CATATAN DARI SARASEHAN PEMBINAAN MENTAL IDEOLOGI & KEJUANGAN TNI AU

ImagePada hari Rabu tanggal 26 Juni 2013 yang lalu, saya merasa beruntung dapat mengikuti sebuah kegiatan yang diinisiasi oleh jajaran Staf Personel TNI AU (Spersau) berupa Sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Kejuangan. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Mabesau Jakarta, diikuti oleh para pejabat serta komandan setingkat Kolonel dan Letnan Kolonel di jajaran TNI AU.  Sarasehan ini menampilkan tiga pembicara (narasumber), masing-masing Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (mantan Kasau), Prof. Dr. Mohammmad Mahfud M.D. (mantan Menhan dan Ketua Mahkamah Konstitusi), serta Brigjen TNI Djati Pontjo Oesodo, S.Sos (Kapusbintal TNI).

 

Tema kegiatan ini adalah “Melalui Sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Kejuangan Tahun 2013 Kita Tingkatkan Kualitas Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.  Atas dasar tema tersebut, para narasumber menyampaikan materi masing-masing yang dapat saya sarikan sebagai berikut:

 

a.         Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim (Mantan Kasau):

 

1)         Judul: “Meningkatkan Peran TNI AU Dalam Sosialisasi Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Sebagai Pilar Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.

 

2)         Mengutip amanat Bung Karno, bahwa Pancasila pada dasarnya adalah rumusan jiwa bangsa Indonesia (jiwa gotong royong, jiwa persaudaraan, dan jiwa kekeluargaan).

 

3)         Peran TNI AU dalam sosialisasi penghayatan dan pengamalan Pancasila melekat kepada hal-hal yang terkait dengan kedaulatan/kehormatan bangsa, patriotisme/nasionalisme, kebanggaan bernegara, dan wawasan kebangsaan.

 

4)         Dalam kaitannya dengan hal tersebut, perlu suatu Angkatan Udara yang kuat. Kekuatan Angkatan Udara yang sesungguhnya ada pada sumber daya manusianya (SDM).

 

5)         Dengan menggunakan metode analisa SWOT, dapat dicermati apa yang menjadi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan kendala (threat) pada potensi SDM TNI AU.

 

6)         Meningkatkan peran TNI AU dapat dilakukan dengan pertama kali mencermati kelemahan-kelemahan mendasar SDM Indonesia umumnya, dan TNI AU khususnya:

 

a)        Kelemahan dalam mengambil keputusan.

 

b)        Kelemahan dalam karakter:

 

(1)        Kepercayaan diri (jarang menggunakan 100% potensi kita)

 

(2)        Daya saing (baru memperbaiki diri setelah orang lain “mengalahkan” kita)

 

(3)        Mental pengemis (senang dengan “pemberian”)

 

(4)        Keteguhan pada prinsip (takut menjadi “berbeda”)

 

(5)        Kemampuan baca tulis (belum menjadikan baca tulis sebagai pilar menambah pengetahuan)

 

(6)        Can-do oriented (mudah mengatakan “tidak bisa”)

 

b.         Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D. (Mantan Ketua MK):

 

1)         Judul: “Kepemimpinan Berkarakter Pancasila”.

 

2)         Kepemimpinan merupakan salah satu penyebab kehancuran suatu bangsa:

 

a)         Tidak memegang teguh Pancasila

 

b)         Menjaga jarak dengan masyarakat

 

Akibatnya, banyak yang merindukan kepemimpinan lama.

 

3)         Pancasila mengajarkan bahwa “Kepemimpinan harus membangun masyarakat berbangsa dan bernegara sesuai tujuan negara yang terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila”.  Tujuan negara tersebut adalah: masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

 

4)         Mengutip Bung Karno, Pancasila digali dari budaya adiluhung bangsa yang berjiwa gotong royong (bukan saling serang).  Selain itu, Pancasila adalah fitrah bangsa, yang sadar akan adanya perbedaan namun ingin bersatu dalam tujuan bersama.

 

5)         Penerapan Kepemimpinan Pancasila adalah “Hasta Brata” (kristalisasi nilai-nilai budaya kepemimpinan), yang dilambangkan dengan: surya (matahari), candra (bulan), buwana (bumi), kartika (bintang), angkoso (angkasa), bayu (angin), banyu (air), dan geni (api).

 

6)         Kepemimpinan berkarakter Pancasila adalah kepemimpinan yang membimbing dan mengayomi, seperti ajaran Ki Hajar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani).

 

7)         Problem bangsa Indonesia saat ini adalah sulit ditemukannya pemimpin yang mempunyai integritas dan mencerminkan kepemimpinan Pancasila.

 

8)         Saat ini bangsa Indonesia mengalami “Disorientasi” yang mengakibatkan “Distrust” (ketidakpercayaan) yang diikuti dengan “Disobedience” (ketidakpatuhan), dan dapat berujung pada “Disintegrasi” (perpecahan).

 

9)         Tentang amandemen konstitusi dan demokrasi, ada yang menilai bahwa amandemen konstitusi dan demokrasi saat ini kebablasan. Hal ini ditandai dengan adanya perkembangan kurang baik seperti menguatnya gejala oligarki, anarki, lemahnya penegakan hukum, dan juga lambannya pengambilan keputusan.

 

10)       Meski demikian, patut diapresiasi adanya beberapa lompatan/pencapaian maju seperti: revolusi demokrasi, Pemilu yang aman dan damai, tidak adanya pelanggaran HAM berat, Pilpres/Pilkada yang langsung, adanya lembaga-lembaga seperti MK, KY dan sebagainya.

 

11)      Di sisi lain, ada kemunduran yang signifikan yaitu lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak berkarakter. Penyebabnya antara lain:

 

a)         Orientasi politik hanya pada kekuasaan.

 

b)         Oligarki politik (pemimpin lahir dari proses transaksional).

 

c)         Kompromi yang berbau kolutif (nepotisme).

 

d)         Lahirnya pemimpin-pemimpin karbitan.

 

12)      Kita harus kembali pada “Kepemimpinan Pancasila” yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 

a)         Harus berkarakter (sama antara ucapan dan tindakan).

 

b)         Menjadi teladan dan bersikap jujur.

 

c)         Mencerminkan “Hasta Brata”.

 

d)         Berani bertindak dan bersih (merah dan putih).

 

e)         Kuat dan tangguh dalam penegakan hukum.

 

13)      Karena setiap kita adalah pemimpin, maka:

 

a)         Bangunlah integritas dan karakter (berbuat seperti apa yang diucapkan).

 

b)         Hidupkan dan hayati kepemimpinan Pancasila yang adiluhung itu.

 

c.         Brigjen TNI Djati Pontjo Oesodo, S.Sos (Kapusbintal TNI):

 

1)         Pancasila merupakan salah satu dari empat pilar kebangsaan Indonesia.

 

2)         Di masa lalu telah terjadi beberapa peristiwa terkait pengingkaran terhadap Pancasila (PKI pimpinan Muso tahun 1948, sistem politik liberalisme yang tidak sesuai kepribadian masyarakat, pemberontakan APRA, RMS, DI/TII, PRRI/Permesta, dan G30S/PKI tahun 1965).

 

3)         Di masa kini juga terjadi beberapa peristiwa yang memalukan sekaligus memilukan seperti kasus-kasus SARA, korupsi, tawuran, perkosaan, maraknya sikap hedonisme masyarakat, dan lain-lain. Ironisnya, Pancasila tidak lagi menjadi pelajaran utama dalam dunia pendidikan Indonesia.

 

4)        Nilai-nilai dalam Pancasila:

 

a)         Nilai spiritual, yaitu nilai yang melekat pada setiap WNI dan menjadi “nilai dasar”.

 

b)         Nilai material, yang merupakan “nilai instrumen” (UU dan Peraturan).

 

c)         Nilai vital, yaitu tampilan dalam wujud kepatuhan dan ketaatan WNI terhadap norma kehidupan bernegara, dan tercermin dalam etika dan moral anak bangsa.

 

5)         Konsepsi pembinaan karakter adalah dari “mental spiritual” (ketaqwaan) yang mendasari “ideologi” (nasionalisme), dan menjadi landasan bagi “kejuangan” (militansi).  Ketiga elemen ini akan menciptakan karakter tangguh seseorang.

 

6)        Sebagai bagian dari “mental spiritual”, diperlukan strategi menciptakan kerukunan beragama di Indonesia yaitu:

 

a)         Selamatkan Pancasila sebagai dasar negara.

 

b)         Pertemuan dan dialog lintas agama.

 

c)         Pancasila harus didukung oleh konstitusi yang menjamin terselenggaranya Pancasila itu sendiri.

 

Dari ketiga narasumber, terlepas dari keragaman materi yang disampaikan, ada benang merah menarik yang dapat saya ambil, yaitu:

 

a.         Bahwa keberlangsungan sebuah kelompok, komunitas, bahkan suatu bangsa bergantung pada karakter manusia yang ada di dalamnya. Selama manusia yang ada di dalamnya berkarakter sesuai dengan nilai-nilai dasar yang disepakati oleh kelompok/komunitas atau bangsa tersebut, niscaya akan tercapai kemajuan. Sebaliknya bila tidak, maka akan terjadi kemunduran bahkan kehancuran.

 

b.         Pancasila adalah nilai hakiki bangsa Indonesia, yang membuat bangsa ini ada, sehingga mustahil bangsa Indonesia akan tetap tegak berdiri bila ia meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap tegaknya Pancasila di tengah berbagai ancaman dan rongrongan yang dialaminya sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

 

c.         Karena nilai-nilai Pancasila adalah nilai-nilai dasar bagi bangsa Indonesia (yang sudah teruji seiring perjalanan sejarah), maka segala aspek kehidupan harus berlandaskan nilai-nilai dasar tersebut. Ini juga berlaku bagi aspek kepemimpinan, yang merupakan salah satu penentu kelangsungan hidup suatu bangsa. Bila kepemimpinan—pada semua strata—dijalankan dengan meninggalkan nilai-nilai Pancasila, maka kelompok/komunitas atau bahkan bangsa Indonesia dapat mengarah kepada perpecahan/kehancuran.

 

d.         Bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk membangun jati diri serta karakternya sendiri, dengan cara mengembalikan nilai-nilai dasar dalam Pancasila menjadi bagian dari sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Sekarang tiba saatnya kita bertanya pada kita sendiri, menjadi bagian yang mana diri kita?  Menjadi bagian yang (cukup) Pancasilais dan membangun negeri ini menjadi lebih baik, atau memilih meninggalkan Pancasila untuk sebuah pragmatisme tertentu dan membawa negeri ini menuju kehancurannya?  Hanya diri kita sendiri yang dapat menjawabnya.

“ICARUS SYNDROME” : KEJATUHAN KARENA PENGABAIAN TATA NILAI

Image

Icarus, dalam mitologi Yunani kuno dikenal sebagai putra seorang pengrajin dari Athena bernama Daedalus.  Daedalus, dalam rasa sayangnya kepada sang anak, berkenan membuatkannya sayap dari bulu-bulu burung yang direkatkan dengan lilin (wax).   Mereka adalah orang-orang yang berkeinginan untuk terbang, dan Icarus, sangat ingin menjangkau Kreta (sebuah pulau indah di Yunani) dengan sayap buatan ayahnya itu.  Mitologi ini juga bercerita bahwa sang ayah telah memperingatkan anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari.  Sayangnya, Icarus mengabaikan peringatan sang ayah, dan tetap terbang mendekati matahari.  Perekat lilin itupun meleleh karena panas, dan bulu-bulu pada sayap Icarus rontok berjatuhan.  Icarus terhempas jatuh dan tenggelam di lautan.

Fenomena dalam mitologi Icarus adalah rangkaian cerita yang sarat nilai-nilai moral.  Dalam “duet”-nya dengan sang ayah (Daedalus), mereka adalah simbolisasi komunitas yang secara batin sinergis satu sama lain, punya kohesi yang kuat, namun miskin pengetahuan.  Ini dilambangkan dengan kesalahan mereka mengidentifikasi sebuah masalah, dalam hal ini adalah “bagaimana kita bisa terbang?”.  Kesalahan identifikasi itu menghasilkan kesimpulan yang salah, yang berdampak pada pengambilan tindakan yang salah pula: membuat sayap.   Peringatan Daedalus pada anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari adalah representasi sebuah prevensi berupa nasehat, masukan, saran atau apapun namanya yang pada gilirannya tidak digubris oleh Icarus.

Keinginan Icarus untuk mendekati matahari adalah simbolisasi ambisi, yang tidak didukung dengan pengetahuan serta nalar yang memadai (dalam hal ini pengetahuan untuk memahami karakter lilin yang akan meleleh bila terpapar panas).  Kejatuhan Icarus (secara harfiah), adalah perlambang sebuah akibat atau hasil (outcome) dari serangkaian proses yang sejak awal telah dibuka dengan “kesalahan”.

Fenomena Icarus Dalam Perspektif Realis

Bagi sebagian orang, mitos tetaplah mitos.  Di sekeliling kitapun banyak mitos-mitos dalam berbagai legenda.  Namun, patut untuk dipahami bahwa realisme cerita tak lebih dari sekedar bingkai, dan lebih baik untuk mencoba melihat nilai-nilai apa yang terpagari oleh bingkai itu.  Demikian pula terhadap mitologi Icarus, yang dalam pandangan saya tak hanya sarat pesan moral, namun juga merupakan fenomena yang justru sedang booming di sekeliling kita akhir-akhir ini.

“Icarus” dapat dipandang sebagai suatu individu, namun lebih tepat bila kita pandang sebagai sebuah entitas.  Kohesi “Icarus-Daedalus” dapat dipandang sebagai kohesi antar individu dalam satu kelompok/komunitas, dapat juga dilihat sebagai mutual interface antar komunitas.  Perspektif itu menjadi tidak penting lagi saat kita melihat sejumlah norma serta tata nilai yang terkandung jauh di dalam entitas-entitas itu:

1. Keinginan/cita-cita, yang adalah sebuah kewajaran bagi siapapun yang hidup.  Itu adalah karunia, karena keinginan akan sesuatu itulah awal dari setiap usaha.

2. Ambisi, yang merupakan keinginan/hasrat yang berkembang dan menjadi obsesi dalam hidup setiap mahluk, yang bila tak terkendali justru merupakan awal dari kejatuhan.

3. Usaha, yang merupakan norma wajib bagi siapapun yang berharap keinginan/ambisinya tercapai.

4. Pengetahuan/kecerdasan, yang selayaknya menjadi penopang bagi siapapun yang berusaha menggapai keinginannya.

5. Nasehat, yang berisi serangkaian pesan baik bagi kepentingan pemenuhan keinginan, penunjang perjuangan, serta pelindung dari kejatuhan yang tidak diharapkan.

Semua dalam tata nilai itu adalah norma yang melekat dalam kehidupan kita, nilai-nilai yang sangat manusiawi, dan siapapun berhak serta bisa memilikinya.  Pada intinya, kita semua hidup dalam semua tatanan itu.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana nilai-nilai itu “di-struktur-kan” dalam hidup setiap individu, dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas, serta bagaimana nilai-nilai itu dipadupadankan satu sama lain.

Keinginan, ambisi, usaha, pengetahuan, dan nasehat seperti apapun baiknya tak akan berguna bagi siapapun bila mereka berdiri sendiri-sendiri, dan tidak terbingkai serta terintegrasi secara sinergis. Keinginan akan tetap menjadi keinginan bila anda tak berusaha.  Usaha apapun akan sia-sia bila anda tak punya pengetahuan yang cukup.  Pengetahuan yang diagung-agungkan secara berlebihan justru akan membuat kita abai terhadap nasehat, dan seterusnya.  Di sinilah setiap manusia harus mengingat bahwa alam semesta sendiri sejatinya adalah sebuah sinergi, yang memadukan berbagai unsur secara proporsional, dan bergerak dengan derap yang sama.  Adalah naif bagi siapapun yang mengatakan bahwa teorema alam semesta berbeda dengan mekanisme hidup individu. Bukankah kita adalah bagian kecil dari semesta raya ini?

Tentu saja, siapapun berharap Icarus hanya hadir dalam mitologi Yunani itu.  Sayangnya, saat ini kita justru hidup berkelilingkan banyak “Icarus”, dan bisa jadi kitalah salah satu “Icarus” itu.  Kita menyaksikan orang-orang yang terkubur oleh ambisinya sendiri, jatuh karena minimnya pengetahuan/kecerdasan, gagal karena tidak berusaha cukup kuat, tujuan-tujuan yang tidak tercapai karena kesalahan identifikasi masalah, dan negara yang terhantam krisis/resesi ekonomi karena penghamburan anggaran yang tidak tepat.  Inilah akibat masif dari sebuah sindrom: “Sindrom Icarus” (Icarus Syndrome)[1], yang dapat kita lihat di berbagai strata komunitas.

Sindrom Icarus Pada Sebuah Negara

Sindrom ini dapat mendera sebuah negara, yang ditandai dengan “ambisi” yang tertuang dalam program-program pembangunan yang besar, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mewujudkannya.  Negara-negara ini membangun infrastruktur, namun tidak membangun pengetahuan bagi warga negaranya berupa “pengetahuan akan dirinya sendiri”.  Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang akan menyadarkan setiap individu tentang jati diri mereka, dan karakter khas bangsa mereka.  Negara-negara ini membungkus “kemakmuran” dalam kemasan pertumbuhan ekonomi makro, deretan gedung pencakar langit di kota-kotanya, jalanan beraspal beserta ribuan mobil yang memenuhinya tiap hari, dan sebagainya.

Negara-negara ini—layaknya Icarus—lupa pada nasehat bijak nenek moyang bahwa tiang-tiang yang menjadi tumpuan keberlangsungan mereka adalah generasi mudanya.  Akibatnya, negara-negara inipun lupa pada inti pembangunan yang paling utama, yakni membangun generasi muda.  Negara-negara ini merasa sudah “membangun pendidikan” dengan cara mendirikan ribuan sekolah, tapi tak acuh pada materi pendidikannya.  Mereka juga lupa bahwa dari dunia pendidikan itulah sebagian besar karakter komunitas itu akan terbentuk: apakah mereka kelak akan menjadi nasionalis, patriotis, sosialis, liberalis, kapitalis, materialis, atau bahkan komunis.

Juga, negara-negara ini merasa telah berhasil membangun ekonominya karena ada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), tapi lupa bahwa pelaku ekonomi terbesar pada dasarnya adalah masyarakat, bukan para pengusaha atau penanam modal.  Pertumbuhan ekonomi tingkat makro yang tak menyentuh sendi-sendi ekonomi masyarakat selaku pelaku ekonomi terbesar hanya akan menyuburkan pengangguran, kriminalitas, dan berbagai ekses sosial lainnya.  Negara-negara ini merasa berhasil membangun sistem politiknya dengan banyaknya partai-partai politik yang berdiri, namun abai membangun budaya politik dalam dunia pendidikannya.  Akibatnya, sistem politik hanya menjadi tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatis, dan wahana untuk memenuhi ambisi pribadi-pribadi tertentu, entah itu kedudukan atau materi.  Sistem politik—yang seharusnya merupakan “etalase” kemajuan peradaban sebuah kelompok masyarakat—justru menjadi ruang yang dipandang dengan skeptis, acuh tak acuh, dan sikap apatisme masyarakatnya.

Negara-negara yang terserang virus Sindrom Icarus akut membanggakan ketertiban nasionalnya dengan banyaknya peraturan dan undang-undang.  Namun karena negara-negara ini tidak cukup paham dan berpengetahuan dalam membangun karakter penegak hukumnya, sederetan buku peraturan perundang-undangan itu justru menjadi “sampah”, dan dimanfaatkan sebagai ajang pemenuhan kepentingan.  Negara-negara ini merasa telah menunaikan kewajibannya setelah membuat peraturan, tapi lupa menumbuhkan kesadaran masyarakatnya bahwa mereka membutuhkan sebuah tatanan yang tertib, solid, dan gagal menjamin bahwa siapapun berkedudukan sama di muka hukum.  Ya, karena negara-negara ini lupa pada sebuah nasehat bijak yang lain bahwa “A disorder country is a country in which there are many laws”.

Sindrom Icarus Pada Institusi/Lembaga

Sebuah institusi, lembaga, organisasi, atau apapun namanya juga sangat rentan terserang virus Sindrom Icarus ini.  Mereka adalah lembaga-lembaga yang menggebu-gebu “membangun” dirinya, namun sekali lagi, tak punya cukup pengetahuan untuk memelihara kesinambungan pencapaian tujuannya.  Mereka bangga pada wujud struktur yang besar, namun abai pada efektifitas fungsi, dan lupa pada efisiensi sumber daya.  Mereka sibuk mengembangkan diri, memekarkan organisasi, dengan dalih pencapaian tujuan.

Lembaga-lembaga ini membanggakan kebesaran mereka dengan infrastruktur kantor yang megah, perangkat sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, serta profil organigram yang menjulang dan lebar.  Mereka bangga karena cabang atau perwakilan mereka ada di mana-mana, dengan segala perangkat pendukungnya.  Mereka lupa bahwa institusi/organisasi adalah bentuk pelembagaan sebuah sistem, dan yang terpenting dari sebuah sistem adalah bagaimana ia mampu merubah suatu masukan (input) menjadi sebuah keluaran (output) yang lebih berdayaguna daripada sebelumnya. Jadi ibarat mesin, yang terpenting bukan dimensi fisik mesinnya, melainkan efektifitas elemen-elemen di dalamnya dalam mengolah masukan-masukan itu.

Virus Icarus pada lembaga-lembaga ini pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih bersifat “cost driver” ketimbang “profit maker”.  Bila mereka lembaga pemerintah yang dibiayai dengan anggaran negara, maka mereka adalah penyedot keuangan negara.  Bila mereka lembaga swasta atau independen, maka mereka berpotensi untuk jatuh prematur karena kebangkrutan.  Sekali lagi, inilah buah ambisi yang tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai, atau, inilah buah dari kegagalan membangun “pengetahuan akan diri sendiri”, yang menghasilkan “konseptor” manajemen pragmatis yang lebih mementingkan pemenuhan ambisinya sendiri ketimbang membangun lembaga dan atau negaranya.

Mencegah Infeksi “Virus Icarus”

Kini saatnya kita melihat koneksitas dari serangkaian nilai-nilai di atas, sebagai upaya awal untuk menghindari infeksi virus Icarus ini.  Sekali lagi, adalah wajar untuk memiliki keinginan, cita-cita, atau ambisi.  Namun tanpa pengetahuan yang cukup, semua itu justru akan membawa siapapun pada kejatuhannya sendiri.  Pengetahuan itu sendiri adalah sebuah entitas maha luas, sangat infinitum, dan tak akan habis hingga akhir hayat.  Itulah sebabnya semesta memberi kita pelajaran tentang “simbiosis”, sebuah sinergi satu sama lain.  Di hadapan pengetahuan, tak ada seorangpun yang lebih pintar dari orang lain, tak seorangpun lebih superior dari sekelilingnya.  Di sinilah semua orang patut untuk mendengar nasehat dari siapapun, selama itu bersifat konstruktif.  Pengabaian terhadap nasehat-nasehat baik sama halnya dengan pengabaian terhadap tata nilai itu sendiri, dan juga perintisan jalan menuju jurang kegagalan.

Usaha yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang baik.  Perencanaan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan identifikasi yang tepat atas sebuah masalah.  Untuk itu semua orang harus belajar, menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, serta mendengarkan masukan-masukan demi pemahaman yang lebih baik atas suatu persoalan.  Pemahaman masalah yang komprehensif itulah yang akan membuat identifikasi masalah kita menjadi tepat (right to the bull’s eye).  Dengan identifikasi masalah yang tepat, siapapun dapat merencanakan usaha atau langkah-langkah secara tepat, dan pada gilirannya menyelesaikan masalah secara mantik, tanpa harus membuat masalah-masalah atau ekses-ekses baru.

Ini sama halnya dengan penanganan sebuah penyakit dalam dunia medis.  Seseorang yang mengalami panas badan tinggi, belum dapat diketahui apakah dia menderita demam biasa, typus, demam berdarah, atau malaria.  Harus ada orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi gejala itu, dalam hal ini dokter.  Seorang dokter yang arif tidak akan mendasarkan diagnosanya semata-mata karena pengalaman (bentuk pengagungan terhadap pengetahuan yang berlebihan).  Akan lebih baik bila ia mencari “nasehat”, dalam hal ini masukan dari laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah si pasien.  Dari hasil laboratorium inilah si dokter akan memiliki pengetahuan komprehensif tentang penyakit pasiennya, dan ia akan mampu mengidentifikasi dalam bentuk diagnosa yang tepat.  Dengan diagnosa yang tepat, ia dapat mengambil langkah yang tepat pula: memberi resep yang sesuai, memutuskan apakah pasien dirawat inap atau tidak, dan sebagainya.

Siapapun wajib membangun dirinya, dan siapapun punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kelompok/komunitasnya, institusinya, dan negaranya.  Ketika hak-hak individu dikekang, dan kewajiban pada individu dibebankan secara tidak proporsional, maka kita telah menepikan pengetahuan serta mengabaikan nasehat.  Di situlah virus Icarus telah menginfeksi kita, dan hanya soal waktu kapan kita jatuh terhempas dan tenggelam.

[1]  Diinspirasi dari Buku “The Icarus Syndrome: A History of American Hubris”, karya Paul Beinart, terbitan Harper 2010.

KESIAPAN ALUTSISTA (WEAPON SYSTEM AVAILABILITY): SEBUAH PERSPEKTIF KUANTITATIF DAN MANAJERIAL

Isu utama dalam hal pertahanan negara kita beberapa tahun terakhir ini adalah “kesiapan alutsista”.  Baik alutsista darat, laut, maupun udara menghadapi persoalan yang sama dalam hal kesiapan.  Beberapa faktor disebut-sebut mempengaruhi rendahnya kesiapan alutsista ini, seperti usia alutsista yang dianggap sudah tua, kesulitan memperoleh suku cadang (apakah karena dampak politik seperti embargo, ketersediaan di pasaran, dan sebagainya), dan terbatasnya anggaran negara untuk memelihara alutsista tersebut.  Namun, tahukah anda apa sebenarnya “kesiapan alutsista” itu?  Tulisan sederhana ini bermaksud untuk menggambarkan secara garis besar tentang filosofi di balik terminologi “kesiapan”, dan di aspek apa kita dapat berbenah serta mencari strategi yang tepat untuk memperbaiki tingkat kesiapan itu.

1.         Definisi “Kesiapan”

Secara harfiah, “kesiapan” dalam Bahasa Indonesia semestinya diterjemahkan sebagai “readiness” dalam Bahasa Inggris. Namun dalam konteks pembahasan isu pertahanan seperti disebutkan di atas, lebih tepat bila “kesiapan” ini dibahasakan sebagai “availability”. “Availability” sendiri sebenarnya bisa kita terjemahkan sebagai “ketersediaan” dalam Bahasa Indonesia, namun kata tersebut sangat tidak umum digunakan dalam pembahasan atau diskusi mengenai alutsista.

NATO ARMP-7[1] mendefinisikan “availability” sebagai “kemampuan suatu item yang dinyatakan siap untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi dalam kondisi-kondisi tertentu setiap saat atau pada suatu rentang waktu tertentu, dengan asumsi bahwa semua sumber daya pendukungnya terpenuhi” (the ability of an item to be in a state to perform a required function under given conditions at a given instant of time or over a given time interval, assuming that the required external resources are provided).

Penulis mencoba membandingkan definisi ini dengan apa yang tercantum dalam US DoD Military Dictionary and Associated Terms (JP 1-02)[2] tentang “materiel readiness” (kesiapan materiil) yang diuraikan sebagai “ketersediaan materiil yang dibutuhkan oleh suatu organisasi militer untuk mendukung kegiatan atau kontinjensinya di masa perang, penanggulangan bencana (banjir, gempa bumi, dan sebagainya) atau keadaan darurat lainnya” (The availability of materiel required by a military organization to support its wartime activities or contingencies, disaster relief (flood, earthquake, etc.), or other emergencies).  Atas dasar perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa “availability” dan “readiness” memiliki kaitan yang erat, namun demi kewajaran bahasa, penulis akan menggunakan “availability” untuk membahasakan “kesiapan”.

2.         Macam Kesiapan Alutsista

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa availability berkaitan dengan “waktu” atau “periode”.  Artinya, secara individu kesiapan suatu alutsista dinilai atau diwujudkan dalam/untuk suatu rentang waktu tertentu.  Tidak ada alutsista yang selalu siap sejak ia “dilahirkan” hingga ia “dipensiunkan”.  Hal ini terkait dengan dua aspek penting yang mempengaruhi availability itu sendiri, yaitu reliability (kehandalan) dan maintainability (keterpeliharaan).

Dari perspektif waktu/periode, secara teknis ada empat macam kesiapan alutsista yang dapat diuraikan di sini, yakni:

a.         Kesiapan melekat (inherent availability);

b.         Kesiapan operasional (operational availability);

c.         Kesiapan terjadwal (scheduled availability); dan

d.         Kesiapan tidak terjadwal (unscheduled availability).

2.1.      Kesiapan Melekat (Inherent Availability)

Inherent availability adalah sebuah parameter kinerja suatu alutsista yang bergantung pada faktor Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR).  MTBF dapat diartikan sebagai interval waktu rata-rata dari suatu kondisi tidak siap ke kondisi tidak siap berikutnya pada sebuah alutsista.  Kondisi tidak siap dapat terjadi baik karena adanya kegagalan pada sistem maupun karena alutsista tersebut sudah memasuki masa pemeliharaan.  Di sisi lain, MTTR dapat diartikan sebagai waktu rata-rata untuk menyelesaikan sebuah tindakan perbaikan atau korektif pada saat alutsista dalam kondisi tidak siap digunakan.  Secara matematis, inherent availability dapat dirumuskan sebagai berikut:

AI

Inherent availability tidak memperhitungkan waktu tunda (delay time) karena harus menunggu dukungan suku cadang atau peralatan, dan transportasi peralatan/dukungan lainnya (diasumsikan semua sudah tersedia).  Dari formula di atas, dapat dilihat bahwa inherent availability dapat ditingkatkan dengan cara memperpanjang MTBF dan memperpendek MTTR.  MTTR dapat diperpendek dengan cara menjamin ketersediaan suku cadang, tools, dan personel yang berkualifikasi tepat.  Sedangkan MTBF dapat diperpanjang dengan penggunaan suku cadang yang handal/berkualitas serta pelaksanaan tindakan-tindakan preventif.  Kesiapan melekat ini adalah parameter kesiapan yang paling ideal, yang bergantung pada kualitas manajemen logistik dan keselarasannya dengan dengan pengoperasian alutsista tersebut.

2.2.      Kesiapan Operasional (Operational Availability)

Kesiapan operasional berbeda dengan kesiapan melekat, karena memasukkan waktu tunda (delay time), kegiatan perbaikan korektif, dan tindakan-tindakan preventif.  Jenis kesiapan ini dipandang paling realistis untuk digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kesiapan tempur, mengingat pada prakteknya, kerugian-kerugian (waktu, suku cadang, peralatan, dan resiko lainnya) sangat sulit untuk dicegah.  Kesiapan operasional memperhitungkan faktor-faktor sebagai berikut: Mean Time Between Maintenance Actions (MTBMA), Mean Maintenance Time (MMT), dan Mean Logistic Delay Time (MLDT).  Secara logika, MTBMA semestinya sama dengan MTBF, dan MMT sama dengan MTTR. Secara teknis tidak demikian, karena MTBMA dan MMT memperhitungkan baik tindakan preventif maupun korektif, sementara MTBF dan MTTR hanya memperhitungkan kegiatan korektif saja.  Secara matematis, rumusan operational availability adalah sebagai berikut:

 AO

Operational availability berbanding terbalik dengan rasio antara kumulasi kegiatan pemeliharaan korektif dan preventif serta semua penundaan yang mungkin terjadi (menunggu suku cadang, terbang uji/test flight, dan sebagainya) terhadap waktu aktif total alutsista tersebut beroperasi. Semakin kecil rasio tersebut, maka kesiapan operasional semakin tinggi.  Kesiapan operasional ini dapat digunakan untuk mengkaji aspek-aspek mana yang perlu disempurnakan (misalnya waktu pengiriman suku cadang, waktu pengerjaan pemeliharaan, dan lain-lain).

2.3.      Kesiapan Terjadwal (Scheduled Availability)

Scheduled availability merupakan rumusan kesiapan dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Jenis kesiapan ini didasarkan pada kumulasi waktu alutsista siap melaksanakan misi, baik secara penuh (Full Mission Capable/FMC) maupun parsial (Partly Mission Capable/PMC), dan kumulasi waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeliharaan terjadwal (Not Mission Capable due to scheduled maintenance/NMCscheduled). Kesiapan terjadwal dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:

 AS

Dalam AS, hanya pemeliharaan terjadwal yang “direncanakan”, sedangkan pemeliharaan tak terjadwal tidak diperhitungkan.  Selain pemeliharaan terjadwal, yang juga diperhitungkan adalah tindakan pemeliharaan preventif (saat kondisi alutsista siap).

2.4.      Kesiapan Tidak Terjadwal (Unscheduled Availability)

Kesiapan tidak terjadwal merupakan besaran waktu yang memperhitungkan kesiapan alutsista pada saat tidak ada kegiatan pemeliharaan terjadwal. Dalam penghitungan kesiapan di sini, yang diperhitungkan hanyalah tindakan perbaikan korektif.

 AU

Logika sederhananya adalah bahwa kegiatan pemeliharaan tidak terjadwal harus ditekan seminimum mungkin, sehingga bila nilai AU tidak mencapai 100%, harus dikaji serta diinvestigasi mengapa NMCunscheduled bisa “muncul”.

3.         Garis Besar Strategi

Dari keempat macam kesiapan di atas, ada benang merah bahwa kesiapan alutsista dipengaruhi oleh dua faktor utama:

a.         kumulasi waktu alutsista dalam kondisi tidak siap;

b.         kecepatan dalam memulihkan alutsista ke dalam kondisi siap.

Alutsista bisa berada dalam kondisi tidak siap karena memasuki/melaksanakan pemeliharaan terjadwal atau karena mengalami kegagalan sistem yang tidak terduga sebelumnya. Untuk ini diperlukan tindakan korektif sehingga alutsista dapat segera dipulihkan ke dalam kondisi siap.  Di sisi lain, tindakan-tindakan preventif juga diperlukan sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem dapat diminimalisir.  Namun demikian, baik tindakan korektif maupun preventif tidak dapat berjalan optimal bila tidak didukung oleh manajemen/tata kelola alutsista yang baik.  Dalam tata kelola ini, ada beberapa area yang memerlukan perhatian khusus dari organisasi militer agar kesiapan alutsistanya tetap tinggi:

a.         Perencanaan;

b.         Dukungan; dan

c.         Budaya kerja.

3.1.      Perencanaan

Dalam setiap perencanaan, selalu ada sasaran-sasaran kualitatif yang ditetapkan.  Sasaran-sasaran inilah yang kelak akan menjadi barometer pencapaian kinerja yang ternyatakan secara kuantitatif.  Dalam manajemen alutsista, sasaran utama adalah terwujudnya sebuah kesiapan tempur (combat readiness) untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman atau kontinjensi.  Selanjutnya, secara kuantitatif indikator pencapaian combat readiness itu dinyatakan dalam weapon system availability (kesiapan alutsista).  Itulah sebabnya, penting untuk merumuskan indikator yang “SMART”:

a.         Specific: apa yang sebenarnya kita ukur? (kesiapan alutsista, dalam hal ini AO);

b.         Measurable: indikator harus dapat dikuantitatifkan, misalnya variabel AO dalam “jam” atau “hari”;

c.         Attainable: indikator ini harus dapat dicapai dengan kemampuan yang kita miliki, misalnya AO antara 100% s.d. 105%;

d.         Realistic: indikator harus mempertimbangkan pencapaian-pencapaian sebelumnya (lesson learnt), misalnya AO tahun 2012 adalah 95%, sehingga ditetapkan AO tahun 2013 103% (naik 8%).

e.         Timely: indikator harus dapat diwujudkan pada waktu tertentu, misalnya AO 100% harus diwujudkan selambat-lambatnya tanggal 1 April 2013.

Indikator kinerja (performance indicator) inilah “hulu” bagi proses perencanaan selanjutnya, misalnya: penentuan kebutuhan (materiil, personel, sarana prasarana, dan anggaran), penentuan penyedia kebutuhan, penetapan waktu penerimaan (delivery time), dan sebagainya.

3.2.      Dukungan

Perencanaan yang baik tidak akan berguna bila tidak terimplementasi dengan baik.  Dalam kegiatan-kegiatan korektif (maupun preventif) misalnya, selalu diperlukan dukungan-dukungan berupa suku cadang, tools, kit, personel yang berkualifikasi, dan lain-lain.  Persoalannya adalah: tersediakah semuanya di unit pengguna saat itu?  Seperti diuraikan dalam rumusan-rumusan matematis di atas, availability akan memiliki angka yang tinggi bila variabel-variabel seperti MTTR, MMT, dan MLDT memiliki angka yang kecil.  Artinya, semua kebutuhan harus tersedia on the spot saat mereka dibutuhkan.  Variabel-variabel tersebut akan kecil (mendekati nol) bila pelaksana tidak perlu lagi menunggu pengiriman suku cadang atau tools, tidak perlu mencari personel yang qualified, dan sebagainya.

Banyak organisasi yang merasa “puas” setelah mereka berhasil merumuskan kebutuhan kuantitatifnya, dan mendapatkan penyedia potensial untuk memenuhinya. Namun sering terjadi, penundaan-penundaan dalam serah terima (delivery) tidak diperhitungkan sehingga pelaksana tetap harus menunggu apa yang mereka butuhkan di lapangan. Tentu saja ini akan menghasilkan “waktu tunda” (delay time), yang bila semakin besar akan menghasilkan variabel-variabel MTTR, MRT, dan MLDT dalam angka yang besar pula. Thus, nilai A (apakah itu AI atau AO) akan berpotensi menjadi rendah. Sekali lagi, pada saat membuat perencanaan, semua kemungkinan delay ini harus diperhitungkan sehingga kinerja dapat dicapai secara realistis dan tepat waktu.

3.3.      Budaya Kerja

Telah kita pahami pula bahwa parameter availability (A) sangat dipengaruhi oleh frekuensi atau kumulasi waktu “kegagalan” (failure).  Semakin tinggi frekuensi kegagalan, maka nila A akan cenderung turun.  Inilah yang dicegah dengan adanya tindakan-tindakan preventif seperti pre-flight dan post-flight checks pada pesawat, inspeksi periodik, pemeliharaan tingkat ringan (yang tidak merubah status kesiapan alutsista), dan lain-lain.

Di luar semua itu, perlu adanya suatu budaya kerja yang positif di segala lini.  Kebijakan yang tepat dari pemimpin organisasi, ketaatan pelaksana lapangan terhadap prosedur, disiplin, dan komunikasi yang terbuka adalah beberapa contoh budaya kerja organisasi yang positif. Profesor James Reason (University of Manchester) dalam sebuah paper mengenai “Organizational Accident” menegaskan bahwa “sebagian besar pelanggaran melibatkan keputusan-keputusan yang diambil secara sadar untuk menyimpang dari ketentuan/prosedur standar yang berlaku”.[3] Kebijakan adalah pintu, yang bila tepat akan menutup terjadinya pelanggaran; sebaliknya, bila tidak tepat akan memberi jalan bagi terjadinya pelanggaran.

Budaya kerja yang taat asas dan taat aturan akan menekan terjadinya pelanggaran, dan akan berdampak secara positif terhadap upaya minimalisasi kegagalan pada alutsista.  Apakah ini hanya tanggung jawab pelaksana lapangan? Tentu saja tidak. Para perencana juga harus menjadikan taat asas dan taat aturan sebagai budaya kerja mereka, begitu juga para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyediaan kebutuhan alutsista (personel maupun materiil). Ketaatan ini bermula dari tataran kebijakan (decision making process) hingga implementasi di tingkat pelaksana (end-user) seperti operasional alutsista yang tepat guna dan sesuai prosedur, pemeliharaan yang sesuai standar, dan sebagainya.  Dari sinilah nilai “failure” akan kecil, dan A akan meningkat.


[1]   ARMP: Allied Reliability and Maintainability Publication

[2]  US Department of Defense, JP 1-02 DoD Military Dictionary and Associated Terms (as amended through 15 November 2012), Washington DC.

[3]  James Reason, 1998, Achieving A Safe Culture: Theory and Practice, Work and Stress Vol. 12, UK.

TANTANGAN KEPEMIMPINAN MILITER DI ERA PERUBAHAN

Everything changes; the only thing which doesn’t is the change itself.

Pendahuluan

1.         Kepemimpinan militer, harus diakui merupakan tolok ukur bagi hampir semua bentuk kepemimpinan yang pernah ada.  Salah satu sebabnya adalah bahwa keluaran dari proses kepemimpinan militer adalah “hidup” atau “mati” bagi orang-orang yang dipimpinnya. Militer adalah sebuah entitas yang terdoktrin secara kuat, yang terimplementasi dalam pola pikir, pola ucap, dan pola tindak para anggotanya dalam kehidupan sehari-hari.  Indoktrinasi yang ditancapkan sejak seorang warga negara (sipil) memutuskan dirinya menjadi “tentara” pada akhirnya akan berbuah pada bentuk dan postur pribadi tersebut saat ia lulus dari pendidikannya dan efektif menjadi seorang anggota militer.

2.         Terlepas dari norma universal dalam konsep “doktriner” yang berlaku bagi semua prajurit/tentara, anggota militer tetap harus melihat dunia nyata yang pada gilirannya akan “memaksa” ia berpikir.  Isu utama yang dihadapinya dalam hal ini tak hanya “membunuh” atau “dibunuh” musuhnya, melainkan juga “bertahan” atau “mati” oleh perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.   Metamorfosis inilah yang harus dapat dibaca dan dikenali oleh setiap pemimpin militer saat ini, yang suka tidak suka akan menggeser paradigma kepemimpinan militer di masa depan.

‘Perubahan’ Dalam Perspektif Kepemimpinan

3.         “Perubahan” terjadi pada semua aspek kehidupan dan semua strata sosial, dan layaknya gelombang, tak ada seorangpun yang akan dilewatkannya.  Semua anggota militer pada era ini menyadari perubahan itu beserta segala implikasinya.  Secara alamiah, perubahan lingkungan berdampak pada perilaku setiap orang, termasuk prajurit.  Dari perspektif orang-orang yang dipimpin, di sinilah sebenarnya seorang pemimpin militer mengalami suatu tahapan (milestone) baru, dari yang semula sebagai behavior driving factor, menjadi bridging element antara perubahan dengan perilaku orang-orang yang ia pimpin.  Ia adalah link yang memberi koneksi antara perubahan yang merupakan behavior driving factor dengan behavior itu sendiri sebagai dampaknya.

4.         Bila konsep “perubahan” ini ditarik ke dalam lingkup kepemimpinan (leadership), maka yang berubah bukanlah kepemimpinannya, melainkan perpsepsi terhadap kepemimpinan itu.  Ini layaknya sebuah discovery, bukan invention.Analog dengan ini adalah pengungkapan konsep Sir Isaac Newton atas gravitasi, atau pemikiran Nicolas Copernicus tentang tata surya (solar system).  Gravitasi dan tata surya sudah ada sejak mereka belum menyatakannya; sama halnya dengan kepemimpinan yang jenis serta nilai-nilainya tak berubah sejak manusia ada.  Dalam tataran universal, nilai-nilai dasar kepemimpinan adalah konsep kolegial serta berbasis tim, yang telah teruji dari waktu ke waktu.

Tantangan Kepemimpinan Militer

5.         Di jaman yang terkuasai oleh perkembangan teknologi informasi dan sangat dinamis seperti saat ini, tiga isu utama yang dihadapi oleh pemimpin militer dapat disebutkan sebagai berikut:

a.         Tantangan terhadap kepemimpinan militer;

b.         Perubahan struktur sosial;

c.         Perubahan dinamika ekonomi.

Lantas, dalam konteks ini, apa yang dapat diperbuat oleh para pemimpin militer?  Apa saja dari ketiga komponen itu yang dapat dipengaruhi dan dikenai dampak dari kepemimpinan militer?

6.         Sangat kecil kemungkinannya—bahkan nyaris nol—bagi pemimpin militer di manapun beserta kepemimpinannya untuk memberi dampak bagi perubahan struktur sosial dan perkembangan ekonomi.  Perubahan sosio-ekonomi telah menggelorakan gelombang kebebasan kepada generasi yang nyaris tak memiliki kesabaran maupun upaya penyesuaian yang memadai guna menakar pro dan kontra perubahan ini.  Hasilnya, perubahan harus dapat dikelola dengan baik pada skala yang paling mikro oleh para pemimpin.  Sebuah fakta adalah bahwa di masa lalu, para kaum elit dan keluarga kerajaan berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi tentara murni untuk membela negara, bukan untuk uang.  Paradigma ini bergeser di mana generasi sekarang memandang militer sebagai sebuah entitas karier.

7.         Dampak lanjutan dari pergeseran paradigma ini adalah penambahan beban tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemimpin untuk mempertahankan motivasi orang-orang yang sangat “career-oriented” yang dipimpinnya.  Kunci keberhasilan bagi pemimpin militer saat ini untuk dapat memimpin dalam kualitas yang sama dengan para pemimpin militer masa lalu pada akhirnya terletak pada pembangunan serta pembentukan pemimpin militer itu sendiri.  Oleh karenanya, para (calon) pemimpin ini harus dibekali secara cukup dengan suatu kapasitas tertentu yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus berakselerasi.

8.         Pada dasarnya, kepemimpinan yang berbasis doktrin akan tetap menjadi dasar yang menyeluruh (thorough and comprehensive base) bagi semua pemimpin militer, yang diperkuat dengan gagasan-gagasan baru, kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta didukung dengan desain organisasi yang tepat.  Pemimpin saat ini dan masa depan diharapkan dapat lebih fleksibel, terbuka pada ekspektasi bawahan, serta menjadi komunikator yang baik dalam menyuarakan keinginan orang-orang yang dipimpinnya, dan sebaliknya: menjabarkan harapan-harapan atasannya.  Perwira masa depan adalah para prajurit yang berintelijensia, yang mampu berperan sebagai manajer, birokrat, spesialis, sekaligus merupakan warga negara dengan situational awareness yang tinggi.  Mereka adalah perwira-perwira yang patuh, yang berpikir sebelum bertindak, yang muda tapi matang, dan yang idealis namun juga realistis.

Nilai Inti Kepemimpinan Militer

9.         Perubahan-perubahan dalam urusan militer (Revolutions in Military Affairs/RMA) sama sekali tidak berarti perubahan dalam nilai-nilai inti kepemimpinan militer seperti kehormatan, patriotisme, kejujuran, integritas, loyalitas, kompetensi, kesatuan, serta kekuatan fisik dan moral. Ini berarti bahwa “dosa” seorang prajurit karena berbuat curang, berkhianat atau berbohong di masa 1000 tahun yang lalu adalah “dosa” yang sama di hari ini, dan akan tetap sama untuk 1000 tahun mendatang.   RMA adalah faktor-faktor penguat, yang wajib disisipkan ke dalam setiap nilai itu sehingga sebuah kepemimpinan militer berjalan efektif dalam mencapai tujuan.

10.       Semua nilai inti kepemimpinan militer di atas bermuara pada dua hal: pengetahuan dan karakter.  Pengetahuan membuat seorang pemimpin militer memahami apa yang harus ia perbuat, dan karakter memberinya kekuatan untuk menuntaskan segala kewajibannya.  Keduanya harus saling melengkapi: pengetahuan tanpa karakter membuat seorang prajurit tak memiliki keberanian memutuskan; sedangkan karakter tanpa pengetahuan akan melenyapkan kapasitas internal prajurit itu sendiri.  Pengetahuan yang diharapkan dari seorang pemimpin militer adalah berupa:

a.         Penguasaan akan tugas dan kewajibannya;

b.         Pengetahuan dalam menangani orang lain; dan

c.         Pemahaman akan dirinya sendiri.

Sementara itu, karakter terjabarkan dalam bentuk-bentuk:

a.         Keberanian;

b.         Tekad/kemauan; dan

c.         Inisiatif.

11.       Pengetahuan.  Seorang pemimpin militer masa kini dan masa depan adalah ia yang memiliki pengetahuan dalam wujud:

a.         Penguasaan Akan Tugas dan Kewajiban.   Pengetahuan seorang pemimpin terhadap tugas dan kewajibannya akan membuat ia dapat melihat berbagai hal lebih jelas, lebih dalam, dan lebih jauh dari orang-orang yang dipimpinnya.  Pada gilirannya, ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif, melihat dari berbagai sisi, dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagai sudut pandang.  Keputusannya kelak tidak bersifat memberi penyelesaian sesaat namun menanam “bom waktu” untuk hari depan.  Selain itu, pengetahuan akan tugas dan kewajibannya akan mencegah keputusan seorang pemimpin bersifat parsial/sektoral; merugikan sekelompok orang hanya karena ia ingin menjawab keinginan orang-orang tertentu.

b.         Pengetahuan Dalam Menangani Orang Lain.   Di medan pertempuran, anak buahnya berhadapan dengan pilihan “hidup” atau “mati”.  Di tengah perubahan lingkungan, anak buahnya akan dihadapkan pada “bertahan” atau “tenggelam” oleh perubahan-perubahan itu.  Pemimpin harus sadar bahwa di luar konteks kedudukan anak buahnya sebagai bawahan, mereka adalah pemimpin diri mereka sendiri dalam menghadapi perubahan sosio-ekonomi, budaya, politik, serta berbagai persoalan lain dalam hidup mereka. Karenanya, pemahaman seorang pemimpin terhadap bawahannya akan memampukan ia memberi bobot yang tepat pada setiap perintah, serta arahan-arahan yang proporsional untuk tiap masalah yang dihadapi anak buahnya.  Ia juga pada dasarnya pemimpin dari para “pemimpin”.

c.         Pemahaman Akan Dirinya Sendiri.   Struktur militer yang selalu terkonotasi dengan ketertiban, keteraturan, dan hirarki mengharuskan seorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya “tanpa ada pertanyaan” atau “tanpa keragu-raguan”.  Persoalannya, di tengah perkembangan teknologi informasi yang mempercepat siapapun untuk memperoleh pengetahuan, hampir semua orang menjadi semakin kritis dan cerdas. Dalam situasi ini, dapatkah seorang pemimpin menciptakan sikap mental anak buah yang “tanpa keragu-raguan” dalam menjalankan perintahnya bila ia sendiri tak memahami dirinya sendiri?  Misalnya, akan patuhkah si bawahan bila diperintahkan untuk datang tepat waktu bila si pemimpin sendiri selalu datang terlambat?  Kepemimpinan pada hakekatnya adalah interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin, oleh karenanya kepemimpinan baru akan efektif bila yang dipimpin tidak melihat adanya kelemahan elementer pada si pemimpin.

12.       Karakter.  Di sisi lain, beberapa wujud karakter penting yang wajib dimiliki pemimpin militer masa kini dan masa depan adalah:

a.         Keberanian. Di era perkembangan sosio-ekonomi yang multidimensional dan unpredictable, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan yang tidak lazim atau outside the box.  Sifat alamiah kepemimpinan militer dalam hal pengambilan keputusan pada masa perang adalah keterkaitannya yang erat dengan persoalan hidup-mati anak buahnya.  Dalam konteks sosio-ekonomi, keterkaitannya jauh lebih kompleks, sehingga diperlukan keberanian seorang pemimpin dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat, dengan kesanggupan memikul resiko serta segala konsekuensinya.  Keberanian seperti ini perlu didukung dengan kemampuan berpikir yang state-of-the-art.

b.         Tekad/Kemauan.   Seorang pemimpin militer harus memiliki sifat pantang menyerah serta determinasi yang tinggi dalam menjawab semua persoalan yang muncul.  Pada era sekarang dan ke depan, tekad terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemauannya dalam mengadopsi perubahan, mengelolanya, serta memahaminya sebagai konsekuensi dinamika jaman.  Pemimpin yang pro status quo adalah mereka yang “melempar handuk”, merasa takut, dan tidak sanggup mengelola perubahan, serta memberikan pembenaran atas semua mekanisme serta paradigma yang telah berjalan.  Pemimpin masa depan adalah mereka yang mau menempatkan dirinya sebagai garda depan dalam perjalanan menuju era dan tantangan baru, serta menjauhkan dirinya dari mentalitas seorang “safe player”.

c.         Inisiatif.   Inisiatif berisi antisipasi-antisipasi yang cerdas dan akurat atas semua kejadian serta persoalan yang mungkin muncul dengan cara berpikir jauh ke depan serta mencari jalan alternatif untuk mencapai tujuan, bila cara bertindak yang telah dipilih ternyata menemui hambatan.  Sedikit identik dengan keberanian, inisiatif juga dihasilkan dari cara berpikir yang out of the box, sehingga pemimpin militer dapat mengambil keputusan secara cepat di luar “pakem” yang berlaku.  Dinamika sosio-ekonomi yang cepat memberi ruang yang sangat sempit bagi pemimpin militer manapun untuk menghabiskan waktu memikirkan suatu persoalan tertentu terlalu lama hingga membebani dirinya sendiri.

13.       Dari uraian di atas, tampak nyata bahwa kepemimpinan sejatinya adalah fungsi dari kemampuan dan gaya si pemimpin, ditambah kebutuhan dan nilai-nilai mereka yang dipimpin, dan tuntutan situasi.  Itulah sebabnya pemimpin militer harus memahami dengan baik mereka yang dipimpinnya, serta situasi yang mengelilinginya.  Dengan itulah ia akan menemukan pendekatan yang tepat dalam menjalankan kepemimpinannya untuk mencapai tujuan.

Leadership = f {(leader’s ability and style), (member’s needs and values), (demands of situation)}

 Dampak Perubahan Sosio-Ekonomi Dalam Perspektif Kepemimpinan Militer

14.       Perubahan yang cepat dalam lingkup sosio-ekonomi telah membawa dampak masif yang mendarah daging berupa orientasi-orientasi materialistik, pengikisan nilai-nilai luhur bangsa, degradasi moral, dan cara pandang individu yang cenderung self-centered. Tingkat pendidikan yang makin tinggi, kepekaan sosial yang tipis, serta kesempatan ekonomi yang lebih besar justru mendorong orang untuk menjadi lebih individualis.  Transformasi sosio-ekonomi akhir-akhir ini telah pula berkontribusi pada berubahnya semua pandangan dan pola pikir dalam aspek kehidupan personel militer.  Transformasi inilah pendorong utama pandangan publik tentang militer sebagai entitas karier ketimbang sebagai wahana pengabdian membela negara.  Inilah yang harus secara cerdas dan peka dibaca, dilihat, serta disikapi oleh setiap pemimpin militer masa depan, karena tantangan itu telah nyata, serta akan semakin menguat di hari-hari kemudian.

15.       Kepekaan dan kecerdasan seorang pemimpin militer dalam mengelola transformasi sosio-ekonomi terhadap dimensi kehidupan prajurit mengharuskannya mampu untuk melakukan dua hal utama: pertama, mempertahankan nilai-nilai tradisional kepemimpinan militer yang erat dengan sejarah perjuangan bangsa serta tekad dan semangat pengabdian kepada tanah air; kedua, mengapresiasi perubahan beserta segenap dampaknya terhadap pola pikir dan pola tindak para prajuritnya dengan pendekatan yang lebih modern.  Seperti telah disebutkan di atas, peran pemimpin militer bukan lagi behavior driving factor, melainkan bergeser sebagai bridging element.  Dalam menjalankan peran baru ini, seorang pemimpin militer masa depan dituntut untuk memiliki sebuah kapasitas khusus dalam mengelola kedua sisi (perubahan dan perilaku) tersebut sehingga jalan menuju ke pencapaian misi tetap dapat dipertahankan.

Kapasitas Khusus Seorang Pemimpin Militer

16.       Di satu sisi, seorang pemimpin militer adalah individu yang tak berbeda dengan orang-orang yang dipimpinnya. Iapun terkena dampak dari perubahan sosio-ekonomi yang berimbas pada perilakunya.  Namun ia adalah seorang individu yang memiliki tanggung jawab, kewenangan, serta memikul kewajiban-kewajiban tertentu pada orang-orang yang dipimpinnya.  Ketiga faktor itulah yang menjadi pembeda antara ia dengan orang-orang yang dipimpinnya, di mana perubahan sosio-ekonomi hanya memberi dampak pada perilaku—bila kita melihat dari perspektif organisasi/satuan.  Lantas, kapasitas khusus (distinguished capacity) seperti apa yang diharapkan dari seorang pemimpin militer sehingga jalan menuju pencapaian tujuan tetap dapat dipertahankan, dan norma-norma ketentaraan tetap berdiri pada tempatnya?  Tiga faktor berikut adalah penjelasannya.

17.       Adaptabilitas Terhadap Perubahan. Telah disinggung sebelumnya bahwa pemimpin militer harus cerdas dan peka membaca setiap gejala yang ditunjukkan oleh sekelilingnya yang mengarah pada perubahan.  Pemimpin militer harus jeli melihat arah kebijakan di berbagai strata, mulai dari lingkup nasional hingga apa yang ada di sekelilingnya.  Pemimpin militer skala nasional (misalnya seorang Menteri/Panglima Angkatan Bersenjata, Kepala Staf, atau Panglima Komando Gabungan) bahkan harus dapat membaca arah paradigma yang berlaku global serta kecenderungan di kawasan regional.  Standar yang berlaku pada 5-10 tahun lalu mungkin tidak lagi valid hari ini, dan standar hari ini mungkin hanya akan valid dalam 4-5 tahun ke depan.  Perubahan adalah keniscayaan, sehingga siapapun yang berusaha untuk menolaknya justru akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.  Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ini yang akan membuat organisasi militer menjadi lentur, tetap larut dalam dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun tetap kokoh karena keteguhannya terhadap norma dan kode etik ketentaraan yang hakiki.

18.       Moral dan Perilaku.  Norma kepemimpinan militer, harus diakui merupakan salah satu norma ideal dalam perspektif kepemimpinan.  Ini mengingat militer adalah entitas negara, yang di dalamnya semua perilaku diarahkan untuk kebaikan dan kepentingan negara yang dibelanya.  Pembela negara adalah mereka yang setia pada komitmennya untuk mengedepankan yang terbaik bagi masyarakat negaranya, walau harus mengorbankan dirinya sendiri.  Dengan demikian, pemimpin militer adalah ia yang dapat menjadi teladan dalam menjunjung tinggi norma-norma itu, dan kesalahan dalam moral serta perilaku adalah “dosa besar” yang tak boleh mendapat tempat sedikitpun dalam sebuah kepemimpinan militer.  Di sisi lain, moral dan perilaku pemimpin adalah perekat yang mempersatukan orang-orang yang dipimpinnya, sehingga mereka akan selalu berada di jalan yang sama dengan si pemimpin dalam mencapai tujuan (accomplishing the mission).  Moral dan perilaku yang tidak baik yang muncul akibat perubahan sosio-ekonomi, yang tercermin dari ucapan, tindakan serta kebijakan si pemimpin (misalnya: ketidakmampuan individu pemimpin untuk menjauhkan diri dari mentalitas materialistik, kegagalan memberi contoh hidup sederhana serta ketidakmauan untuk menempatkan dirinya sebagai “pelayan” bagi yang dipimpin) akan berpotensi menimbulkan perpecahan, saling sikut antar anggota/anak buah, serta gesekan-gesekan di internal organisasi/satuan yang pada gilirannya menghambat pencapaian tujuan.  Moral dan perilaku yang buruk dari pemimpin juga merupakan katalis bagi budaya feodalisme, pupuk penyubur budaya “menjilat” serta lahan gembur untuk kepalsuan-kepalsuan di tingkat bawah.

19.       Kecerdasan.   Suka tidak suka, harus disadari bahwa dunia telah memasuki sebuah era baru.  Teknologi informasi telah mengalami revolusi masif yang menyentuh semua aspek kehidupan.  Bagi seorang pemimpin militer, kemampuan mengadaptasi perkembangan ini akan secara signifikan membantunya dalam memperoleh informasi secara cepat dan kredibel, minim manipulasi serta akurat.  Pada gilirannya, ini akan memudahkannya menganalisa berbagai kemungkinan, dan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat dengan marjin kesalahan yang seminimal mungkin.  Di sisi lain, transparansi serta akuntabilitas adalah dua hal yang terus menerus dan semakin dituntut oleh publik, yang juga memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini untuk mengakses apapun yang mereka ingin ketahui. Hal ini wajar, mengingat publik adalah para tax payer yang ingin mengetahui untuk apa saja uang dari pajak yang mereka bayarkan itu digunakan.  Tak dapat dipungkiri, pemimpin militer di era mendatang dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual yang memadai sehingga organisasi/satuan yang dipimpinnya dapat menjadi adaptif dengan segala perubahan yang terjadi.

Image

Mewujudkan Pemimpin Militer Era Perubahan

20.       Perubahan Pola Pikir Dalam Fase Indoktrinasi.  Dunia militer boleh berbangga bahwa ia adalah entitas yang amat kuat dalam indoktrinasi kepada para anggotanya.  Persoalannya, di tengah derasnya gelombang perubahan sosio-ekonomi dunia, militer harus menjamin bahwa fase indoktrinasi yang dimulai sejak pendidikan pembentukan harus mengadopsi paradigma baru yang berkembang.  Penekanannya ada pada penjiwaan semangat perubahan itu sendiri, bukan semata-mata pada tingkat pemahaman praktis dari hal-hal yang baru (up to date).  Para calon pemimpin militer ini harus menyadari bahwa banyak hal telah berubah dari sebelumnya, dan setiap orang harus menyesuaikan diri terhadapnya.  Para anggota militer, yang kelak menjadi orang-orang yang dipimpinnya, tak ubahnya seperti masyarakat pada umumnya yang menginginkan semua hal yang lebih baik, lebih terbuka, dan lebih maju dari yang sudah-sudah.  Para calon pemimpin ini harus menerima kenyataan bahwa mereka hidup dan (akan) bekerja di era di mana seorang pemimpin tak lagi hanya duduk di belakang meja, menunggu laporan-laporan, dan menikmati berbagai hak istimewa.  Pemimpin militer saat ini adalah mereka yang harus bekerja dan bekerja, merapat pada anak buahnya, terjun ke medan penugasan secara langsung, dan “menjemput bola” dalam menggali masalah-masalah aktual dalam unit organisasinya, serta merumuskan pendekatan yang tepat untuk memecahkannya.

21.       Peningkatan Mutu Pendidikan Militer.  Pendidikan militer adalah cikal bakal pembentukan pemimpin militer masa depan, sehingga pendidikan militer di strata apapun harus dikelola secara profesional sehingga mampu menghasilkan pemimpin yang siap dengan dunia yang terus berubah.  Kegagalan dalam mengadopsi perubahan ke dalam kurikulum dan sistem pendidikan militer hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang konservatif, kaku, takut mengambil keputusan, dan ragu-ragu dalam mencoba sesuatu yang baru, serta bermental bossy.  Di banyak negara, keberhasilan serta prestasi seorang pemimpin militer lebih banyak ditentukan oleh kapasitas dan kemampuan pribadinya, serta tekadnya yang kuat untuk terus meningkatkan kualitas diri.  Mereka bukan hasil dari sebuah sistem pendidikan yang terstruktur dan berkesinambungan dengan perubahan jaman. Adaptasi dengan perubahan jaman ini tidak sekedar memasukkan muatan teknologi, modernisasi alutsista, atau peningkatan sistem dan metode.  Yang jauh lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan itu dapat berjalan seiring dengan perubahan lingkungan, baik sosio-ekonomi, politik, maupun budaya.  Cakupan inilah yang kelak akan berbuah dalam wujud pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas, namun juga bermoral, dan memiliki integritas kelas wahid untuk terus bekerja dan mewujudkan segala yang lebih baik.

22.       Pada akhirnya, kita semua harus memahami bahwa dunia militer dengan segala kekuatan hirarki dan strukturisasinya tetap harus adaptif dengan segala perubahan yang terjadi.  Dan pemimpin militer sebagai pilar utama tegaknya jati diri keprajuritan di manapun dituntut untuk dapat menjaga nilai-nilai ini agar tetap solid.  Sekali lagi: leadership values never change; what does change is the way we look at leadership itself.

LEONARDO DA VINCI DAN 109 TAHUN PENERBANGAN

Leonardo-Da-Vinci

Tanggal 17 Desember 1903 antara pukul 10.30 dan tengah hari, umat manusia mencatat sejarah besar ketika Wright bersaudara mampu mewujudkan impian jutaan orang untuk mengangkasa di udara bagaikan burung.   Hari itu, dua montir sepeda dari Ohio bernama Wilbur Wright dan Orville Wright secara meyakinkan mampu terbang dengan mesin secara terkendali sejauh 36,5 meter setinggi 3 meter selama 12 detik di kaki bukit pasir Big Kill Devil, dekat Kitty Hawk, North Carolina.   Diawali hari bersejarah itu (yang kemudian dikenal sebagai Hari Penerbangan Sedunia), dunia penerbangan kemudian mencatat lompatan-lompatan teknologi yang fantastis sehingga manusia “hanya” butuh waktu 66 tahun untuk akhirnya mendarat di bulan pada tahun 1969.   Seakan tidak bisa berhenti, teknologi penerbangan terus meraih pencapaian yang mampu mengubah cara hidup manusia hingga seorang Alvin Toffler sekalipun sangat yakin bahwa setelah era informasi, akan datang “aerospace era”.   Namun tahukah anda bahwa impian manusia untuk terbang telah diawali sejak berabad-abad lampau ketika para pemikir, filosof, dan ilmuwan menggagas berbagai kemungkinan bagi manusia untuk terbang.   Nah, bila anda adalah pecinta bacaan detektif, konspirasi atau religi sekaligus serta tidak melewatkan bacaan kontroversial The da Vinci Code, anda boleh merasa surprised karena ternyata lukisan-lukisan seperti “Mona Lisa”, “The Last Supper”, atau “Madonna of the Rock” memiliki hubungan yang erat dengan dunia penerbangan.   Lho, kok bisa?   Ya, karena Leonardo da Vinci adalah salah satu tokoh yang memiliki sumbangsih besar bagi teknologi penerbangan ini.

Leonardo dilahirkan pada tanggal 15 April 1452 di Anchiano, dekat Vinci di kota Florence.   Ia putra dari pasangan seorang notaris, Ser Piero dan seorang wanita muda bernama Caterina (keduanya tidak menikah).  Salah satu karyanya yang terkenal (yang kemudian menjadi akar kontroversi dalam The da Vinci Code) “The Last Supper” (Perjamuan Terakhir) ia kerjakan sejak 1495 hingga selesai tiga tahun kemudian.   Karya terkenalnya yang lain, “Mona Lisa” ia kerjakan di Florence pada tahun 1504.   Sementara itu ia mempelajari ilmu anatomi, perencanaan kota, optik dan hydraulic engineering di Milan sejak 1508.   Ia meninggal dunia dengan segala kekayaan karyanya pada tanggal 2 Mei 1519 dan dikuburkan di Gereja Saint Valentine di Amboise.   Pada tanggal 23 April 1519 ia mewariskan seluruh karyanya yang berupa manuskrip, gambar-gambar dan berbagai instrumen serta peralatan kepada murid kesayangannya Francesco Melzi.   Sementara kepada muridnya yang lain, Salai, ia meninggalkan lukisan-lukisannya di studio, termasuk “Mona Lisa”.   Ketika Melzi kemudian meninggal dunia pada tahun 1579, warisan karya Leonardo mulai tercecer.

Kontribusi Da Vinci Bagi Dunia Penerbangan

Bagi dunia penerbangan dan kedirgantaraan, hasil pemikiran ilmuwan yang memiliki kelainan dyslexia (kesulitan untuk memahami bacaan, hitungan dan konsep secara normal) ini berjumlah sekitar 700 buah (dari sekitar 5000 halaman gambar-gambar dan catatan-catatan yang pernah dibuat sepanjang hidupnya), sebagian besar berupa coretan-coretan dan gambar yang belum sempat ia buat modelnya.   Pemikiran Leonardo tentang “terbang” meliputi konsep pesawat terbang itu sendiri, model sayap, pengukur kecepatan dan arah angin hingga instrumen-instrumen.  Pemikiran Leonardo tentang “terbang” ini terkumpul dalam Codex “On the Flight of Birds” yang disimpan di Biblioteca Reale Turin, Italia dan Codices of the Institut de France di Paris, Perancis. Gagasan Leonardo itu sebagian besar telah dituangkan dalam bentuk replika di National Museum of Science and Technology Leonardo da Vinci di Milan, Italia.   Dalam banyak dokumennya, ia menyertakan tulisan-tulisan yang ditulis secara terbalik (mirror image writing)—salah satu keistimewaan seorang dyslexic—yang menjelaskan arti atau kegunaan alat/instrumen yang digambarnya.

Apa saja yang telah digagas Leonardo da Vinci untuk mewujudkan impian manusia agar dapat terbang sebagaimana layaknya burung di udara?   Beberapa yang terpenting akan dijelaskan berikut ini.

1.         Kapal Terbang (Flying Ship).   Berbentuk sebuah kapal terbang kecil yang dilengkapi dengan sayap (flapping wings) dan helm.   Ini adalah salah satu gagasan paling imajinatif Leonardo tentang mesin terbang.   Kursi penerbangnya terletak di dalam cerukan berbentuk setengah tabung (seperti perahu) yang juga diisi semua sistem mekanis (screws, nut dan crank) yang mengendalikan dua sayap yang mirip sayap kelelawar.   Yang menarik khususnya adalah bentuk permukaan besar di bagian ekor, kemungkinan besar adalah sistem untuk menyesuaikan posisi terbang dan tentu saja arah dari kapal terbang itu sendiri.   Gambar kapal terbang ini tidak disertai catatan Leonardo dan mungkin dikerjakannya antara tahun 1486 dan 1490.   Gambar ini menarik karena untuk pertama kalinya gambar ini menjelaskan adanya bidang ekor yang besar untuk memberi kestabilan terbang dan mendarat serta adanya bentuk badan (fuselage).   Sayap dioperasikan dengan alat berupa screw dan nut-screw yang dirancang khusus untuk mengurangi stress dan terletak di pegangan tangan serta digerakkan oleh dua orang sebagai awak pesawatnya.

Kapal Terbang Da Vinci
Kapal Terbang Da Vinci

2.         Struktur Sayap.   Studi tentang struktur sayap menandai momen penting dan kritis bagi pencarian Leonardo untuk merancang sebuah mesin yang dapat menerbangkan manusia.   Gambar berikut menunjukkan sebuah bentuk sayap kelelawar dengan rangka kayu dan ranting yang dibalut serat.   Sayap ini, dengan ruas-ruas dan pelapisnya, terbuat dari poros kayu dengan roda penggerak kayu di bagian depannya.

Struktur Sayap Da Vinci
Struktur Sayap Da Vinci

Folio ini, yang diperkirakan dibuat antara tahun 1486 dan 1490, berisi gambar dengan pena, dengan beberapa garis dari pensil, dari sebuah sayap mekanis yang dilapisi kain dan digerakkan melalui pengangkat tuas (kanan bawah pada gambar).   Tidak ada keterangan pada gambar ini.   Mekanisme di atas dirancang untuk menggerakkan sayap melalui sebuah tuas, yang menggulung tali melalui pengungkit.

3.         Sayap Buatan (Articulated Wing).   Leonardo merancang alat ini, dilengkapi dengan mekanisme hambat dan puntir di bagian luarnya, dalam usahanya untuk secara sempurna menghasilkan struktur sebuah sayap burung.   Tujuan alat ini adalah untuk menjamin gerakan balik yang otomatis dari sayap yang dilenturkan.   Perhatian khusus diberikan dalam hal pegas dan sendi-sendi yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sayap tersebut.

'Articulated Wing' Da Vinci
‘Articulated Wing’ Da Vinci

Folio ini, yang kemungkinan dibuat sekitar tahun 1496, berisi studi tentang sebuah sayap buatan dan detil pada sendi-sendi penghubung serta pegas yang dipasang pada konstruksinya.   Gambar ini dibuat dengan pena dan pensil dan bertuliskan huruf-huruf  n-r-m-o-f , yang dibuat sebagai keterangan gambar.   Catatan berikut dibuat di bawah gambar besar sayap “kain linen berbentuk ekor merpati”, yang ditulis di tepi gambar : “Tolli n’iscambio di molla, fila di ferro sottili e temperate; le quali fila sieno di medesima grossezza e lunghezza infra le legature e arai le molli d’equal potenzia e resistenziam se le fila in ciascun sieno di pari numero” (mekanisme pegas menggunakan kabel tipis dan keras; bila bagian kabel di antara sendi-sendi memiliki ketebalan dan panjang yang sama dan bila tiap pegas memiliki jumlah bagian kabel yang sama, maka akan dihasilkan pegas-pegas dengan kekuatan dan ketahanan yang sama).

4.         Parasut.   Dalam catatannya, Leonardo menerangkan bahwa dengan kain yang dibentuk piramid dengan panjang rusuk 12 yard (sekitar 7 meter) menyilang dan sama panjang, bila tetap dalam keadaan terbuka, “ognuno si potrà gettare da qualsiasi altezza senza alcun rischio” (siapa saja dapat melompat dari ketinggian berapapun tanpa resiko sama sekali).

Parasut Da Vinci
Parasut Da Vinci

Folio tersebut berisi gambar-gambar yang berhubungan dengan studi tentang penerbangan mekanis, yang diselesaikan antara tahun 1483 dan 1486.   Di bagian atas folio, prinsip resiprositas aerodinamika diperkenalkan untuk pertama kalinya, seiring dengan konsep pembuatan parasut dengan penjelasan gambar sebagai berikut : “Se un uomo ha un padiglione di pannolino intasato che sia di 12 braccia per faccia e alto 12, potrà gittarsi d’ogni grande altezza senza danno di sé” (bila seseorang diberi kain yang dijahit rapat-dengan panjang 12 yard pada tiap sisinya dan tinggi 12 yard, ia dapat melompat dari ketinggian seberapapun tanpa mengalami cedera).   Karena ukuran “braccio” (yard) Florence saat itu setara dengan lebih kurang 60 cm, maka parasut Leonardo dapat dikatakan sebanding dengan sebuah piramid empat sisi dengan tinggi dan panjang sisi miringnya 7,2 meter.

5.         Glider dengan Manoeuverable Tips.   Ketika merasakan sulitnya mewujudkan impian terbang dengan mesin bertenaga manusia, Leonardo mulai mempelajari gliding flight (terbang meluncur tanpa mesin).   Dalam pesawat glider rancangannya, posisi penerbang diandaikan sedemikian rupa sehingga ia mudah menyeimbangkan dirinya dengan menggerakkan bagian bawah tubuh secukupnya.   Sayap glider ini, yang merupakan tiruan dari sayap kelelawar dan burung-burung besar, dipasangkan di bagian terdalam (terdekat dengan penerbangnya) dan dapat bergerak bebas di bagian luarnya.   Bagian luar ini bahkan dapat  ditekuk oleh si penerbang dengan kabel yang digerakkan melalui beberapa pegangan (handles).   Leonardo mengembangkan solusi ini setelah mempelajari struktur sayap burung dan mengamati bahwa bagian dalam sayap mereka bergerak lebih lambat daripada bagian luarnya dan oleh karenanya bagian ini berfungsi lebih untuk bertahan (tetap mengudara) daripada sekedar mendorong ke depan.

Gilder Da Vinci
Gilder Da Vinci

Gambar dibuat dengan pena.   Folio tersebut berisi tiga gambar sayap buatan yang digerakkan dengan sabuk yang diikatkan ke kaki dan badan si penerbang.   Leonardo membuat struktur sayapnya streamline dengan sayap yang terpasang langsung ke badan penerbang (ornithopter).   Catatan di tepi folio tidak mengacu pada gambarnya melainkan berisi catatan tentang gerakan air yang mengalir dari pegunungan.

6.         Anemometer.   Salah satu dari dua jenis anemometer yang digambar Leonardo adalah sebuah rancangan sederhana.   Terbuat dari rangka kayu bergerigi dengan bilah yang digerakkan oleh angin sehingga menunjukkan arah angin tersebut.   Alat ini dirancang untuk mempelajari kondisi cuaca, dengan tujuan menambah tingkat keamanan penerbangan.

Anemometer Da Vinci
Anemometer Da Vinci

Folio ini berisi berbagai gambar mesin terbang dan alat-alat lainnya dengan sifat yang beragam.   Gambar anemometer, yang bertanggal antara tahun 1483-1486, dilengkapi dengan sebuah keterangan menarik, yang di dalamnya Leonardo menekankan perlunya melengkapi alat tersebut dengan jam untuk mengukur dan mencatat kecepatan angin : “A misurare quanta via si vada per ora col corso d’un vento. Qui bisogna un orilogio che mostri l’ore, punti e minuti” (Untuk mengukur jarak yang dilalui per jam dengan kekuatan angin.   Jam penunjuk waktu diperlukan di sini).

7.         Inclinometer.   Alat ini digunakan untuk mengetahui posisi mesin terbang saat di udara.  Agar si mesin terbang mencapai posisi horisontal pada kondisi terbang tertentu, bola kecil dalam tabung berbentuk loceng harus berada tepat di tengah-tengah alat ini.   Kaca lonceng ini adalah untuk mencegah angin agar tak mempengaruhi bola.

Inclinometer Da Vinci
Inclinometer Da Vinci

Pada bagian atas folio tersebut ditunjukkan gambar yang berhubungan dengan berat yang diukur dengan timbangan, dan percobaan-percobaan untuk mengukur kekuatan sekrupnya.   Pada bagian bawah adalah gambar inclinometernya, yang bertanggal antara tahun 1483-1486.   Di sebelah gambar alat ini, yang digunakan untuk mengukur ketegakan (verticality) dan digunakan untuk terbang, adalah keterangan gambarnya “non ci vuol dare il vento” (pasti tidak ada angin) dan juga “Questa palla dentro al cerchio ha esser quella che ti farà guidare lo strumento diritto o torto, come vorrai, cioè quando vorrai andare pari, fa che la palla stia nel mezzo del cerchio, e la pruova te lo insegnerà” (bola di tengah lingkaran akan memungkinkan anda untuk mengarahkan mesin (terbang) anda.   Artinya, kapanpun anda ingin terbang secara horisontal, pastikan bola berada di tengah lingkaran.   Cobalah dan anda akan membuktikannya).

(Catatan penulis : dalam konfigurasi pesawat-pesawat sekarang, inclinometer ini diwujudkan secara modern dalam bentuk instrumen yang dikenal dengan nama Artificial Horizon (A/H)-untuk pesawat buatan Amerika, atau Artificial Directional Indicator (ADI)-untuk pesawat Eropa.   Dalam perangkat instrumen ini, terdapat sebuah bola besar dengan skala-skala yang berfungsi untuk menunjukkan attitude/sikap pesawat (miring ke kiri, kanan atau level) dan bola kecil di bawahnya untuk menunjukkan sikap lateral pesawat terhadap heading/arah yang ditempuhnya).

8.         Sekrup Terbang (Aerial Screw).   “Trovo, se questo strumento a vite sarà ben fatto, cioè fatto di tela lina, stopata i suoi pori con amido, e svoltata con prestezza, che detta vite si fa la femmina nell’aria e monterà in alto” (Saya percaya bahwa bila alat sekrup ini dibuat dengan benar, artinya dibuat dari kain (linen), pori-pori yang tertutup oleh kanji, dan bila alat ini diputar dengan cepat, sekrupnya akan mengaitkan gigi-giginya ketika berada di udara dan akan bergerak ke atas di ketinggian).   Ini adalah salah satu gambar Leonardo yang terkenal.   Beberapa ahli menyebutnya sebagai “nenek moyang” helikopter.   Satu-satunya gambar yang mengikuti catatan Leonardo adalah sketsa sebuah sekrup terbang dengan diameter 5 meter, terbuat dari serat tipis, kain linen dan kabel, (diperkirakan) digerakkan oleh empat orang yang mungkin saja berdiri di bagian tengah dan menghasilkan tekanan pada batang-batang di depannya dengan tangan mereka, sehingga membuat porosnya berputar.   Jadi, mesin yang kemudian dirancang ini kemungkinan tidak pernah terangkat atau digerakkan dari tanah; namun idenya tetap, bahwa bila ada kekuatan penggerak yang cukup, mesin ini akan terangkat dari tanah dan berputar di udara.

Sekrup Terbang Da Vinci
Sekrup Terbang Da Vinci

Gambar sekrup terbang ini dibuat sepanjang periode pertama Leonardo di Milan dan kemungkinan bertanggal antara 1483-1486.   Sekrup terbang ini berbeda dari mesin yang lain karena ia direncanakan untuk studi tentang efisiensi propeler dan bukan sebagai mesin terbang yang sesungguhnya.   Dalam catatan yang menyertai gambar ini, Leonardo bahkan menyarankan (dengan contoh) bahwa apa yang ia rancang dapat dicoba dengan menggunakan bahan kayu yang tipis dan lebar, lalu diputar dengan cepat di udara.   Akan terbukti bahwa lengan orang yang memutar batang poros sekrup akan tertarik ke atas ke arah poros itu sendiri.   Dalam catatan yang sama, Leonardo menyarankan memakai model dari kertas dan meluncurkannya dengan kumparan pegas yang dibalutkan di sekeliling sekrup.    Penyebutan yang spesifik tentang sekrup terbang ini memperkuat asumsi bahwa model ini sebenarnya adalah representasi dari permainan kincir (mungkin seperti gasing di Indonesia), sebuah permainan yang sudah populer di masa Leonardo.   Karena ukurannya yang kecil, mainan itu dapat dimainkan dengan pegas atau lebih baik lagi dengan tali kecil, yang cepat terbuka sehingga sekrup dapat berputar karenanya dan bergerak ke atas.   Ini bisa jadi sumber ilham bahwa mekanisme yang sama, yang lebih besar ukurannya dan diputar dengan kekuatan penggerak yang cukup, dapat terangkat dari tanah.

Masih terdapat beberapa gagasan lainnya yang menegaskan betapa Leonardo betul-betul memimpikan manusia suatu saat nanti dapat terbang seperti layaknya burung.   Leonardo sepertinya terobsesi dengan mekanisme kerja sayap burung atau kelelawar yang mampu menerbangkan mereka ke manapun mereka ingin.   Ini bisa dilihat dari coretan-coretannya tentang sayap dan peralatan-peralatan untuk membuat sayap ini bekerja seperti sayap burung/kelelawar.   Coretan-coretan itu antara lain: mesin sayap tekuk dengan bearing vertikal, struktur sayap dengan kemiringan yang adjustable, alat untuk menguji tekukan sayap, alat penekuk sayap dengan sistem sekrup, anemoscope, dan mesin pegas untuk kapal terbang.   Umumnya coretan-coretan ini belum sempat dibuat modelnya, apalagi diuji kinerjanya.   Dengan perkembangan ilmu pengetahuan aerodinamika dan fluida, akan nyata bahwa sebagian besar konsep Leonardo sulit untuk diharapkan bekerja seperti keinginannya.   Namun bagaimanapun, Leonardo telah merintis secara nyata apa yang diimpikan manusia sejak lama: terbang.   Rintisannya bukan sekedar mitos atau dongeng, melainkan terwujud dalam gambar-gambar serta tulisan-tulisan yang dapat kita lihat hingga kini.

ANJELI DALAM RONA NEGERI…

A_slice_of_life_by_gilad

Anjeli. Nama itu menarik perhatian saya saat membuka beberapa situs berita internet seraya beristirahat sejenak tengah hari ini. Ia seorang anak yatim berusia 11 tahun, tinggal bersama Ibu & 2 kakaknya di sebuah gang di Cinere Depok. Ia anak yang penuh dengan prestasi, hingga rumah sederhananya seolah tak mampu lagi menampung ratusan bahkan ribuan piala, sertifikat & piagam penghargaan yang telah diraihnya sejak belum masuk SD. Prestasinya juga telah memampukan ia membantu Ibunya (yang membuka jasa privat di rumah & melayani pesanan katering untuk 35 teman di sekolahnya) termasuk berbagi hadiah uang untuk memenuhi kebutuhan 2 kakaknya.

Aceng Fikri. Nama ini juga “booming” dalam beberapa hari terakhir terkait usia pernikahannya yang cuma 4 hari dengan seorang wanita muda bernama Fany & ia akhiri dengan talak cerai melalui SMS. Kedudukannya sebagai Bupati Garut tentu membuat situasi ini menjadi tidak sederhana, bahkan menjadi sebuah heboh nasional hingga level Menteri bahkan Presiden.

Diego Mendieta. Ini adalah seorang mantan pemain sepakbola klub Persis Solo asal Paraguay yang meninggal dunia di RS Moewardi Solo Senin (3/12) malam karena infeksi virus. Gajinya selama 4 bulan senilai lebih dari Rp 100 juta belum sempat dibayarkan karena klub tempatnya bernaung sudah bubar tahun 2011 lalu. Hingga saya tulis artikel ini, jenasahnya masih terkatung-katung tanpa kejelasan di rumah sakit.

Kisah Anjeli sangat menyentuh saya, terutama keluguan serta kerendahan hatinya di tengah-tengah deretan prestasi nasionalnya. Ia seorang anak yang dalam perspektif saya pribadi telah mengajarkan banyak hal: bersyukur dalam hidup, rendah hati, serta ketulusan berbagi. Saya yakin, masih banyak “Anjeli-Anjeli” lain yang belum terungkap di negeri ini, dan negeri ini patut bersyukur bahwa ia menyimpan banyak sekali mutiara.

Kisah Aceng-saya yakin-juga bukan cerita baru. Negeri ini memang dipenuhi dengan orang-orang yang suka “lupa” pada bumi tempatnya berpijak. Orang-orang yang menjadikan tahta & mahkota sebagai modal kesombongan; orang-orang yang menjadikan jabatan sebagai pembenaran untuk menindas dan menodai nilai-nilai kemanusiaan; serta orang-orang yang menjadikan uang sebagai alat tukar untuk harga dirinya sendiri.

Tragisnya Mendieta-di tengah keprihatinan saya-juga tidak mengejutkan. Kita toh sudah akrab dengan fakta bahwa “seseorang bukan siapa-siapa kalau ia tak dapat (lagi) memberi apa-apa”. Habis manis sepah dibuang. Kebobrokan manajemen (seperti manajemen sepakbola nasional) tak jarang merenggut nyawa, seperti Mendieta dan banyak warga miskin lainnya yang tak mampu “membeli” kesehatan atas alasan “peraturan”, “kebijakan”, ketentuan ini itu serta dalih-dalih yang lain.

Ini memang negeri warna-warni–kalau saya identikkan dengan lukisan-lukisan hebat karya Anjeli. Kalau mengambil analogi musik, negeri ini layaknya sebuah genderang sangkakala yang berisi beragam musik mulai dari yang bernada hingga yang “asal bunyi”. Sayang sekali, warna-warni itu hingga hari ini tak sedap dipandang; genderang musik itupun hingga saat ini cuma bisa membuat sakit telinga.

Kita memang tabu mengeluh, toh keluhan tak pernah membuat sesuatu menjadi lebih baik. Kita wajib berusaha agar semuanya menjadi lebih layak, lebih pasti, dan memenuhi harapan. Itu sebabnya kehidupan seolah mewajibkan manusia menstrukturkan diri. Thus, sekelompok manusia yang terkumpul dalam apa yang disebut “masyarakat” itupun menstrukturkan dirinya: menjadi keluarga, RT, RW, dusun, desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam struktur itu ada yang bertanggungjawab untuk menuntaskan sesuatu. “Siapa berbuat apa” sudah diatur dengan jelas.

Anjeli adalah bagian dari sebuah struktur kecil bernama keluarga, dengan tanggung jawab hebat yang ia emban meski tanpa diminta. Aceng Fikri adalah kepala sebuah struktur lumayan besar bernama kabupaten, yang tanggung jawabnya ia abaikan untuk pemuasan nafsunya sendiri. Mendieta di sisi lain adalah korban sebuah struktur (sepakbola) yang gagal karena pementingan diri sekelompok orang. Hmmmm….

Saya berharap bahwa anak-anak belia seperti Anjeli mampu menjaga keutuhan pribadinya, ketulusan jiwanya, serta putih melati dalam hatinya. Terus mensyukuri karunia Tuhan, serta tidak dibutakan oleh pujian-pujian. Bangsa ini memerlukan tulang punggung yang kuat untuk dapat berdiri tegak, dan kita layak berharap pada ratusan Anjeli di seantero negeri ini, yang menikmati setiap butir nasi dengan keringat & kreatifitasnya sendiri, bukan dengan mengambil apa yang tidak menjadi haknya. Biarlah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan hukuman apa yang layak bagi mereka yang menari-nari di atas tangis rakyat kecil yang lapar, yang tertawa riang di atas mereka yang tak mampu menebus obat untuk sakitnya, serta yang berkoar-koar atas nama rakyat namun tidak pernah bisa menjelaskan rakyat yang mana yang mereka perjuangkan.

Ah…soal Anjeli lagi, saya jadi teringat apa yang dikatakan almarhum ayahnya pada sang istri (ibunda Anjeli) sebelum meninggal dunia: “Lebih baik berhenti membeli obat saya daripada menghentikan kursus anak kita…”

DI MANAKAH NEGARA?

Image

 

Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF Suzuki 2012 setelah dikalahkan Malaysia 0-2 tentu mengecewakan kita semua. Negeri ini telah terlalu haus untuk merasakan kembali prestasi di cabang sepakbola-cabang olahraga yang diklaim memiliki penggemar terbanyak. Kita maklum, dengan penduduk yang berkisar 270 juta-an jiwa, negara seperti kesulitan mencari 11-20 orang yang punya kualitas bermain bola. Parahnya, itu terjadi setelah konflik internal di tubuh pengelola sepakbola Indonesia yang berlarut-larut. Organisasi resmi bernama PSSI yang telah berdiri puluhan tahun tidak berdaya saat digerogoti oleh internalnya sendiri. Lalu muncul sekelompok orang yang mengaku dirinya “pencinta” sepakbola Indonesia, tapi ujung-ujungnya juga hanya memperkeruh situasi. Hasilnya bisa kita lihat, tak hanya sepi tropi & prestasi di ajang-ajang seperti SEA Games, Asian Games (alih-alih Olimpiade) maupun Piala Asia (alih-alih Piala Dunia), kita bahkan sama sekali “tak masuk hitungan” di regional Asia Tenggara-yang beberapa puluh tahun lalu kita kuasai.

 

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di sebuah media informasi berbasis internet, bahwa seorang mantan juara dunia perahu naga asal Jambi sedang mengalami kesulitan membiayai perawatan anaknya (yang belum genap 2 tahun) yang menderita pengerapuhan kulit. Deretan medali, piagam, sertifikat serta berbagai penghargaan nasional & internasional yang dimilikinya ternyata hanya membawanya pada kehidupan saat ini sebagai seorang buruh cuci. Dengan itu, plus penghasilan suaminya yang hanya sekitar 1 juta rupiah per bulan sebagai seorang cleaning service di DPRD Jambi, tentu sulit untuk membiayai pengobatan anaknya yang memerlukan biaya sekitar 1,5 juta rupiah sebulan di RSCM.

 

Ironis. Ya, saat negara membutuhkan peran, tenaga, pikiran & keterampilan atlet-atet kita untuk mengibarkan Sang Merah Putih serta mengumandangkan Indonesia Raya, negara justru abai & membiarkan para duta ini mendapat malu, & bergumul sendiri dengan kesulitan hidupnya. Negara dengan kekuasaannya yang semestinya bisa berbuat sangat banyak untuk menyelesaikan konflik di sebuah institusi resmi, serta berlimpah anggaran dalam membangun prestasi, justru sibuk berdalih.

 

Kisruh PSSI vs KPSI sebenarnya bisa dituntaskan bila negara sunguh-sungguh & berkomitmen terhadap pembangunan prestasi sepakbola. Kisah yang dialami Leni, sang juara dunia dayung itu, juga tak perlu terjadi seandainya negara sadar bahwa di sisi lain, sekian miliar rupiah justru dinikmati oleh para pengelola olahraga negeri ini melalui berbagai proyek seperti Wisma Atlet atau Hambalang.

 

Olahraga hanyalah salah satu dimensi hidup di negeri ini yang dapat membuat rakyat dapat melupakan berbagai kekacauan serta ketidakbecusan pengelola negara yang berdampak pada berbagai masalah bangsa. Olahraga-lah yang membuat rakyat kecil masih punya kebanggaan ber-Indonesia, masih mencintai Merah Putih, serta tidak malu untuk berkata “Saya orang Indonesia!”.

 

Kita tak perlu naif dengan fakta bahwa seperti apapun kemajuan ekonomi (makro) yang digembar-gemborkan pemerintah itu, masih banyak hal yang dapat menjadi indikator ketertinggalan kita dari berbagai negara yang dulu justru belajar dari kita. Mari kita bicara yang gampang-gampang saja: beranikah kita menyandingkan kelas Ibukota Negara Jakarta dengan ibukota tetangga kita seperti Singapura atau Kuala Lumpur?; beranikah kita membanggakan produk nasional kita seperti Malaysia bangga dengan Proton-nya?; beranikah kita berbicara soal kesejahteraan masyarakat di pulau terluar atau perbatasan saat kita harus membandingkannya dengan apa yang dilakukan Malaysia terhadap perkampungan mereka di perbatasan yang sama?

 

Sebagai anak bangsa yang sangat mencintai negeri ini, saya khawatir bahwa pengelola negara ini sudah terjebak dalam pragmatisme kuantitas. Semua diukur dengan angka, persentase, rupiah/dollar, dsb. Kita terlalu ignorant pada kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang kita sebut positif itu adalah angka dalam persen; tidak lebih. Tapi fakta bahwa kita masih mengimpor bahan pangan, bahkan di beberapa daerah masyarakatnya masih mengalami malnutrisi & kekurangan pangan (saat sejak kecil kita diajari bahwa Indonesia negara agraris) adalah soal kualitas: kualitas manajemen pangan yang buruk, apakah itu di bidang penelitian, pembudidayaan benih, pengelolaan lahan, distribusi, hingga pengendalian harga. Tak perlu berdalih & menutup mata, karena itu semua ada di negeri ini.

 

Memang, di sisi lain kita juga patut berharap bahwa ada segelintir orang yang ketokohannya dapat mencuatkan harapan kita akan sesuatu yang lebih baik. Namun ini juga bukan pembenaran bahwa negara bisa abai terhadap kemungkinan-kemungkinan bahwa sedikit orang-orang baik ini akan berhadapan dengan tembok & badai “pro status quo” yang telah sangat sistematis & terorganisir, yang dimotori oleh sekelompok orang yang tak rela zona nyamannya di-“utak-atik”.

 

Saya percaya, bahwa pada saat John F. Kennedy mengatakan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS tahun 1961 “Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country“, ia tak pernah sedikitpun bermaksud bahwa negara bisa berbuat atau abai semaunya terhadap warganya…

HELIKOPTER: UNIKNYA SEBUAH TEKNOLOGI TERBANG

Prinsip atau teori terbang pesawat konvensional barangkali sudah kita ketahui atau bahkan pahami.  Bagaimana dengan helikopter?   Mungkin ada baiknya kita sedikit melihat tentang bagaimana perkembangan teknologi helikopter.   Mudah-mudahan pengetahuan ini akan membuat pembaca memiliki sedikit gambaran tentang pesawat yang dikenal dengan “sayap putar” (rotary-wing) ini. Pesawat ini memang tidak konvensional, meskipun sebenarnya sejarahnya sendiri tidak kalah tua dari pesawat sayap tetap (fixed-wing).   Leonardo da Vinci, ilmuwan Italia sudah membuat coretan kecil tentang pesawat bersayap putar pada tahun 1483.   Lalu Paul Cornu dari Perancis berhasil menerbangkan rancangannya yang berbentuk “sepeda helikopter” pada 13 November 1907, sekalipun hanya 20 detik dan setinggi 30 cm dari tanah.   Helikopter praktis pertama yang meyakinkan manusia untuk terbang vertikal adalah Focke Achgelis Fa 61 yang dikembangkan oleh Nazi Jerman pada tahun 1936.   Namun cikal bakal helikopter masa depan yang terbang dengan performa lengkap dan standar adalah VS-300, yang diciptakan oleh Igor Ivanovich Sikorsky, seorang Ukaraina yang karena Revolusi Bolshevik “hijrah” ke Eropa lalu Amerika.   Ini terjadi pada tahun 1939.

Mula-mula helikopter adalah moda transportasi udara murni, lalu sejak 1942 mulai dikembangkan untuk keperluan militer, itupun baru sebatas evakuasi medis bagi korban-korban perang.   Persenjataan baru “ditempelkan” pada helikopter sekitar tahun 1959 saat helikopter S-61 Sea King milik AL AS dipersenjatai guna memburu kapal selam.   Selanjutnya perkembangan tekonolgi helikopter sebagai “lethal weapon” tak terbendung, sama pesatnya dengan kemajuan teknologi pesawat sayap tetap.   Kita tentu sudah mengenal nama-nama seperti AH-64 Apache, Mi-24 Hind, UH-60 Blackhawk, Ka-50 Hokum, EC-665 Tiger dan sederetan nama-nama seram yang punya kemampuan membunuh luar biasa.   Tak hanya membabat habis sasaran-sasaran di darat dan laut, merekapun siap berduel dengan pesawat tempur!

Itu karena tekonologi memang terus maju, sehingga standar kemampuan pesawat terbangpun semakin tinggi—dan semakin kabur batasannya.   Pesawat tempur konvensional bisa terbang dan mendarat vertikal seperti heli, sebaliknya helipun punya kemampuan manuver seperti pesawat tempur.   Tapi, tahukah pembaca bagaimana helikopter bisa terbang?

Secara umum prinsip aerodinamis helikopter sama dengan pesawat fixed-wing.   Bila aliran udara (airflow) pada pesawat konvensional mengalir melalui aerofoil yang ada pada sayap, maka pada helikopter airflow mengalir melalui baling-baling (yang berfungsi sebagai sayap) yang berputar.   Itulah yang membuat helikopter dikenal juga sebagai rotary wing aircraft (pesawat sayap putar).

Baling-baling utama (main rotor blades-selanjutnya disingkat M/R blades) memiliki profil aerofoil sebagaimana halnya wing pada pesawat konvensional.   Sehingga, udara akan mengalir dengan pola dan mekanisme aliran yang sama dengan sayap tetap.   Aerodynamic flow sayap tetap sudah sering dijelaskan sehingga tidak perlu diuraikan lagi di sini.

Bila M/R blades berputar dengan kecepatan tinggi, akan terbentuk M/R disc (piringan baling-baling utama) yang berpusat pada M/R shaft (poros baling-baling utama).   Saat berputar inilah baling-baling menghasilkan gaya aerodinamis yang besarnya berbeda di setiap titik sepanjang baling-baling utama.   Gaya angkat (lift) terbesar dihasilkan di ujung baling-baling (blade tip).   Inilah yang membuat putaran baling-baling utama helikopter membentuk seperti kerucut terbalik saat helikopter terangkat (bagian terluar M/R disc—yang tidak lain adalah blade tip—menghasilkan lift terbesar dibandingkan bagian dalamnya).

Saat berputar itu pula, M/R disc membentuk sudut dengan garis horisontal yang dikenal dengan pitch angle.   Pitch bisa dibuat sama untuk seluruh bidang M/R disc (kolektif), bisa juga tidak.   Bila tidak sama, helikopter akan bergerak ke arah yang pitch-nya lebih kecil (ke depan, kiri, kanan,dll), namun bila sama helikopter hanya bisa naik atau turun.

Mengarahkan helikopter sebenarnya—secara sederhana—adalah mengarahkan M/R disc ini.   Bila M/R disc diarahkan ke kanan, pesawat akan ke kanan dan seterusnya.   Lebih jauh lagi, yang diarahkan ini sebenarnya adalah resultan gaya aerodinamis yang dihasilkan putaran baling-baling utama tersebut, sebut saja FN.   Secara skematis, letak FN ini ada di sepanjang M/R shaft.   Kemudi yang digunakan untuk mengubah arah FN ini adalah (cyclic) stick yang terletak di depan pilot.

Bagaimana dengan besarnya FN ?   Besarnya FN dapat diubah-ubah dengan menggunakan collective (pitch control), yang umumnya terdapat di sebelah kiri pilot.   Bila collective diangkat, FN makin besar, begitu pula sebaliknya.

(Catatan : FN adalah resultan gaya yang secara vektoral dihasilkan dari penjumlahan lift dan thrust yang dihasilkan oleh airflow yang melalui putaran baling-baling utama, jadi FN belum tentu sama dengan lift.   FN = L dalam kondisi vertical take off, di mana tidak ada thrust sehingga hanya ada lift yang juga resultan gaya alias FN.   Jangan mengasosiasikan FN dengan lift.)

            Nah, sekarang ingat Hukum II Newton tentang aksi-reaksi.   Pada saat M/R blades berputar, tentu badan pesawat akan bereaksi dengan berputar pada kecepatan yang sama namun berlawanan arah dengan putaran M/R blades tadi.   Kalau itu terjadi, tidak ada orang yang mau naik helikopter!   Itulah yang dikenal dengan torque effect (efek puntir) akibat putaran M/R blades.   Untuk menghilangkannya (anti-torque effect), diciptakanlah baling-baling ekor (tail rotor blades—selanjutnya disingkat T/R blades) yang didesain akan menghasilkan gaya yang sama besar dengan torque badan pesawat namun arahnya melawan arah torque tersebut.   Sama halnya dengan M/R blades, T/R blades yang berputar juga membentuk T/R disc yang FN –nya adalah anti-torque tersebut.   Hasilnya, badan pesawat tetap diam sekalipun M/R blades berputar sangat cepat.

            Posisi T/R blades tidak masalah ditempatkan di kiri atau kanan badan pesawat, yang penting mampu memberi anti-torque effect.   Sebagai contoh, M/R blades pesawat AS-332 Super Puma berputar searah jarum jam (bila dilihat dari atas), maka sesuai Hukum II Newton, badan pesawat akan bereaksi berlawanan arah jarum jam.   Maka, T/R blades Super Puma didesain untuk berputar dan menghasilkan gaya yang besarnya sama dengan torque badan pesawat namun arahnya searah jarum jam, supaya badan Super Puma itu diam saat baling-baling utamanya berputar (pada badan pesawat bekerja 2 gaya yang sama besar namun berlawanan arah).   Karena baling-baling ekor Super Puma diletakkan di kanan badan pesawat, maka ia menghasilkan anti torque yang sifatnya push (mendorong badan pesawat untuk melawan torque-nya).   Seandainya Eurocopter (si pabrik) menempatkan di kiri badan/ekor pesawat, bisa saja.   Tetapi T/R blades harus menghasilkan anti torque yang sifatnya pull (menarik badan pesawat untuk melawan torque-nya).

Bidang-bidang aerodinamis helikopter
‘Pitch angle’ dan ‘flight direction’

            Baling-baling ekor sendiri dikendalikan oleh 2 rudder pedal guna menstabilkan attitude pesawat.   Prinsip kegunaannya sama dengan kegunaan rudder pada fixed wing.   Jadi, kombinasinya sederhana : bila akan mengangkat pesawat, naikkan collective.   Lalu untuk mendorongnya ke depan, dorong saja stick.   Bosan lurus terus, dorong stick ke kanan/kiri sambil mainkan pedal, maka pesawat akan belok ke kanan/kiri.   Ingin turun, turunkan collective perlahan-lahan.   Selamat mencoba, have a nice chopper flight!

LAGU UNTUK KEHIDUPAN

Untuk semua dosa dan kesucian,

Untuk semua dusta dan kebenaran,

Ke manakah semua mengalir?

Seperti apa semua akan berakhir?

 

Untuk semua kejam dan kemurahan,

Untuk semua caci dan pujian,

Siapakah sesungguhnya raja?

Seperti apakah Sang Penguasa?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk semua keindahannya yang tragis,

Untuk semua tawa dan tangis,

Aku memberinya penghargaan tertinggi…

 

Ronanya penuh dera,

Warnanya penuh cabik,

Kilaunya penuh sayat,

Dan semuanya indah…

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Untuk pelangi yang jadi jendelanya,

Untuk mentari yang adalah pintunya,

Dan langit atapnya yang setia…

 

Untuk semua pilu dan senyuman,

Untuk segala galau dan kepastian,

Yang manakah yang tetap hidup?

Siapakah Sang Tunggal?

 

Aku bernyanyi untuk kehidupan,

Yang menjadikanku bintang…

CANTO ALLA VITA

Dedicato a chi colpevole o innocente
perso in questo mare
si è arreso alla corrente
chi non è mai stato vincente?

Dedicato a chi aspetta una speranza
davanti ad un dolore
nel freddo di una stanza

Dedicato a chi cerca la sua libertà

Canto alla vita
alla sua bellezza
ad ogni sua ferita
ogni sua bellezza

I sing to life and to it’s tragic beauty
To pain and to strife, but all that dances through me
The rise and the fall; I’ve lived through it all

Dedicato a chi la sente inaridita
come fosse sabbia asciutta fra le dita
e la sente già finita

Canto alla vita
negli occhi tuoi riflessa
fragile e infinita
terra a noi promessa

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama

Non dubitare mai
Non dubitare mai
Non lasciarla mai da sola
da sola
ancora …

Canto alla vita
alla sua bellezza

Canto alla vita
canto a voce piena
a questo nostro viaggio
che ancora ci incatena

Ci chiama…