari esok
yang lebih baik. Dalam skala tertentu, saya merasa melihat Tuhan bersemayam
dalam batin mereka—sebuah keadaan yang sangat saya rindukan, ketika diri ini
bisa menyisihkan sedikit ruang untuk Tuhan dapat berdiam di dalamnya.
Ketika hati kecil
selalu bertanya apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini, Jogjakarta hadir
sebagai sebuah ruang besar di mana mahluk kecil seperti saya dapat menikmati
sebuah perenungan yang berisi perjalanan menuju rumah saya sesungguhnya: diri
saya sendiri. Rumah yang menyediakan
sebuah ruang bagi Sang Penguasa dan Pencipta Hidup untuk berdiam di dalamnya.
Pertahanan (negara) adalah investasi. Negara yang kuat pertahanannya, aman, terjadi iklim yang damai.
– Prabowo Subianto –
Tanggal 25 November 2020 yang lalu, saya
mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang mengambil
tema “Sentralitas ASEAN Dalam Kontestasi Great
Powers di Kawasan Indo-Pasifik: Inisiatif Diplomasi Pertahanan Indonesia”. FGD ini membahas hasil kajian yang dilakukan
oleh Kemenkopolhukam RI bekerjasama dengan Parahyangan
Center of International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan
Bandung.
Kesempatan berharga itu saya manfaatkan
untuk menyampaikan beberapa pandangan saya terkait diplomasi pertahanan
Indonesia, yang karena kesibukan baru bisa saya muat dalam bentuk artikel kali
ini.
1. Mengacu pada
data Stockholm International Peace
Research Institute (SIPRI) April 2020, belanja militer di Asia Tenggara
mengalami peningkatan 4,2% di tahun 2019 hingga mencapai 40,5 miliar Dollar AS,
setelah sebelumnya mengalami penurunan 4,1% di tahun 2018. Bila dihitung dalam satu dekade 2010-2019,
peningkatannya mencapai 34%.
2. Dari data di
atas, tiga negara di kawasan ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar di tahun
2019 adalah Singapura (28% dari total belanja pertahanan kawasan), Indonesia
(19%), dan Thailand (18%). Beberapa
negara di kawasan ASEAN meningkatkan belanja pertahanannya untuk memperkuat
kemampuan angkatan perangnya sebagai reaksi atas klaim Tiongkok serta aktifitas
mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).
3. Masih dari
data di atas, beberapa negara ASEAN dengan belanja pertahanan terbesar dalam
hal persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019 antara lain:
Singapura 11.2 miliar Dollar AS (3.2% PDB), Indonesia 7.7 miliar Dollar AS (0.7%
PDB), Thailand 7.3 miliar Dollar AS (1.3% PDB).
Negara tetangga ASEAN, Australia mencatatkan belanja pertahanannya
sebesar 25.9 miliar Dollar AS (1.9% PDB).
SI VIS PACEM, PARA BELLUM
Perang pada dasarnya adalah salah satu upaya
untuk mempertahankan kepentingan nasional.
Secara universal, dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional semua
bangsa adalah keberlangsungan hidup (sustainment
of life) atau lebih sederhananya: bertahan hidup (survival). Mereka yang
memiliki sedikit sumber daya untuk bertahan hidup akan merasa perlu
memperjuangkan banyak hal bahkan hingga tingkat yang paling ekstrim yaitu
dengan berperang. Namun, mereka yang
memiliki banyak sumber daya untuk bertahan hidup, tidak boleh merasa tidak ada
atau tidak banyak yang perlu mereka perjuangkan hingga harus berperang.
Semua perang yang pernah terjadi dalam
sejarah peradaban manusia seperti ekspansi Kerajaan Romawi, Perang Salib, ekspansi
Kerajaan Mongol, dua kali Perang Dunia, bahkan Perang Dingin yang tidak
melibatkan konfrontasi fisik senjata antara dua negara adikuasa saat itupun,
terjadi karena ada kelompok/negara yang ingin menguasai kelompok/negara lain,
yang tentu saja untuk menguasai sumber dayanya bagi kepentingan hidup
kelompok/negaranya. Fakta ini
mengajarkan kepada kita bahwa memiliki sumber daya bukan berarti kita akan
hidup dengan mudah, damai dan tenang. Semakin
melimpah sumber daya yang dimiliki sebuah bangsa, justru menghadirkan tantangan
yang makin besar untuk mempertahankan sumber daya itu bagi kemakmuran bangsanya
dari kemungkinan dirampas, dijarah, dan dikuasai orang lain.
KONTESTASI
GREAT POWERS
Kekuatan-kekuatan besar (Great Powers) secara umum didefinisikan
sebagai kekuatan-kekuatan (dalam hal ini negara) yang dipandang memiliki
kemampuan atau keahlian untuk menyebarkan atau menanamkan pengaruhnya pada
tingkat global.[2] Saat ini, dunia pada umumnya menganggap negara-negara
seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, Inggris, juga Jerman dan
Perancis adalah mereka yang termasuk dalam kategori Great Powers tersebut.
Pengaruh yang disebarkan secara global ini bermacam-macam bentuknya:
ekonomi (misalnya dalam wujud perdagangan dan perbankan), teknologi, sosial dan
budaya, juga militer. Penggunaan mata
uang Dollar AS sebagai standar mata uang dunia, meluasnya konsumsi makanan
cepat saji, penggunaan platform-platform media sosial, merupakan bentuk-bentuk
pengaruh yang berasal dari Great Powers
tadi.
Dari perspektif militer, fenomena Great Powers sebenarnya merupakan
evolusi dari bipolarisasi kekuatan di era pasca Perang Dunia II atau Perang
Dingin, ketika AS dan Uni Soviet menjadi pusat kekuatan militer global. Setelah Uni Soviet bubar tahun 1991, AS
tampil sebagai satu-satunya orientasi kekuatan militer dunia. Meskipun masih dianggap sebagai pusat
kekuatan militer dunia, hegemoni AS perlahan-lahan mulai “tergerus” sejak akhir
era 1990-an, ketika Tiongkok tampil sebagai kekuatan ekonomi baru dan membangun
militernya berbasis teknologi ciptaan mereka sendiri, serta Rusia yang mewarisi
sebagian besar kapasitas industri pertahanan dari jaman Uni Soviet berusaha
untuk membangun (kembali) pasar produk militernya. Meski demikian, geliat Tiongkok dan Rusia belum
terlalu signifikan mempengaruhi peta kekuatan militer dunia, karena pasar kedua
negara tersebut umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara-negara
dengan tata kelola yang buruk.
Di regional ASEAN, kontestasi Great Powers, setidaknya untuk saat ini,
berpusat pada persaingan AS dan Tiongkok, terutama di kawasan ekonomi Laut
Tiongkok Selatan (LTS). Hal ini karena
secara geografis, beberapa negara ASEAN secara langsung terdampak oleh
kebijakan-kebijakan sepihak Pemerintah Tiongkok atas klaim mereka di LTS,
seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tentu saja
Indonesia. Persoalannya, seberapa mampu
ASEAN sebagai sebuah entitas multilateral meminimalisir dampak manuver-manuver masif
Tiongkok di kawasan tersebut?
Kembali pada filosofi dasar “sustainment of life” atau “survival” tadi, LTS menjadi menarik
karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan nilai strategis dan ekonomi tinggi
yang dapat membantu siapapun “bertahan hidup”.
Namun, LTS juga merupakan “jembatan”, baik secara fisik/geografis maupun
politis/diplomatis bagi perluasan kepentingan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara,
yang tentu saja sangat mengganggu AS.
Sejarah mencatat, kawasan Asia Tenggara adalah salah satu “area of interest” AS sejak lama, bila
kita melihat pada masa Perang Dunia II, pemberontakan-pemberontakan di
Indonesia pasca kemerdekaan hingga 1960-an sampai penggulingan Soekarno tahun 1966,
Perang Vietnam, akuisisi Timor Timur oleh Indonesia, dan masih banyak lagi. AS membangun pangkalan militer di Filipina
sejak 1947 hingga 1992, dan masih memiliki akses untuk menggunakan
pangkalan-pangkalan militer di beberapa negara seperti Thailand, Singapura,
Filipina, dan tentu saja sekutu dekat mereka Australia.
PERAN
ASEAN
Association
of South East Asia Nations (ASEAN), sejak dibentuk
tahun 1967 telah memainkan peran sentral sebagai sebuah komunitas menjaga
perdamaian dan stabilitas kawasan ini.
Keanggotaan yang awalnya terdiri atas lima negara pendiri, saat ini
telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah lima negara berikutnya
bergabung dalam periode antara 1984 hingga 1998. Fokus kerja sama ASEAN adalah di sektor ekonomi,
ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, dan informasi. Meskipun berdiri di atas prinsip-prinsip
perdamaian, kesetaraan, dan saling menghormati, tidak dapat dipungkiri bahwa faktor
sejarah masing-masing negara anggotanya berpeluang memunculkan gesekan-gesekan
khususnya di sektor pertahanan.
Heterogenitas negara-negara ASEAN
menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dalam menyatukan visi di bidang
pertahanan dan keamanan kawasan.
Keterikatan historis negara-negara anggotanya dengan beberapa negara besar
di luar kawasan telah menghasilkan orientasi pembangunan pertahanan yang
beragam di antara sesama anggota ASEAN.
Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam misalnya, mereka adalah
bagian dari The Commonwealth yang
dipimpin oleh Inggris. Filipina,
meskipun di bawah Presiden Rodrigo Duterte terlihat agak “menjaga jarak” dengan
AS, namun pada faktanya sangat bergantung pada Pemerintah AS dalam memperkuat
militernya—sekali lagi karena faktor historis.
Vietnam, terlepas dari konflik akhir-akhir ini dengan Tiongkok di LTS,
membangun reformasi sosialisme mereka dengan belajar dari Tiongkok, lagi-lagi
karena faktor historis.
Faktor historis membuat beberapa negara ASEAN
memiliki apa yang disebut sebagai “floating
multilateralism” atau multilaterisme mengambang yang memungkinkan beberapa negara
ASEAN membangun koneksitas yang demi kepentingan pragmatis bisa saja melebihi koneksitas
mereka dengan ASEAN itu sendiri.
Multilateralisme mengambang, bila dibawa ke ranah militer atau
pertahanan negara, seperti koneksitas Five
Power Defence Arrangement (FPDA) antara Malaysia, Singapura, Australia,
Selandia Baru dan Inggris, tentu menjadi sebuah tantangan dan ujian besar bagi “ASEAN
Bersatu”. Ujian ini pernah dialami ASEAN
dalam sengketa wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia, yang berujung
pada lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI tahun 2002.
Dalam KTT ASEAN di Bangkok bulan Juni
2019, para pemimpin negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah konsep politik regional
yang bertajuk “ASEAN Outlook on the
Indo-Pacific”. Pandangan ASEAN ini berdasarkan pada prinsip-prinsip
memperkuat sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusifitas ASEAN, kerangka
kerja berbasis peraturan, good governance,
penghormatan atas kedaulatan, non-intervensi, ketaatan terhadap kerangka
kerjasama yang sudah ada, kesamaan, saling menghormati, saling percaya, saling
menguntungkan, dan penghormatan terhadap hukum internasional seperti UN Charter, UNCLOS 1982 dan
peraturan-peraturan internasional lainnya, serta ASEAN Charter dan berbagai kesepakatan regional lainnya.[3]
Secara subyektif, saya melihat ASEAN Outlook ini sebagai sebuah paradoks: di
satu sisi ASEAN Outlook on Indo Pacific
berfokus kepada area kerjasama non-militer (Maritime
Cooperation, Connectivity, UN Sustainable Development Goals 2030, Economic and
other areas), namun di saat yang sama, kontestasi
Great Powers mengindikasikan eskalasi
di sektor militer yang akan berdampak pada stabilitas kawasan. Sengketa LTS adalah contoh di mana konflik
militer di kawasan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun itu bukan
antar negara ASEAN. Namun sejarah
mencatat bahwa hubungan militer di antara negara-negara anggota ASEAN layaknya “api
dalam sekam”: dingin di permukaan, namun “panas” di dalam (contohnya sengketa
wilayah Ambalat).
DIPLOMASI
PERTAHANAN INDONESIA
Kecenderungan eskalasi ketegangan di
kawasan LTS tentu harus disikapi serius oleh ASEAN, tidak hanya untuk
stabilitas kawasan, namun juga tak kalah pentingnya adalah untuk menjamin agar
ASEAN sendiri tidak “terpecah”, karena meskipun secara kuantitatif musuh yang
dihadapi sama (Tiongkok), namun secara kualitatif kepentingan tiap negara ASEAN
yang terkait dengan LTS bisa saja berbeda.
Perbedaan kepentingan ini sangat berpeluang memunculkan orientasi pragmatis
dalam pengembangan kekuatan militer tiap-tiap negara, dengan mengatasnamakan
sengketa LTS.
Meskipun terkesan normatif dan sedikit
naif, namun diplomasi pertahanan tetap menjadi sebuah upaya yang harus
dilakukan demi tetap terjaganya stabilitas kawasan ASEAN. ASEAN memiliki forum-forum seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM)
dan ADMM Plus yang melibatkan para
Menteri Pertahanan dari delapan negara mitra ASEAN (AS, Tiongkok, Rusia,
Australia, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru). Namun demikian, fakta masih terjadinya
beberapa sengketa perbatasan, termasuk pelanggaran wilayah baik di darat, laut
maupun udara di antara sesama anggota ASEAN menunjukkan bahwa diplomasi
pertahanan bukan sebuah solusi tunggal.
Setidaknya, ada dua hal yang perlu
menjadi perhatian kita dalam hal diplomasi pertahanan ini, baik secara umum
maupun khusus dalam konteks kontestasi Great
Powers:
1. Pada suatu titik ketika dampak kontestasi Great Powers sudah dipandang membahayakan kepentingan negara ASEAN tertentu, sebuah negara bisa mengambil langkah pragmatis. Dalam kasus Filipina versus Tiongkok di Arbitrase LTS 2016 (The Hague) yang hasilnya diabaikan sama sekali oleh Tiongkok (meskipun mereka termasuk dalam UNCLOS 1982) misalnya, Filipina tentu merasa mereka tidak dapat mengandalkan ASEAN, dan bisa jadi lebih memilih untuk memanfaatkan floating multilateralism mereka dengan AS (yang tentu saja akan dimanfaatkan AS dengan senang hati).
2. Diplomasi pertahanan, yang bertujuan mewujudkan perdamaian kawasan tetap harus didukung dengan “kesiapan berperang”. Si vis pacem, para bellum. Diplomasi pertahanan Indonesia jangan sampai menimbulkan interpretasi bahwa itu adalah upaya Indonesia karena tidak siap berperang. Fakta bahwa beberapa pelanggaran wilayah oleh kekuatan militer negara tetangga masih terjadi hingga saat ini (yang terlalu naif untuk dikatakan “tidak sengaja”) menunjukkan bahwa Indonesia masih belum terlalu “dianggap”, bahkan di tingkat kawasan.
Mendiang Presiden AS John Fitzgerald
Kennedy pernah berkata “It is an
unfortunate fact that we can secure peace only by preparing for war”. Itu berarti bahwa diplomasi pertahanan untuk
tujuan stabilitas dan perdamaian (kawasan) juga harus diikuti dengan
pembangunan kekuatan pertahanan, atau kesiapan untuk berperang. Diplomasi
pertahanan dan pembangunan kekuatan pertahanan layaknya dua sisi mata uang yang
memberi keuntungan timbal balik: diplomasi pertahanan dapat meningkatkan
kesiapan berperang; kesiapan berperang akan memperkuat posisi diplomasi
pertahanan.
Diplomasi pertahanan harus dilihat
sebagai suatu upaya atau tindakan yang sistematis, dan melibatkan semua elemen
nasional. Diplomasi pertahanan haruslah berupa
pendekatan “kesisteman Indonesia”.
Belajar dari para Great Powers,
kuatnya posisi diplomasi pertahanan mereka banyak ditentukan oleh kuatnya
ekonomi, majunya industri (tidak hanya industri sektor pertahanan), kuatnya political will pemerintah, tingginya
tingkat literasi atau keterdidikan masyarakat, mapannya tata kelola negara, dan
faktor-faktor lainnya.
Di sisi lain, pembangunan kekuatan
pertahanan agar “siap berperang” juga harus dilihat dengan pendekatan yang
sama: “kesisteman Indonesia”. Semua
elemen harus terlibat, tidak hanya Kementerian Pertahanan atau TNI. Pembangunan kekuatan pertahanan bukan
semata-mata soal defence spending
atau belanja pertahanan. Membangun
pertahanan untuk sebuah negara seluas Indonesia dengan mengandalkan defence spending, selain memerlukan
biaya besar, juga tidak menjamin adanya daya gentar dalam jangka panjang. Kita dapat melihat besarnya defence spending di beberapa negara kaya
di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab atau
Qatar, yang secara kualitatif tidak menghasilkan rasa takut atau segan negara-negara
lainnya.
Diplomasi pertahanan Indonesia akan
lebih kuat, berpengaruh, diperhitungkan dan dihormati di kawasan bila Indonesia
secara serius menunjukkan komitmen yang kuat dan konsisten untuk membangun
pertahanan negara yang tangguh, dengan mengubah paradigma dari defence spending ke defence investment. Defence investment adalah pembangunan
dan pengembangan segenap sumber daya pertahanan: Alutsista, sumber daya manusia
(SDM), research and development (R&D),
industri pertahanan, serta tata kelola pertahanan negara berupa struktur,
doktrin, strategi hingga taktik. Bila
ini dijalankan, dalam jangka panjang belanja pertahanan akan menjadi asset, bukan hanya beban atau liability. Negara-negara seperti Iran dan India memiliki
posisi diplomasi pertahanan yang bagus tidak hanya di kawasan mereka, namun
juga di tingkat global, bukan semata-mata dengan defence spending, namun juga dengan kemandirian industri mereka dan
kekuatan political will pemerintahnya.
Itulah tantangan pembangunan kekuatan
diplomasi pertahanan kita, agar kita lebih disegani dan dihormati, setidaknya
di kawasan ASEAN, di tengah perjuangannya menghadapi dampak kontestasi Great Powers. Siapapun yang ingin hidup damai, tenang dan
nyaman, harus siap untuk berperang.
Aku ingin kamu tahu bahwa
aku begitu berterima kasih atas hadirmu yang meyakinkan aku betapa Tuhan setia
hadir dalam hidupku.
Tulisan ini aku buat untuk
mengungkapkan terima kasihku yang teramat besar atas hadirmu, dan sebagai
ungkapan syukurku di hari istimewa ini. Ketika
menulis ini, ingatanku terbang ke berbagai kenangan masa lalu yang membangun
rasa syukurku yang tiada habis pada Tuhan kita.
Di masa awal mengarungi
rumah tangga, kita sering bingung mau makan apa karena gajiku sudah habis di
tengah bulan. Aku juga ingat kebiasaanmu
menggendong anak pertama kita sambil menjemur pakaian. Kemana-mana kita selalu jalan kaki atau naik
angkot karena belum punya kendaraan.
Lalu suatu hari kita pernah berlari panik ke rumah sakit karena Dimitri
kecil jatuh dari kasurnya. Dan yang
cukup menggelikan, kita pernah tidak jadi ke gereja karena basah kuyup kena
cipratan air dari mobil yang lewat saat kita dalam perjalanan naik motor. Hehehe…
Sekarang semuanya berbeda,
dan aku bersyukur karenanya. Namun, kamu
tetap pribadi yang sama hebat dan setianya sejak pertama kita bersama. Setiap hari
kamu memastikan makanan tersedia di rumah.
Setiap pagi kamu menyiapkan segala sesuatu untukku berangkat ke
kantor. Kamu membuat rumah kita selalu bersih,
cerah, dan nyaman. Kamu mendesain rumah
mungil kita di Magelang dengan amat berkelas.
Dan sebagai seorang Ibu, kamu memastikan anak-anak mendapatkan
pendidikan terbaik mereka,
Semua ingatanku akan perjalanan panjang itu menunjukkan betapa hebatnya dirimu, betapa tangguhnya pribadimu, dan betapa setianya kamu menjaga cita-cita kita. Itu semua semakin membuatku bersyukur, karena di sisiku berdiri seorang wanita luar biasa.
Ketika melihat betapa
berlimpahnya berkat Tuhan atas hidup kita, aku percaya itu karena Dia melihatmu
dan anak-anak kita. Itulah sebabnya aku
senantiasa bersyukur, karena jalan berkat itu adalah pribadi hebat di
sampingku,
Mama sayang,
Untukmu, kuucapkan “Selamat
Ulang Tahun”, kiranya kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan selalu bersamamu.
Dan kepada Tuhan,
Kuucapkan syukurku atas
seorang wanita hebat yang Dia hadirkan untukku, dan kepadaNya pula aku
percayakan hidup wanita terkasihku.
Sungguh, hidupku adalah
sebuah karunia, dan itu karena kamu. Terima
kasih telah membuat hidupku terasa begitu istimewa dan penuh syukur.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 diwarnai oleh beragam kejadian historis yang tercatat
sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Sebelum kedudukan Jepang di Asia digoyahkan
oleh dua bom atom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat Indonesia sudah
melakukan perlawanan di berbagai daerah.
Setelah pemboman Sekutu atas dua kota itu, berbagai kecamuk pergerakan
di kalangan para tokoh nasional juga tidak kalah seru. Desakan beberapa
kelompok kepada Ir. Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan,
pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dipanggilnya beberapa
tokoh nasional ke Da Lat, Vietnam oleh pimpinan militer Jepang, hingga “penculikan”
Ir. Soekarno oleh kelompok pemuda di Rengasdengklok adalah beberapa catatan sejarah
yang bisa dikenang tentang bagaimana bangsa ini mula-mula berdiri.
Yang menarik adalah apa yang menjadi “semangat”
atau “nuansa kebatinan” dari semua kecamuk itu.
Satu-satunya hal yang melatarbelakangi semua momen itu adalah keinginan sebagai
bangsa untuk merdeka, menjadi diri sendiri, berpijak dan berjalan di atas kaki
sendiri, dan tidak bergantung pada siapapun.
Apakah saat itu kita punya kecakapan atau kemampuan finansial maupun teknis
untuk menjadi sebuah negara merdeka?
Punya infrastruktur mapan untuk menjalankan roda pemerintahan? Punya sumber daya untuk membiayai
pembangunan? Punya angkatan perang yang
cukup kuat untuk melindungi negara?
Jawaban atas semua pertanyaan itu: TIDAK.
Lantas kecakapan atau kompetensi apa
yang membuat para pendiri negara ini berani meniatkan diri untuk merdeka? KOMPETENSI MORAL. Kecakapan moral itulah yang membuat para
tokoh bangsa, dipimpin oleh Ir. Soekarno, berani mengambil keputusan untuk
memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka. Mereka paham bahwa risiko dari keputusan itu
tidak kecil: mereka (dan keluarganya) bisa ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Jepang,
karena belum ada sikap politik yang tegas dari Pemerintah Jepang terkait nasib
Indonesia. Mereka juga berpotensi
dihukum oleh Sekutu, yang secara yuridis berhak atas semua wilayah pendudukan
Jepang pasca menyerahnya Jepang. Namun,
kompetensi moral merekalah yang membuat kita ada saat ini, karena para pendiri
bangsa ini bersedia menjadikan dirinya “tumbal” bagi masa depan nasib jutaan
orang yang kelak akan mewariskan Indonesia ini pada anak cucunya.
JANGAN
PERNAH LUPA PADA SEJARAH
Itu 75 tahun yang lalu. Untuk ukuran manusia, 75 tahun adalah usia
yang tergolong uzur, ketika manusia sudah melewati masa-masa termatang dalam
siklus hidupnya, dan akan kembali menjadi seperti “anak kecil”. Namun untuk sebuah bangsa, 75 tahun adalah
usia yang relatif “matang”, di mana sebuah bangsa semestinya telah menemukan
jati diri, kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara, serta mencapai kemapanan
dalam tata kelola bermasyarakat. Adalah
sebuah perenungan yang menarik ketika kita mempertanyakan seperti apa kita
sebagai bangsa di usia 75 tahun ini.
Kembali pada sejarah, setelah merdeka
bangsa ini juga tidak melenggang mudah dalam perjalanannya. Berbagai gejolak baik fisik bersenjata maupun
politik masih terjadi di berbagai wilayah: perang wilayah melawan kembalinya
Belanda yang membonceng Sekutu, pergolakan politik nasional di era 1950-an,
hingga tergulingnya Soekarno pasca pemberontakan G-30S/PKI. Memasuki masa Orde Baru, bangsa ini juga masih
bergulat dengan dirinya sendiri yang puncaknya adalah gerakan reformasi 1998,
yang berbuah dengan pemerintahan-pemerintahan baru pasca Soeharto, hingga saat
ini.
Berbagai pencapaian telah diraih. Pembangunan infrastruktur berjalan masif,
Jakarta menjadi salah satu metropolitan sibuk di dunia, dan berbagai bidang
bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang “modern”. Sebagai perbandingan, Malaysia menyatakan
kemerdekaannya tahun 1957, Singapura tahun 1965, Vietnam hanya berselisih
sekitar dua minggu setelah kita, Korea Selatan hanya berselisih dua hari
sebelum kita (yang berarti usia Vietnam dan Korea Selatan sama-sama 75 tahun). Ada pertanyaan kritis yang muncul tentang
seberapa “modern” kita dibandingkan negara-negara yang saya sebutkan tadi. Tapi bagi saya, pertanyaan yang lebih penting
adalah “seberapa merdekakah kita sekarang?”
History
is the foundation of a nation. Sejarah adalah pondasi sebuah bangsa. Ketika sebuah bangsa secara historis dibangun
di atas kompetensi moral para pendirinya, maka kompetensi moral itu pulalah
kekuatan terbesar untuk membangun bangsa itu.
Mengabaikan eksistensi kompetensi moral sama halnya mengabaikan pondasi
sebuah bangunan, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah bangunan yang
rapuh meskipun terlihat indah, gampang roboh sekalipun terlihat mentereng. Singkatnya, jangan pernah melupakan sejarah
bagaimana bangsa ini berdiri, karena itu adalah pintu bagi kehancuran dari
semua yang telah diperjuangkan dengan cucuran darah, keringat, dan air mata
para pendahulu kita.
KOMPETENSI
MORAL ADALAH CIKAL BAKAL INDONESIA
Para pendiri bangsa ini telah
menunjukkan pada kita (kalau kita mau belajar sejarah, tentunya) bahwa hal
sangat besar yang terlihat tidak mungkin sekalipun dapat kita wujudkan, selama
kita kompeten secara moral. Apa yang
dimaksud “kompeten secara moral” itu?
Kompeten secara moral, atau kompetensi moral, adalah sebuah kondisi
kecakapan mentalitas yang berisikan nilai-nilai semangat pejuang, kecintaan
kepada tanah air, kesediaan mengorbankan diri sendiri demi kepentingan bersama,
mengedepankan kemaslahatan orang banyak di atas kepentingan sendiri, dan tidak
pernah berpikir untung rugi dalam memperjuangkan cita-cita bersama.
Nilai-nilai itu yang ada dalam kepribadian
figur-figur yang kita kenal dengan nama Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta,
Achmad Soebardjo, bahkan dalam figur seorang Ibu Fatmawati, yang menjahit
sendiri bendera Merah Putih untuk dikibarkan saat pembacaan naskah
proklamasi. Kompetensi moral itu pulalah
yang memenuhi diri seorang Jenderal Soedirman, yang dalam keadaan sakit tetap
berada di tengah-tengah anak buah ketika Belanda mencoba mengganggu kemerdekaan
Indonesia yang masih berusia dini. Juga pada
diri Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang merelakan Jogjakarta menjadi Ibukota
negara saat Jakarta kembali diduduki Belanda, dan dengan dana daerah yang
terbatas bersedia membiayai roda pemerintahan Indonesia. Masih banyak lagi tokoh-tokoh besar yang
dapat kita sebutkan untuk menggambarkan bahwa dalam diri mereka, tidak ada yang
lebih penting daripada kemerdekaan dan kemajuan bangsanya. Diri dan keluarga merekapun berada di
prioritas kesekian ketika berbicara tentang apa yang terpenting bagi mereka.
Tujuan pembangunan negara adalah untuk
mewujudkan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan dalam Alinea ke-4
Pembukaan UUD 1945 (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial).
Dalam implementasinya, pembangunan itu kita jalankan dalam berbagai
aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta
keamanan.
Cita-cita nasional hanya dapat
diwujudkan di atas kompetensi moral yang kuat.
Bangsa ini tidak sekedar butuh menjadi lebih modern, namun yang tidak
kalah penting adalah menjadi lebih berkarakter.
Benchmark dari karakter bangsa
ini sebenarnya sudah diperlihatkan oleh para pendiri bangsa kita di awal-awal
kemerdekaan, yang tergambar dalam lima sila Pancasila yang menjadi dasar kita
bernegara. Artinya, kita perlu kembali
lagi pada sejarah bagaimana bangsa ini terbentuk, untuk dapat memahami
bagaimana kita harus melangkah ke depan.
Akibat dari sikap abai pada sejarah dan pada karakter kebangsaan dapat
kita lihat dari apa yang terjadi dengan Uni Soviet tahun 1991 dan Yugoslavia
tahun 2003.
SEBERAPA
KOMPETENKAH BANGSA INI SECARA MORAL?
Di tengah kemajuan teknologi informasi
yang kita rasakan saat ini, tidak sulit untuk memperoleh gambaran obyektif
tentang kecakapan moral bangsa ini di usianya yang sudah 75 tahun. Kita bisa
melihat betapa susahnya memberantas korupsi pada saat jumlah peraturan
perundang-undangan Indonesia mungkin salah satu yang terbanyak di dunia, dan berbagai
lembaga penegakan hukum sudah dibentuk. Tidak
sulit juga untuk melihat perilaku tokoh-tokoh publik yang jauh dari kata
teladan, yang bahkan dengan bangganya dipertontonkan kepada masyarakat. Tidak sulit pula untuk melihat betapa masih
tertatih-tatihnya kita membuat kebijakan publik yang konsisten, sinergi satu
sama lain, sinkron antara pusat dan daerah, dan sebagainya.
Kita bangga dengan pencapaian
pelajar-pelajar kita di berbagai even internasional, namun tidak sadar bahwa
itu adalah buah dari kerja keras mereka sebagai individu, yang ditopang oleh
sistem kebijakan internal sekolahnya yang bagus, BUKAN karena sistem pendidikan
nasional kita yang sudah maju. Sebelum pandemi
Covid-19, berbagai cerita tentang bagaimana anak-anak di desa-desa terpencil
harus bertaruh nyawa untuk sekedar sampai ke sekolah, guru yang harus berjuang antara
hidup dan mati untuk bisa mengajar, fasilitas sekolah yang buruk, adalah hal
yang umum kita semua ketahui (dan hebatnya lagi, beberapa kondisi itu terjadi
di Pulau Jawa, yang nota bene satu
pulau dengan Ibukota negara). Saat pandemi,
terlihat pula betapa belum siapnya kita menjalankan skema pendidikan modern
yang berbasis internet, ketika di banyak tempat anak-anak harus berkumpul entah
di tepi jurang, di balai desa, atau di pinggir kuburan hanya untuk mendapatkan
sinyal dan akses internet yang stabil. Masih
banyak lagi cerita miris lainnya, yang daftarnya bisa sangat panjang.
Di saat kita sudah 75 tahun bernegara, kita
masih disibukkan oleh hal-hal yang “receh”.
Persoalan-persoalan berlatarbelakang suku dan agama, adalah beberapa
contoh bagaimana bangsa ini masih belum cukup cerdas dan modern cara berpikir
dan sikap moralnya. Tidak mengherankan,
karena kelompok-kelompok ini mungkin melihat bagaimana cara berpikir dan sikap
moral para “panutan” mereka, atau “wakil rakyat” pilihan mereka. Tidak aneh, karena manusia-manusia “tanpa
otak” sekalipun bisa disebut dan dipuja-puja sebagai “tokoh”.
Pencapaian kita memang banyak di 75
tahun ini, tapi ketika berbicara apakah semua pencapaian itu sudah mendekatkan
kita pada terwujudnya cita-cita nasional seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD
1945, itu persoalan lain. Menjawab
pertanyaan “seberapa merdekakah kita” tadi, saya bisa mengatakan bahwa pada
dasarnya kita bahkan belum merdeka dari diri kita sendiri, ketika para figur publik
masih menjadi budak dari ego sektoral dan hasrat individu akan kekuasaan serta
kepuasan diri sendiri.
Ada hal yang wajib diingat: bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak meninggalkan sejarah, dan sejarah bangsa ini
dibangun di atas kompetensi moral.